Air mata Anna mengering. Ia merengkuh tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa itu di pelukkannya sementara Gina menggendong Darryl, adik laki-lakinya yang masih kecil. Setelah ibunya Anna dinyatakan meninggal dunia, Anna berlari lalu memeluknya hingga ia tidak mampu meratap lagi. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Apa yang ibunya Anna lakukan hingga ayahnya tega menghabisinya?
Bukankah selama ini, ibunya Anna adalah ibu yang baik bagi ayahnya yang selalu pergi melaut dan kembali hanya 2 minggu setelah berbulan-bulan berlayar? Baginya, ibunya adalah orang yang setia dan mengutamakan keluarga. Ia akan bekerja sendiri jika mereka kekurangan uang. Tetapi ayahnya, meski bukanlah orang yang jahat, ia akan ringan tangan pada istrinya jika mereka bertengkar. Sosok ayahnya adalah sosok yang sedikit menakutkan bagi Anna, dan ia paling benci jika melihat kekerasan itu terjadi pada ibunya.
Anna mengambil liontin yang dikenakan ibunya itu dan memasangnya pada lehernya. Ini akan menjadi pengingat baginya. Bahwa kemanapun ia akan melangkah, ibunya akan selalu bersamanya. Ia lalu mengambil tangan ibunya, menciumnya beberapa saat sembari membiarkan air matanya yang terus berderai.
Polisi mencari keberadaan ayahnya Anna yang menghilang setelah pembunuhan malam itu terjadi. Tetapi di subuh hari, tiba-tiba, hampir seluruh polisi yang berkumpul disana kembali masuk ke mobil dan segera pergi dari rumah Anna.
Paman Rudy bertanya pada polisi yang tinggal di rumah Anna untuk olah TKP dan mendapat informasi yang akan membuat Anna trauma dan terguncang seumur hidupnya. Polisi menemukan mobil ayah Anna yang jatuh dan terbakar dalam jurang.
Informasi itu akhirnya sampai ke telinga Anna yang tak lama kemudian kehilangan kesadarannya.
------------
Mata Anna dan Jonas bertemu untuk ke dua kalinya. Kali ini, ia akhirnya mengenal kalau pria yang dilihatnya kemarin adalah Jonas. Tubuhnya seperti tersengat listrik, dan sejenak berdiri dengan kaku dan wajahnya seperti mati rasa.
Sementara Rian masih terus mengoceh, Anna menghentikan Rian. “Rian, maaf aku harus ke toilet.”
“Oke,” jawab Rian sambil mengawasi kepergian Anna dengan wajah yang terlihat kecewa.
Anna tidak ke toilet, ia pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Saat mata mereka bertemu, suara Anna menjadi tercekat, ia tidak bisa bernapas. Hatinya menjadi gelisah saat melihat mata pria itu. Tetapi ia tidak punya pilihan lain untuk langsung masuk ke dalam dan menyelesaikan apa yang telah mereka mulai.
Setelah acara benar-benar selesai, gedung telah bersih, sekitar jam 11 malam, para panitia pun akhirnya bergegas untuk pulang. Termasuk Anna yang akan mendatangi Gina yang telah berada di luar terlebih dahulu.
“Anna,” panggil seseorang dari belakangnya. Suara serak dan dalam itu mengingatkannya pada suara yang sangat amat familiar. Ia berbalik dan mendapati orang yang sedang berada dalam pikirannya itu berubah wujud menjadi nyata. Ia kini berdiri tepat didepannya. Ia tidak banyak berubah, hanya jadi lebih dewasa, dengan tubuh yang lebih tinggi, sekitar 10cm lebih tinggi darinya. Kulitnya putih, wajahnya yang menarik itu dihiasi dengan jambang tipis, sorot matanya tajam dan sedikit sipit. Rambutnya yang berantakkan itu membuatnya menjadi sangat terlihat maskulin. Anna melihat siluet tatto yang mencuat dibalik lengan kemejanya yang terlipat hingga siku itu.
“Jonas.” Kata Anna. Hatinya mengumpat. Setelah sekian lama, Anna ternyata tetap tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berjumpa dengan Jonas.
Tidak seperti Rian, Jonas tidak memeriksa bentuk tubuh Anna. Ia tetap terus menatap mata Anna meski Anna sesekali tidak berbalik menatap matanya. “Apa kabarmu?”
“Kabarku baik. kau?” Katanya dengan singkat. Ia pun memberanikan diri menatap mata Jonas.
Jonas menyadari tatapan itu. Tatapan penuh tanya dan penuh kekecewaan. “Aku baik-baik saja.”
