Anna membuka matanya, ia mendengar suara seorang pria dan seorang wanita bersahut-sahutan di bawah. Matanya yang berat itu ia paksakan untuk melihat ke arah jam dinding yang ada di seberangnya. Jam itu menunjukkan pukul 12 malam.
Ia mendorong selimutnya dan berjalan keluar dari kamar. Ia maju terus untuk mencari arah sumber suara itu. Di tengah perjalanan, ia berhenti di sebuah kamar besar dengan ranjang yang cukup besar. Di sana terdapat kasur bayi dengan pagar tinggi. Di dalamnya tertidur seorang anak laki-laki tampan yang sedang lelap-lelapnya. Ia memperhatikannya sejenak, anak laki-laki ini tetap tidak terbangun meski mendengar suara berisik. Ia sangat nyenyak. Tetapi Anna tetap harus mencari asal suara itu.
Ia turun ke lantai bawah dan memeriksa semua ruangan, tetapi tidak menemukan siapa-siapa, sampai ia akhirnya melangkahkan kakinya menuju dapur. Suara berisik itu makin terdengar dan jelas.
Sampai akhirnya ia melihat sosok dua orang yang sedang bergumul. Mereka sedang berusaha merebut sesuatu.
“Ada apa ini?” Tanya Anna dalam keadaan shock.
Pria itu berhasil merebut sesuatu dari wanita itu dan mengacungkannya padanya. “Mati kau perempuan jalang!”
Benda yang terlihat berkilau itu tertancap tepat di dada wanita itu. Ia lalu terjatuh tersungkur di lantai penuh dengan darah.
Matanya terbelalak lebar saat ia melihat Anna, anak perempuan satu-satunya yang telah menyaksikan semuanya.
--------
“Anna” panggil seseorang di luar sana. “Anna!”
Anna terbangun dari tempat tidurnya dan berusaha membuka matanya. Tubuhnya berkeringat dan tangannya dingin. Jari-jarinya sedikit gemetar untuk beberapa saat. Hal itu sering menghantuinya, bahkan hingga saat ini.
“Mimpi buruk?” Tanya Gina yang tidur di sebelahnya.
Anna menjawab dengan anggukkan. Gina langsung turun dari tempat tidur dan keluar sebentar. Tak lama, ia kembali ke kamar dengan membawa segelas air putih. “Terima kasih Gina.”
“Ternyata sampai sekarang kau masih sering bermimpi buruk.”
Anna meminum air yang dibawakan oleh Gina itu tanpa menyisakannya setetes pun. “Kenangan ini terus berulang.”
“Aku sudah bilang padamu dari dulu, bahwa hal ini tidak baik jika kau pendam, Anna. Kau butuh pertolongan. Jika kau mau, aku bisa mengantarmu ke psikolog. Kau ingat Qanita kan? Dia teman kita waktu SMA, sekarang telah menjadi psikolog yang cukup sering didatangi orang-orang."
Dari dulu sampai sekarang, Anna tidak pernah mau datang ke psikolog. Pertama, dia merasa hanya buang-buang waktu dan uang. Yang kedua, ia merasa tidak akan pernah ada yang bisa menolongnya.
“Ayo kembali tidur,” ajak Anna pada Gina. Tetapi temannya itu masih duduk dan memandangnya dengan pandangan cemas. “Aku tidak apa-apa, Gina. Tenang saja.”
Gina lalu berbaring, ia langsung mematikan lampu kamarnya dan mereka pun kembali tertidur.
-----------
Pagi-pagi sekali, sudah terdengar suara gemerisik di bawah. Suara seperti orang yang sedang menggeser-geserkan sesuatu. Suara itu membuat Anna terbangun dari tidurnya. Seketika itu juga, ia melihat terik cahaya matahari telah masuk dari jendela yang telah setengah terbuka. Udara sejuk di perkebunan itu menghambur masuk ke ruangan. Anna menggosok matanya sambil meregangkan tubuhnya, matanya masih mengantuk.
Ia menoleh ke sampingnya dan mendapati Gina sudah tidak ada. Ia menoleh ke atas laci nakas, dan mendapati ponselnya, yang di layarnya telah menunjukkan pukul setengah 7 pagi.
