Seharian ini, Anna menghindari bertemu dengan Jonas. Dirinya tidak bisa berhenti merasa grogi setiap kali harus berhadapan dengan anak laki-laki yang kini telah menjadi kekasihnya itu.
Sepulang sekolah, Jonas mendatangi Anna yang baru saja mengambil sepedanya dari parkiran. Ingin sekali Anna kabur dari sana, tetapi Jonas meraih memegangi tangannya dengan lembut.
Saat Anna melihat kalau Jonas tidak membawa sepeda, Anna lalu menawari Jonas untuk pulang bersama. Ia lalu menaiki sepedanya, tetapi Jonas malah berdiri di sana dengan bingung.
“Kenapa?” tanya Anna.
Wajah Jonas melembut. “Turunlah, tidak mungkin kau yang memboncengku.”
“Tapi aku bisa, aku sering membonceng Gina, dia kan lebih berat darimu. Aku…”
Jonas memotong omongan Anna dengan tertawa. “Kau ini lucu… Bukan seperti itu caranya. Tidak mungkin aku membiarkan kekasihku memboncengku. Di mana harga diriku?”
Wajah Anna tersipu, ia lalu turun dan membiarkan Jonas mengambil alih sepeda itu. Mereka lalu pulang berboncengan. Anna tidak ada pilihan selain memegang pinggang Jonas, kalau tidak, ia akan jatuh.
“Apa aku berat?”
Jonas menoleh sedikit pada Anna. “Tidak. Kau cukup ringan.”
Anna lalu terdiam beberapa menit.
“Kenapa kau diam?”
“Aku… aku tidak tahu harus bicara apa.” Jawab Anna ragu-ragu.
Jonas tertawa kecil. Ia tahu betapa gugupnya anak perempuan ini setiap kali ada di dekatnya, dan ia sangat menyukainya ketika wajahnya memerah. Perempuan ini terlihat cantik dan lucu saat ia malu.
“Omong-omong, kau sudah tahu kira-kira apa yang akan kau presentasikan untuk mata pelajaran kesenian saat ujian kenaikan kelas? Tanya Jonas.
“Aku belum tahu. Tapi mungkin seperti biasa, aku akan bermain piano atau keybaord. Mungkin sambil bernyanyi saja.”
“Kata pak guru, kita bisa tampil sendiri atau berkelompok. Apa kau mau tampil bersamaku? Kita bisa berlatih bersama-sama. Aku akan bermain gitar, sedangkan kau bermain keyboard.”
Anna mengangguk. “Ide yang bagus. Tapi bagaimana bila teman-teman kita menggoda kita karena tampil berdua?”
Jonas terkekeh, “itu tidak masalah untukku jika itu juga tidak jadi masalah bagimu.”
“Tampil berdua… aku rasa itu bukan ide buruk. Kita harus mencari sebuah lagu.”
“Aku sudah memiliki beberapa daftar dalam otakku.”
“Bagaimana kalau hari ini saja? Ayahku akan pulang besok, biasanya beliau akan berada di sini selama dua minggu, aku tidak akan terlalu bebas keluar rumah.”
“Tentu, tidak masalah.”
Sesampainya di rumah, Anna lalu turun dari sepeda, dan Jonas memarkirkan sepeda itu di dalam pagar.
Ibunya Anna menyambut mereka dari dalam. “Hai Anna. Oh, hai Jonas?”
“Selamat siang Tante Yuni,” ucap Jonas sambil menyalami ibunya Anna. “Bolehkah aku dan Anna berada di sini sementara waktu? Kami akan berlatih untuk ujian kesenian.”
“Memangnya kesenian apa yang kalian akan bawakan?”
“Kata pak guru, bebas ma. Tapi aku dan Jonas akan bermain musik saja.”
“Mau ibu bantu?”
“Tidak usah ma, kami bisa sendiri. Tapi apa kau tidak masalah kalau kami agak ribut?”
Ibunya Anna menggeleng, adikmu juga sudah bangun. “Ayo masuk dulu, aku sudah membuatkan makan siang."
Anna berganti pakaian dan mencuci tangannya lalu bergabung dengan Jonas di ruang makan. Ibunya Anna lalu memasang gendongan dan membawa adiknya Anna yang baru berusia satu bulan itu di dalam gendongannya.
