Aku mendelik. Sesekali membuang napas kasar, memijit pelipis dan berakhir dengan menggerutu sendiri dalam hati.
"Eh, Nad? Apa kabar?"
Daniel barusaja tiba. Pintu ruangan dia geser hingga terbuka lebar. Bisa kulihat walaupun dalam posisi menunduk. Kuangkat wajah, menatapnya sinis. Lelaki itu sudah dadah-dadah manja padaku. Dia sepertinya minta ditabok.
Aku sedang sakit kepala hari ini. Untungnya tak lupa membeli koyo saat kemari, kutaruh di dahi untuk menghilangkan rasa sakit yang menyergap kepala. Belum lagi dengan hidungku yang sejak malam bersin-bersin. Bertambah sudah penderitaanku hari ini.
Berkat kemarin hujan-hujanan pergi bersama Alif membeli jajanan di pinggir kota. Membuat kami pulang dengan keadaan basah kuyup karena tak sanggup lagi menunggu lebih lama. Alif, kulihat dia baik saja, tak ada yang salah dengan tubuhnya, tapi kenapa hanya aku yang demam? Padahal kami sama-sama kehujanan. Sepertinya daya tahan tubuh bocah itu lebih bagus d
"Bapak! Loh ngapain sampe di sini?" Aku mengamati lelaki itu untuk sesaat, bus yang kami tumpangi sudah melaju pelan. "Kenapa?" "Bukannya punya mobil? Kenapa nggak pake itu saja buat pulang?" "Sesekali saya juga mau naik kendaraan umum. Lalu kenapa kamu harus protes? Padahal ini untuk umum?" tanyanya. Seketika pertanyaan darinya membuatku mengatupkan bibir rapat-rapat menelan kekesalan. Aku menghela napas kasar. Tak ingin bertanya lebih dalam. Mengedarkan pandangan, sekilas kulihat banyak penumpang ibu-ibu dan anak gadis yang berbisik dengan teman duduk di sebelahnya. Mungkin kehadiran Pak Malik alasannya. Lelaki dengan tatapan tajam itu, terlihat tak peduli saat aku kembali menoleh padanya. Kuarahkan pandangan ke arah lain, asalkan tidak menatapnya saja. Duduk di kursi bagian tengah dengan kedua tangan menyilang. Tak lama kudengar deheman darinya. Aku menoleh sebentar tanpa
"Saya bahkan belum pernah lihat dia seceroboh ini," kata Mama, entah kenapa Mama jadi sering membuka aibku di depan Pak Malik. Spontan aku menoleh pada Mama dengan tatapan tak suka. "Iya, benar, Tan." Mama ikut tersenyum setelah mendengar lelaki itu berbicara. Wanita itu menaruh piring di atas meja. Aku mencebik. Lelaki itu tampak menarik kursi meja untuk dia duduki. Setelahnya pandangan menyebalkan itu lagi-lagi dia perlihatkan. Aku mendelik sinis. Mengumpat sejadi-jadinya dalam hati. Dia duduk di kursi yang langsung menghadap ke dapur. Satu meja berwarna cokelat tua yang memanjang dengan 6 kursi yang tersedia di sana sudah tersedia berbagai macam makanan. Dia tidak tahu apa kalau aku itu grogi? Gara-gara pergerakanku diawasi olehnya, aku jadi kurang fokus. Dan itu menyebabkan kue yang kuletakkan di atas meja jadi berantakan bentuknya karena terpeleset jatuh dari tanganku. Aku membereskannya cepat. Kue
Pagi ini langit dihiasi awan cirrus. Langkahku berhenti tepat di gerbang dengan nama Panti Asuhan Kasih Bunda. Di bawah pohon ketapang itu seorang wanita berkerudung tengah duduk dikelilingi oleh para anak-anak yang mana mereka menoleh saat aku menggeser gerbang. Ternyata suara berisik dari gerbang mengejutkan mereka. Dua orang gadis kecil mendekat padaku. Alea dan Syana, gadis yang usianya belum genap 14 tahun. Dua orang yang paling sering berinteraksi denganku saat datang ke sini. Hari ini aku memang menyempatkan diri mampir ke panti. Setelah lama tak pernah datang lagi karena setiap harinya sibuk bekerja dan tak ada waktu untuk libur Berniat untuk menyapa lagi para anak-anak panti, membawa sedikit cemilan dan pakaian yang mungkin nantinya bisa mereka pakai. Tujuan utamaku kemari adalah untuk kembali mengenang almarhum Papa. Mengenang lewat kenangan saat bagaimana Papa dengan ra
"Pak Malik udah dua minggu nggak ada kabar. Gimana menurut lo, Nad?" Aku yang baru saja mengalihkan pandangan ke luar jendela kantor dikejutkan dengan keberadaan Arumi yang tiba-tiba sudah ada di seberang meja. Arumi menatapku lekat sembari menyandarkan tangannya pada kursi di seberang meja. Seperti sedang berpikir. Sambil memainkan jemarinya di sana. "Gue juga nggak tau, Rum," jawabku. Hal itu membuat gadis itu menatap tak percaya padaku. "Bukannya lo dekat sama dia?" Dekat katanya. Aku tertawa hambar sembari menggelengkan kepala. Hubungan kami tidaklah lebih dari majikan dan pembantu. Juga bos dan karyawan. Mana bisa dibilang dekat. "Mungkin ada tugas di luar kota." Lelaki itu menggedik. Daniel ikut menyambar. Dia melewati meja kerjaku dengan setumpuk lembaran di kedua tangannya. Bisa kulihat bagaimana ekspresinya yang sedang menahan berat. Seperti orang sesak boker. Ya, persis se