Setelah mengenakan sendal jepit, Anna merapikan rambutnya dan segera turun ke lantai bawah. Tangga itu langsung terhubung dengan dapur sekaligus ruang makan. Di sana, Gina sedang membuat telur dadar beserta tahu goreng untuk dimakan sebagai sarapan.
“Selamat pagi!” Sapa Anna.
“Hai, ayo turun, aku sudah membuatkan kita sarapan,” ujar Gina sambil meletakkan piring yang berisi telur dan tahu itu di meja dan membuka rice cooker di ujung meja yang telah dalam posisi warm untuk menyediakan nasi bagi mereka. “Papa! Sarapan sudah siap!”
“Oke,” kata Paman Rudy dari ruang sebelah yang digunakan sebagai gudang buah. Tak lama, ia datang dan mencuci tangannya di wastafel sebelum akhirnya bergabung dengan Anna dan Gina. Setelah berdoa makan, mereka masing-masing mengambil porsinya dan makan bersama.
“Jadi, kapan reuni kalian akan dilangsungkan?” Tanya Paman Rudy.
“Besok sore, papa. Hari ini aku dan Anna akan cek persiapan tempat di Aula Bunga.”
“Apakah tempatnya cukup?”
“Gedung itu kapasitasnya 200 orang, tentu cukup, paman.” Jawab Anna.
“Siapa yang menginisiasi reuni kalian?”
“Sebenarnya acara ini memang jadi sebuah tradisi. Setiap 15 tahun setelah kelulusan akan diadakan reuni alumni. Kebetulan jumlah siswa di sekolah kita juga tidak terlalu banyak. Hanya sekitar 80-an orang dari 3 kelas. Beserta guru-guru, mantan guru, pensiunan guru dan staf sekolah, kira-kira akan ada 100 sampai 120 orang yang hadir, jika ada yang membawa keluarga.”
“Apa seluruh alumni sudah dihubungi?”
“Sepertinya iya, paman. Kebetulan yang bertugas menghubungi kawan-kawan bukanlah kami, jadi kami tidak tau persis.”
“Oke. Semoga acara besok lancar ya.”
“Tentu, papa.” Jawab Gina sambil meminum air putihnya.
Paman Rudy segera menghabiskan sarapannya. Ia mengambil topi miliknya yang sudah robek-robek itu dari atas lemari pendingin dan memakainya. Anna mengingat topi itu yang telah ada sejak ia masih SD. Paman Rudy tidak pernah membeli topi baru. Ia selalu berkata bahwa ia tidak perlu topi baru, sebab topi dipakai untuk bekerja kasar.
“Oke gadis-gadis, aku akan pergi ke kota sekarang membawa jeruk-jeruk itu. Sampai jumpa nanti sore,” kata Paman Rudy sambil berlalu.
Anna memperhatikan Paman Rudy bersama para pekerjanya mendorong dan mengangkat peti-peti kayu yang berisi jeruk-jeruk segar itu satu per satu hingga bak mobil pick-up itu penuh. Setelah selesai, Paman Rudy dan dua orang karyawannya masuk ke mobil dan pergi dari sana, sementara pekerja yang lain kembali ke gudang, membereskan jeruk-jeruk yang tidak lulus kualitasnya kembali ke peti kayu yang telah tersedia. Setelah itu, semua orang pergi ke kebun di belakang rumah itu.
Matanya lalu berkeliling, ia memperhatikan rumah ini sejenak. Tidak ada yang berubah. Rumah ini masih seperti yang dulu saat ia pertama kali menginjakkan kaki di sini setelah kejadian mengerikan saat itu. Rumah ini adalah rumah tetangga sekaligus sahabatnya dari kecil. Gina dan ayahnya selalu baik padanya.
Ibunya Gina berteman baik dengan ibunya Anna juga. Jadi Anna pikir ini adalah hal yang bagus saat anak-anak mereka pun memiliki kedekatan satu sama lain. Ibunya Gina telah meninggal karena sakit saat mereka duduk di bangku kelas dua SMP, satu tahun sebelum ibunya Anna meninggal dunia. Ibunya Gina didiagnosis terkena kanker otak dan hanya 3 bulan setelah itu, ia meninggal dunia. Selama hidup, hampir setiap hari, ibunya Gina akan membawakan buah-buahan untuk mereka. Keluarga ini selalu baik pada keluarga Anna.
