Anna memeluk Darryl dengan erat dan menangis dengan pilu saat melihat kedua orang tuanya diturunkan ke dalam liang lahat yang telah di gali berdampingan itu.
Hampir semua orang di kampung itu datang untuk menghadiri prosesi pemakaman kedua orang tua Anna, dan semua wanita yang ada di sana ikut menangis dalam duka.
Paman Rudy berdiri di samping Anna dan mengambil Darryl dari gendongannya. Anna langsung terduduk dan memeluk nisan di atas tanah yang sudah tertumpuk di atas jenazah ibunya.
Gina yang juga sangat berduka atas kejadian itu langsung berjongkok di samping Anna dan merengkuhnya dalam pelukannya. Air matanya ikut turun untuk menangisi kepergian ibunya Anna yang sudah sangat baik sekali padanya.
Belum sempat Gina membalas semua kebaikan itu, Tuhan telah memanggilnya dengan cara yang diluar pemikiran semua orang.
Ia terus mengelus punggung dan lengan Anna yang masih histeris dalam kemalangan yang ia alami. Sahabat baiknya itu telah kehilangan ayah dan ibunya dengan cara yang pilu tanpa meninggalkan pesan apapun.
Dari jauh, Gina bisa melihat seseorang berpakaian hitam yang berdiri dekat pohon Kamboja yang bunganya banyak berguguran di bumi.
Wajahnya terlihat muram dan sedih, pandangannya tertuju pada Anna, dan dia tidak bisa menahan air matanya yang ikut terjatuh.
Jonas menggeleng pada Gina sebelum menutup matanya dan berbalik, lalu berjalan menjauh meninggalkan Anna di sana yang tidak menyadari kehadirannya.
Gina sudah tahu apa yang akan Jonas lakukan terhadap sahabatnya. Dan ia tidak menahan kepergian Jonas dari sana.
Dua minggu setelah kejadian mengerikan itu, Anna akhirnya masuk sekolah. Saat kejadian itu, Paman Rudy dan Gina menolong Anna untuk membawa seluruh perlengkapan Anna dan Darryl untuk dipindah ke rumah mereka. Gina dan Anna menempati kamar yang sama. Rumah itu tidak mungkin lagi ditempati Anna dan juga Darryl sejak dipasang garis polisi.
Sejak kepergian orang tuanya yang tragis, Anna menjadi sedih dan pemurung. Wajahnya tidak lagi ceria seperti dulu. Meski begitu, sepulang sekolah, ia tetap berusaha mengurus Darryl dengan baik.
Anna begitu terguncang dengan apa yang terjadi. Bahkan para tetangga saja tidak mampu mengulang cerita ini jika ada jurnalis atau wartawan yang hendak meliput. Sebagian dari ibu-ibu menangis jika mengingat hal tersebut.
Mereka sangat kasihan pada Anna dan Darryl yang harus kehilangan kedua orang tua sekaligus dengan cara yang amat tragis.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanya paman Rudy pada Anna sambil memberikan kotak bekal pada Gina dan Anna. “Kau bisa masuk sekolah minggu depan, kalau kau mau. Tidak perlu buru-buru.”
“Tidak paman, aku baik-baik saja. Lagi pula, kami sudah kelas 3. Sekolah kami akan berakhir sebentar lagi. Apakah paman tidak kerepotan menjaga Darryl?”
“Tidak sama sekali. Hari ini seseorang dari keluargaku datang, ia akan ku pekerjakan menjadi baby sitter disini untuk menjaga Darryl dan mengurus rumah ini.”
“Paman, aku tidak punya uang, aku…”
“Jangan pikirkan itu, Anna. Keluargamu sudah banyak menolongku saat kami krisis keuangan dulu. Biaya pengobatan ibunya Gina sebagian besar dibayar oleh ibumu. Setidaknya, inilah yang bisa kulakukan untuk membalas jasanya.”
Anna menahan air matanya, ia menghapus air mata yang terlanjur jatuh. “Terimakasih paman.” Ia terharu pada sikap paman Rudy.
“Pergilah,” ucap paman Rudy sambil menggendong Darryl yang sedang minum susu.
Dengan sepeda, Anna dan Gina akhirnya sampai di sekolah. Hari itu berjalan seperti biasa. Anna pun akhirnya sadar kalau ia banyak ketinggalan pelajaran. Saat jam istirahat, ia mencari Jonas dan menemukannya di pojok kelas sedang serius mengerjakan sesuatu di bukunya.
“Hai Jonas,” ucap Anna.
“Hai,” jawab Jonas singkat.
Anna berdiri dengan canggung didepan Jonas.
Jonas mengangkat wajahnya, ia terlihat sedikit kesal. “Ada yang bisa ku bantu?”
“Aku… Aku… ingin...” Anna menjadi bingung. Jonas tidak bersikap seperti biasanya.