“Wah, dia lucu sekali tante,” ucap Jonas sambil menyentuh tangan Darryl yang langsung menggenggam jarinya dengan erat.
“Dia menyukaimu,” ucap ibunya Anna dengan tersenyum.
Setelah mereka bertiga puas bermain bersama bayi Darryl, mereka makan bersama, dan setelah itu masuk ke ruang musik.
Anna langsung menghidupkan keyboard yang ia miliki dan mulai memainkan lagu Mr. Big yang judulnya Stay Together. Jonas memandangnya dengan wajah cemberut.
“Kau kenapa?” Tanya Anna yang berhenti menekan tutsnya.
“Itu lagu tentang perpisahan!”
“Tapi aku suka,” kata Anna yang lalu melanjutkan permainan jarinya.
Jonas mendengus dengan kesal dan menggenggam tangan Anna untuk menghentikannya. “Ayolah, kita pilih lagu lain saja.”
Kali ini giliran Anna yang tertawa dan mengajak Jonas untuk bermain lagu yang lain.
Satu jam kemudian, mereka sudah menentukan lagu apa yang akan dibawakan di ujian kenaikan kelas nanti.
Seketika, permainan Anna dan Jonas terhenti saat mereka mendengar suara barang-barang jatuh bersamaan dengan suara melengking Darryl yang menangis kencang.
Anna langsung berlari untuk melihat apa yang terjadi. Saat itu ayahnya ternyata datang lebih awal dan entah bagaimana ceritanya mulai memukuli ibunya Anna. Anna melindungi ibunya yang akan dipukul sekali lagi.
“Stop,” kata Anna sambil menahan ayahnya agar menghentikan aksinya.
Tetapi ayahnya menatapnya tajam dan mengangkat tangannya untuk menamparnya juga.
Anna menutup matanya saat tangan itu terayun. Ia bisa mendengar dengan jelas suara tamparan yang menggema dalam ruangan, tetapi ia tidak merasakan sakit apa-apa.
Ada apa ini? Tanya Anna dalam hatinya.
Dengan perlahan dan penasaran, ia membuka matanya dan mendapati sesosok manusia berdiri di hadapannya dengan wajah yang sudah oleng ke kiri.
“Jonas?”
Belum sempat Anna memproses apa yang telah terjadi, Jonas lalu menariknya keluar dari rumah itu setelah ibunya memerintahkan mereka untuk segera pergi dan menahan ayahnya yang mulai menggila. Jonas membawa Anna ke rumahnya.
Anna duduk di ruang tamu rumah Jonas itu dengan tubuh gemetar. Sudah satu tahun ini ayahnya selalu pulang dalam keadaan seperti itu. Dan Anna tidak pernah mengetahui alasan di balik perubahan sikap ayahnya yang cukup drastis. Ayahnya memang sesekali memukul mereka jika ibunya melakukan kesalahan, tetapi kali ini frekuensinya menjadi lebih sering.
Jonas kembali dari dapur dan membawakan segelas teh hangat untuknya. “Ini, minumlah. Kau perlu gula.”
Anna meminum teh itu sedikit demi sedikit dan meletakkan gelasnya di atas meja. Ia menunduk dan berusaha mengatur napasnya.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Jonas yang kini telah duduk di sebelahnya.
“Iya, ku rasa.” Jawab Anna sambil mendongakkan kepalanya untuk memandang Jonas.
Betapa terkejutnya ketika ia melihat sebuah memar dan lecet yang terukir jelas di wajah Jonas, di pipi sebelah kanannya. “Jonas, kau berdarah!”
Jonas memandang Anna dengan bingung sambil menyentuh tulang pipinya yang terluka. Ia mendesis saat merasakan bagian yang nyeri itu.
Anna menangis dengan rasa bersalah. “Apa kau punya kotak P3K?”
Jonas mengambilnya dari ruangan di sebelahnya dan memberikannya pada Anna. Pipi anak perempuan itu kini telah banjir air mata ketika ia membersihkan wajah Jonas dengan antiseptik dan memberinya perban berwarna cokelat.
“Maafkan aku,” kata Anna. “Kau seharusnya tidak menghalangi ketika aku dipukul.”
“Sudahlah Anna, ini bukan salahmu.”
“Aku malu karena kau harus melihat hal ini,” kata Anna sesenggukan.
