Sepulang sekolah, Anna dan Gina lansung bergegas menggunakan sepeda untuk pulang. Mereka sering berlomba siapa yang akan sampai rumah duluan. Tetapi saat itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Anna sebelum sampai ke rumah. Gina melihat ke arah jam dan mengatakan bahwa ia harus segera pulang karena ibunya sakit.
Seorang anak laki-laki duduk termenung di ayunan yang berada dekat pohon besar di taman itu. Anna melihatnya dan mengenalnya sebagai Jonas. Anak itu terkenal sebagai anak yang selalu terlibat dalam hal-hal yang melanggar aturan sekolah, mulai dari merokok hingga minum minuman keras. Ia telah berulang kali masuk ruang konseling dan sering mendapat peringatan. Entah dari mana ia mendapat benda-benda tersebut. Orang tua Jonas juga tidak pernah datang saat dapat panggilan di sekolah.
Tetapi, Anna tidak melihat ada prilaku yang terlalu salah dari Jonas. Di sekolah, ia selalu menjadi anak yang penurut. Ia tidak pernah berkata kasar, dan sering menolong guru. Sesekali ia memang ketahuan merokok, tetapi hal itu tidak pernah terjadi di sekolah. Semua guru menyukainya karena dia memang anak yang tidak pernah membantah, meski kerap kali dimarahi karena hal sepele.
Rumor beredar bahwa orang tua mereka akan berpisah. Ayah dan ibunya hidup dalam hubungan yang sangat tidak sehat. Sebagai anak satu-satunya, ia kerap kali menjadi sasaran kemarahan ibunya yang terkenal galak dan sering memukul.
Dulu, ketika mereka kelas 1 SMP, Jonas sering datang ke sekolah dalam keadaan memar dan lecet. Rumah Anna dan Jonas hanya berjarak 5 rumah. Dari kejauhan, para tetangga sering mendengar pertengkaran mereka, dan sering berakhir dengan Jonas keluar dengan wajah yang merah dan terkadang sedikit berdarah.
Jonas sering menginap di rumah orang lain, mulai dari rumah Gina, Anna dan juga tetangga-tetangga lainnya yang membiarkan Jonas menginap satu malam, saat orang tuanya sedang mengamuk atau bertengkar hebat. Anna menaruh simpati yang amat dalam pada Jonas.
Secara fisik, sebenarnya Jonas sangat menarik. Tetapi hal itu sering tersembunyi di balik pribadinya yang pendiam. Dalam hatinya, Anna membayangkan jika di dunia ini hanya tersisa Jonas dan Rian, seorang anak aneh di sekolah yang juga menyukai Anna, maka ia akan memilih Jonas.
Anak laki-laki ini selalu baik padanya. Jika Anna tidak masuk sekolah, Jonas-lah yang selalu datang padanya dan memberikan catatannya. Gina bisa saja memberikan catatannya, tetapi mereka selalu ditempatkan di kelas yang berbeda dengan guru yang berbeda juga.
Kebetulan, kemarin ia absen karena sakit. Seketika Jonas menyadari kehadiran Anna yang telah memandanginya dari tadi, ia lalu tersenyum dan memanggil Anna untuk mendekat.
Anna memarkirkan sepedanya dan bergegas duduk di ayunan kosong yang ada di sebelah Jonas. “Aku tidak melihatmu hari ini. Kau kemana saja?”
“Aku ada di sekolah. Kau saja yang tidak di kelas.”
Anna menyadari, bahwa hari ini adalah hari pangan, dan sekolah tidak mengadakan kegiatan belajar mengajar, hanya ada lomba dan acara masak-masak. Dan sementara itu, ia berpindah-pindah ruangan untuk menghindar dari Rian, mulai dari ruang UKS hingga toilet perempuan.
Anak laki-laki itu tidak berhenti mengikuti Anna kemanapun ia berada. Anna benar-benar merasa tidak nyaman dengan kehadiran Rian didekatnya. Ada sesuatu yang aneh pada dirinya yang membuat Anna merasa tidak nyaman dan cenderung takut.
