"Anak kecil memang seperti itu. Mereka memperlihatkan ke-bandel-an hanya untuk diperhatikan, mereka tak suka diabaikan." Suara bariton itu mengejutkanku. Spontan aku menoleh ke belakang.
"Anu ...." Aku mengeratkan pegangan pada tali tas. Dalam situasi seperti ini ada rasa canggung menyergap.
Laki-laki itu menatapku seperti biasa, dingin dan menyeramkan, setidaknya itu pendapat pribadiku. Tatapan dingin itu membuat nyaliku menciut. Aku sudah bersiap dengan konsekuensi hukuman jika saja itu terjadi.
Alis tebal itu tertaut, dia berjalan melewatiku mendekati bocah laki-laki itu.
"Perkenalkan Sean, umurnya 10 tahun, dia adik saya. Hari ini saya mau kamu menjaganya. Terserah, mungkin mau jalan-jalan atau bermain saya izinkan. Semuanya saya yang tanggung." Tangan kekar itu memegang bahu bocah laki-laki bernama Sean. Tak lama kulihat mengulas senyum pada si bocah.
Adik? Sebentar ... sebentar. Sebelumnya lelaki ini mengatakan aku akan menjadi babysitter anaknya. Lalu sekarang kenapa malah adiknya yang disuruh aku menjaga?
Lalu selisih berapa tahun memangnya mereka. Kenapa aku berpikir bahwa Pak Malik adalah Om-nya si bocah? Aku berdehem kecil menutup mulut agar tak terdengar jika aku sedang menertawakannya.
"Yey!"
Bocah itu berteriak girang. Diambilnya bola di tanganku dengan cekatan lalu mendekat pada Pak Malik.
"Kamu pasti ngira saya Om-nya, 'kan?" Dia mendekat padaku. Aku mundur menghindarinya. Langkah kaki lelaki itu tertarik ke belakang karena si bocah menyeretnya.
"Bang, hari ini Sean mau ke Mall. Banyak game yang mau Sean mainin," ujar si bocah. Aku cuma menanggapinya dengan manggut-manggut. Yah, aku tau pasti kemauannya sulit diganggu gugat. Karena bagi anak kecil pada umumnya kesenangan itu nomor satu.
"Boleh, nanti Abang suruh Pak Slamet buat anterin kalian. Soal biaya ... saya percayakan kartu ATM platinum ini sama kamu, Nada."
Pak Malik mendekat, dia menyodorkan kartu berwarna perak. Aku menerimanya walau masih kebingungan. Bagaimana cara menggunakan? Itu adalah salah satu pertanyaan paling membayangi kepalaku.
"Nggak, Abang harus ikut! Kali ini aja pliss. Udah lama kita enggak jalan bareng lagi," rayu si bocah pada lelaki itu dengan memohon. Matanya berbinar menggemaskan.
Dan, aku baru sadar ternyata bocah laki-laki itu agak mirip dengan Pak Malik terutama di bagian hidung. Sama-sama mancung. Juga alis hitam dan tebal itu menambah kesan menawan pada dirinya meski pakaiannya amburadul sekalipun tetap tak mengurangi kesan tampan itu pada diri si bocah.
Duh, aku jadi insecure dibuatnya.
Rasanya aku hanyalah remahan rengginang jika berada didekat mereka.
"Enggak bisa, Sean. Abang banyak pekerjaaan," sahut Pak Malik. Tatapanku beralih pada si bocah. Dia merengut tak suka pada jawaban Kakak-nya. Bola yang ada di tangannya dibanting, dia beranjak menjauh dari teras berlari menuju Gazebo.
Pak Malik mengedikkan bahu.
Aku berjalan mendekat pada Pak Malik. Dalam jarak kami dua langkah, aku berujar padanya,
"Apa enggak sebaiknya Bapak ikut. Kasian Sean dia juga pengen punya waktu sama Kakaknya. Tolong dipikir lagi, Pak." Setelah selesai berbicara aku sedikit membungkuk padanya lalu berjalan melewatinya.
Langkahku berhenti saat memasuki Gazebo. Sekilas, kulihat ukiran itu sungguh menakjubkan, sangat detail.
Hah, aku lupa ternyata orang kaya memang senang menghabiskan uang untuk hal yang bahkan tidak terlalu penting seperti ini. Kalau saja aku punya banyak uang seperti mereka, rasanya ada banyak hal baik yang ingin kulakukan.
Mungkin salah satunya cara, adalah dengan cara membeli tanah panti itu, agar tak ada lagi yang bisa semena-mena menyuruh mereka pindah, tanpa solusi dimana mereka selanjutnya harus tinggal.
