Aku berteriak kencang padanya. Berharap lelaki itu mengakhiri kegilaannya. Namun nyatanya semakin aku berteriak, semakin senang dia membuatku takut. Dia tertawa sinis sambil memperhatikan bagaimana raut wajahku yang begitu ketakutan.
Itulah kenapa aku tidak menyukainya. Lelaki ini membuatku gila.
"Stop Tama! Stop!"
Kukuatkan pegangan pada kedua sisi bangku mobil agar tak ikut terantuk ke dasboard mobil. Menahan napas yang ikut memburu saat melihat jalan di depan terlewati dengan begitu cepat.
Tanpa terasa airmata sudah menganak sungai di sudut mata. Tinggal menunggu jatuh saja. Isak tangisku tercekat. Tenggorokanku sakit karena dari tadi berteriak histeris.
"Kenapa takut?" Dia berucap datar seolah tak terjadi apa-apa. Sedang aku gemetaran setengah mati. Memang benar-benar sialan.
Laju mobil dipelankan. Aku sedikit bersyukur karena hal itu. Melihat bagaimana tangannya terulur mencapai tanganku. Kutepi
"Maaf ...." Berulang kali kuucapkan kata itu padanya. Merasa bersalah karena telah melibatkan Pak Malik dengan masalah pribadiku dan membuatnya terluka. Ada yang teriris kala melihatnya berbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak selang menempel di tubuh itu untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Tanganku menyentuh kaca tembus pandang di mana lelaki itu sedang ditangani oleh para dokter. Luruh kakiku ke lantai. Menggumamkan kata maaf, berulang kali.ĺ Hanya bisa berdoa semoga saja lelaki itu cepat bangun dari tidurnya. Tiga jam sudah aku menunggu. Jam tangan hampir menunjukkan pukul 24:00. Sudah hampir pagi dan operasinya belum juga selesai. Aku sudah menelpon ibunya Pak Malik, mengatakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Mereka sedang dalam perjalanan kemari. Aku tidak tahu menjelaskan bagaimana. Takut keluarga itu membenciku karena sudah membuat Pak Malik celaka lalu mereka a
Di atas sana, langit kelihatan cerah. Aku sedikit menyipitkan mata saat mendongak akibat sinar matahari yang terlalu terang. Aku baru saja tiba di halaman rumah sakit setelah turun dan membayar ojek online tadi. Satu set buah-buahan kubawa di tangan. Sengaja kubeli untuknya sebagai tanda terima kasih karena dia sudah membantuku tadi malam. Mungkin tanpa bantuannya entah seperti apa nasibku sekarang. Tak bisa kubayangkan. Aku mengbuang napas kasar sebelum melangkahkan kaki masuk ke rumah sakit. Berjalan masuk ke dalam lift hingga akhirnya menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke ruangan tempatnya berada sekarang. Lantai 8 ruangan nomor 144. Aku terus mengulang kata yang sama agar tak lupa. Kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan meski sudah diusahakan agar tak lupa. Aku hanya tak ingin nyasar di rumah sakit yang terlalu banyak ruangan ini. Ruangan yang disebut ibunya Pak Malik pukul lima pagi untuk memberitahu kond
"Kamu tahu? Harusnya jam segini udah pulang?" Suara bariton itu mengejutkan lamunanku. Pak Malik berdiri di depan pintu ruangan kerja. Dia berjalan mendekati meja kerjaku, dimana aku masih sibuk mengerjakan tugas kantor yang belum selesai. Hari ini memang aku berniat lembur. Arumi bilang dia ada acara keluarga jadi pulang duluan begitu juga dengan Daniel yang minta maaf tak bisa menemaniku. Sedang Rafi hari ini tak masuk bekerja. Izin tidak masuk kudengar, tapi tidak tahu alasannya. Sebuah cangkir berukuran telapak tangan dia sodorkan padaku. Tangannya menggeret kursi ke belakang untuk duduk. Manik kelam itu menatapku, lekat. Buru-buru kupalingkan wajah ke sisi lain. "Sudah makan?" tanyanya. Aku menggeleng lemah. Tak ada yang bisa diminta bantu untuk membeli makanan. Aku juga sedang sibuk mengerjakan tugas. Jadi, nanti saja saat pulang makannya. Pikirku. "Jangan terlalu memaksakan diri. Kal