Sejuta pertanyaan hinggap di benak Anna. Kemana kau selama ini? Bagaimana kau bisa menghilang tanpa kabar? Apakah hatimu tenang saat meninggalkanku dalam keadaan terpuruk? Pria macam apa kau?
“Anna.” Panggilnya lagi. “Kenapa kau diam saja?”
Apa lagi yang harus ia bicarakan dengan pria ini? Anna dan Jonas telah lama tidak bertemu dan sudah lama tidak berhubungan lagi. Ia hanya heran mengapa pria ini masih punya nyali untuk berbicara padanya saat ini.
“Apa kau sudah menikah?”
Alis Anna terangkat mendengar pertanyaan itu. Ya benar, di negara ini, belum menikah di usia 30an adalah hal yang sudah biasa didengar. Karena bagi masyarakat, wanita seperti Anna dan Gina adalah perawan tua, yang akan sulit mendapat pasangan. Di umur ini, wanita karir seperti mereka tidak punya banyak pilihan.
“Jawab saja Anna.”
“Belum.”
“Apa kau memiliki kekasih?”
“Belum.”
“Bagus.”
Apanya yang bagus? Tanya Anna dalam hati.
Anna dan Jonas berdiri dalam kondisi canggung. Jonas membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi ia menutupnya kembali. Begitu pula Anna yang menunduk dengan wajah yang sedih.
“Aku sangat senang bisa bertemu denganmu malam ini,” ucap Jonas sambil menatap Anna dengan lembut.
Dari jauh, Anna bisa melihat Gina sedang menunggunya. Ia berdiri sendirian dekat pintu keluar sambil bermain ponselnya. Ia sesekali mencuri pandang pada mereka berdua dengan tatapan curiga. Jonas yang juga menyadari kehadiran Gina dan menundukkan kepalanya, lalu mengalihkan pandangannya pada Anna.
“Aku harap kita bisa bertemu lagi,” katanya lagi sebelum berlalu dari hadapan Anna.
Bahkan parfum yang ia kenakan masih sama dengan yang ia sering kenakan dulu ketika mereka masih remaja. Anna memaki dirinya sendiri karena hampir tergoda pada pria yang sudah membuat hatinya retak.
Gina datang mendekat, “mau apa dia sekarang?” katanya dengan wajah skeptis.
“Kami hanya mengobrol sebentar,” jawab Anna.
-----------
Sesampainya di rumah, setelah Anna berganti pakaian, menghapus sisa make up dan bergegas untuk tidur, ponselnya berbunyi. Ada dua notifikasi dari dua nomor berbeda.
Anna memperhatikan nomor yang terlebih dahulu masuk dalam ponselnya dan memperhatikan fotonya. Itu Rian. Halo cantik. Aku ingin bertemu lagi denganmu nanti. Dan aku tidak menerima kata “tidak”. Anna kembali mengumpat setelah membaca pesan dari Rian.
Pesan yang ke dua masuk, entah dari siapa, fotonya hanya menunjukkan gambar gitar listrik berwarna putih cokelat yang ia tahu sebagai gitar bermerk fender telecaster edisi spesial Richie Kotzen. Ia menyentuh pesan masuk itu sampai layarnya menampilkan keseluruhan pesan. Anna yakin betul kalau pemilik nomor ini adalah orang yang baru ditemuinya satu jam yang lalu.
Anna. Ini aku, Jonas.
Hati Anna tergelitik dengan perasaan yang campur aduk. Dan Anna melihat bahwa Jonas sedang mengetik pesan baru. Tetapi tampilannya terus berubah, seakan-akan Jonas mengetik lalu menunda lagi untuk mengirimnya. Sesaat kemudian, sebuah pesan baru masuk.
Aku sudah mengatakannya tadi. Tapi aku akan mengulanginya, bahwa aku sangat senang bisa bertemu lagi denganmu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Anna juga senang bertemu dengannya setelah sekian lama. Seakan-akan semua kenangan indah yang Anna alami itu muncul kembali dalam wujud yang lebih konkrit. Ia seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Ia ingin sekali memiliki momen ini sebentar saja, sebelum ia harus kembali ke dunia nyata. Kehadiran Jonas malam itu membuatnya kembali merasa seperti anak remaja lagi, menjadi dirinya sendiri, bebas dan bahagia.
Tetapi kilas balik kenangan buruk setelahnya membuatnya kembali merasakan sakit hati. Ia seperti diangkat, lalu dihempaskan lagi ke jurang meski Jonas saat ini tidak berbuat apa-apa padanya.
Akankah salah jika ia akhirnya mengakui kalau ia juga sangat senang bertemu dengannya? Anna dengan ragu mengetik di ponselnya. Aku juga senang bisa melihatmu lagi. Sesaat, ia menahan jarinya untuk menyentuh tombol “kirim”.