“Aku sedang sibuk.”
“Oh. Oke.” Anna melangkah mundur dan akhirnya melihat Rian yang berdiri tepat dibelakangnya. Anak laki-laki ini mendatangi Anna lagi.
“Hai Anna.”
“Hai, Rian. Bisakah aku meminjam buku catatanmu? Aku banyak ketinggalan pelajaran.”
“Tentu!”
Anna mengikuti Rian sampai ke tempat duduknya. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan seluruh buku catatan yang ia bawa pada hari itu untuk Anna pinjam. Anna mengambil buku-buku itu dan mengejek Rian dalam hati karena tulisan cakar ayam besar-besar itu sangat buruk dan sulit untuk dibaca, tidak seperti tulisan Jonas yang lebih rapi. Anna mengucapkan terima kasih dan segera kembali ke tempat duduknya. Tetapi Rian mengikutinya.
“Apakah kau sibuk sepulang sekolah?” Tanyanya pada Anna.
“Aku harus menjaga adikku.”
“Bisakah kau pergi bersamaku. Kita bisa makan siang bersama.”
Anna menggeleng. “Aku tidak bisa.”
“Ayolah sebentar saja. Aku sudah meminjamkanmu bukuku. Setidaknya kau harus balas budi.”
“Dia bilang kalau dia tidak bisa,” jawab seseorang dari belakang. Anna bisa melihat Jonas datang mendekat.
Raut wajah Rian berubah, tidak ada senyuman yang terlihat diwajahnya. Mereka bukan tidak akur, tetapi mereka tidak pernah bertegur sapa satu sama lain. Rian lalu pergi dari sana dengan wajah kesal.
“Kalau kau tidak menyukai Rian, kau harus menjauh darinya. Jagalah dirimu baik-baik.” Jonas lalu pergi keluar dari kelas itu. Itulah kali terakhir Jonas berbicara pada Anna.
------------
Sepanjang perjalanan pulang dari restoran itu, Anna kebanyakan melamun. Kenangan tentang Jonas terus saja berputar dikepalanya. Sampai saat ini, ia belum menemukan jawaban kenapa Jonas meninggalkannya begitu saja disaat-saat tersulit dalam hidupnya.
Meski Jonas sudah beberapa kali muncul dihadapannya, ia belum ingin menanyakan hal itu padanya.
Anna mengantarkan Darryl sampai ke asrama. Dan bertemu dengan satpam di sana untuk membicarakan pria aneh yang bertemu dengan Darryl. Ia bahkan memberi tip lebih pada satpam agar pria misterius itu tidak diizinkan menemui adiknya lagi. \Anna memeluk adiknya lalu segera kembali ke apartemennya di kota.
Sesampainya di sana, ia meletakkan tubuhnya dan mulai merenung, memikirkan apa yang dahulu pernah terjadi diantara Jonas dan Anna.
Pikiran Anna menampilkan kejadian masa lalu yang hingga kini membuat Anna akan tersipu malu jika mengingatnya. Jonas selalu menjadi orang yang menarik baginya. Tidak ada yang kurang dalam diri Jonas. Baginya, dia adalah pria sempurna, sebelum... Sebelum pria itu meninggalkannya tanpa kejelasan.
Anna mengingat saat mereka mengukir nama mereka di pohon besar itu, Jonas mengeluarkan penggaris besi yang panjang dan membuat huruf J+A ditengah gambar hati yang ia buat.
Di sanalah tempat dimana Jonas dan Anna sering bertemu sepulang sekolah. Di sanalah tempat Jonas pertama kali mengutarakan perasaan padanya. Di sana juga tempat Anna pertama kali mencium Anna. Meski hanya di pipi, tetapi ia tidak dapat melupakan kali pertama seorang lawan jenis menyukainya.
Ia menutup wajahnya yang seketika memerah. Astaga, aku ini kenapa? Anna penasaran, kira-kira apa saja yang akan terjadi selanjutnya? Pikiran itu terus berkecamuk bertepatan saat ponsel Anna berbunyi.
Ia membuka ponselnya lalu memperhatikan beberapa chat masuk. Ada 5 pesan dari Rian yang sedari kemarin tidak ingin dibaca olehnya. Dan ada 2 pesan dari Jonas yang baru saja masuk. Anna memutuskan untuk membalas pesan Jonas.
Jonas: Kita bertemu lagi. Apakah ini suatu kebetulan?
Anna : Entahlah. Bagaimana menurutmu?
Jonas : Apa kau menyukai kebetulan itu?
Anna : Tapi aku tidak menyukainya.
Anna menaruh ponselnya di atas meja belajarnya sementara ia mengalihkan perhatiannya dengan melipat pakaian yang baru saja kering untuk di letakkan di dalam lemari.