Dua hari lalu Pak Malik mengirimkan pesan padaku untuk mengajak bertemu di sebuah kafe. Aku juga tidak mengerti untuk apa. Dan yang paling menyebalkan darinya adalah, lelaki itu mengancamku dengan embel-embel yang biasa dia gunakan pada saat jam bekerja. 'Pecat'. Tak asing lagi, tapi masih sangat menyebalkan jika mendengarnya. Yah ... mau tidak mau aku menerimanya. Padahal kalau saja tidak diancam pun aku juga akan datang. Sebenarnya aku agak aneh dengan pertemuan hari ini. Padahal kami sering bertemu tanpa sengaja di kantor atau di mana saja. Tapi, karena pertemuan ini adalah yang sudah direncanakan, olehnya. Entah kenapa rasanya sangat aneh. Pikiranku mengatakan bahwa ini adalah sebuah kencan. Terdengar seperti ... ah, aku juga tidak mengerti harus bilang apa. Memikirkannya saja cukup membuatku bergidik ngeri, tentang apa yang sebenarnya sudah dia rencanakan. Pasti ada alasan lelaki itu mengajakku untuk bertemu. Ah
POV 3"Kamu aneh," "Kenapa?" "Semua orang butuh teman, sedangkan kamu lebih suka menyendiri. Kenapa enggak minta seseorang buat jadi teman kamu? "Aku udah biasa sendiri," "Jadi maksudmu enggak butuh teman?" "Ya, aku rasa begitu," "Kalau begitu, hari ini aku jadi teman kamu. Ingat, jangan nolak." Seulas senyum terukir di bawah terik matahari yang mengganggu pemandangan. Tangan pucat itu terulur pada bocah laki-laki di hadapannya, sedang gadis itu berambut cokelat dengan hiasan pita abu-abu di kepalanya itu menunggu balasan. Saat bocah laki-laki ingin menggapainya seketika siluet gadis itu lenyap bersama angin. Malik terbangun dari tidurnya. Ia sadar bahwa saat ini mimpi itu datang lagi setelah cukup lama. Malik menarik napas pelan untuk menetralkan degup jantung yang tak beraturan. Pelipisnya berkeringat, napasnya tersengal. Malik mengerjapkan m
"Ada sesuatu yang mau saya kasih ke kamu." "Apa?" "Rahasia." "Oke ... kalo sampe hadiahnya mengecewakan, saya pastikan di lain waktu nggak akan pernah mau ketemu sama Bapak lagi." Malik terlihat kaget mendengar ucapan Nada. Raut wajah gadis itu terlihat sangat serius saat mengatakannya. Malik menimbang-nimbang permintaan Nada. "Baiklah, kalo itu maunya kamu saya nggak masalah. Tapi misalnya saya kalah terus kita enggak bisa jumpa lagi, memang kamu enggak bakal kangen sama saya?" Malik melipat tangan di depan dada. Menatap ke dalam sepasang bola mata indah milik gadis di hadapannya dengan serius. Lalu di detik selanjutnya, tawanya pecah melihat pipi si gadis bersemu merah. Nada memang semenarik itu bagi Malik. Entah sejak kapan, hatinya terpaku pada gadis aneh ini. Malik kembali mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat ia sedang memesan jajanan khas khas Yogyakarta yaitu gudeg.
Pagi hari.Semalaman Malik tak bisa menutup mata. Ia terjaga hingga pukul 4 Pagi dan hanya tertidur sekitar dua jam. Malik meremas seprai kasur. Marah pada diri sendiri kenapa tidak bisa melawan. Ia terlalu lemah untuk melawan sang ayah. Sejak kecil, setelah kepergian ibu kandungnya, Malik merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga di hidupnya. Walaupun seluruh keluarganya mengatakan bahwa sang ibu adalah seorang penjahat yang ingin membunuhnya. Malik tak pernah percaya hal itu. Ibunya tidak seperti yang orang-orang sialan itu katakan. Sekarang baginya, tak ada yang bisa dipercaya sepenuhnya, termasuk orang terdekat sekali pun. Bangkit dari duduknya, Malik mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas lalu menekan sebuah nama di layar. Tak lama telepon tersambung. "Aku ingin kau mengambil surat balasan di tempat kemarin kau menaruhnya. Simpan sampai aku memintanya kembali. Men
Part 41"Saya harus pergi sebentar," ujar Malik tiba-tiba. Melepaskan pelukan itu lalu tanpa menoleh lagi langsung melangkahkan kaki ke luar ruangan. Ketiga wanita itu terlihat memasang tampang berbeda-beda. Ada yang biasa saja, tidak peduli, lalu Irish sedikit kaget karena dekapannya dilepaskan. Ia melihat kemana punggung tegap itu menghilang. "Irish, kamu hebat! Malik sampe nggak bisa berbuat apa-apa. Kamu memang hebat, Sayang!" ujar Tante Anin mendekap gadis berusia sekitar 25 tahun itu. Bola mata berwarna hazel Irish terlihat berbinar senang. Sama seperti kedua wanita yang menatapnya, ia merasakan kesenangan. Entah kenapa, baru kali ini Malik tidak menolak seperti biasanya. Apa karena Malik mulai menaruh perasaan padanya. Atau mungkin ada hal lain? Entahlah. "Kapan kamu bangun?" "Tiga hari lalu, Kak," jawab Irish tenang. Ia menuntun tangan kakaknya unt