“Aku sudah biasa dalam kondisi seperti itu. Aku sudah mengalami yang jauh lebih parah dari ini kala ibuku mabuk dan mengamuk. Kau tidak perlu malu padaku.”
Jonas meraih tangan Anna dan menghapus air mata yang membuat wajah anak perempuan itu mengembun.
---------------
Sebelum Anna sampai di sana, seseorang memanggilnya dari belakang. Ia pun menoleh pada asal suara itu, dan ia melihat Jonas berdiri dibelakangnya dengan wajah yang serius.
“Kau diantar pulang oleh Rian?” Tanya Jonas yang kini sudah tiba di hadapan Anna.
Anna mengangguk tanpa menjawab dengan kata-kata.
“Bagaimana bisa dia mengantarmu pulang?”
“Dia sekarang bekerja di kantorku. Dan kebetulan, mobilku sedang diperbaiki.”
Jonas lanjut bertanya, “Bagaimana harimu hari ini?”
“Baik, dan aku cukup sibuk,” jawab Anna singkat.
Jonas mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari mata Anna. Lalu ia menyadari sesuatu yang tidak beres. “Anna, kau sangat pucat.” Jonas lalu berjalan mendekat. Ia meraba dahi dan tangan Anna, semua terasa dingin.
Anna memegangi perutnya yang tambah sakit. Ia merasa akan pingsan. Tanpa sadar, tangannya sudah bertopang pada bahu Jonas.
Jonas menyokong Anna dengan kuat. Ia memegang bahu Anna dengan kedua tangannya. “Tetaplah bangun, Anna. Bisakah kau berjalan? Aku akan membantumu. Apa kau ingin ku antar ke dokter?”
Anna mengangkat tangannya untuk memberi jawaban tidak.
Setelah beberapa saat, Anna mengumpulkan seluruh kemampuannya untuk tetap bangun dan berjalan. “Tidak, aku ingin pulang. Bisakah kau mengantarku? Perutku sakit sekali.”
Jonas mengubah posisinya. Ia menopang pinggang Anna dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya membawakan tas Anna. Mereka berjalan hingga sampai di depan apartemen Anna.
“Kunciku ada didalam tas,” kata Anna dengan suara kecil. Jonas mengambil kartu kunci apartemen itu dan menggeseknya di pintu digital yang ada di depannya.
Dengan lembut, Jonas membawa Anna langsung ke kamarnya. “Aku akan ke dapur, kau bisa berganti pakaian. Apa kau perlu bantuan?”
Anna menggeleng pelan. “Tolong tutup pintu kamarku, sementara aku berganti.”
Jonas lalu menutup pintu kamar Anna. Ia pergi ke dapur dan membuatkan secangkir teh. Setelah itu ia membawanya ke depan kamar Anna. Ia mengetuknya pelan. “Anna?”
“Masuklah.” Jawab Anna pelan.
Jonas lalu membuka pintu kamar Anna dan meletakkan teh itu di atas laci nakas. Ia mendapati Anna telah berbaring di sana dengan pakaian tidur. “Ini, minumlah.” Ia membantu Anna duduk dan mendekatkan cangkir itu pada Anna agar ia dapat meminumnya.
Kemudian Jonas pergi lagi ke dapur untuk mengambil sebuah botol dan handuk kering yang ia temukan didekat kamar mandi. Ia melapisi seluruh permukaan botol itu dengan handuk tersebut.
“Apa ini?” Tanya Anna.
“Bolehkah aku mengangkat bajumu sedikit?”
“Apa maksudmu?” Anna mulai duduk dengan sedikit takut.
“Kau harus berbaring.” Jonas kembali merebahkan tubuh Anna lagi. “Aku tidak berniat apapun. Percayalah padaku.”
Dengan ragu-ragu, Anna mengangkat bajunya hingga permukaan perutnya terlihat. Wajah Jonas sejenak memerah, tetapi ia menggelengkan kepalanya dan langsung menempatkan botol itu pada Anna tepat di perut bagian bawah.