Sepintas saat melewati koridor ruangan. Punggung tegap membelakangi itu tampak familiar bagiku. Dia sedang sibuk berbincang dengan seseorang yang aku yakin penting. Dilihat dari caranya menatap agak segan. Hingga akhirnya bayangan kedua lelaki itu menghilang saat pintu lift tertutup. Aku terdiam. Sepertinya sekilas tadi mata kami saling terpaut. Aku yakin dia melihatku di sini. Tapi ... kenapa rasanya tatapan miliknya terasa begitu asing? Seperti tidak saling mengenal satu sama lain. Rasanya seperti itu. Aku berjalan melewati lurus. Berniat mampir untuk mengambil beberapa cangkir kopi di sini. "Mau dibantu?" Suara bariton itu mengagetkan lamunanku. Kudongakkan kepala melihat siapa pemiliknya. Rafi. Aku sedikit tergagap saat satu tangannya mengambil cangkir kopi di tanganku. Dan satu cangkir lagi dia ambil dari mesin itu saat sudah terisi penuh. Kulihat lelaki itu mengulas senyum. Tipis namun manis.
Aku berteriak kencang padanya. Berharap lelaki itu mengakhiri kegilaannya. Namun nyatanya semakin aku berteriak, semakin senang dia membuatku takut. Dia tertawa sinis sambil memperhatikan bagaimana raut wajahku yang begitu ketakutan. Itulah kenapa aku tidak menyukainya. Lelaki ini membuatku gila. "Stop Tama! Stop!" Kukuatkan pegangan pada kedua sisi bangku mobil agar tak ikut terantuk ke dasboard mobil. Menahan napas yang ikut memburu saat melihat jalan di depan terlewati dengan begitu cepat. Tanpa terasa airmata sudah menganak sungai di sudut mata. Tinggal menunggu jatuh saja. Isak tangisku tercekat. Tenggorokanku sakit karena dari tadi berteriak histeris. "Kenapa takut?" Dia berucap datar seolah tak terjadi apa-apa. Sedang aku gemetaran setengah mati. Memang benar-benar sialan. Laju mobil dipelankan. Aku sedikit bersyukur karena hal itu. Melihat bagaimana tangannya terulur mencapai tanganku. Kutepi
"Maaf ...." Berulang kali kuucapkan kata itu padanya. Merasa bersalah karena telah melibatkan Pak Malik dengan masalah pribadiku dan membuatnya terluka. Ada yang teriris kala melihatnya berbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak selang menempel di tubuh itu untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Tanganku menyentuh kaca tembus pandang di mana lelaki itu sedang ditangani oleh para dokter. Luruh kakiku ke lantai. Menggumamkan kata maaf, berulang kali.ĺ Hanya bisa berdoa semoga saja lelaki itu cepat bangun dari tidurnya. Tiga jam sudah aku menunggu. Jam tangan hampir menunjukkan pukul 24:00. Sudah hampir pagi dan operasinya belum juga selesai. Aku sudah menelpon ibunya Pak Malik, mengatakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Mereka sedang dalam perjalanan kemari. Aku tidak tahu menjelaskan bagaimana. Takut keluarga itu membenciku karena sudah membuat Pak Malik celaka lalu mereka a
Di atas sana, langit kelihatan cerah. Aku sedikit menyipitkan mata saat mendongak akibat sinar matahari yang terlalu terang. Aku baru saja tiba di halaman rumah sakit setelah turun dan membayar ojek online tadi. Satu set buah-buahan kubawa di tangan. Sengaja kubeli untuknya sebagai tanda terima kasih karena dia sudah membantuku tadi malam. Mungkin tanpa bantuannya entah seperti apa nasibku sekarang. Tak bisa kubayangkan. Aku mengbuang napas kasar sebelum melangkahkan kaki masuk ke rumah sakit. Berjalan masuk ke dalam lift hingga akhirnya menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke ruangan tempatnya berada sekarang. Lantai 8 ruangan nomor 144. Aku terus mengulang kata yang sama agar tak lupa. Kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan meski sudah diusahakan agar tak lupa. Aku hanya tak ingin nyasar di rumah sakit yang terlalu banyak ruangan ini. Ruangan yang disebut ibunya Pak Malik pukul lima pagi untuk memberitahu kond