Seketika, Gina datang ke apartemennya. “Hai Anna.”
Anna melihat Gina dengan mulut terbuka. Wajah Gina mengkerut, lalu bibirnya cemberut. “Kau pasti lupa kalau aku menginap malam ini bukan?”
Gina lalu meletakkan soda, pop corn, dan berbagai snack yang akan mereka makan bersama malam ini.
“Sampai kapan kau akan terus menggangguku, Gina?”
“Sampai kau akhirnya menikah dan memiliki anak.”
“Kau sendiri belum menikah!”
“Maka dari itu, aku akan terus mengganggumu.”
Anna menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Gina terkadang bisa menjadi sangat bersemangat. Ia cepat menganggap rumah ini seperti miliknya sendiri dan berganti pakaian yang lebih santai.
Keesokkan harinya, Gina dan Anna memulai aktifitas mereka dengan berlari pagi. Makan bersama dan sore harinya, mereka pergi ke sebuah café yang tidak jauh dari apaertemen Gina untuk makan malam.
Begitu makanan yang dipesan sampai, mereka langsung makan dengan lahapnya.
“Omong-omong,” kata Anna di sela-sela makannya. “Aku bertemu dengan Jonas lagi kemarin.”
Gina mengangkat alisnya. “Di mana? Lalu apa yang terjadi?”
“Saat aku membawa Darryl ke gerai pizza. Kami hanya mengobrol sebentar.”
“Apa dia bertemu Darryl juga? Dia bilang apa?”
“Tidak banyak. Dia hanya menanyakan sedang apa disana dan apa Darryl sehat. Tapi dia juga mengirim pesan padaku. Dia bilang kalau dia senang bertemu denganku.”
Gina mengangguk-angguk sambil mengunyah makanannya.
“Dia muncul lagi di hidupku,” ujar Anna dengan nada pelan sebelum ia mengambil satu sendok makanannya dan memasukkannya ke mulutnya.
“Jangan segampang itu kau menerima dia kembali dalam hidupmu meski itu hanya berteman! Ingatkah kau dulu bagaimana dia langsung meninggalkanmu tanpa alasan?”
“Entahlah. Aku tidak tahu kenapa setiap melihatnya aku selalu gugup. Mungkin karena aku sudah lama tidak bertemu dengannya.” Kata Anna sambil memandang botol sambal yang ada di sampingnya. “Kau ingat kan kalau kenangan antara aku dan Jonas tidak hanya sampai ketertarikan fisik saja.”
“Apa maksudmu?”
“Saat aku dipikuli oleh ayahku, biasanya kau yang akan berada di sisiku, bukan?”
“Iya.”
“Tetapi saat ibumu sakit, aku tidak bisa mencurahkan isi hatiku padamu dalam kondisi seperti itu. Jonaslah yang ada untukku, Gina. Ia akan datang ke rumahku dan mencoba menyembunyikanku di rumahnya jika ayahku meradang, agar aku tidak dipukuli lagi.”
Secercah rasa bersalah muncul di wajah Gina. Mereka memang sahabat, tapi ia tidak selalu ada bagi Anna setelah ibunya sakit keras. Waktu yang Gina miliki sangat terbatas kala ia harus menjaga ibunya yang sedang sakit.
“Anna, aku minta maaf,” ucap Gina dengan wajah sedih.
“Tidak, ini bukan salahmu. Aku hanya tidak mengerti mengapa Jonas yang begitu protektif padaku dan sangat melindungiku bisa melepasku begitu saja di saat yang tidak tepat. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?”
“Ku yakin tidak. Tetapi kita tidak mengetahui apa yang terjadi pada Jonas saat itu, bukan?”
“Menurutmu, apa dia punya alasan untuk itu?”
“Bisa jadi.”
“Aku masih tidak mengerti dan aku perlu jawaban.”
Gina terlihat sedikit frustasi. “Tetap saja dia meninggalkanmu, Anna. Tidak ada yang bisa membantah fakta itu. Aku tidak menyukai kemunculannya sekarang, terlalu lama.”
Anna mengangkat bahunya pertanda ia tidak tahu.
Lalu ia mengalihkan pembicaraannya. “Ngomong-ngomong, di dekat sini ada kedai kopi yang baru buka. Aku ingin ke sana.”
“Aku akan menemanimu,” jawab Anna sambil terus makan.
Setelah selesai makan malam, Anna dan Gina berjalan menyusuri jalanan yang banyak terdapat restoran itu hingga sampai ke sebuah kedai kopi kecil yang saat itu sedang ramai.
“Kedai ini selalu penuh,” kata Gina. “Aku rasa kita tidak akan mendapat tempat duduk.”
Lalu Anna melayangkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari meja kosong. Tetapi pandangannya itu tertuju pada seseorang yang sedang main gitar di panggung band yang sedang live. Band itu baru selesai bermain dan mereka bersiap untuk turun.