“Bagaimana… Bagaimana kau tau kalau ini…”
“Aku pernah menginap di rumahmu saat kita kelas 6 SD, apa kau ingat? Saat itu orang tuaku bertengkar hebat lagi. Pada saat yang bersamaan, penyakit lambungku kambuh dan aku hampir tidak bisa makan. Saat itulah ibumu dengan sangat baik hati merawatku dan membawaku ke dokter untuk berobat. Ketika sakit perutku tidak membaik, ia membawakanku botol yang berisi air panas yang ia tutup dengan kain. Ia menaruhnya di perutku agar sakit perutku berkurang. Aku tidak dapat melupakan kebaikan semua tetangga di sini termasuk ibumu, saat keluargaku sendiri menyakitiku.”
Secercah kenangan kembali terpancar di ingatan Anna. Ia merindukan ibunya setengah mati hingga tak sadar ia meneteskan air mata di pipinya. Dengan lembut, Jonas mengusap air mata itu dengan jarinya.
“Aku tidak pernah punya kesempatan untuk membalas kebaikan ibumu…” Katanya sambil duduk bersila di lantai. “Aku tidak tahu obat untuk mengurangi rasa nyeri haid, tetapi paling tidak ini dapat membantu. Aku hanya melakukan apa yang ku bisa.”
Anna tersenyum kecil, “dari mana kau tahu aku sedang haid?”
“Saat SMP, kau juga sering seperti ini.” kata Jonas.
Mata Jonas lalu tertuju pada sebuah piano digital yang terletak di ujung ruangan. "Apa kau masih suka bermain piano?"
"Sudah jarang," jawab Anna sambil menatap pianonya yang telah di selimuti debu.
"Ku harap nanti kita bisa bermain bersama," kata Jonas sambil menatap mata Anna.
“Baiklah.”
“Istirahatlah.” Jonas tidak melepaskan tangannya dari botol itu agar tetap pada posisinya.
Di sana, Anna bisa melihat sedikit bekas luka yang terlihat samar-samar di wajah Jonas, tepat di tulang pipinya yang sedikit menonjol. Pikiran Anna melayang ke dalam kilas balik kenangan tidak mengenakkan antara ia dan Jonas.
Pria ini yang selalu membawanya lari saat ayahnya mulai kesetanan. Pria ini juga yang memberi wajahnya dipukul untuk menggantikan wajah Anna hingga menyisakan bekas luka yang masih dapat Anna lihat dengan jelas ketika mereka berdekatan. Itu membuatnya merasa bersalah.
Lalu tak ada satupun Jonas ataupun Anna yang berbicara selama beberapa menit. Anna merasa lebih nyaman saat ini, karena sakit perutnya sudah berkurang.
Saking nyamannya, ia sampai tertidur dan keheningan membuat ia tenggelam di bawah alam sadarnya.
-------------
Setelah pemakaman ibunya, mereka akhirnya pulang ke rumah. Gina tidak berhenti melepas genggaman tangannya dari tangan sahabatnya yang sedang berduka cita itu sambil memeluk Darryl digendongannya. Anak kecil itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia tertidur setelah acara pemakaman itu selesai dan belum bangun hingga sekarang. Di sana, Gina bisa melihata air mata Anna telah mengering, matanya bengkak, dan wajahnya terlihat kusut. Setelah sampai di rumah itu, paman Rudy memarkirkan mobilnya di luar tanpa memasukkannya ke dalam garasi. Mereka lalu melompat ke luar satu per satu dari dalam mobil itu. “Aku akan mengurus Darryl, kau bisa beristirahat,” ucap Gina pada sahabatnya itu. Anna menunggu hingga semua orang masuk saat matanya tertuju pada rumah yang menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi dua hari sebelumnya. Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul dari ujung jalan. Mobil itu ter