Kalau sudah begini aku pasti kembali teringat Panti Asuhan tempat Ayah sering membawaku dulu waktu masih kecil. Mengenalkan banyak anak-anak dari panti untuk sekedar bercengkerama dengan mereka lalu diakhir pertemuan Ayah akan memberikan amplop yang entah apa isinya. Tapi, setelah sudah se-dewasa ini aku yakin ayah memberikan sedikit uang untuk membantu pengurusan panti.
Bu Saudah-pengurus panti yang berusia 52 tahun itu mengatakan tak lama lagi bangunan itu akan segera digusur karena berdiri di tanah milik negara. Sebab, pemilik tanah bilang mereka akan membangun toko di atasnya untuk kepentingan perusahaan, mereka menyuruh pihak panti agar segera mengosongkan tanah.
Bu Saudah bilang jika panti itu akan segera digusur dalam waktu dekat, mereka tak akan punya tempat tinggal untuk menampung anak-anak panti yang berjumlah sekitar kurang lebih 40 orang.
Sebenarnya bisa saja mereka tinggal di rumahku tapi sepertinya tidak akan muat menampung mereka yang sangat banyak.
Maka dari itu Bu Saudah menolak tawaranku, tidak ingin merepotkan katanya. Aku sempat merasa bersalah karena tak bisa membantu mereka. Sejauh ini aku berharap ada malaikat baik hati yang mau dengan ikhlas membantu mereka.
"Sean, boleh Kakak masuk?"
Bocah itu tak menjawab dan memilih membelakangiku. Sepertinya dia memang kesal dan meluapkannya pada orang sekitar. Lucu menurutku. Sebab, Alif pun juga seperti itu saat sekecil Sean.
Berjalan 2 langkah, aku ikut duduk di sebelahnya dengan jarak satu meter.
"Abang selalu enggak punya waktu main sama aku! Kenapa? Apa kerjaan memang penting banget sampe lupa sama keluarga?"
Mataku membelalak. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seakan menyihirku, terdengar tajam dan menusuk. Aku membeku.
Aku rasa di usianya yang masih terbilang kecil dia sudah memiliki pemikiran yang sudah seperti orang dewasa.
"Abang kerja buat Sean, buat masa depan Sean juga," ujarku berusaha menenangkannya.
Sean berbalik menatapku.
Bulir bening di sudut matanya segera dia sapu. Aku menggeleng lalu membawanya ke dalam dekapan.
"Semuanya buat Sean. Jangan sedih lagi ya." Aku mengelus rambut bocah itu lembut. Sean terisak dalam dekapan. Bisa kurasakan airmatanya membasahi bajuku
Aku tertawa kecil menanggapinya.
"Anak kecil nggak boleh cengeng dong. Masa nggak malu sama Kakak?"
Dia melepaskan pelukan. Kembali merengut dan memanyunkan bibir. Kedua tangannya disilangkan dan dia memalingkan wajah.
"Sean, Abang ikut," sahut suara bariton itu dari dekat, di belakangku.
Aku sampai tidak sadar kalau lelaki itu sudah sedekat ini. Menggeser posisi agar berjauhan, rasanya sekarang jantungku berdegup gila.
Didekati oleh lelaki dalam jarak sedekat itu secara tiba-tiba membuatku ingin mengumpat. Untungnya aku sadar dan mengurungkan niat itu. Karena bisa saja langsung dipecat setelah mengumpat. Itu bukanlah ide yang bagus.
Seolah tak terjadi apa-apa aku menatapnya kikuk.
"Hari ini, Sean mau kemana dulu?"
Sean masih terlihat kesal, dengan menyilangkan tangan di depan dan dan membuang muka.
Pak Malik tertawa kecil lalu bangkit dari duduknya. Dia mendekat pada Sean, mengacak gemas rambut itu.
"Ahh!" Sean protes dengan menepis tangan Pak Malik.
"Kemana aja deh, Abang janji ikut. Tapi, janji jangan marah lagi ya, plis."
Pak Malik berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka lalu mengulurkan jemari kelingkingnya pada Sean.
Diluar dugaan, Sean malah memeluk erat Pak Malik. Lelaki itu membalas pelukan sang adik dan mengelus punggung kecil itu penuh kasih sayang.
Aku tersenyum memperhatikan mereka berbaikan. Sejahat-jahatnya seorang kakak, di dalam hati kecil mereka juga menginginkan adiknya selalu bahagia dan senang. Melindungi mereka dan tidak ingin membuat adik mereka bersedih.