Gitaris itu berdiri, memasukkan gitarnya ke dalam soft case-nya dan segera keluar dari area tersebut. Ia membawa gitarnya ke belakang, tepat di sebuah lemari yang terpasang dekat meja kasir dan memasukkannya.
Anna memperhatikan gitaris itu dengan mata yang merindu, ia teringat kalau Jonas juga sering memainkan gitar untuknya degan lagu-lagu nostalgia Mr. Big. Anna mengkhayal kalau gitaris itu adalah Jonas.
Tapi benar saja. Memang Jonas-lah yang sedang memasukkan gitar itu. Ia lalu membalikkan tubuhnya dan mata mereka pun akhirnya bertemu lagi untuk kesekian kalinya.
Gina yang juga menyadari kehadiran Jonas dengan cepat menarik tangan Anna untuk pergi dari sana. Tetapi Jonas memanggil nama Anna. Anna langsung menghentikan langkah Gina dan berbalik tepat saat ponsel Gina tiba-tiba berbunyi dan ia langsung mengangkat telepon yang masuk.
“Kau di sini,” kata Jonas. “Apa kau ingin minum kopi?”
“Tidak.” Jawab Anna singkat.
Gina memasukan ponselnya ke dalam kantongnya. “Anna aku harus pulang sekarang. Aku tiba-tiba ada pekerjaan.” Ia melihat Jonas sekilas. “Bye, Jonas.”
Jonas membalasnya dengan mengangguk. Setelah Gina pergi, Jonas maju selangkah mendekati Anna. “Apa kau punya waktu? Bagaimana kalau kau minum kopi bersamaku?”
Anna menggeleng, ia berusaha menghindari pertemuan yang lebih intens dengan Jonas, tetapi Jonas memaksanya. Ia menarik tangan Anna dengan lembut. Dan anehnya, tubuhnya hanya pasrah dan menurut.
Ia lalu mengikuti Jonas ke tempat duduk yang baru saja ditinggalkan oleh pelanggan. Ia memanggil waitress untuk membersihkannya agar Anna bisa duduk dengan leluasa dan memesan kopi terbaik yang banyak disukai oleh para pelanggan untuk Anna.
“Terima kasih,” kata Anna pada waitress tersebut. Anna melihat sekilas nama waitress itu, namanya Elis.
“Apa ada yang diperlukan lagi, bos?” Kata Elis pada Jonas.
“Back to work,” ujarnya pada waitress itu. Ia undur diri dan segera kembali ke pekerjaannya.
Anna mengangguk sambil menyeruput kopinya.
“Anna, apa pekerjaanmu sekarang?”
“Aku bekerja di sebuah sekolah.”
“Apa kau seorang guru?”
“Bukan. Aku bendahara yayasan. Bagaimana denganmu?”
“Ini kedai kopiku.”
Anna teringat saat pegawai tadi memanggil Jonas dengan sebutan bos. Ia pun mengangguk tanpa melepas pandangannya dari Jonas.
“Kita berdua memiliki pekerjaan yang baik sekarang,” kata Anna.
Keheningan menguasai mereka sekarang. Anna terlihat gundah, sementara Jonas terlihat sedikit gelisah. Ia berusaha mencari kata-kata yang pantas ia ucapkan pada wanita ini tetapi ia sulit mendapatkannya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi di masa yang lalu, tidak mudah bagi Anna untuk bisa bersikap seperti biasa pada Jonas.
Berulang kali Jonas mengutuk dirinya sendiri dan menyesali apa tindakannya. Tidak seharusnya ia meninggalkan Anna, tidak seharusnya ia bersikap acuh pada Anna saat keberadaannya adalah yang paling dibutuhkannya pada saat itu.
Tetapi Jonas tak mampu menahan diri saat melihat wajah Anna, wajah yang ia rindukan selama ini. Saat ini, Jonas berjanji pada dirinya untuk berjuang mendapatkan Anna dengan cara yang sopan dan pantas untuknya.
“Jonas, aku harus pulang,” kata Anna lalu berdiri dari kursinya untuk bersiap pergi.
“Aku akan mengantarmu,” ujar Jonas saat kafe akhirnya benar-benar tutup, dan para karyawan berisap untuk pulang.
“Tidak perlu. Apartemenku dekat, aku bisa jalan kaki.”
“Kalau begitu, aku akan berjalan kaki denganmu.”
Jonas mengambil jaket kulitnya dan mengenakannya. Mereka lalu berjalan bersama sampai di depan pintu apartemen Anna.
“Terima kasih,” kata Anna pada Jonas.
“Kalau begitu, aku pamit.” Kata Jonas.
