Langit terlihat biru dengan awan putih berarak menjauh ke arah selatan. Angin berembus menyejukkan menerpa wajah. Kami baru saja tiba di pelataran Mall. Mengingat Sean ingin bermain banyak hal di sana, membuat Pak Malik tak dapat menolak permintaan adiknya itu.
"Ayok!"
Aku terkejut. Bagaimana tidak, tanganku ditarik paksa mengikuti langkah si bocah. Kulihat Sean juga melakukan hal yang sama dengan menarik tangan Pak Malik. Aku memandang bocah itu sekilas, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah tampan-nya. Aku jadi ikut senang.
Apa ini? Kenapa semua orang menatap kami? Dan, kenapa pipiku jadi memanas?
Setiap orang yang kami lewati pasti berbisik-bisik tidak jelas, sebagian lagi berteriak histeris dan juga ada yang menatap tidak suka padaku.
Lah? Salahku dimana?
"Ih ganteng banget itu cowok, tapi kasian udah ada pasangannya." Samar, tapi masih bisa kudengar seorang wanita berbicara pada temannya. Tatapan sinis itu, dia arahka
Sebuah deheman terdengar, membuatku spontan melepaskan pelukan dari Arumi. Pak Malik berdiri di depan kami, aku mencari keberadaan Sean di dekatnya tapi tidak ada. Sepertinya bocah itu masih sibuk bermain. Daniel berdiri di sebelahku dia agak membungkukkan badan menghormati menghadap Pak Malik, begitu juga dengan Arumi. Entah kenapa tiba-tiba saja terasa formal seperti saat berada di kantor. "Sean bilang dia mau main sama kamu," katanya kemudian, tak lama dia kembali membalikkan badan lalu berjalan menjauhi kami. Begitu saja? Ya ampun singkat pada dan jelas. Inilah yang membuat karyawan kantor menganggapnya terlalu dingin dan menyeramkan. Aku menatap satu per satu mulai dari Arumi, rasa gugup menguasai keduanya, mereka memang belum terbiasa dengan sikap Pak Malik. Begitu pikirku. Aku izin pamit pada keduanya. Mereka mengangguk mengiyakan lalu cepat-cepat pergi dari sana. Aku rasa mereka ketakutan. Terbahak aku dibuat mereka.
Langit kemerahan itu terlihat menyilaukan mata, pertanda bahwa sudah waktunya untuk pulang. Kami menghabiskan hampir seharian ini berada di Mall. Menunggu Sean bermain. Langkah kami baru saja keluar dari lift lantai bawah, berjalan bersisian. Sean berjalan di antara kami, dia berada di tengah. Sean mengucek kedua matanya agak lama. Pak Malik, menghentikan gerakan tangan Sean, ditangkapnya kedua tangan itu dan kemudian diangkatnya bocah itu ke dalam gendongannya. "Sean, ngantuk Bang, mau pulang," gumamnya pelan. Aku yang berdiri tepat di samping Pak Malik menepuk punggung kecil itu, berusaha merilekskan dia. Sean terlalu bersemangat menghabiskan harinya untuk bermain bersama sang kakak. Mungkin, baginya hari berharga ini tidak boleh dia lewatkan begitu saja. Jarang-jarang mereka berkumpul seperti ini. Itu yang dapat kusimpulkan saat Sean merajuk tadi. Sepertinya Pak Malik tak pernah punya waktu bermain bersama sang adik
Pukul setengah sembilan aku baru saja selesai sarapan pagi bersama Mama dan Alif. Mama berdiri membawa piring kotor ke dapur sedang Alif kulihat dia sudah duduk selonjoran di ambal, pandangannya berfokus pada pada banyak buku belajar di meja. Dia terlalu bersemangat untuk meraih cita-cita. Aku tersenyum memperhatikan ketekunannya. "Mbak! Alif mau jadi dokter kalau besar nanti. Supaya bisa ngobatin orang lain. Terus misalnya Mama sama Mbak sakit bisa Alif yang tanganin, enggak perlu bayar. Gratis ... tis ... tis!" ucapan Alif setahun yang lalu, sebulan setelah kepergian Papa. Alif bertekad mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter. Dia merasa merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apapun untuk Papa hingga akhir hayatnya. Maka dari itu dia punya impian membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Tadi malam saat pulang ke rumah Mama sempat marah-marah karena aku tidak memberinya kabar dari pagi hingga malam, Alif kelihatan biasa saja, tapi se