Jonas membuka tas ranselnya dan mengeluarkan dua buah buku catatan dengan sampul cokelat. “Kemarin ada catatan yang sangat banyak di kelas IPA dan Bahasa Indonesia. Kuharap kau bisa membaca tulisanku.”
“Terimakasih, Jonas.” Kata Anna menerima buku itu dan memasukkannya di tas. “Aku memang tidak berada di mana pun hari ini.”
“Lalu kau kemana?”
“Kau tau Rian kan? Kemarin ia menyatakan perasaannya padaku dan ia memintaku menjadi pacarnya.”
Senyum di wajah Jonas memudar dan ia menunduk. “Apa yang kau jawab padanya? Apa kau menerimanya?”
“Ya tidak lah!” Kata Anna sambil melipat tangannya didepan dadanya. Wajahnya terlihat gusar. Seketika Jonas mengangkat wajahnya dan mendaratkan pandangannya pada wajah Anna. “Dia bersikap seperti penguntit! Aku justru merasa takut padanya, aku lebih memilih duduk di sini bersama denganmu.”
Anna tidak mengerti kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Pipinya memerah seketika. Ia mengumpat dalam hatinya dan memaki diri sendiri untuk berkata terlalu terbuka. Ia mengangkat wajahnya dan mendapati wajah Jonas terlihat sumringah, seringaian itu membuat giginya yang rapi itu terlihat. Anna penasaran padanya, apakah nanti ia berencana menjadi polisi, atau tentara? Atau sekolah kedinasan lainnya? Tidak semua orang punya gigi rapi yang natural. Sebagian orang akan menggunakan kawat gigi untuk membuat giginya lebih rapi. Tetapi susunan gigi Jonas sangat sempurna.
Anna mengambil ranselnya dan meletakkannya kembali di punggungnya. “Sampai jumpa, Jonas.” Ucapnya sambil berdiri dan bersiap untuk pulang. Tetapi Jonas menahan kepergian Anna dengan menarik lembut tangannya.
“Anna, aku ingin bilang sesuatu padamu.”
Anna kembali duduk dan memperbaiki letak rok birunya agar terlihat rapi. “Apa itu?”
“Aku selalu merasa gelisah jika bertemu denganmu.”
“Apa aku membuatmu tidak nyaman?” Tanya Anna dengan wajah cemas.
“Aku tidak tahu. Saat ini saja, hatiku berdebar ketika melihatmu.” Sambungnya lagi dengan wajah sedikit tertunduk.
“Apa? Kau ini kenapa Jonas? Katakan saja padaku.” Anna sebenarnya tahu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Ia berusaha bersikap tenang seperti tidak mengetahui apa-apa.
Banyak anak perempuan yang mengidolakan Jonas. Mereka menganggap Jonas adalah bad boy sekolah. Anna memang tertarik secara fisik pada Jonas. Dia memang laki-laki yang tampan. Tetapi Anna juga tidak akan mempermalukan dirinya sendiri dengan mengkui perasaan sukanya pada anak laki-laki itu.
“Aku rasa, aku menyukaimu Anna.” Ujarnya lagi sambil menatap mata Anna dalam-dalam.
Anna tertegun. Ia mendengar bahwa perkataan ini akhirnya benar-benar terjadi. Ia sadar benar bahwa wajahnya kini semerah udang rebus. Ia juga tidak mampu menahan perasaannya sendiri, bahwa sebenarnya ia juga menyukai Jonas. Ia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Tetapi ekspresi wajah Anna tidak dapat disembunyikan. Ah, sungguh cinta monyet itu memang indah.
---------
Gina menjentik-jentikkan jarinya di depan wajah Anna dan memanggil-manggil namanya. Seketika Anna pun kembali ke dunia nyata.
“Anna, kau melamun!” Protes Gina.
“Maaf Gina.” Kata Anna sambil memperbaiki dressnya. Ia mengenakan dress biru tua lengan pendek dan kerah kemeja yang berada 3cm di bawah lutut. Rambutnya yang berwarna cokelat tua dikuncir ekor kuda. Ia tidak memakai banyak riasan untuk menutup kulitnya yang sedikit cokelat. Hidungnya yang mancung, matanya yang cokelat dan indah, serta pipinya yang dihiasi dengan lesung pipi membuatnya sangat manis malam ini.