Anna kembali ke apartemennya. Ia melihat gitar akustik senar baja miliknya yang telah lama menganggur di samping pianonya. Ia mengambilnya, duduk di sofa dan mulai memainkan lagu lama yang dulunya sering ia mainkan bersama Jonas. Ia sangat merindukan semua kenangan bersama Jonas. Ia juga sangat merindukan pria itu.
--------------
Anna menarik Gina masuk dalam toilet wanita. “Ada apa? Kenapa kau menarikku ke dalam sini?” protes Gina. Anna terlihat tidak nyaman. Berulang kali kepalanya keluar masuk, melihat seseorang yang dari jauh berjalan kian mendekat. Gina yang penasaran, ia juga langsung menoleh ke arah yang dimaksud. “Kamu menghindari siapa?” “Rian. Sedari tadi, aku tidak dibiarkan sendirian. Dia mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan ke toilet wanita.” “Sepertinya dia menyukaimu.” “Aku tau, dan dia sudah mengakuinya padaku kemarin. Tapi aku tidak suka padanya. Jadi aku tolak saja dia waktu dia ingin jadi pacarku.” “Kau tau, sepertinya, Rian tidak buruk. Dia terkenal sebagai anak yang baik dan selalu dapat peringkat teratas. Dia juga sopan. Di tambah lagi, dia juga anak orang kaya. Keluarganya punya sebuah rumah sakit dan sebuah sekolah khusus anak perempuan di kota.” “Entahlah. Aku merasa ada yang
Seharian ini, Anna menghindari bertemu dengan Jonas. Dirinya tidak bisa berhenti merasa grogi setiap kali harus berhadapan dengan anak laki-laki yang kini telah menjadi kekasihnya itu. Sepulang sekolah, Jonas mendatangi Anna yang baru saja mengambil sepedanya dari parkiran. Ingin sekali Anna kabur dari sana, tetapi Jonas meraih memegangi tangannya dengan lembut. Saat Anna melihat kalau Jonas tidak membawa sepeda, Anna lalu menawari Jonas untuk pulang bersama. Ia lalu menaiki sepedanya, tetapi Jonas malah berdiri di sana dengan bingung. “Kenapa?” tanya Anna. Wajah Jonas melembut. “Turunlah, tidak mungkin kau yang memboncengku.” “Tapi aku bisa, aku sering membonceng Gina, dia kan lebih berat darimu. Aku…” Jonas memotong omongan Anna dengan tertawa. “Kau ini lucu… Bukan seperti itu caranya. Tidak mungkin aku membiarkan kekasihku memboncengku. Di mana harga diriku?”
Setelah pemakaman ibunya, mereka akhirnya pulang ke rumah. Gina tidak berhenti melepas genggaman tangannya dari tangan sahabatnya yang sedang berduka cita itu sambil memeluk Darryl digendongannya. Anak kecil itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia tertidur setelah acara pemakaman itu selesai dan belum bangun hingga sekarang. Di sana, Gina bisa melihata air mata Anna telah mengering, matanya bengkak, dan wajahnya terlihat kusut. Setelah sampai di rumah itu, paman Rudy memarkirkan mobilnya di luar tanpa memasukkannya ke dalam garasi. Mereka lalu melompat ke luar satu per satu dari dalam mobil itu. “Aku akan mengurus Darryl, kau bisa beristirahat,” ucap Gina pada sahabatnya itu. Anna menunggu hingga semua orang masuk saat matanya tertuju pada rumah yang menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi dua hari sebelumnya. Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul dari ujung jalan. Mobil itu ter
Di hari Sabtu, Anna telah bersiap-siap di apartemennya. Rian bilang, ia ingin makan malam di sebuah restoran mewah yang ada di lantai 5 sebuah mall. Ketika Anna menolak untuk makan di tempat seperti itu, Rian tidak memberinya banyak pilihan saat mengatakan kalau meja mereka telah dipesan dari jauh-jauh hari. Mau tidak mau, Anna akhirnya mengikuti saja, dan ia harus mengenakan dress. Ia memakai gaun warna beige selutut dan heels setinggi 5cm. Ia melihat dirinya di cermin dan menundukkan kepalanya, ia belum bisa membayangkan seperti apa makan malam bersama orang yang selama ini selalu dihindari olehnya itu. Setelah menerima kabar dari Rian kalau ia ada di lobby tower apartemen disebelah, Anna segera turun menggunakan lift, bermaksud untuk menggunakan junction di lantai bawah di sana agar ia terlihat seperti turun dari apartemen sebelah. Ia masih tidak ingin Rian tahu di mana sebenarnya ia tinggal. Langkahnya terhenti saat melihat Jonas duduk di sebuah