Sebagai seorang kakak aku juga melakukan hal yang sama untuk adikku. Menjaganya, memberi kebahagian, membantunya. Aku senang melakukan semua hal itu untuknya.
Langit terlihat biru dengan awan putih berarak menjauh ke arah selatan. Angin berembus menyejukkan menerpa wajah. Kami baru saja tiba di pelataran Mall. Mengingat Sean ingin bermain banyak hal di sana, membuat Pak Malik tak dapat menolak permintaan adiknya itu. "Ayok!" Aku terkejut. Bagaimana tidak, tanganku ditarik paksa mengikuti langkah si bocah. Kulihat Sean juga melakukan hal yang sama dengan menarik tangan Pak Malik. Aku memandang bocah itu sekilas, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah tampan-nya. Aku jadi ikut senang. Apa ini? Kenapa semua orang menatap kami? Dan, kenapa pipiku jadi memanas? Setiap orang yang kami lewati pasti berbisik-bisik tidak jelas, sebagian lagi berteriak histeris dan juga ada yang menatap tidak suka padaku. Lah? Salahku dimana? "Ih ganteng banget itu cowok, tapi kasian udah ada pasangannya." Samar, tapi masih bisa kudengar seorang wanita berbicara pada temannya. Tatapan sinis itu, dia arahka
Sebuah deheman terdengar, membuatku spontan melepaskan pelukan dari Arumi. Pak Malik berdiri di depan kami, aku mencari keberadaan Sean di dekatnya tapi tidak ada. Sepertinya bocah itu masih sibuk bermain. Daniel berdiri di sebelahku dia agak membungkukkan badan menghormati menghadap Pak Malik, begitu juga dengan Arumi. Entah kenapa tiba-tiba saja terasa formal seperti saat berada di kantor. "Sean bilang dia mau main sama kamu," katanya kemudian, tak lama dia kembali membalikkan badan lalu berjalan menjauhi kami. Begitu saja? Ya ampun singkat pada dan jelas. Inilah yang membuat karyawan kantor menganggapnya terlalu dingin dan menyeramkan. Aku menatap satu per satu mulai dari Arumi, rasa gugup menguasai keduanya, mereka memang belum terbiasa dengan sikap Pak Malik. Begitu pikirku. Aku izin pamit pada keduanya. Mereka mengangguk mengiyakan lalu cepat-cepat pergi dari sana. Aku rasa mereka ketakutan. Terbahak aku dibuat mereka.
Langit kemerahan itu terlihat menyilaukan mata, pertanda bahwa sudah waktunya untuk pulang. Kami menghabiskan hampir seharian ini berada di Mall. Menunggu Sean bermain. Langkah kami baru saja keluar dari lift lantai bawah, berjalan bersisian. Sean berjalan di antara kami, dia berada di tengah. Sean mengucek kedua matanya agak lama. Pak Malik, menghentikan gerakan tangan Sean, ditangkapnya kedua tangan itu dan kemudian diangkatnya bocah itu ke dalam gendongannya. "Sean, ngantuk Bang, mau pulang," gumamnya pelan. Aku yang berdiri tepat di samping Pak Malik menepuk punggung kecil itu, berusaha merilekskan dia. Sean terlalu bersemangat menghabiskan harinya untuk bermain bersama sang kakak. Mungkin, baginya hari berharga ini tidak boleh dia lewatkan begitu saja. Jarang-jarang mereka berkumpul seperti ini. Itu yang dapat kusimpulkan saat Sean merajuk tadi. Sepertinya Pak Malik tak pernah punya waktu bermain bersama sang adik
Pukul setengah sembilan aku baru saja selesai sarapan pagi bersama Mama dan Alif. Mama berdiri membawa piring kotor ke dapur sedang Alif kulihat dia sudah duduk selonjoran di ambal, pandangannya berfokus pada pada banyak buku belajar di meja. Dia terlalu bersemangat untuk meraih cita-cita. Aku tersenyum memperhatikan ketekunannya. "Mbak! Alif mau jadi dokter kalau besar nanti. Supaya bisa ngobatin orang lain. Terus misalnya Mama sama Mbak sakit bisa Alif yang tanganin, enggak perlu bayar. Gratis ... tis ... tis!" ucapan Alif setahun yang lalu, sebulan setelah kepergian Papa. Alif bertekad mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter. Dia merasa merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apapun untuk Papa hingga akhir hayatnya. Maka dari itu dia punya impian membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Tadi malam saat pulang ke rumah Mama sempat marah-marah karena aku tidak memberinya kabar dari pagi hingga malam, Alif kelihatan biasa saja, tapi se