Setelah ibunya Gina juga tiada, buah-buahan itu tetap terus diantarkan oleh Gina untuk keluarga Anna. Gina juga jadi lebih sering berkunjung ke rumah Anna sejak saat itu. Kehilangan sosok ibu di masa puber adalah hal yang sangat berat.
Disanalah ibunya Anna menjadi sosok pengganti ibunya. Ibunya Anna akan membuatkan bekal makan siang untuk mereka berdua. Ia bahkan membeli kotak makanan yang sama persis dengan Anna. Ibunya Anna benar-benar kehilangan sosok sahabatnya pada saat itu. Tetapi ia sangat bersyukur bahwa sebagian dari sahabatnya itu masih ada dan tumbuh menjadi gadis yang cantik, sekaligus menjadi teman baik untuk anak perempuan satu-satunya.
Dan pada akhirnya, di rumah inilah, Anna bisa merasa nyaman. Meski ia hidup tanpa ada orang tua, di sinilah Anna merasa memiliki keluarga.
Setelah makan, mandi dan berganti pakaian, Anna pergi keluar untuk berjalan-jalan sejenak sambil menikmati hangatnya matahari pagi. Rumah lamanya itu tidak ia hiraukan lagi dan ia terus berjalan ke arah berlawanan untuk keluar dari blok itu. Ia berjalan dan berjalan, menyapa setiap orang yang bertemu dengannya sambil sesekali berhenti di titik-titik tempat yang membawa kembali memori yang lama. Ia tersenyum-senyum saat melihat pohon yang ada di ujung jalan.
Pohon besar itu dimana Anna sering bermain. Di sekitar pohon itu terdapat dua mainan ayunan dan padang rumput kecil. Di seberangnya terdapat lapangan bulu tangkis yang biasa dipakai warga untuk berolah raga. Di pohon ini juga sering dijadikan tempat orang mesum dan berpacaran saat petang karena disini tidak diberikan lampu jalan. Anna tertawa terkikik saat ia mengingat warga bernama Joni dan Magda saat ketahuan pacaran disana dan mereka akhirnya langsung dinikahkan keesokan harinya. Saat itu, pasangan muda-mudi ini baru saja lulus SMA.
“Hai Anna!” Sapa seseorang dari jauh. Wanita itu menderu sepedanya mendekatinya. Di punggungnya duduk seorang bayi yang kemungkinan usia satu tahun lebih yang tertawa kegirangan. Di belakangnya, seorang anak usia 7 tahun dan 15 tahun berboncengan dengan sepeda lainnya ikut berhenti di tempat yang sama.
Panjang umur! Kata Anna dalam hati. Magda muncul dihadapannya dan juga anak-anaknya. Mereka tampak sangat mirip dengan Joni. “Hai, kak Magda! Apa kabar?” sapa Anna dengan senag. “Wah, ini anak-anak kakak ya?”
“Iya. Mirip sekali sama Joni kan?” katanya sambil membetulkan posisi gendongan bayinya itu. “Aku mau ke pasar. Aku sudah lama tidak melihatmu. Apakah kau baru saja kemari?”
“Iya, baru kemarin.”
“Mario, Ferdi, beri salam pada tante Anna,” perintahnya pada anak-anaknya.
“Hai tante Anna,” kata anak-anak itu bersamaan.
“Hai,” kata Anna dengan tersenyum. Anna teringat di hari sebelumnya, anak-anak ini juga datang dan mendapat jatah snack yang Anna berikan untuk anak-anak di sana.
“Apa kau disini untuk reuni itu?”
“Benar, acaranya akan diadakan besok malam.”
“Wah pasti seru sekali bertemu dengan teman-teman lama.”
“Aku akan sibuk nanti, karena aku ditunjuk sebagai panitia.”