Di hari Sabtu, Anna telah bersiap-siap di apartemennya. Rian bilang, ia ingin makan malam di sebuah restoran mewah yang ada di lantai 5 sebuah mall. Ketika Anna menolak untuk makan di tempat seperti itu, Rian tidak memberinya banyak pilihan saat mengatakan kalau meja mereka telah dipesan dari jauh-jauh hari. Mau tidak mau, Anna akhirnya mengikuti saja, dan ia harus mengenakan dress. Ia memakai gaun warna beige selutut dan heels setinggi 5cm. Ia melihat dirinya di cermin dan menundukkan kepalanya, ia belum bisa membayangkan seperti apa makan malam bersama orang yang selama ini selalu dihindari olehnya itu. Setelah menerima kabar dari Rian kalau ia ada di lobby tower apartemen disebelah, Anna segera turun menggunakan lift, bermaksud untuk menggunakan junction di lantai bawah di sana agar ia terlihat seperti turun dari apartemen sebelah. Ia masih tidak ingin Rian tahu di mana sebenarnya ia tinggal. Langkahnya terhenti saat melihat Jonas duduk di sebuah
Hari itu menjadi hari yang luar biasa mengerikan untuk Anna dan Jonas. Kata Gina, anak laki-laki itu tidak turun sekolah hari ini setelah dipukuli oleh ibunya hingga tubuhnya dipenuhi bekas cambukan. Awalnya, Anna mencari-carinya ke rumahnya, tetapi tidak ada jawaban, sehingga ia kembali ke rumah dengan terlambat setelah cukup lama menunggu kalau-kalau Jonas muncul. “Apa dia pergi ke rumah tetangga yang lain?” Tanya Gina. Anna mengangkat bahunya sambil menoleh ke belakang di mana jalanan dan perumahan itu terasa sangat sepi sekali. Sebelum mereka berpisah, tiba-tiba seseorang yang tidak diharapkan muncul. Ayahnya sedang duduk sambil minum minuman keras di ruang tamu. Di ruang tengah, terlihat ibunya yang tengah menangis dengan wajah yang memar. “Kenapa kau pulang terlambat, Anna?” Tanya ayahnya dengan dingin. Anna hanya berdiri di pintu yang setengah terbuka itu dengan wajah ket
Tahun 2008 “Anna, apakah kau sudah siap?” Anna melihat tubuhnya di cermin, memperhatikan seragam baru yang akan ia kenakan saat bekerja nanti. Entah sampai kapan ia harus memakai seragam ini, ia tidak tahu. Pakaian itu berwarna putih, bagian atas maupun bagian bawahnya terlalu terbuka. Lehernya bermodelkan leher kemeja, sedangkan kancing depannya memakai ritsleting panjang. Panjang dress itu hanya sampai sepaha, dan Anna sadar kalau ini terlalu pendek. Ia menggunakan celana stocking berwarna beige sehingga ia tidak kuatir kalau celana dalamnya akan terlihat. Gina muncul di cermin itu dengan pakaian yang lebih tertutup, ia melihat pakaian Anna dengan sedikit sedih. Ia mengambil sebuah jaket dalam lemari Anna dan memberikan itu padanya. “Apa kau yakin dengan pekerjaan ini?” “Aku tidak punya pilihan, Gina. Aku sudah banyak merepotkan ayahmu dan kau. Tolong jangan beritahu paman Ru
Anna dan Gina mendapat tugas piket di hari itu sehingga mereka bertahan di kelas untuk membersihkan ruangan kelas mereka sebelum mereka pulang. Saat itu, Anna sedang sibuk membersihkan laci-laci meja yang dipenuhi sampah kertas dan pulpen yang sudah habis tintanya. “Dasar anak laki-laki,” umpat Anna sambil berbisik dan membuang sampah-sampah itu ke lantai. Saat Anna datang ke sebuah meja dan membersihkannya, Anna menemukan sebuah ponsel Nokia seri 6600. Ponsel ini mirip dengan ponsel yang dimiliki Jonas, hasil dari kerja sampingan di kebun Paman Rudy Pada awalnya, ia berniat untuk memberikannya pada Jonas langsung. Tetapi rasa penasaran membuat Anna memutuskan untuk membuka saja kunci ponsel itu yang ternyata tidak memerlukan sandi apapun. “Ini aneh,” katanya. Ia mengingat kalau ponsel Jonas selalu terkunci dengan sandi nomor ulang tahun Jonas sendiri. Saat ia membuka galeri fot