Hari itu menjadi hari yang luar biasa mengerikan untuk Anna dan Jonas. Kata Gina, anak laki-laki itu tidak turun sekolah hari ini setelah dipukuli oleh ibunya hingga tubuhnya dipenuhi bekas cambukan. Awalnya, Anna mencari-carinya ke rumahnya, tetapi tidak ada jawaban, sehingga ia kembali ke rumah dengan terlambat setelah cukup lama menunggu kalau-kalau Jonas muncul. “Apa dia pergi ke rumah tetangga yang lain?” Tanya Gina. Anna mengangkat bahunya sambil menoleh ke belakang di mana jalanan dan perumahan itu terasa sangat sepi sekali. Sebelum mereka berpisah, tiba-tiba seseorang yang tidak diharapkan muncul. Ayahnya sedang duduk sambil minum minuman keras di ruang tamu. Di ruang tengah, terlihat ibunya yang tengah menangis dengan wajah yang memar. “Kenapa kau pulang terlambat, Anna?” Tanya ayahnya dengan dingin. Anna hanya berdiri di pintu yang setengah terbuka itu dengan wajah ket
Tahun 2008 “Anna, apakah kau sudah siap?” Anna melihat tubuhnya di cermin, memperhatikan seragam baru yang akan ia kenakan saat bekerja nanti. Entah sampai kapan ia harus memakai seragam ini, ia tidak tahu. Pakaian itu berwarna putih, bagian atas maupun bagian bawahnya terlalu terbuka. Lehernya bermodelkan leher kemeja, sedangkan kancing depannya memakai ritsleting panjang. Panjang dress itu hanya sampai sepaha, dan Anna sadar kalau ini terlalu pendek. Ia menggunakan celana stocking berwarna beige sehingga ia tidak kuatir kalau celana dalamnya akan terlihat. Gina muncul di cermin itu dengan pakaian yang lebih tertutup, ia melihat pakaian Anna dengan sedikit sedih. Ia mengambil sebuah jaket dalam lemari Anna dan memberikan itu padanya. “Apa kau yakin dengan pekerjaan ini?” “Aku tidak punya pilihan, Gina. Aku sudah banyak merepotkan ayahmu dan kau. Tolong jangan beritahu paman Ru
Anna dan Gina mendapat tugas piket di hari itu sehingga mereka bertahan di kelas untuk membersihkan ruangan kelas mereka sebelum mereka pulang. Saat itu, Anna sedang sibuk membersihkan laci-laci meja yang dipenuhi sampah kertas dan pulpen yang sudah habis tintanya. “Dasar anak laki-laki,” umpat Anna sambil berbisik dan membuang sampah-sampah itu ke lantai. Saat Anna datang ke sebuah meja dan membersihkannya, Anna menemukan sebuah ponsel Nokia seri 6600. Ponsel ini mirip dengan ponsel yang dimiliki Jonas, hasil dari kerja sampingan di kebun Paman Rudy Pada awalnya, ia berniat untuk memberikannya pada Jonas langsung. Tetapi rasa penasaran membuat Anna memutuskan untuk membuka saja kunci ponsel itu yang ternyata tidak memerlukan sandi apapun. “Ini aneh,” katanya. Ia mengingat kalau ponsel Jonas selalu terkunci dengan sandi nomor ulang tahun Jonas sendiri. Saat ia membuka galeri fot
“Apa kau lelah, Jonas?” Tanya Anna saat akhirnya mereka telah memasuki kembali kota Balikpapan. Jonas memperbaiki topinya dan menoleh pada Anna. “Tidak. Perjalanan kita cukup singkat. Hanya satu jam setengah.” “Satu jam?” Anna mengangkat kepalanya untuk memperhatikan awan yang masih memerah. Jonas tidak bohong. “Apa kau ngebut?” Jonas menutup matanya karena sudah jelas kalau wanita ini tidak bisa dibohongi. Ia tidak bilang kalau jalan tol yang baru saja dibangun pemerintah pusat itu sudah buka, yang dapat mempersingkat perjalanan antara kedua kota itu. Sial, umpatnya dalam hati. Ia lalu mengaku, “sebenarnya, jalan tol itu sudah dibuka dari minggu lalu.” “Astaga Jonas, jadi untuk apa kita berlama-lama di jalan?” Anna tahu kalau Jonas sangat menyukainya. Tetapi tidak seperti ini juga. Tidak seharusnya Jonas buang-buang waktu dan tenaga hanya untuk dapat berlama-lama dengannya. “Kau sudah bolak balik menjemputku, banyak waktu yan