“Semoga lancar ya. Aku harus pergi sekarang...” Katanya sambil bersiap mengayuh sepedanya lagi. “Sampai jumpa.”
Magda dan anak-anaknya pun berlalu. Anna tidak menyangka bahwa pernikahan mereka akan berjalan hingga sekarang mengingat usia mereka saat menikah adalah usia yang sangat muda. Nampaknya, pernikahan mereka baik-baik saja, bahkan menghasilkan 3 anak-anak yang sehat.
Lalu kemudian, Anna teringat akan sesuatu. Ia penasaran apakah sebuah inisial yang terukir dahulu di pohon ini masih ada. Ia mencari dan mencari dan… akhirnya ia mendapatkannya. Ia melihat ukiran itu berbentuk hati, didalamnya terdapat inisial J + A. Ia mengusap ukiran itu dan bertahan di sana untuk beberapa menit.
Ia memandang ukiran itu dengan mata yang penuh kenangan dan kerinduan, tetapi tidak ada senyuman di wajahnya. Kenangan yang ada jelas bukanlah kenangan yang indah.
Tetapi jika ditanya apakah ia merindukan kenangan itu, jawabannya adalah benar, ia sangat merindukan orang-orang dalam ingatannya. Ia langsung pergi sebelum air mata turun membasahi wajahnya.
Sepulang jalan-jalan pagi, dari ujung jalan, tepat saat ia akan berbelok menuju rumah Gina, ia melihat seorang pria berdiri di rumah lama berwarna putih yang sudah rusak itu.
Pria itu tinggi, berkulit putih, ia mengenakan celana jeans dan slip on warna cokelat dengan kaus warna abu-abu tua. Anna memperhatikannya dari jauh. Untuk apa pria ini berdiri didepan rumah itu? Tanyanya dalam hati. Tak lama, pria itu mengangkat kepalanya, dan mata mereka pun akhirnya bertemu.
Anna tidak mencoba mencari tahu siapa dia meski hatinya penasaran, lalu ia masuk ke dalam dan menutup pagar rumah Gina itu dengan rapat.
Sepulang sekolah, Anna dan Gina lansung bergegas menggunakan sepeda untuk pulang. Mereka sering berlomba siapa yang akan sampai rumah duluan. Tetapi saat itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Anna sebelum sampai ke rumah. Gina melihat ke arah jam dan mengatakan bahwa ia harus segera pulang karena ibunya sakit. Seorang anak laki-laki duduk termenung di ayunan yang berada dekat pohon besar di taman itu. Anna melihatnya dan mengenalnya sebagai Jonas. Anak itu terkenal sebagai anak yang selalu terlibat dalam hal-hal yang melanggar aturan sekolah, mulai dari merokok hingga minum minuman keras. Ia telah berulang kali masuk ruang konseling dan sering mendapat peringatan. Entah dari mana ia mendapat benda-benda tersebut. Orang tua Jonas juga tidak pernah datang saat dapat panggilan di sekolah. Tetapi, Anna tidak melihat ada prilaku yang terlalu salah dari Jonas. Di sekolah, ia selalu menjadi anak yang penurut. Ia tidak pernah berkata kasar, dan sering
Air mata Anna mengering. Ia merengkuh tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa itu di pelukkannya sementara Gina menggendong Darryl, adik laki-lakinya yang masih kecil. Setelah ibunya Anna dinyatakan meninggal dunia, Anna berlari lalu memeluknya hingga ia tidak mampu meratap lagi. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Apa yang ibunya Anna lakukan hingga ayahnya tega menghabisinya? Bukankah selama ini, ibunya Anna adalah ibu yang baik bagi ayahnya yang selalu pergi melaut dan kembali hanya 2 minggu setelah berbulan-bulan berlayar? Baginya, ibunya adalah orang yang setia dan mengutamakan keluarga. Ia akan bekerja sendiri jika mereka kekurangan uang. Tetapi ayahnya, meski bukanlah orang yang jahat, ia akan ringan tangan pada istrinya jika mereka bertengkar. Sosok ayahnya adalah sosok yang sedikit menakutkan bagi Anna, dan ia paling benci jika melihat kekerasan itu terjadi pada ibunya. Anna mengambil liontin yang dikenakan ibunya itu dan memasang