Sialan, umpatnya sambil menghapus apa yang ia tulis dan segera tidur tanpa membalas pesan Jonas dan langsung mematikan ponselnya.
Otaknya terus menerus memutar memori antara ia dan Jonas belasan tahun yang lalu, ketika mereka masih lebih muda, baru mengenal cinta, dan saling menyayangi satu sama lain.
Pria itu masih memberikan pengaruh yang luar biasa dalam perubahan suasana hatinya. Tidak ada pria yang bisa membuatnya seperti ini kecuali Jonas.
----------
Keeskoan harinya, Anna akhirnya pamit dari rumah Gina dan paman Rudy karena ia harus segera bekerja lagi. Ia juga harus segera mengunjungi Darryl yang sekarang bersekolah dan tinggal di sebuah asrama khusus anak laki-laki yang jaraknya sekitar 50 kilometer dari kota. Sudah lama ia tidak mengunjungi adiknya itu. Terakhir ia bertemu dengan adiknya sekitar satu bulan yang lalu.
Setelah melewati hari-hari bekerja di kantor yang melelahkan, akhirnya Anna bertemu lagi dengan hari Sabtu, di mana ia bisa beristirahat, jalan-jalan, atau menemui Darryl.
Setelah satu jam lamanya menyetir, akhirnya Anna tiba di sebuah lahan luas yang dikelilingi pagar tinggi dengan beberapa gedung yang berdiri di dalamnya. Anna menempatkan mobilnya di parkiran dan segera masuk ke dalam. Ia menyapa satpam, mengisi buku tamu, dan dipersilakan masuk.
Lalu ia sampai ke sebuah ruang yang cukup besar. Anna mengingat kalau ruangan ini adalah kantin sekolah yang difungsikan menjadi ruang tamu bagi orang tua yang ingin bertemu dengan anak-anak mereka. Di pojok ruangan terdapat ruang dapur, di depannya telah tersedia berbagai makanan yang boleh dibeli dan dikonsumsi bersama-sama dengan orang tua murid dan para tamu yang berkunjung.
Tetapi kali ini, Anna ingin membawa adiknya pergi sebentar sebelum mengembalikannya lagi ke asrama. Ia ingin membawa Darryl ke kota dan merasakan makanan yang berbeda.
“Kakak!” kata seorang anak laki-laki yang tingginya hampir sama dengannya. Ia datang padanya dengan perlahan. Anna merentangkan tangannya dan meraih adiknya itu dalam pelukkannya. Ia mundur sedikit untuk menganalisa tubuh adiknya itu.
“Apa kau makan dengan baik?”
“Tentu saja.”
“Apa kau bikin ulah disini?”
“Tentu tidak. Aku ini anak baik! Tanya saja pada Miss Ratna.”
Anna percaya pada adiknya ini. Meski terkadang ia sedikit usil, ia tetap anak yang baik. Entah dari mana sikap itu ia dapatkan. Anna terkadang masih bingung pada Darryl, ia merasa kalau ia merawat adiknya itu dengan sangat buruk.
Saat Anna bersekolah, Paman Rudy menyewa seorang baby sitter untuk mengurus Darryl. Entah sudah berapa banyak uang yang Paman Rudy keluarkan untuk mereka berdua. Anna berutang banyak pada orang tua itu.
Setelah ia sudah memasuki usia 10 tahun, Paman Rudy tidak lagi menyewa baby sitter. Darryl sudah dewasa sebelum waktunya. Ia terbiasa memasak, menyapu dan melakukan pekerjaan rumah tangga di umurnya yang bahkan belum menginjak remaja.
Akhirnya setelah lulus SD, Anna memutuskan untuk menempatkan Darryl di asrama anak laki-laki untuk SMP dan SMA. Anna merencanakan bahwa Darryl akan tinggal di sana hingga ia lulus. Sekolah itu adalah salah satu sekolah terbaik di kota ini. Anna tidak meragukan pelayanan mereka dan mempercayakan adiknya di sana.
Darryl membuka pintu mobil kakaknya dan melompat masuk. Anna segera menderu mobilnya pergi dari sana untuk mencari tempat makan terdekat. Anna menemukan sebuah gerai pizza di sebuah rest area, mereka lalu melangkah masuk dan tubuhnya segera disambut rasa sejuk saat ia melewati pendingin udara yang ada di gerai pizza itu. Mereka memesan pizza paling besar untuk diri mereka masing-masing.
Anna memandang adiknya yang makan dengan lahap. “Apa kau bosan makan makanan di sana?”
Darryl mengangguk. “Aku rindu pizza.” Katanya dengan mulut yang penuh. “Oh ya kak. Apakah kita punya sepupu?”