Sepanjang jalan menuju rumah Keluarga Mahendra tak bisa kuhilangkan rasa kesal ini. Merengut sepanjang jalan dan membuat Bapak-Slamet-sopir pribadi keluarga Mahendra, begitu saat dia memperkenalkan diri sepanjang jalan, protes dan tertawa pada ekspresiku yang sangat menyeramkan itu, katanya. Biarlah, Bapak itu tidak tahu apa kalau aku sedang kesal? Aku mencebik. Pandanganku beralih keluar jendela. Mobil barusaja memasuki gerbang, kami disambut oleh satpam yang kemarin kulihat. Dia masih mengenakan pakaian yang sama. Aku heran, apa mereka tidak ganti baju, atau punya baju seragam yang lain? Pertanyaan yang bagus. Mobil berhenti tepat di depan garasi. Pak Slamet menoleh padaku sembari tersenyum, aku yakin itu kode darinya agar segera keluar dan dia bisa memasukkan mobil ke dalam garasi segera. Aku mengeratkan pegangan pada tali tas, membuka pintu, beringsut ke luar mobil. Di depan teras seorang wanita paruh baya memyambutku,
"Malik enggak pernah suka bawa perempuan ke rumah. Baru kali ini dia bawa orang asing dan dengan senang menerima keberadaan orang baru di keluarga ini. Kamu, pasti istimewa buat Malik." Benarkah? Mana mungkin, bahkan dia itu sering menertawakanku saat aku gagal, juga tak berperasaan, kejam, dingin! Akan terlalu banyak jika disebutkan satu per satu. Bagaimana bisa wanita ini mengatakan bahwa aku itu spesial bagi Pak Malik. Itu adalah sebuah kebohongan besar. Wanita itu berdiri membelakangiku menghadap jendela yang terbuka sepenuhnya, gorden berwarna putih campur emosi itu bergerak ke kanan dan kiri. Dari belakang, kulihat rambut hitam miliknya berkibar diterpa angin. Saat pandanganku beralih pada foto di atas nakas. Wanita itu berbalik, berjalan mendekat padaku. Dia menyentuh bahuku, menuntun untuk duduk di atas ranjang berukuran besar yang kutebak ini adalah kamarnya. Besar dan sangat mewah dipenuhi denga
"Ayo." Singkat ucapan yang keluar dari bibirnya. Pak Malik duduk di sebelahku agar lebih mudah membantuku berdiri. Tangan kekar miliknya berada di bawah ketiak-ku, membantu berdiri enggan sekuat tenaga. "Badan aja yang kecil, tapi berat," sindirnya tepat di telingaku. Berat katanya? Padahal sebulan yang lalu timbangan berat badanku hanya sampai 55 Kg. Berat darimana-nya coba? Aku mencebik. "Sean bantu bawa tas aja ya. Dah, Sean tunggu di bawah!" Bocah itu berlari cepat keluar kamar. Lah, jadi kami ditinggal berdua? Tak sempat kutahan kepergian Sean. Dia melesat cepat keluar kamar. Ingin rasanya berjalan sendiri. Tapi kondisi fisikku tidak akan kuat menahan berat tubuh sendirian, apalagi harus menuruni tangga. Yang ada bisa-bisa nanti celaka. Aku pasrah saja dibantu oleh makhluk es ini. Entah kenapa setiap kali berduaan bersamanya seperti ini terasa canggung dan garing. Laki-laki macam apa sih dia ini, tidak
"Nada!" "Iya, Ma? " "Temen kamu datang, ayo keluar dulu. Katanya udah sehat." Perintah Mama dari luar kamar. Tanpa perlu banyak tanya lagi, aku beringsut dari kasur dan buru-buru memakai jaket untuk menutup baju dalam yang ketat. Pintu terbuka, sosok Mama sudah tidak ada. Mungkin sudah turun untuk membuat minuman untuk mereka. Aku mengintip dari atas melihat ke arah ruang tamu. Dua punggung yang membelakangi itu sangat familiar. Arumi dan Daniel mereka datang. Aku berhati-hati menuruni anak tangga, mengeratkan pegangan pada peyangga, agar tak jatuh. Kedatanganku disambut senang oleh keduanya. Mereka langsung berdiri sesaat setelah melihatku. Arumi menuntunku duduk di sofa ruang tamu. Matanya menerawang pada wajahku, menyentuh daguku lalu memiringkannya ke kanan lalu ke kiri, setelahnya dia berucap gelisah, "Enggak ada yang lecet kan?" Pertanyaan konyol darinya membuatku merasa kesal. Dia kira aku diapakan sa
Jam sudah menunjuk angka 5 petang. Warna mendung dominan menghias di cakrawala. Sepertinya akan hujan deras. Angin berembus kencang di luar sana, buktinya pohon di depan kantor bergoyang kuat. Aku mengamati dari dalam ruangan, lewat jendela. Tanganku berhenti merapikan berkas penting di atas meja saat panggilan dari Arumi terdengar. "Kenapa, Rum?" tanyaku padanya yang berjalan mendekat dengan berlari kecil ke meja kerjaku. Dia baru selesai beres-beres dan sepertinya akan langsung pulang. "Gue buru-buru, Nad! Duluan ya, dah! Semuanya gue duluan ya," ujarnya pada kami. Rafi dan Daniel kulihat mengangguk tanpa menoleh. Mungkin masih sibuk dengan pekerjaan. Gadis itu mempercepat larinya. Memutar hendel pintu lalu membukanya. Punggung itu sudah jauh, kulihat pintu ruangan dibiarkan tetap terbuka. Daniel melesat seperti angin. Dia dadah-dadah padaku entah untuk apa. Aku mencibir dalam hati. Pasti mencari kesempatan untuk me