Anna memeluk Darryl dengan erat dan menangis dengan pilu saat melihat kedua orang tuanya diturunkan ke dalam liang lahat yang telah di gali berdampingan itu. Hampir semua orang di kampung itu datang untuk menghadiri prosesi pemakaman kedua orang tua Anna, dan semua wanita yang ada di sana ikut menangis dalam duka. Paman Rudy berdiri di samping Anna dan mengambil Darryl dari gendongannya. Anna langsung terduduk dan memeluk nisan di atas tanah yang sudah tertumpuk di atas jenazah ibunya. Gina yang juga sangat berduka atas kejadian itu langsung berjongkok di samping Anna dan merengkuhnya dalam pelukannya. Air matanya ikut turun untuk menangisi kepergian ibunya Anna yang sudah sangat baik sekali padanya. Belum sempat Gina membalas semua kebaikan itu, Tuhan telah memanggilnya dengan cara yang diluar pemikiran semua orang. Ia terus mengelus punggung dan lengan Anna yang masih histeris dalam kemalanga
Anna menarik Gina masuk dalam toilet wanita. “Ada apa? Kenapa kau menarikku ke dalam sini?” protes Gina. Anna terlihat tidak nyaman. Berulang kali kepalanya keluar masuk, melihat seseorang yang dari jauh berjalan kian mendekat. Gina yang penasaran, ia juga langsung menoleh ke arah yang dimaksud. “Kamu menghindari siapa?” “Rian. Sedari tadi, aku tidak dibiarkan sendirian. Dia mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan ke toilet wanita.” “Sepertinya dia menyukaimu.” “Aku tau, dan dia sudah mengakuinya padaku kemarin. Tapi aku tidak suka padanya. Jadi aku tolak saja dia waktu dia ingin jadi pacarku.” “Kau tau, sepertinya, Rian tidak buruk. Dia terkenal sebagai anak yang baik dan selalu dapat peringkat teratas. Dia juga sopan. Di tambah lagi, dia juga anak orang kaya. Keluarganya punya sebuah rumah sakit dan sebuah sekolah khusus anak perempuan di kota.” “Entahlah. Aku merasa ada yang
Seharian ini, Anna menghindari bertemu dengan Jonas. Dirinya tidak bisa berhenti merasa grogi setiap kali harus berhadapan dengan anak laki-laki yang kini telah menjadi kekasihnya itu. Sepulang sekolah, Jonas mendatangi Anna yang baru saja mengambil sepedanya dari parkiran. Ingin sekali Anna kabur dari sana, tetapi Jonas meraih memegangi tangannya dengan lembut. Saat Anna melihat kalau Jonas tidak membawa sepeda, Anna lalu menawari Jonas untuk pulang bersama. Ia lalu menaiki sepedanya, tetapi Jonas malah berdiri di sana dengan bingung. “Kenapa?” tanya Anna. Wajah Jonas melembut. “Turunlah, tidak mungkin kau yang memboncengku.” “Tapi aku bisa, aku sering membonceng Gina, dia kan lebih berat darimu. Aku…” Jonas memotong omongan Anna dengan tertawa. “Kau ini lucu… Bukan seperti itu caranya. Tidak mungkin aku membiarkan kekasihku memboncengku. Di mana harga diriku?”