Wajah Anna teralih dari pizza menuju wajah Darryl. Selama ini, Anna tidak merasa memiliki keluarga yang lain. “Aku rasa tidak. Ayah dan ibu kita masing-masing adalah anak tunggal di keluarganya. Nenek dan kakek kita juga sudah lama meninggal. Jadi ku rasa tidak ada yang tersisa. Omong-omong, kenapa kau tiba-tiba bertanya?”
“Aku hanya penasaran,” Darryl melahap potongan pizza lainnya setelah ia menghabiskan potongan pertamanya dalam hitungan detik. “Seseorang datang padaku dan mengaku kalau ia adalah sepupu kita.”
“Apa? Siapa namanya?”
“Dia bilang namanya Aldo.”
Aldo? Anna betanya dalam hatinya kenapa nama itu tidak asing. Tapi berapa kalipun Anna berusaha mengingat, ia tetap tidak bisa menemukan nama itu di daftar wajah laki-laki yang ada di pikirannya. “Lalu dia bilang apa? Dan berapa kali dia datang?”
“Dia bilang dia sepupuku. Dia sudah dua kali datang. Sebulan yang lalu, dan terakhir, dua minggu lalu. Dia bahkan memberiku uang jajan.”
“Memberimu uang jajan?”
Darryl mengangguk. Anna menjadi penasaran. Siapa pria itu? Dan kenapa sekolah bisa dengan gampangnya memperbolehkan orang asing itu masuk dan mendekati adiknya. Anna berencana akan membuat komplain. Ia takut jika ada orang jahat mengincar adiknya.
“Dengar Darryl, biar kuperingatkan kalau kau harus berhati-hati, meski kau ada di asrama, tidak berarti hidupmu akan selalu aman. Jika orang itu memberikan makanan, kau tolak saja. Kita tidak tahu apa maksud orang itu mendekatimu, jadi jangan lengah, oke?”
Darryl kembali mengangguk lalu meletakkan potongan pizzanya. “Aku akan ke toilet sebentar,” kata Darryl sambil bergegas menuju toilet yang ada tak jauh dari tempat duduk mereka.
Mata Anna kembali ke pizza. Tetapi ia merasa ada seseorang yang datang dan sangat familiar. Ia meletakkan makanannya dan melihat Jonas masuk dari pintu dan segera mencari tempat duduk. Ia memesan pizza dan menunggu sambil berdiri. Dalam diamnya, Jonas menengok sekeliling.
Dalam situasi ini, Anna tidak bisa lari. Ia tidak mungkin menerobos masuk ke toilet pria dan menarik Darryl yang entah sedang apa di sana itu, untuk membawanya keluar dari restoran.
Jadi Anna akan tetap bersikap tenang. Anna membetulkan posisinya dan menunduk, berusaha untuk tidak menarik perhatian Jonas. Tetapi hal itu sia-sia, ia tidak mungkin menyembunyikan tubuhnya. Jonas menyadari kehadiran Anna dan segera mendatanginya.
“Anna. Sedang apa kau disini?” tanyanya. Ia lalu duduk di depan Anna.
Anna mengangkat wajahnya untuk melihat Jonas dari dekat. Ia mengutuk dirinya sendiri karena sampai sekarang, ia masih gugup ketika bertemu manusia ini. Ia mencoba mengendalikan dirinya. “Aku disini bersama adikku.”
Jonas terperangah dan segera menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari kehadiran Darryl yang tidak ia temukan di manapun. “Di mana dia?”
“Ke toilet baru saja.”
“Oh,” kata Jonas.
Anna kembali memakan pizza-nya saat Jonas kembali bertanya.
“Kenapa kau tidak membalas pesanku, Anna?”
Mendengar itu, Anna merasa tidak ingin menjawab pertanyaan Jonas. Anna menghindari tatapan mata Jonas dan tetap makan sendiri.
Jonas menyadari bahwa ia tidak akan mendapat jawaban apapun dari Anna saat ini, lalu menanyakan hal yang lain. “Apa kau akan membawa adikmu jalan-jalan?”
“Tidak, aku hanya membawanya makan siang saja.”
Jonas mengangguk. “Bagaimana kabar adikmu? Apakah dia sehat?”
Anna bertanya dalam hati bahwa basa-basi macam apa itu, karena ia seharusnya bertanya hanya tentang Anna saja, bukan tentang adiknya. “Tentu, dia dalam kondisi baik dan sehat.”
Jonas mengangguk. Meski Anna bisa melihat ada suatu kecemasan di pelupuk matanya, ia tidak ingin repot-repot untuk bertanya dan memberi kesan kalau ia perhatian.
“Pesanan 1109,” panggil waiter pada orang yang memegang nomor itu.