“Ayolah, sebentar lagi tamu akan berdatangan. Apa kau sudah memeriksa semuanya?”
Anna melihat tabletnya dan melihat semua daftar persiapan sudah dicek dengan baik. “Aku rasa semuanya sudah beres. Kita tinggal memberi kode pada operator genset jika sewaktu-waktu mati lampu.”
Gina mengangguk, beberapa teman lain yang menjadi panitia lalu lalang mempersiapkan keyboard dan juga pemainnya dan beberapa catering makanan yang telah datang.
Acara malam itu berlangsung sangat baik dan lancar. Mereka bertemu dengan guru-guru dan teman-teman lama. Ada yang telah menikah, ada yang masih lajang. Ketika acara bebas yang dilakukan sambil makan-makan, semua orang menemukan grupnya sendiri untuk mengobrol. Mulai dari kumpulan guru, kumpulan alumni, ada juga yang berbaur ke semua orang sementara mereka semua dihibur dengan makanan enak dan musik-musik tahun 2000an, mulai dari lagu Jikustik hingga lagu-lagu Simple Plan.
Gina dan Anna berdiri berdampingan memandang hasil karya mereka semua. Sesaat lagi acara ini akan segera berakhir dan kini adalah acara bebas, masih ada setengah jam sebelum waktu habis.
Lalu tiba-tiba seseorang datang pada Anna. Pria itu tinggi, berwajah tampan dan berkulit putih. Kemejanya yang mahal itu membuktikan bahwa ia memiliki finansial yang mapan. Tetapi Anna tidak mengingat orang ini dengan jelas.
“Halo, Anna,” ucapnya dengan nada yang menggoda.
“Oh, hai,” ucap Anna. “Apa aku mengenalmu?”
“Aku bisa ingatkan kembali padamu. Kamu adalah orang yang pertama kali ku suka dan yang pertama kali menolakku,” ujarnya dengan menaruh tangannya di pinggang. Lengan kemejanya yang sedikit terangkat itu menunjukkan kalau ia punya jam Rolex.
Sejenak, Anna melihat fisik orang ini, begitu menggoda. Tetapi, akal sehatnya segera menguasainya. Ia masih berusaha mengingat. “Katakan saja kau siapa.”
“Ah, kau masih galak. Aku suka itu. Kau lupa dengan juara umum di sekolah kita?” Ujarnya sambil menyeringai. “Kau sama sekali tidak berubah, Anna.”
Anna mengumpat dalam hati, ia hampir tidak mengenali siapa Rian sekarang. “Kau Rian Antonius!” Kata Anna sambil menyalaminya. “Aku bisa lihat kalau kau sekarang sudah sangat berubah.”
“Kau juga, sudah berubah, Sekarang kau jadi sangat… Lebih menarik,” Rian memeriksa tampilan Anna dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Apa kau sudah menikah?”
“Belum. Kalau kau?”
“Aku bercerai belum lama ini. Sekitar 2 bulan yang lalu, lebih tepatnya.”
“Aku sangat menyesal hal itu bisa terjadi padamu.”
“Meski menyedihkan, aku bisa jadi memiliki kesempatan untuk mendekatimu.”
Anna menggeleng, pria ini seperti menganggap pernikahannya itu main-main. "Kau baru saja bercerai untuk mendekati orang lain? Itu tidak etis! Bagaimana dengan mantan istrimu?"
"Dia wanita terbaik yang pernah ku miliki."
"Kalau dia baik, kenapa kau ceraikan?"
"Sudah ku bilang, aku jadi punya kesempatan untuk mendekatimu."
Anna tertawa mendengar ocehan Rian. "Kita sudah dekat sekarang. Tidakkah kau lihat? Jarakmu padaku hanya setengah meter."
Wajah Rian langsung berubah, ia terlihat lebih serius. "Bukan jarak itu yang aku maksudkan. Aku ingin dekat denganmu di sini," katanya lagi sambil menunjuk dada Anna.