“Apa kau lelah, Jonas?” Tanya Anna saat akhirnya mereka telah memasuki kembali kota Balikpapan. Jonas memperbaiki topinya dan menoleh pada Anna. “Tidak. Perjalanan kita cukup singkat. Hanya satu jam setengah.” “Satu jam?” Anna mengangkat kepalanya untuk memperhatikan awan yang masih memerah. Jonas tidak bohong. “Apa kau ngebut?” Jonas menutup matanya karena sudah jelas kalau wanita ini tidak bisa dibohongi. Ia tidak bilang kalau jalan tol yang baru saja dibangun pemerintah pusat itu sudah buka, yang dapat mempersingkat perjalanan antara kedua kota itu. Sial, umpatnya dalam hati. Ia lalu mengaku, “sebenarnya, jalan tol itu sudah dibuka dari minggu lalu.” “Astaga Jonas, jadi untuk apa kita berlama-lama di jalan?” Anna tahu kalau Jonas sangat menyukainya. Tetapi tidak seperti ini juga. Tidak seharusnya Jonas buang-buang waktu dan tenaga hanya untuk dapat berlama-lama dengannya. “Kau sudah bolak balik menjemputku, banyak waktu yan
Ketika hari jumat tiba, suasana hati Anna telah menjadi lebih baik. Ia menampakkan diri di kantornya dengan percaya diri dan sumringah. Semua orang telah bersikap lebih baik, meski ada beberapa yang masih suka bergosip tentangnya, namun ia tidak akan mengambil pusing. Hatinya cukup bersemangat untuk menuntaskan pekerjaan yang ia kan hadapi hari ini. “Semoga harimu menyenangkan,” ucap Jonas di ujung telepon ketika Anna telah duduk di mejanya. Pria itu semakin aktif menghubunginya dan membuat Anna merasa diperhatikan. Lalu tiba-tiba, Anna dipanggil oleh kepala yayasan ke ruangannya. Di sana sudah ada Rian yang duduk dengan santainya di atas sofa kulit itu sambil membaca koran. Ia tidak menyadari kalau Anna masuk, hingga wanita itu mendaratkan bokongnya tepat di sofa yang ada di seberangnya. “Selamat pagi, Anna.” Ucap Rian sambil meletakkan koran itu di atas meja. Pikrian Anna sudah melayang ke mana-mana. Ia belum mengetahui alasa
Akhir pekan yang ditunggu-tunggu Anna kembali datang. Ia menyempatkan dirinya untuk mengunjungi Darryl dan membawakan pizza pesanannya. Soal pria misterius bernama Aldo itu belum pernah mengunjungi Darryl lagi. Anna berharap orang itu tidak akan pernah datang lagi. Sesampainya di rumah, ia menghubungi Jonas hari untuk menanyakan kemana Jonas akan membawanya. “Halo?” “Ya, Anna?” “Apa hari ini kita jadi pergi?” “Tentu, aku akan hubungi Elis sebentar untuk memastikan kedai aman. Acara yang akan kita datangi dimulai jam 7 malam, tapi lebih baik kita ke sana jam 8 malam saja. Apa tidak masalah bagimu pulang larut?” “Tidak. Memangnya kita mau kemana?” “Ikuti saja. Sebelum kita pergi, pastikan kau makan malam terlebih dulu, oke?” “Setidaknya beritahu aku pakaian seperti apa yang harus kukenakan.” “Kasual saja. Kita akan pergi ke tempat yang tidak memerlukan pakaian khusus. Akan ku jemput kau dengan mobil.” “Oke
Satu tahun kemudian… Matahari pagi membangunkan Anna dan Jonas yang tertidur lelap di atas kasur di sebuah ruangan yang bukan milik mereka. “Selamat pagi sayang,” kata Jonas pada Anna sambil menggosok matanya. “Selamat pagi,” jawab Anna dengan mengusap wajahnya. Keduanya terlihat kusut setelah melalui malam yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka pulang ke rumah Paman Rudy bersama juga dengan Gina dan mereka mengobrol hingga pukul 2 dini hari. Anna menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika Anna hendak turun untuk membuat kopi untuk Jonas, Jonas tiba-tiba menghentikannya. “Aku ingin menyapa Joanna dulu,” kata Jonas. Anna tersenyum lalu kembali duduk di samping Jonas yang segera duduk dan mengarahkan wajahnya pada perut Anna yang kini terlihat membuncit karena telah ada sosok manusia kecil yang bermukim dalam perutnya selama 5 bulan ini. “Hai Joanna, ini Papamu. Selamat pa