“Itu aku. Sampai jumpa, Anna.” Ia pun pamit dan bergegas keluar tanpa berkata apapun lagi pada Anna.
Disusul dengan Darryl yang datang dan mereka melanjutkan makan siang bersama.
Anna memeluk Darryl dengan erat dan menangis dengan pilu saat melihat kedua orang tuanya diturunkan ke dalam liang lahat yang telah di gali berdampingan itu. Hampir semua orang di kampung itu datang untuk menghadiri prosesi pemakaman kedua orang tua Anna, dan semua wanita yang ada di sana ikut menangis dalam duka. Paman Rudy berdiri di samping Anna dan mengambil Darryl dari gendongannya. Anna langsung terduduk dan memeluk nisan di atas tanah yang sudah tertumpuk di atas jenazah ibunya. Gina yang juga sangat berduka atas kejadian itu langsung berjongkok di samping Anna dan merengkuhnya dalam pelukannya. Air matanya ikut turun untuk menangisi kepergian ibunya Anna yang sudah sangat baik sekali padanya. Belum sempat Gina membalas semua kebaikan itu, Tuhan telah memanggilnya dengan cara yang diluar pemikiran semua orang. Ia terus mengelus punggung dan lengan Anna yang masih histeris dalam kemalanga
Anna menarik Gina masuk dalam toilet wanita. “Ada apa? Kenapa kau menarikku ke dalam sini?” protes Gina. Anna terlihat tidak nyaman. Berulang kali kepalanya keluar masuk, melihat seseorang yang dari jauh berjalan kian mendekat. Gina yang penasaran, ia juga langsung menoleh ke arah yang dimaksud. “Kamu menghindari siapa?” “Rian. Sedari tadi, aku tidak dibiarkan sendirian. Dia mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan ke toilet wanita.” “Sepertinya dia menyukaimu.” “Aku tau, dan dia sudah mengakuinya padaku kemarin. Tapi aku tidak suka padanya. Jadi aku tolak saja dia waktu dia ingin jadi pacarku.” “Kau tau, sepertinya, Rian tidak buruk. Dia terkenal sebagai anak yang baik dan selalu dapat peringkat teratas. Dia juga sopan. Di tambah lagi, dia juga anak orang kaya. Keluarganya punya sebuah rumah sakit dan sebuah sekolah khusus anak perempuan di kota.” “Entahlah. Aku merasa ada yang
Seharian ini, Anna menghindari bertemu dengan Jonas. Dirinya tidak bisa berhenti merasa grogi setiap kali harus berhadapan dengan anak laki-laki yang kini telah menjadi kekasihnya itu. Sepulang sekolah, Jonas mendatangi Anna yang baru saja mengambil sepedanya dari parkiran. Ingin sekali Anna kabur dari sana, tetapi Jonas meraih memegangi tangannya dengan lembut. Saat Anna melihat kalau Jonas tidak membawa sepeda, Anna lalu menawari Jonas untuk pulang bersama. Ia lalu menaiki sepedanya, tetapi Jonas malah berdiri di sana dengan bingung. “Kenapa?” tanya Anna. Wajah Jonas melembut. “Turunlah, tidak mungkin kau yang memboncengku.” “Tapi aku bisa, aku sering membonceng Gina, dia kan lebih berat darimu. Aku…” Jonas memotong omongan Anna dengan tertawa. “Kau ini lucu… Bukan seperti itu caranya. Tidak mungkin aku membiarkan kekasihku memboncengku. Di mana harga diriku?”