Sepanjang jalan menuju rumah Keluarga Mahendra tak bisa kuhilangkan rasa kesal ini. Merengut sepanjang jalan dan membuat Bapak-Slamet-sopir pribadi keluarga Mahendra, begitu saat dia memperkenalkan diri sepanjang jalan, protes dan tertawa pada ekspresiku yang sangat menyeramkan itu, katanya. Biarlah, Bapak itu tidak tahu apa kalau aku sedang kesal? Aku mencebik. Pandanganku beralih keluar jendela. Mobil barusaja memasuki gerbang, kami disambut oleh satpam yang kemarin kulihat. Dia masih mengenakan pakaian yang sama. Aku heran, apa mereka tidak ganti baju, atau punya baju seragam yang lain? Pertanyaan yang bagus. Mobil berhenti tepat di depan garasi. Pak Slamet menoleh padaku sembari tersenyum, aku yakin itu kode darinya agar segera keluar dan dia bisa memasukkan mobil ke dalam garasi segera. Aku mengeratkan pegangan pada tali tas, membuka pintu, beringsut ke luar mobil. Di depan teras seorang wanita paruh baya memyambutku,
"Malik enggak pernah suka bawa perempuan ke rumah. Baru kali ini dia bawa orang asing dan dengan senang menerima keberadaan orang baru di keluarga ini. Kamu, pasti istimewa buat Malik." Benarkah? Mana mungkin, bahkan dia itu sering menertawakanku saat aku gagal, juga tak berperasaan, kejam, dingin! Akan terlalu banyak jika disebutkan satu per satu. Bagaimana bisa wanita ini mengatakan bahwa aku itu spesial bagi Pak Malik. Itu adalah sebuah kebohongan besar. Wanita itu berdiri membelakangiku menghadap jendela yang terbuka sepenuhnya, gorden berwarna putih campur emosi itu bergerak ke kanan dan kiri. Dari belakang, kulihat rambut hitam miliknya berkibar diterpa angin. Saat pandanganku beralih pada foto di atas nakas. Wanita itu berbalik, berjalan mendekat padaku. Dia menyentuh bahuku, menuntun untuk duduk di atas ranjang berukuran besar yang kutebak ini adalah kamarnya. Besar dan sangat mewah dipenuhi denga
"Ayo." Singkat ucapan yang keluar dari bibirnya. Pak Malik duduk di sebelahku agar lebih mudah membantuku berdiri. Tangan kekar miliknya berada di bawah ketiak-ku, membantu berdiri enggan sekuat tenaga. "Badan aja yang kecil, tapi berat," sindirnya tepat di telingaku. Berat katanya? Padahal sebulan yang lalu timbangan berat badanku hanya sampai 55 Kg. Berat darimana-nya coba? Aku mencebik. "Sean bantu bawa tas aja ya. Dah, Sean tunggu di bawah!" Bocah itu berlari cepat keluar kamar. Lah, jadi kami ditinggal berdua? Tak sempat kutahan kepergian Sean. Dia melesat cepat keluar kamar. Ingin rasanya berjalan sendiri. Tapi kondisi fisikku tidak akan kuat menahan berat tubuh sendirian, apalagi harus menuruni tangga. Yang ada bisa-bisa nanti celaka. Aku pasrah saja dibantu oleh makhluk es ini. Entah kenapa setiap kali berduaan bersamanya seperti ini terasa canggung dan garing. Laki-laki macam apa sih dia ini, tidak
"Nada!" "Iya, Ma? " "Temen kamu datang, ayo keluar dulu. Katanya udah sehat." Perintah Mama dari luar kamar. Tanpa perlu banyak tanya lagi, aku beringsut dari kasur dan buru-buru memakai jaket untuk menutup baju dalam yang ketat. Pintu terbuka, sosok Mama sudah tidak ada. Mungkin sudah turun untuk membuat minuman untuk mereka. Aku mengintip dari atas melihat ke arah ruang tamu. Dua punggung yang membelakangi itu sangat familiar. Arumi dan Daniel mereka datang. Aku berhati-hati menuruni anak tangga, mengeratkan pegangan pada peyangga, agar tak jatuh. Kedatanganku disambut senang oleh keduanya. Mereka langsung berdiri sesaat setelah melihatku. Arumi menuntunku duduk di sofa ruang tamu. Matanya menerawang pada wajahku, menyentuh daguku lalu memiringkannya ke kanan lalu ke kiri, setelahnya dia berucap gelisah, "Enggak ada yang lecet kan?" Pertanyaan konyol darinya membuatku merasa kesal. Dia kira aku diapakan sa