Setelah pemakaman ibunya, mereka akhirnya pulang ke rumah. Gina tidak berhenti melepas genggaman tangannya dari tangan sahabatnya yang sedang berduka cita itu sambil memeluk Darryl digendongannya. Anak kecil itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia tertidur setelah acara pemakaman itu selesai dan belum bangun hingga sekarang. Di sana, Gina bisa melihata air mata Anna telah mengering, matanya bengkak, dan wajahnya terlihat kusut. Setelah sampai di rumah itu, paman Rudy memarkirkan mobilnya di luar tanpa memasukkannya ke dalam garasi. Mereka lalu melompat ke luar satu per satu dari dalam mobil itu. “Aku akan mengurus Darryl, kau bisa beristirahat,” ucap Gina pada sahabatnya itu. Anna menunggu hingga semua orang masuk saat matanya tertuju pada rumah yang menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi dua hari sebelumnya. Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul dari ujung jalan. Mobil itu ter
Di hari Sabtu, Anna telah bersiap-siap di apartemennya. Rian bilang, ia ingin makan malam di sebuah restoran mewah yang ada di lantai 5 sebuah mall. Ketika Anna menolak untuk makan di tempat seperti itu, Rian tidak memberinya banyak pilihan saat mengatakan kalau meja mereka telah dipesan dari jauh-jauh hari. Mau tidak mau, Anna akhirnya mengikuti saja, dan ia harus mengenakan dress. Ia memakai gaun warna beige selutut dan heels setinggi 5cm. Ia melihat dirinya di cermin dan menundukkan kepalanya, ia belum bisa membayangkan seperti apa makan malam bersama orang yang selama ini selalu dihindari olehnya itu. Setelah menerima kabar dari Rian kalau ia ada di lobby tower apartemen disebelah, Anna segera turun menggunakan lift, bermaksud untuk menggunakan junction di lantai bawah di sana agar ia terlihat seperti turun dari apartemen sebelah. Ia masih tidak ingin Rian tahu di mana sebenarnya ia tinggal. Langkahnya terhenti saat melihat Jonas duduk di sebuah
Hari itu menjadi hari yang luar biasa mengerikan untuk Anna dan Jonas. Kata Gina, anak laki-laki itu tidak turun sekolah hari ini setelah dipukuli oleh ibunya hingga tubuhnya dipenuhi bekas cambukan. Awalnya, Anna mencari-carinya ke rumahnya, tetapi tidak ada jawaban, sehingga ia kembali ke rumah dengan terlambat setelah cukup lama menunggu kalau-kalau Jonas muncul. “Apa dia pergi ke rumah tetangga yang lain?” Tanya Gina. Anna mengangkat bahunya sambil menoleh ke belakang di mana jalanan dan perumahan itu terasa sangat sepi sekali. Sebelum mereka berpisah, tiba-tiba seseorang yang tidak diharapkan muncul. Ayahnya sedang duduk sambil minum minuman keras di ruang tamu. Di ruang tengah, terlihat ibunya yang tengah menangis dengan wajah yang memar. “Kenapa kau pulang terlambat, Anna?” Tanya ayahnya dengan dingin. Anna hanya berdiri di pintu yang setengah terbuka itu dengan wajah ket
Satu tahun kemudian… Matahari pagi membangunkan Anna dan Jonas yang tertidur lelap di atas kasur di sebuah ruangan yang bukan milik mereka. “Selamat pagi sayang,” kata Jonas pada Anna sambil menggosok matanya. “Selamat pagi,” jawab Anna dengan mengusap wajahnya. Keduanya terlihat kusut setelah melalui malam yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka pulang ke rumah Paman Rudy bersama juga dengan Gina dan mereka mengobrol hingga pukul 2 dini hari. Anna menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika Anna hendak turun untuk membuat kopi untuk Jonas, Jonas tiba-tiba menghentikannya. “Aku ingin menyapa Joanna dulu,” kata Jonas. Anna tersenyum lalu kembali duduk di samping Jonas yang segera duduk dan mengarahkan wajahnya pada perut Anna yang kini terlihat membuncit karena telah ada sosok manusia kecil yang bermukim dalam perutnya selama 5 bulan ini. “Hai Joanna, ini Papamu. Selamat pa