Setelah pemakaman ibunya, mereka akhirnya pulang ke rumah. Gina tidak berhenti melepas genggaman tangannya dari tangan sahabatnya yang sedang berduka cita itu sambil memeluk Darryl digendongannya. Anak kecil itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia tertidur setelah acara pemakaman itu selesai dan belum bangun hingga sekarang. Di sana, Gina bisa melihata air mata Anna telah mengering, matanya bengkak, dan wajahnya terlihat kusut. Setelah sampai di rumah itu, paman Rudy memarkirkan mobilnya di luar tanpa memasukkannya ke dalam garasi. Mereka lalu melompat ke luar satu per satu dari dalam mobil itu. “Aku akan mengurus Darryl, kau bisa beristirahat,” ucap Gina pada sahabatnya itu. Anna menunggu hingga semua orang masuk saat matanya tertuju pada rumah yang menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi dua hari sebelumnya. Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul dari ujung jalan. Mobil itu ter
Di hari Sabtu, Anna telah bersiap-siap di apartemennya. Rian bilang, ia ingin makan malam di sebuah restoran mewah yang ada di lantai 5 sebuah mall. Ketika Anna menolak untuk makan di tempat seperti itu, Rian tidak memberinya banyak pilihan saat mengatakan kalau meja mereka telah dipesan dari jauh-jauh hari. Mau tidak mau, Anna akhirnya mengikuti saja, dan ia harus mengenakan dress. Ia memakai gaun warna beige selutut dan heels setinggi 5cm. Ia melihat dirinya di cermin dan menundukkan kepalanya, ia belum bisa membayangkan seperti apa makan malam bersama orang yang selama ini selalu dihindari olehnya itu. Setelah menerima kabar dari Rian kalau ia ada di lobby tower apartemen disebelah, Anna segera turun menggunakan lift, bermaksud untuk menggunakan junction di lantai bawah di sana agar ia terlihat seperti turun dari apartemen sebelah. Ia masih tidak ingin Rian tahu di mana sebenarnya ia tinggal. Langkahnya terhenti saat melihat Jonas duduk di sebuah
Hari itu menjadi hari yang luar biasa mengerikan untuk Anna dan Jonas. Kata Gina, anak laki-laki itu tidak turun sekolah hari ini setelah dipukuli oleh ibunya hingga tubuhnya dipenuhi bekas cambukan. Awalnya, Anna mencari-carinya ke rumahnya, tetapi tidak ada jawaban, sehingga ia kembali ke rumah dengan terlambat setelah cukup lama menunggu kalau-kalau Jonas muncul. “Apa dia pergi ke rumah tetangga yang lain?” Tanya Gina. Anna mengangkat bahunya sambil menoleh ke belakang di mana jalanan dan perumahan itu terasa sangat sepi sekali. Sebelum mereka berpisah, tiba-tiba seseorang yang tidak diharapkan muncul. Ayahnya sedang duduk sambil minum minuman keras di ruang tamu. Di ruang tengah, terlihat ibunya yang tengah menangis dengan wajah yang memar. “Kenapa kau pulang terlambat, Anna?” Tanya ayahnya dengan dingin. Anna hanya berdiri di pintu yang setengah terbuka itu dengan wajah ket
Tahun 2008 “Anna, apakah kau sudah siap?” Anna melihat tubuhnya di cermin, memperhatikan seragam baru yang akan ia kenakan saat bekerja nanti. Entah sampai kapan ia harus memakai seragam ini, ia tidak tahu. Pakaian itu berwarna putih, bagian atas maupun bagian bawahnya terlalu terbuka. Lehernya bermodelkan leher kemeja, sedangkan kancing depannya memakai ritsleting panjang. Panjang dress itu hanya sampai sepaha, dan Anna sadar kalau ini terlalu pendek. Ia menggunakan celana stocking berwarna beige sehingga ia tidak kuatir kalau celana dalamnya akan terlihat. Gina muncul di cermin itu dengan pakaian yang lebih tertutup, ia melihat pakaian Anna dengan sedikit sedih. Ia mengambil sebuah jaket dalam lemari Anna dan memberikan itu padanya. “Apa kau yakin dengan pekerjaan ini?” “Aku tidak punya pilihan, Gina. Aku sudah banyak merepotkan ayahmu dan kau. Tolong jangan beritahu paman Ru
Anna dan Gina mendapat tugas piket di hari itu sehingga mereka bertahan di kelas untuk membersihkan ruangan kelas mereka sebelum mereka pulang. Saat itu, Anna sedang sibuk membersihkan laci-laci meja yang dipenuhi sampah kertas dan pulpen yang sudah habis tintanya. “Dasar anak laki-laki,” umpat Anna sambil berbisik dan membuang sampah-sampah itu ke lantai. Saat Anna datang ke sebuah meja dan membersihkannya, Anna menemukan sebuah ponsel Nokia seri 6600. Ponsel ini mirip dengan ponsel yang dimiliki Jonas, hasil dari kerja sampingan di kebun Paman Rudy Pada awalnya, ia berniat untuk memberikannya pada Jonas langsung. Tetapi rasa penasaran membuat Anna memutuskan untuk membuka saja kunci ponsel itu yang ternyata tidak memerlukan sandi apapun. “Ini aneh,” katanya. Ia mengingat kalau ponsel Jonas selalu terkunci dengan sandi nomor ulang tahun Jonas sendiri. Saat ia membuka galeri fot