Ia langsung menepis jari Rian yang teracung, "sialan. Jangan mesum!"
Rian memasukkan tangannya di saku celananya. "Aku tidak mesum." Wajahnya masih terlihat serius.
"Lihatlah di sana, masih banyak teman-teman kita yang lajang yang bisa kau nikahi, kau tinggal pilih." Kata Anna sambil memiringkan kepalanya dan memberi kode pada Rian untuk melihat ke ujung sana, di mana banyak sekali teman-teman mereka yang berkumpul untuk mengobrol. Masing-masing dari mereka semua telah bertumbuh menjadi para wanita yang cantik-cantik.
Rian tidak menoleh sama sekali dan tetap memandang Anna. "Kau masih tidak mempercayai perasaanku padamu."
"Terserah padamu," kata Anna sambil pura-pura melihat tab-nya.
Rian menjadi sangat aktif dalam berbicara, sedangkan Anna tidak banyak menanyakan apapun. Tetapi di sela-sela obrolan itu, Rian selalu menyisipkan godaan yang cepat-cepat ditepis oleh Anna.
Saat percakapan itu mulai membosankan, di saat itulah matanya tertuju pada seseorang yang sedang duduk di pojok. Pria itu mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku, celana jeans, sepatu air jordan dan jam tangan cronograph. Matanya menyorot tajam tepat ke arah Anna yang juga balas menatapnya.
Tatapan itu membuat sekujur tubuh Anna bergidik. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan familiar seperti itu. Bulu kuduknya merinding, tetapi bukan perasaan takut yang datang. Pria itu tidak berhenti memberi tatapan misteriusnya yang membuat Anna semakin penasaran. Hingga sesuatu membuat Anna tersadar. Ia akhirnya bisa mengenali siapa dia.
Pria itu adalah pria yang sama yang kemarin ia temui di depan rumah Jonas. Orang itu adalah Jonas sendiri.
Air mata Anna mengering. Ia merengkuh tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa itu di pelukkannya sementara Gina menggendong Darryl, adik laki-lakinya yang masih kecil. Setelah ibunya Anna dinyatakan meninggal dunia, Anna berlari lalu memeluknya hingga ia tidak mampu meratap lagi. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Apa yang ibunya Anna lakukan hingga ayahnya tega menghabisinya? Bukankah selama ini, ibunya Anna adalah ibu yang baik bagi ayahnya yang selalu pergi melaut dan kembali hanya 2 minggu setelah berbulan-bulan berlayar? Baginya, ibunya adalah orang yang setia dan mengutamakan keluarga. Ia akan bekerja sendiri jika mereka kekurangan uang. Tetapi ayahnya, meski bukanlah orang yang jahat, ia akan ringan tangan pada istrinya jika mereka bertengkar. Sosok ayahnya adalah sosok yang sedikit menakutkan bagi Anna, dan ia paling benci jika melihat kekerasan itu terjadi pada ibunya. Anna mengambil liontin yang dikenakan ibunya itu dan memasang
Anna memeluk Darryl dengan erat dan menangis dengan pilu saat melihat kedua orang tuanya diturunkan ke dalam liang lahat yang telah di gali berdampingan itu. Hampir semua orang di kampung itu datang untuk menghadiri prosesi pemakaman kedua orang tua Anna, dan semua wanita yang ada di sana ikut menangis dalam duka. Paman Rudy berdiri di samping Anna dan mengambil Darryl dari gendongannya. Anna langsung terduduk dan memeluk nisan di atas tanah yang sudah tertumpuk di atas jenazah ibunya. Gina yang juga sangat berduka atas kejadian itu langsung berjongkok di samping Anna dan merengkuhnya dalam pelukannya. Air matanya ikut turun untuk menangisi kepergian ibunya Anna yang sudah sangat baik sekali padanya. Belum sempat Gina membalas semua kebaikan itu, Tuhan telah memanggilnya dengan cara yang diluar pemikiran semua orang. Ia terus mengelus punggung dan lengan Anna yang masih histeris dalam kemalanga