Tiga bulan kemudian… Jreng… suara gitar yang tak beraturan terdengar dari sebuah ruangan yang ada di tengah rumah tersebut diikuti oleh suara anak-anak kecil tertawa cekikikan, menandakan kalau para pelaku keributan itu lebih dari satu orang. Jonas mencari anak yang bernama Dina itu ke ruangan yang dipenuhi dengan instrumen gitar dan menemukan Dina, saudara kembar Dina yang bernama Doni, dan Vika sedang memainkan gitar dengan sembarangan. “Hayo, kalian sedang apa?” tanya Jonas sambil bersedekap. Dina dan Vika terkejut dan mereka berdiri dengan tegang, sementara Doni langsung buru-buru meletakkan gitar itu pada stand yang ada di dekat mereka. Wajah mereka terlihat cemas dan takut dan sambil melirik satu sama lain. Jonas melepas tangannya dan berjongkok, “Doni, Dina, kalian sudah dijemput oleh mama kalian.” Doni dan Dina langsung sumringah dan menghampiri Jonas, menyalaminya dan pamit padanya secara bersamaan, “bye
Satu minggu setelah pernikahan Anna dan Jonas, semua orang akhirnya kembali ke Balikpapan. Jonas dan Darryl sempat cemas pada keadaan ayahnya karena beliau sempat berkata sakit pinggang dan hampir tidak bisa berjalan, sehingga harus menggunakan kursi roda untuk bisa turun dari pesawat. Tanpa menunda, Jonas dan Anna langsung membawa Paman Jonathan ke rumah sakit terdekat. Paman Jonathan menerima perawatan di sana kurang lebih selama satu minggu untuk memulihkan kondisinya yang kelelahan akibat acara. Anna sempat kuatir pada Paman Rudy juga, tetapi lelaki tangguh itu jelas tidak apa-apa dan menuruhnya fokus pada Paman Jonathan yang terlihat lebih lemah dari biasanya. Di rumah sakit, Darryl, Jonathan dan Michelle akan menjaga ayahnya secara bergantian tanpa kenal lelah. Sedangkan Anna akan membawakan makanan dan pakaian ganti untuk mereka setiap harinya. Ketika Paman Jonathan diizinkan pulang, Jonas menyuruh Michelle untuk menyiapkan kamar untuk
“Kenapa wanita itu bisa ada di sini?” tanya Anna saat melihat nyonya Vina duduk di sana seraya menampilkan wajah angkuhnya dan dengan gaun pendek yang tidak cocok dengan usianya. Seketika, perasaan bahagianya langsung sirna, digantikan dengan perasaan takut yang sama sekali tidak menyenangkan. Dengan pakaian minim itu, wanita ini lebih mirip seorang PSK dari pada orang kaya. Nyonya Vina menoleh pada mereka. Jelas, ada yang salah pada wanita ini. Anna dan Jonas sedikit tercengang dengan penampilan Nyonya Vina yang terkesan kusut dan berantakan. Rambutnya terlihat memutih, kerutan di wajahnya terlihat tambah banyak dan beliau terlihat lebih kurus. Nyonya Vina berjalan ke arah Anna dan Jonas. “Halo…” “Halo,” jawab Anna. “Jangan kuatir, oke?” kata Jonas mencoba menenangkan Anna, lalu memalingkan pandangannya pada Nyonya Vina. “Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” Nyonya Vina menunduk untuk menelan salivanya, la
10 hari kemudian Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Konsep yang mereka pilih adalah konsep pernikahan di taman berumput hijau yang menghadap laut, di mana taman itu masih ada dalam area hotel yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang dan lampu-lampu temaram yang bergelantungan. Awalnya Anna ingin menikah di pantai, tetapi urung karena ada potensi gelombang tinggi. Jonas melihat kalau taman itu bukanlah tempat yang buruk, dan memutuskan memilih menikah di sana. Venue utama tersebut terbagi dua. Sebelah kanan digunakan untuk resepsi, sebelah kiri digunakan untuk acara pernikahan. Di area acara pernikahan sendiri telah tersusun kursi-kursi yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan, dan menyisakan satu jalan di tengah yang akan dilalui oleh pengantin Acara berlangsung tepat pukul 5 sore menjelang senja yang akan dilanjutkan dengan makan malam di area resepsi yang terdapat gazebo yang digunakan sebagai panggung untuk para perf