Satu tahun kemudian… Matahari pagi membangunkan Anna dan Jonas yang tertidur lelap di atas kasur di sebuah ruangan yang bukan milik mereka. “Selamat pagi sayang,” kata Jonas pada Anna sambil menggosok matanya. “Selamat pagi,” jawab Anna dengan mengusap wajahnya. Keduanya terlihat kusut setelah melalui malam yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka pulang ke rumah Paman Rudy bersama juga dengan Gina dan mereka mengobrol hingga pukul 2 dini hari. Anna menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika Anna hendak turun untuk membuat kopi untuk Jonas, Jonas tiba-tiba menghentikannya. “Aku ingin menyapa Joanna dulu,” kata Jonas. Anna tersenyum lalu kembali duduk di samping Jonas yang segera duduk dan mengarahkan wajahnya pada perut Anna yang kini terlihat membuncit karena telah ada sosok manusia kecil yang bermukim dalam perutnya selama 5 bulan ini. “Hai Joanna, ini Papamu. Selamat pa
Tiga bulan kemudian… Jreng… suara gitar yang tak beraturan terdengar dari sebuah ruangan yang ada di tengah rumah tersebut diikuti oleh suara anak-anak kecil tertawa cekikikan, menandakan kalau para pelaku keributan itu lebih dari satu orang. Jonas mencari anak yang bernama Dina itu ke ruangan yang dipenuhi dengan instrumen gitar dan menemukan Dina, saudara kembar Dina yang bernama Doni, dan Vika sedang memainkan gitar dengan sembarangan. “Hayo, kalian sedang apa?” tanya Jonas sambil bersedekap. Dina dan Vika terkejut dan mereka berdiri dengan tegang, sementara Doni langsung buru-buru meletakkan gitar itu pada stand yang ada di dekat mereka. Wajah mereka terlihat cemas dan takut dan sambil melirik satu sama lain. Jonas melepas tangannya dan berjongkok, “Doni, Dina, kalian sudah dijemput oleh mama kalian.” Doni dan Dina langsung sumringah dan menghampiri Jonas, menyalaminya dan pamit padanya secara bersamaan, “bye
Satu minggu setelah pernikahan Anna dan Jonas, semua orang akhirnya kembali ke Balikpapan. Jonas dan Darryl sempat cemas pada keadaan ayahnya karena beliau sempat berkata sakit pinggang dan hampir tidak bisa berjalan, sehingga harus menggunakan kursi roda untuk bisa turun dari pesawat. Tanpa menunda, Jonas dan Anna langsung membawa Paman Jonathan ke rumah sakit terdekat. Paman Jonathan menerima perawatan di sana kurang lebih selama satu minggu untuk memulihkan kondisinya yang kelelahan akibat acara. Anna sempat kuatir pada Paman Rudy juga, tetapi lelaki tangguh itu jelas tidak apa-apa dan menuruhnya fokus pada Paman Jonathan yang terlihat lebih lemah dari biasanya. Di rumah sakit, Darryl, Jonathan dan Michelle akan menjaga ayahnya secara bergantian tanpa kenal lelah. Sedangkan Anna akan membawakan makanan dan pakaian ganti untuk mereka setiap harinya. Ketika Paman Jonathan diizinkan pulang, Jonas menyuruh Michelle untuk menyiapkan kamar untuk
“Kenapa wanita itu bisa ada di sini?” tanya Anna saat melihat nyonya Vina duduk di sana seraya menampilkan wajah angkuhnya dan dengan gaun pendek yang tidak cocok dengan usianya. Seketika, perasaan bahagianya langsung sirna, digantikan dengan perasaan takut yang sama sekali tidak menyenangkan. Dengan pakaian minim itu, wanita ini lebih mirip seorang PSK dari pada orang kaya. Nyonya Vina menoleh pada mereka. Jelas, ada yang salah pada wanita ini. Anna dan Jonas sedikit tercengang dengan penampilan Nyonya Vina yang terkesan kusut dan berantakan. Rambutnya terlihat memutih, kerutan di wajahnya terlihat tambah banyak dan beliau terlihat lebih kurus. Nyonya Vina berjalan ke arah Anna dan Jonas. “Halo…” “Halo,” jawab Anna. “Jangan kuatir, oke?” kata Jonas mencoba menenangkan Anna, lalu memalingkan pandangannya pada Nyonya Vina. “Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” Nyonya Vina menunduk untuk menelan salivanya, la