Satu tahun kemudian… Matahari pagi membangunkan Anna dan Jonas yang tertidur lelap di atas kasur di sebuah ruangan yang bukan milik mereka. “Selamat pagi sayang,” kata Jonas pada Anna sambil menggosok matanya. “Selamat pagi,” jawab Anna dengan mengusap wajahnya. Keduanya terlihat kusut setelah melalui malam yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka pulang ke rumah Paman Rudy bersama juga dengan Gina dan mereka mengobrol hingga pukul 2 dini hari. Anna menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika Anna hendak turun untuk membuat kopi untuk Jonas, Jonas tiba-tiba menghentikannya. “Aku ingin menyapa Joanna dulu,” kata Jonas. Anna tersenyum lalu kembali duduk di samping Jonas yang segera duduk dan mengarahkan wajahnya pada perut Anna yang kini terlihat membuncit karena telah ada sosok manusia kecil yang bermukim dalam perutnya selama 5 bulan ini. “Hai Joanna, ini Papamu. Selamat pa
Tiga bulan kemudian… Jreng… suara gitar yang tak beraturan terdengar dari sebuah ruangan yang ada di tengah rumah tersebut diikuti oleh suara anak-anak kecil tertawa cekikikan, menandakan kalau para pelaku keributan itu lebih dari satu orang. Jonas mencari anak yang bernama Dina itu ke ruangan yang dipenuhi dengan instrumen gitar dan menemukan Dina, saudara kembar Dina yang bernama Doni, dan Vika sedang memainkan gitar dengan sembarangan. “Hayo, kalian sedang apa?” tanya Jonas sambil bersedekap. Dina dan Vika terkejut dan mereka berdiri dengan tegang, sementara Doni langsung buru-buru meletakkan gitar itu pada stand yang ada di dekat mereka. Wajah mereka terlihat cemas dan takut dan sambil melirik satu sama lain. Jonas melepas tangannya dan berjongkok, “Doni, Dina, kalian sudah dijemput oleh mama kalian.” Doni dan Dina langsung sumringah dan menghampiri Jonas, menyalaminya dan pamit padanya secara bersamaan, “bye
Satu minggu setelah pernikahan Anna dan Jonas, semua orang akhirnya kembali ke Balikpapan. Jonas dan Darryl sempat cemas pada keadaan ayahnya karena beliau sempat berkata sakit pinggang dan hampir tidak bisa berjalan, sehingga harus menggunakan kursi roda untuk bisa turun dari pesawat. Tanpa menunda, Jonas dan Anna langsung membawa Paman Jonathan ke rumah sakit terdekat. Paman Jonathan menerima perawatan di sana kurang lebih selama satu minggu untuk memulihkan kondisinya yang kelelahan akibat acara. Anna sempat kuatir pada Paman Rudy juga, tetapi lelaki tangguh itu jelas tidak apa-apa dan menuruhnya fokus pada Paman Jonathan yang terlihat lebih lemah dari biasanya. Di rumah sakit, Darryl, Jonathan dan Michelle akan menjaga ayahnya secara bergantian tanpa kenal lelah. Sedangkan Anna akan membawakan makanan dan pakaian ganti untuk mereka setiap harinya. Ketika Paman Jonathan diizinkan pulang, Jonas menyuruh Michelle untuk menyiapkan kamar untuk
“Kenapa wanita itu bisa ada di sini?” tanya Anna saat melihat nyonya Vina duduk di sana seraya menampilkan wajah angkuhnya dan dengan gaun pendek yang tidak cocok dengan usianya. Seketika, perasaan bahagianya langsung sirna, digantikan dengan perasaan takut yang sama sekali tidak menyenangkan. Dengan pakaian minim itu, wanita ini lebih mirip seorang PSK dari pada orang kaya. Nyonya Vina menoleh pada mereka. Jelas, ada yang salah pada wanita ini. Anna dan Jonas sedikit tercengang dengan penampilan Nyonya Vina yang terkesan kusut dan berantakan. Rambutnya terlihat memutih, kerutan di wajahnya terlihat tambah banyak dan beliau terlihat lebih kurus. Nyonya Vina berjalan ke arah Anna dan Jonas. “Halo…” “Halo,” jawab Anna. “Jangan kuatir, oke?” kata Jonas mencoba menenangkan Anna, lalu memalingkan pandangannya pada Nyonya Vina. “Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” Nyonya Vina menunduk untuk menelan salivanya, la
10 hari kemudian Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Konsep yang mereka pilih adalah konsep pernikahan di taman berumput hijau yang menghadap laut, di mana taman itu masih ada dalam area hotel yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang dan lampu-lampu temaram yang bergelantungan. Awalnya Anna ingin menikah di pantai, tetapi urung karena ada potensi gelombang tinggi. Jonas melihat kalau taman itu bukanlah tempat yang buruk, dan memutuskan memilih menikah di sana. Venue utama tersebut terbagi dua. Sebelah kanan digunakan untuk resepsi, sebelah kiri digunakan untuk acara pernikahan. Di area acara pernikahan sendiri telah tersusun kursi-kursi yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan, dan menyisakan satu jalan di tengah yang akan dilalui oleh pengantin Acara berlangsung tepat pukul 5 sore menjelang senja yang akan dilanjutkan dengan makan malam di area resepsi yang terdapat gazebo yang digunakan sebagai panggung untuk para perf