Tiga Bulan Kemudian Singkat cerita, Anna shock mendengar berita kepergian Rian. Namun, saat itu, dia sudah jauh lebih tegar. Anna begitu menyesal karena ia tidak bisa menemui Rian untuk terakhir kalinya dan berkata kalau ia telah benar-benar memaafkan Rian. Pak Hendri dan juga Silvanna tidak bersedia memberitahu di mana Rian dimakamkan. Bahkan setelah Anna memaksa, mereka tetap bungkam. “Ini adalah amanat Rian pada kami,” kata Silvanna saat menjelaskan kenapa mereka tidak memberitahunya. “Rian tidak ingin kau temui lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu.” Hal itu membuat hati Anna jadi penuh sesak karena rasa bersalah. Namun Silvanna benar, Anna harus melanjutkan hidupnya dengan mengingat seluruh kebaikan Rian. Kejadian ini membuka mata hati Anna, bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan hati yang jahat. Tanpa sadar, Rian telah mengajarkan Anna banyak hal. Bahwa kata “jahat” hanyalah sebuah kata yang digunakan orang-orang
Orang yang pertama tahu tentang lamaran Jonas adalah Rona yang kebetulan mampir ke apartemen Gina untuk menjenguk Anna. Tetapi Anna menyuruhnya untuk tidak memberitahukannya pada Gina karena Anna akan memberitahukan mereka malam nanti. Jonas kemudian memberitahu Michelle dan ayahnya kalau dia dan Anna telah bertunangan dan disambut bahagia oleh mereka, meski Paman Jonathan akhirnya lupa lagi kalau Anna dan Jonas sekarang sudah dewasa dan akan menikah. “Jonas, kau kah itu? Kenapa badanmu besar sekali?” kata Paman Jonathan sambil memperhatikan Jonas dengan kaca matanya yang tebal. “Papa, aku sudah dewasa sekarang. Ini calon istriku,” kata Jonas saat Anna melambaikan tangannya pada Paman Jonathan. Di mata Paman Jonathan, mereka selalu menjadi anak SMP yang lugu. Jonas dan Anna hanya tertawa melihat Paman Jonathan yang kebingungan lalu mengingat lagi kalau mereka kini sudah dewasa. Anna merahasiakan ini semua sampai mereka dapat berkumpul bersama-
Buat kalian yang bingung guys kenapa bab ini diulang, ada plot hole yang harus aku perbaiki mulai bab 48. Jadi ini ngga diulang ya guys, tapi digeser dikit heheh. Enjoy… Tidak ada satu pun informasi yang didapat Anna dan Jonas, para perawat dan tenaga medis, semuanya berkata tidak tahu. Ketika Anna dan Jonas kembali ke apartemen, Anna memutuskan untuk menelepon Pak Hendri dan Silvanna. Di sini, Anna sudah tahu, kalau semua orang bersepakat terhadap sesuatu. Hingga kini, Anna tidak tahu Rian masih hidup atau tidak. Bukannya mendoakan dan meragukan kuasa Tuhan, tetapi tubuh Rian pasti terlalu lemah untuk bertahan tanpa sokongan tenaga medis dan oksigen. Saat ini, Anna berdiri di dekat pintu balkon, sedang melamun dengan pikiran yang kosong. Jonas muncul di belakangnya sambil membawa dua gelas cokelat panas. Dia menyerahkan salah satu gelas yang ada di tangannya dan Anna menyambut gelas
“Kalau kau mau, kita tidak usah masuk. Kita bisa lihat dia dari luar,” ucap Jonas sambil menggenggam tangan Anna dengan erat. Begitu mendengar bahwa Rian telah sadar, Anna dan Jonas memutuskan untuk datang ke rumah sakit keesokan harinya. Anna berhenti sebentar tepat di depan ruang ICU itu. Napasnya menderu dengan cepat. Jonas memperhatikannya dan mempererat genggamannya. “Apa kau baik-baik saja? Kita bisa pulang jika kau berubah pikiran.” Anna menggeleng, mencoba menepis gejala serangan panik yang mulai datang. “Aku ingin masuk.” Jonas lalu menunggu di luar tepat di dekat jendela kamar Rian. Ia memperhatikan Rian yang sudah kurus kering itu dengan mata memicing, urat-urat lehernya mencuat di balik kulitnya dengan jelas. Tangannya terkepal waspada. Dengan perlahan, Anna berjalan mendekati Rian yang terbaring lemah dan masih menggunakan oksigen. Bibirnya terlihat kering dan wajahnya masih pucat. Di sebelahnya terlihat Silvanna yang sedang membe