Anna menarik Gina masuk dalam toilet wanita. “Ada apa? Kenapa kau menarikku ke dalam sini?” protes Gina. Anna terlihat tidak nyaman. Berulang kali kepalanya keluar masuk, melihat seseorang yang dari jauh berjalan kian mendekat. Gina yang penasaran, ia juga langsung menoleh ke arah yang dimaksud. “Kamu menghindari siapa?” “Rian. Sedari tadi, aku tidak dibiarkan sendirian. Dia mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan ke toilet wanita.” “Sepertinya dia menyukaimu.” “Aku tau, dan dia sudah mengakuinya padaku kemarin. Tapi aku tidak suka padanya. Jadi aku tolak saja dia waktu dia ingin jadi pacarku.” “Kau tau, sepertinya, Rian tidak buruk. Dia terkenal sebagai anak yang baik dan selalu dapat peringkat teratas. Dia juga sopan. Di tambah lagi, dia juga anak orang kaya. Keluarganya punya sebuah rumah sakit dan sebuah sekolah khusus anak perempuan di kota.” “Entahlah. Aku merasa ada yang
Seharian ini, Anna menghindari bertemu dengan Jonas. Dirinya tidak bisa berhenti merasa grogi setiap kali harus berhadapan dengan anak laki-laki yang kini telah menjadi kekasihnya itu. Sepulang sekolah, Jonas mendatangi Anna yang baru saja mengambil sepedanya dari parkiran. Ingin sekali Anna kabur dari sana, tetapi Jonas meraih memegangi tangannya dengan lembut. Saat Anna melihat kalau Jonas tidak membawa sepeda, Anna lalu menawari Jonas untuk pulang bersama. Ia lalu menaiki sepedanya, tetapi Jonas malah berdiri di sana dengan bingung. “Kenapa?” tanya Anna. Wajah Jonas melembut. “Turunlah, tidak mungkin kau yang memboncengku.” “Tapi aku bisa, aku sering membonceng Gina, dia kan lebih berat darimu. Aku…” Jonas memotong omongan Anna dengan tertawa. “Kau ini lucu… Bukan seperti itu caranya. Tidak mungkin aku membiarkan kekasihku memboncengku. Di mana harga diriku?”
Setelah pemakaman ibunya, mereka akhirnya pulang ke rumah. Gina tidak berhenti melepas genggaman tangannya dari tangan sahabatnya yang sedang berduka cita itu sambil memeluk Darryl digendongannya. Anak kecil itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia tertidur setelah acara pemakaman itu selesai dan belum bangun hingga sekarang. Di sana, Gina bisa melihata air mata Anna telah mengering, matanya bengkak, dan wajahnya terlihat kusut. Setelah sampai di rumah itu, paman Rudy memarkirkan mobilnya di luar tanpa memasukkannya ke dalam garasi. Mereka lalu melompat ke luar satu per satu dari dalam mobil itu. “Aku akan mengurus Darryl, kau bisa beristirahat,” ucap Gina pada sahabatnya itu. Anna menunggu hingga semua orang masuk saat matanya tertuju pada rumah yang menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi dua hari sebelumnya. Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul dari ujung jalan. Mobil itu ter
Di hari Sabtu, Anna telah bersiap-siap di apartemennya. Rian bilang, ia ingin makan malam di sebuah restoran mewah yang ada di lantai 5 sebuah mall. Ketika Anna menolak untuk makan di tempat seperti itu, Rian tidak memberinya banyak pilihan saat mengatakan kalau meja mereka telah dipesan dari jauh-jauh hari. Mau tidak mau, Anna akhirnya mengikuti saja, dan ia harus mengenakan dress. Ia memakai gaun warna beige selutut dan heels setinggi 5cm. Ia melihat dirinya di cermin dan menundukkan kepalanya, ia belum bisa membayangkan seperti apa makan malam bersama orang yang selama ini selalu dihindari olehnya itu. Setelah menerima kabar dari Rian kalau ia ada di lobby tower apartemen disebelah, Anna segera turun menggunakan lift, bermaksud untuk menggunakan junction di lantai bawah di sana agar ia terlihat seperti turun dari apartemen sebelah. Ia masih tidak ingin Rian tahu di mana sebenarnya ia tinggal. Langkahnya terhenti saat melihat Jonas duduk di sebuah