Tiga Bulan Kemudian Singkat cerita, Anna shock mendengar berita kepergian Rian. Namun, saat itu, dia sudah jauh lebih tegar. Anna begitu menyesal karena ia tidak bisa menemui Rian untuk terakhir kalinya dan berkata kalau ia telah benar-benar memaafkan Rian. Pak Hendri dan juga Silvanna tidak bersedia memberitahu di mana Rian dimakamkan. Bahkan setelah Anna memaksa, mereka tetap bungkam. “Ini adalah amanat Rian pada kami,” kata Silvanna saat menjelaskan kenapa mereka tidak memberitahunya. “Rian tidak ingin kau temui lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu.” Hal itu membuat hati Anna jadi penuh sesak karena rasa bersalah. Namun Silvanna benar, Anna harus melanjutkan hidupnya dengan mengingat seluruh kebaikan Rian. Kejadian ini membuka mata hati Anna, bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan hati yang jahat. Tanpa sadar, Rian telah mengajarkan Anna banyak hal. Bahwa kata “jahat” hanyalah sebuah kata yang digunakan orang-orang
Orang yang pertama tahu tentang lamaran Jonas adalah Rona yang kebetulan mampir ke apartemen Gina untuk menjenguk Anna. Tetapi Anna menyuruhnya untuk tidak memberitahukannya pada Gina karena Anna akan memberitahukan mereka malam nanti. Jonas kemudian memberitahu Michelle dan ayahnya kalau dia dan Anna telah bertunangan dan disambut bahagia oleh mereka, meski Paman Jonathan akhirnya lupa lagi kalau Anna dan Jonas sekarang sudah dewasa dan akan menikah. “Jonas, kau kah itu? Kenapa badanmu besar sekali?” kata Paman Jonathan sambil memperhatikan Jonas dengan kaca matanya yang tebal. “Papa, aku sudah dewasa sekarang. Ini calon istriku,” kata Jonas saat Anna melambaikan tangannya pada Paman Jonathan. Di mata Paman Jonathan, mereka selalu menjadi anak SMP yang lugu. Jonas dan Anna hanya tertawa melihat Paman Jonathan yang kebingungan lalu mengingat lagi kalau mereka kini sudah dewasa. Anna merahasiakan ini semua sampai mereka dapat berkumpul bersama-
Buat kalian yang bingung guys kenapa bab ini diulang, ada plot hole yang harus aku perbaiki mulai bab 48. Jadi ini ngga diulang ya guys, tapi digeser dikit heheh. Enjoy… Tidak ada satu pun informasi yang didapat Anna dan Jonas, para perawat dan tenaga medis, semuanya berkata tidak tahu. Ketika Anna dan Jonas kembali ke apartemen, Anna memutuskan untuk menelepon Pak Hendri dan Silvanna. Di sini, Anna sudah tahu, kalau semua orang bersepakat terhadap sesuatu. Hingga kini, Anna tidak tahu Rian masih hidup atau tidak. Bukannya mendoakan dan meragukan kuasa Tuhan, tetapi tubuh Rian pasti terlalu lemah untuk bertahan tanpa sokongan tenaga medis dan oksigen. Saat ini, Anna berdiri di dekat pintu balkon, sedang melamun dengan pikiran yang kosong. Jonas muncul di belakangnya sambil membawa dua gelas cokelat panas. Dia menyerahkan salah satu gelas yang ada di tangannya dan Anna menyambut gelas
“Kalau kau mau, kita tidak usah masuk. Kita bisa lihat dia dari luar,” ucap Jonas sambil menggenggam tangan Anna dengan erat. Begitu mendengar bahwa Rian telah sadar, Anna dan Jonas memutuskan untuk datang ke rumah sakit keesokan harinya. Anna berhenti sebentar tepat di depan ruang ICU itu. Napasnya menderu dengan cepat. Jonas memperhatikannya dan mempererat genggamannya. “Apa kau baik-baik saja? Kita bisa pulang jika kau berubah pikiran.” Anna menggeleng, mencoba menepis gejala serangan panik yang mulai datang. “Aku ingin masuk.” Jonas lalu menunggu di luar tepat di dekat jendela kamar Rian. Ia memperhatikan Rian yang sudah kurus kering itu dengan mata memicing, urat-urat lehernya mencuat di balik kulitnya dengan jelas. Tangannya terkepal waspada. Dengan perlahan, Anna berjalan mendekati Rian yang terbaring lemah dan masih menggunakan oksigen. Bibirnya terlihat kering dan wajahnya masih pucat. Di sebelahnya terlihat Silvanna yang sedang membe