10 hari kemudian Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Konsep yang mereka pilih adalah konsep pernikahan di taman berumput hijau yang menghadap laut, di mana taman itu masih ada dalam area hotel yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang dan lampu-lampu temaram yang bergelantungan. Awalnya Anna ingin menikah di pantai, tetapi urung karena ada potensi gelombang tinggi. Jonas melihat kalau taman itu bukanlah tempat yang buruk, dan memutuskan memilih menikah di sana. Venue utama tersebut terbagi dua. Sebelah kanan digunakan untuk resepsi, sebelah kiri digunakan untuk acara pernikahan. Di area acara pernikahan sendiri telah tersusun kursi-kursi yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan, dan menyisakan satu jalan di tengah yang akan dilalui oleh pengantin Acara berlangsung tepat pukul 5 sore menjelang senja yang akan dilanjutkan dengan makan malam di area resepsi yang terdapat gazebo yang digunakan sebagai panggung untuk para perf
Tiga Bulan Kemudian Singkat cerita, Anna shock mendengar berita kepergian Rian. Namun, saat itu, dia sudah jauh lebih tegar. Anna begitu menyesal karena ia tidak bisa menemui Rian untuk terakhir kalinya dan berkata kalau ia telah benar-benar memaafkan Rian. Pak Hendri dan juga Silvanna tidak bersedia memberitahu di mana Rian dimakamkan. Bahkan setelah Anna memaksa, mereka tetap bungkam. “Ini adalah amanat Rian pada kami,” kata Silvanna saat menjelaskan kenapa mereka tidak memberitahunya. “Rian tidak ingin kau temui lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu.” Hal itu membuat hati Anna jadi penuh sesak karena rasa bersalah. Namun Silvanna benar, Anna harus melanjutkan hidupnya dengan mengingat seluruh kebaikan Rian. Kejadian ini membuka mata hati Anna, bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan hati yang jahat. Tanpa sadar, Rian telah mengajarkan Anna banyak hal. Bahwa kata “jahat” hanyalah sebuah kata yang digunakan orang-orang
Orang yang pertama tahu tentang lamaran Jonas adalah Rona yang kebetulan mampir ke apartemen Gina untuk menjenguk Anna. Tetapi Anna menyuruhnya untuk tidak memberitahukannya pada Gina karena Anna akan memberitahukan mereka malam nanti. Jonas kemudian memberitahu Michelle dan ayahnya kalau dia dan Anna telah bertunangan dan disambut bahagia oleh mereka, meski Paman Jonathan akhirnya lupa lagi kalau Anna dan Jonas sekarang sudah dewasa dan akan menikah. “Jonas, kau kah itu? Kenapa badanmu besar sekali?” kata Paman Jonathan sambil memperhatikan Jonas dengan kaca matanya yang tebal. “Papa, aku sudah dewasa sekarang. Ini calon istriku,” kata Jonas saat Anna melambaikan tangannya pada Paman Jonathan. Di mata Paman Jonathan, mereka selalu menjadi anak SMP yang lugu. Jonas dan Anna hanya tertawa melihat Paman Jonathan yang kebingungan lalu mengingat lagi kalau mereka kini sudah dewasa. Anna merahasiakan ini semua sampai mereka dapat berkumpul bersama-
Buat kalian yang bingung guys kenapa bab ini diulang, ada plot hole yang harus aku perbaiki mulai bab 48. Jadi ini ngga diulang ya guys, tapi digeser dikit heheh. Enjoy… Tidak ada satu pun informasi yang didapat Anna dan Jonas, para perawat dan tenaga medis, semuanya berkata tidak tahu. Ketika Anna dan Jonas kembali ke apartemen, Anna memutuskan untuk menelepon Pak Hendri dan Silvanna. Di sini, Anna sudah tahu, kalau semua orang bersepakat terhadap sesuatu. Hingga kini, Anna tidak tahu Rian masih hidup atau tidak. Bukannya mendoakan dan meragukan kuasa Tuhan, tetapi tubuh Rian pasti terlalu lemah untuk bertahan tanpa sokongan tenaga medis dan oksigen. Saat ini, Anna berdiri di dekat pintu balkon, sedang melamun dengan pikiran yang kosong. Jonas muncul di belakangnya sambil membawa dua gelas cokelat panas. Dia menyerahkan salah satu gelas yang ada di tangannya dan Anna menyambut gelas
“Kalau kau mau, kita tidak usah masuk. Kita bisa lihat dia dari luar,” ucap Jonas sambil menggenggam tangan Anna dengan erat. Begitu mendengar bahwa Rian telah sadar, Anna dan Jonas memutuskan untuk datang ke rumah sakit keesokan harinya. Anna berhenti sebentar tepat di depan ruang ICU itu. Napasnya menderu dengan cepat. Jonas memperhatikannya dan mempererat genggamannya. “Apa kau baik-baik saja? Kita bisa pulang jika kau berubah pikiran.” Anna menggeleng, mencoba menepis gejala serangan panik yang mulai datang. “Aku ingin masuk.” Jonas lalu menunggu di luar tepat di dekat jendela kamar Rian. Ia memperhatikan Rian yang sudah kurus kering itu dengan mata memicing, urat-urat lehernya mencuat di balik kulitnya dengan jelas. Tangannya terkepal waspada. Dengan perlahan, Anna berjalan mendekati Rian yang terbaring lemah dan masih menggunakan oksigen. Bibirnya terlihat kering dan wajahnya masih pucat. Di sebelahnya terlihat Silvanna yang sedang membe