Tiga bulan kemudian… Jreng… suara gitar yang tak beraturan terdengar dari sebuah ruangan yang ada di tengah rumah tersebut diikuti oleh suara anak-anak kecil tertawa cekikikan, menandakan kalau para pelaku keributan itu lebih dari satu orang. Jonas mencari anak yang bernama Dina itu ke ruangan yang dipenuhi dengan instrumen gitar dan menemukan Dina, saudara kembar Dina yang bernama Doni, dan Vika sedang memainkan gitar dengan sembarangan. “Hayo, kalian sedang apa?” tanya Jonas sambil bersedekap. Dina dan Vika terkejut dan mereka berdiri dengan tegang, sementara Doni langsung buru-buru meletakkan gitar itu pada stand yang ada di dekat mereka. Wajah mereka terlihat cemas dan takut dan sambil melirik satu sama lain. Jonas melepas tangannya dan berjongkok, “Doni, Dina, kalian sudah dijemput oleh mama kalian.” Doni dan Dina langsung sumringah dan menghampiri Jonas, menyalaminya dan pamit padanya secara bersamaan, “bye
Satu minggu setelah pernikahan Anna dan Jonas, semua orang akhirnya kembali ke Balikpapan. Jonas dan Darryl sempat cemas pada keadaan ayahnya karena beliau sempat berkata sakit pinggang dan hampir tidak bisa berjalan, sehingga harus menggunakan kursi roda untuk bisa turun dari pesawat. Tanpa menunda, Jonas dan Anna langsung membawa Paman Jonathan ke rumah sakit terdekat. Paman Jonathan menerima perawatan di sana kurang lebih selama satu minggu untuk memulihkan kondisinya yang kelelahan akibat acara. Anna sempat kuatir pada Paman Rudy juga, tetapi lelaki tangguh itu jelas tidak apa-apa dan menuruhnya fokus pada Paman Jonathan yang terlihat lebih lemah dari biasanya. Di rumah sakit, Darryl, Jonathan dan Michelle akan menjaga ayahnya secara bergantian tanpa kenal lelah. Sedangkan Anna akan membawakan makanan dan pakaian ganti untuk mereka setiap harinya. Ketika Paman Jonathan diizinkan pulang, Jonas menyuruh Michelle untuk menyiapkan kamar untuk
“Kenapa wanita itu bisa ada di sini?” tanya Anna saat melihat nyonya Vina duduk di sana seraya menampilkan wajah angkuhnya dan dengan gaun pendek yang tidak cocok dengan usianya. Seketika, perasaan bahagianya langsung sirna, digantikan dengan perasaan takut yang sama sekali tidak menyenangkan. Dengan pakaian minim itu, wanita ini lebih mirip seorang PSK dari pada orang kaya. Nyonya Vina menoleh pada mereka. Jelas, ada yang salah pada wanita ini. Anna dan Jonas sedikit tercengang dengan penampilan Nyonya Vina yang terkesan kusut dan berantakan. Rambutnya terlihat memutih, kerutan di wajahnya terlihat tambah banyak dan beliau terlihat lebih kurus. Nyonya Vina berjalan ke arah Anna dan Jonas. “Halo…” “Halo,” jawab Anna. “Jangan kuatir, oke?” kata Jonas mencoba menenangkan Anna, lalu memalingkan pandangannya pada Nyonya Vina. “Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” Nyonya Vina menunduk untuk menelan salivanya, la
10 hari kemudian Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Konsep yang mereka pilih adalah konsep pernikahan di taman berumput hijau yang menghadap laut, di mana taman itu masih ada dalam area hotel yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang dan lampu-lampu temaram yang bergelantungan. Awalnya Anna ingin menikah di pantai, tetapi urung karena ada potensi gelombang tinggi. Jonas melihat kalau taman itu bukanlah tempat yang buruk, dan memutuskan memilih menikah di sana. Venue utama tersebut terbagi dua. Sebelah kanan digunakan untuk resepsi, sebelah kiri digunakan untuk acara pernikahan. Di area acara pernikahan sendiri telah tersusun kursi-kursi yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan, dan menyisakan satu jalan di tengah yang akan dilalui oleh pengantin Acara berlangsung tepat pukul 5 sore menjelang senja yang akan dilanjutkan dengan makan malam di area resepsi yang terdapat gazebo yang digunakan sebagai panggung untuk para perf