Hari itu menjadi hari yang luar biasa mengerikan untuk Anna dan Jonas. Kata Gina, anak laki-laki itu tidak turun sekolah hari ini setelah dipukuli oleh ibunya hingga tubuhnya dipenuhi bekas cambukan. Awalnya, Anna mencari-carinya ke rumahnya, tetapi tidak ada jawaban, sehingga ia kembali ke rumah dengan terlambat setelah cukup lama menunggu kalau-kalau Jonas muncul. “Apa dia pergi ke rumah tetangga yang lain?” Tanya Gina. Anna mengangkat bahunya sambil menoleh ke belakang di mana jalanan dan perumahan itu terasa sangat sepi sekali. Sebelum mereka berpisah, tiba-tiba seseorang yang tidak diharapkan muncul. Ayahnya sedang duduk sambil minum minuman keras di ruang tamu. Di ruang tengah, terlihat ibunya yang tengah menangis dengan wajah yang memar. “Kenapa kau pulang terlambat, Anna?” Tanya ayahnya dengan dingin. Anna hanya berdiri di pintu yang setengah terbuka itu dengan wajah ket
Tahun 2008 “Anna, apakah kau sudah siap?” Anna melihat tubuhnya di cermin, memperhatikan seragam baru yang akan ia kenakan saat bekerja nanti. Entah sampai kapan ia harus memakai seragam ini, ia tidak tahu. Pakaian itu berwarna putih, bagian atas maupun bagian bawahnya terlalu terbuka. Lehernya bermodelkan leher kemeja, sedangkan kancing depannya memakai ritsleting panjang. Panjang dress itu hanya sampai sepaha, dan Anna sadar kalau ini terlalu pendek. Ia menggunakan celana stocking berwarna beige sehingga ia tidak kuatir kalau celana dalamnya akan terlihat. Gina muncul di cermin itu dengan pakaian yang lebih tertutup, ia melihat pakaian Anna dengan sedikit sedih. Ia mengambil sebuah jaket dalam lemari Anna dan memberikan itu padanya. “Apa kau yakin dengan pekerjaan ini?” “Aku tidak punya pilihan, Gina. Aku sudah banyak merepotkan ayahmu dan kau. Tolong jangan beritahu paman Ru
Satu tahun kemudian… Matahari pagi membangunkan Anna dan Jonas yang tertidur lelap di atas kasur di sebuah ruangan yang bukan milik mereka. “Selamat pagi sayang,” kata Jonas pada Anna sambil menggosok matanya. “Selamat pagi,” jawab Anna dengan mengusap wajahnya. Keduanya terlihat kusut setelah melalui malam yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka pulang ke rumah Paman Rudy bersama juga dengan Gina dan mereka mengobrol hingga pukul 2 dini hari. Anna menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika Anna hendak turun untuk membuat kopi untuk Jonas, Jonas tiba-tiba menghentikannya. “Aku ingin menyapa Joanna dulu,” kata Jonas. Anna tersenyum lalu kembali duduk di samping Jonas yang segera duduk dan mengarahkan wajahnya pada perut Anna yang kini terlihat membuncit karena telah ada sosok manusia kecil yang bermukim dalam perutnya selama 5 bulan ini. “Hai Joanna, ini Papamu. Selamat pa
Tiga bulan kemudian… Jreng… suara gitar yang tak beraturan terdengar dari sebuah ruangan yang ada di tengah rumah tersebut diikuti oleh suara anak-anak kecil tertawa cekikikan, menandakan kalau para pelaku keributan itu lebih dari satu orang. Jonas mencari anak yang bernama Dina itu ke ruangan yang dipenuhi dengan instrumen gitar dan menemukan Dina, saudara kembar Dina yang bernama Doni, dan Vika sedang memainkan gitar dengan sembarangan. “Hayo, kalian sedang apa?” tanya Jonas sambil bersedekap. Dina dan Vika terkejut dan mereka berdiri dengan tegang, sementara Doni langsung buru-buru meletakkan gitar itu pada stand yang ada di dekat mereka. Wajah mereka terlihat cemas dan takut dan sambil melirik satu sama lain. Jonas melepas tangannya dan berjongkok, “Doni, Dina, kalian sudah dijemput oleh mama kalian.” Doni dan Dina langsung sumringah dan menghampiri Jonas, menyalaminya dan pamit padanya secara bersamaan, “bye