Tiga Bulan Kemudian Singkat cerita, Anna shock mendengar berita kepergian Rian. Namun, saat itu, dia sudah jauh lebih tegar. Anna begitu menyesal karena ia tidak bisa menemui Rian untuk terakhir kalinya dan berkata kalau ia telah benar-benar memaafkan Rian. Pak Hendri dan juga Silvanna tidak bersedia memberitahu di mana Rian dimakamkan. Bahkan setelah Anna memaksa, mereka tetap bungkam. “Ini adalah amanat Rian pada kami,” kata Silvanna saat menjelaskan kenapa mereka tidak memberitahunya. “Rian tidak ingin kau temui lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu.” Hal itu membuat hati Anna jadi penuh sesak karena rasa bersalah. Namun Silvanna benar, Anna harus melanjutkan hidupnya dengan mengingat seluruh kebaikan Rian. Kejadian ini membuka mata hati Anna, bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan hati yang jahat. Tanpa sadar, Rian telah mengajarkan Anna banyak hal. Bahwa kata “jahat” hanyalah sebuah kata yang digunakan orang-orang
Orang yang pertama tahu tentang lamaran Jonas adalah Rona yang kebetulan mampir ke apartemen Gina untuk menjenguk Anna. Tetapi Anna menyuruhnya untuk tidak memberitahukannya pada Gina karena Anna akan memberitahukan mereka malam nanti. Jonas kemudian memberitahu Michelle dan ayahnya kalau dia dan Anna telah bertunangan dan disambut bahagia oleh mereka, meski Paman Jonathan akhirnya lupa lagi kalau Anna dan Jonas sekarang sudah dewasa dan akan menikah. “Jonas, kau kah itu? Kenapa badanmu besar sekali?” kata Paman Jonathan sambil memperhatikan Jonas dengan kaca matanya yang tebal. “Papa, aku sudah dewasa sekarang. Ini calon istriku,” kata Jonas saat Anna melambaikan tangannya pada Paman Jonathan. Di mata Paman Jonathan, mereka selalu menjadi anak SMP yang lugu. Jonas dan Anna hanya tertawa melihat Paman Jonathan yang kebingungan lalu mengingat lagi kalau mereka kini sudah dewasa. Anna merahasiakan ini semua sampai mereka dapat berkumpul bersama-
Buat kalian yang bingung guys kenapa bab ini diulang, ada plot hole yang harus aku perbaiki mulai bab 48. Jadi ini ngga diulang ya guys, tapi digeser dikit heheh. Enjoy… Tidak ada satu pun informasi yang didapat Anna dan Jonas, para perawat dan tenaga medis, semuanya berkata tidak tahu. Ketika Anna dan Jonas kembali ke apartemen, Anna memutuskan untuk menelepon Pak Hendri dan Silvanna. Di sini, Anna sudah tahu, kalau semua orang bersepakat terhadap sesuatu. Hingga kini, Anna tidak tahu Rian masih hidup atau tidak. Bukannya mendoakan dan meragukan kuasa Tuhan, tetapi tubuh Rian pasti terlalu lemah untuk bertahan tanpa sokongan tenaga medis dan oksigen. Saat ini, Anna berdiri di dekat pintu balkon, sedang melamun dengan pikiran yang kosong. Jonas muncul di belakangnya sambil membawa dua gelas cokelat panas. Dia menyerahkan salah satu gelas yang ada di tangannya dan Anna menyambut gelas
“Kalau kau mau, kita tidak usah masuk. Kita bisa lihat dia dari luar,” ucap Jonas sambil menggenggam tangan Anna dengan erat. Begitu mendengar bahwa Rian telah sadar, Anna dan Jonas memutuskan untuk datang ke rumah sakit keesokan harinya. Anna berhenti sebentar tepat di depan ruang ICU itu. Napasnya menderu dengan cepat. Jonas memperhatikannya dan mempererat genggamannya. “Apa kau baik-baik saja? Kita bisa pulang jika kau berubah pikiran.” Anna menggeleng, mencoba menepis gejala serangan panik yang mulai datang. “Aku ingin masuk.” Jonas lalu menunggu di luar tepat di dekat jendela kamar Rian. Ia memperhatikan Rian yang sudah kurus kering itu dengan mata memicing, urat-urat lehernya mencuat di balik kulitnya dengan jelas. Tangannya terkepal waspada. Dengan perlahan, Anna berjalan mendekati Rian yang terbaring lemah dan masih menggunakan oksigen. Bibirnya terlihat kering dan wajahnya masih pucat. Di sebelahnya terlihat Silvanna yang sedang membe