Satu minggu setelah pernikahan Anna dan Jonas, semua orang akhirnya kembali ke Balikpapan. Jonas dan Darryl sempat cemas pada keadaan ayahnya karena beliau sempat berkata sakit pinggang dan hampir tidak bisa berjalan, sehingga harus menggunakan kursi roda untuk bisa turun dari pesawat. Tanpa menunda, Jonas dan Anna langsung membawa Paman Jonathan ke rumah sakit terdekat. Paman Jonathan menerima perawatan di sana kurang lebih selama satu minggu untuk memulihkan kondisinya yang kelelahan akibat acara. Anna sempat kuatir pada Paman Rudy juga, tetapi lelaki tangguh itu jelas tidak apa-apa dan menuruhnya fokus pada Paman Jonathan yang terlihat lebih lemah dari biasanya. Di rumah sakit, Darryl, Jonathan dan Michelle akan menjaga ayahnya secara bergantian tanpa kenal lelah. Sedangkan Anna akan membawakan makanan dan pakaian ganti untuk mereka setiap harinya. Ketika Paman Jonathan diizinkan pulang, Jonas menyuruh Michelle untuk menyiapkan kamar untuk
“Kenapa wanita itu bisa ada di sini?” tanya Anna saat melihat nyonya Vina duduk di sana seraya menampilkan wajah angkuhnya dan dengan gaun pendek yang tidak cocok dengan usianya. Seketika, perasaan bahagianya langsung sirna, digantikan dengan perasaan takut yang sama sekali tidak menyenangkan. Dengan pakaian minim itu, wanita ini lebih mirip seorang PSK dari pada orang kaya. Nyonya Vina menoleh pada mereka. Jelas, ada yang salah pada wanita ini. Anna dan Jonas sedikit tercengang dengan penampilan Nyonya Vina yang terkesan kusut dan berantakan. Rambutnya terlihat memutih, kerutan di wajahnya terlihat tambah banyak dan beliau terlihat lebih kurus. Nyonya Vina berjalan ke arah Anna dan Jonas. “Halo…” “Halo,” jawab Anna. “Jangan kuatir, oke?” kata Jonas mencoba menenangkan Anna, lalu memalingkan pandangannya pada Nyonya Vina. “Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” Nyonya Vina menunduk untuk menelan salivanya, la
10 hari kemudian Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Konsep yang mereka pilih adalah konsep pernikahan di taman berumput hijau yang menghadap laut, di mana taman itu masih ada dalam area hotel yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang dan lampu-lampu temaram yang bergelantungan. Awalnya Anna ingin menikah di pantai, tetapi urung karena ada potensi gelombang tinggi. Jonas melihat kalau taman itu bukanlah tempat yang buruk, dan memutuskan memilih menikah di sana. Venue utama tersebut terbagi dua. Sebelah kanan digunakan untuk resepsi, sebelah kiri digunakan untuk acara pernikahan. Di area acara pernikahan sendiri telah tersusun kursi-kursi yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan, dan menyisakan satu jalan di tengah yang akan dilalui oleh pengantin Acara berlangsung tepat pukul 5 sore menjelang senja yang akan dilanjutkan dengan makan malam di area resepsi yang terdapat gazebo yang digunakan sebagai panggung untuk para perf
Tiga Bulan Kemudian Singkat cerita, Anna shock mendengar berita kepergian Rian. Namun, saat itu, dia sudah jauh lebih tegar. Anna begitu menyesal karena ia tidak bisa menemui Rian untuk terakhir kalinya dan berkata kalau ia telah benar-benar memaafkan Rian. Pak Hendri dan juga Silvanna tidak bersedia memberitahu di mana Rian dimakamkan. Bahkan setelah Anna memaksa, mereka tetap bungkam. “Ini adalah amanat Rian pada kami,” kata Silvanna saat menjelaskan kenapa mereka tidak memberitahunya. “Rian tidak ingin kau temui lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu.” Hal itu membuat hati Anna jadi penuh sesak karena rasa bersalah. Namun Silvanna benar, Anna harus melanjutkan hidupnya dengan mengingat seluruh kebaikan Rian. Kejadian ini membuka mata hati Anna, bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan hati yang jahat. Tanpa sadar, Rian telah mengajarkan Anna banyak hal. Bahwa kata “jahat” hanyalah sebuah kata yang digunakan orang-orang
Orang yang pertama tahu tentang lamaran Jonas adalah Rona yang kebetulan mampir ke apartemen Gina untuk menjenguk Anna. Tetapi Anna menyuruhnya untuk tidak memberitahukannya pada Gina karena Anna akan memberitahukan mereka malam nanti. Jonas kemudian memberitahu Michelle dan ayahnya kalau dia dan Anna telah bertunangan dan disambut bahagia oleh mereka, meski Paman Jonathan akhirnya lupa lagi kalau Anna dan Jonas sekarang sudah dewasa dan akan menikah. “Jonas, kau kah itu? Kenapa badanmu besar sekali?” kata Paman Jonathan sambil memperhatikan Jonas dengan kaca matanya yang tebal. “Papa, aku sudah dewasa sekarang. Ini calon istriku,” kata Jonas saat Anna melambaikan tangannya pada Paman Jonathan. Di mata Paman Jonathan, mereka selalu menjadi anak SMP yang lugu. Jonas dan Anna hanya tertawa melihat Paman Jonathan yang kebingungan lalu mengingat lagi kalau mereka kini sudah dewasa. Anna merahasiakan ini semua sampai mereka dapat berkumpul bersama-
Buat kalian yang bingung guys kenapa bab ini diulang, ada plot hole yang harus aku perbaiki mulai bab 48. Jadi ini ngga diulang ya guys, tapi digeser dikit heheh. Enjoy… Tidak ada satu pun informasi yang didapat Anna dan Jonas, para perawat dan tenaga medis, semuanya berkata tidak tahu. Ketika Anna dan Jonas kembali ke apartemen, Anna memutuskan untuk menelepon Pak Hendri dan Silvanna. Di sini, Anna sudah tahu, kalau semua orang bersepakat terhadap sesuatu. Hingga kini, Anna tidak tahu Rian masih hidup atau tidak. Bukannya mendoakan dan meragukan kuasa Tuhan, tetapi tubuh Rian pasti terlalu lemah untuk bertahan tanpa sokongan tenaga medis dan oksigen. Saat ini, Anna berdiri di dekat pintu balkon, sedang melamun dengan pikiran yang kosong. Jonas muncul di belakangnya sambil membawa dua gelas cokelat panas. Dia menyerahkan salah satu gelas yang ada di tangannya dan Anna menyambut gelas
“Kalau kau mau, kita tidak usah masuk. Kita bisa lihat dia dari luar,” ucap Jonas sambil menggenggam tangan Anna dengan erat. Begitu mendengar bahwa Rian telah sadar, Anna dan Jonas memutuskan untuk datang ke rumah sakit keesokan harinya. Anna berhenti sebentar tepat di depan ruang ICU itu. Napasnya menderu dengan cepat. Jonas memperhatikannya dan mempererat genggamannya. “Apa kau baik-baik saja? Kita bisa pulang jika kau berubah pikiran.” Anna menggeleng, mencoba menepis gejala serangan panik yang mulai datang. “Aku ingin masuk.” Jonas lalu menunggu di luar tepat di dekat jendela kamar Rian. Ia memperhatikan Rian yang sudah kurus kering itu dengan mata memicing, urat-urat lehernya mencuat di balik kulitnya dengan jelas. Tangannya terkepal waspada. Dengan perlahan, Anna berjalan mendekati Rian yang terbaring lemah dan masih menggunakan oksigen. Bibirnya terlihat kering dan wajahnya masih pucat. Di sebelahnya terlihat Silvanna yang sedang membe