Sudut tempat itu terasa sunyi dan hening, tidak banyak kendaraan umum maupun pribadi yang lewat di jalan raya.
Sebagian besar penduduk daerah itu adalah petani dan pedagang buah-buahan. Setiap hari, mereka akan pergi ke kota untuk menyuplai setiap kebutuhan di setiap pasar yang menjadi langganan mereka. Jarak tempat itu dan pusat kota tidaklah begitu jauh, hanya setengah jam jika jalanan tidak macet.Anna mengendarai mobil sedan kecilnya menelusuri jalan raya itu. Tujuannya membuatnya membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil di sebelah kiri.Mobil kecil berwarna putih itu terlihat berkilau dibawah terpaan sinar matahari. Bannya yang hitam membawa arahnya menuju ke sebuah perumahan yang setiap rumah memiliki tanah yang luas-luas.Setiap rumah terdapat kebun di belakangnya, mulai dari sayuran hingga buah-buahan. Rumah-rumah itu saling berhadapan dan jaraknya juga agak berjauhan, sama sekali tidak mepet atau berdekatan walaupun tetangga. Di depannya setidaknya terdapat satu buah mobil pick up.Namun tidak semua rumah yang punya kebun di belakangnya. Ada orang yang hanya membangun rumah saja, ada juga yang membangun kebun sekaligus rumah. Rumah yang Anna tuju sendiri memiliki kebun jeruk yang melebar di belakang 10 rumah tetangga yang berjejer dengan rumah itu.Satu kilometer dari sana terdapat sekolah, mulai dari TK, SD, hingga SMP. Para orang tua di sini rata-rata menyekolahkan anak mereka di sekolah tersebut. Jika anak-anak itu mencapai SMA, biasanya mereka akan pindah sedikit lebih jauh, karena SMA hanya berada di kota.Setelah perumahan yang pertama, Anna membelokkan mobilnya lagi menuju ke perumahan kedua yang jaraknya hanya 500 meter dari sekolah. Rumah-rumah itu juga memiliki jarak yang sama, bentuk yang hampir sama, dan juga terdapat kebun sayur atau buah di belakangnya.Di sana juga terdapat taman, banyak anak-anak sedang bermain dengan riang gembira di sana. Anna tersenyum sambil tetap menderu mobilnya masuk lebih jauh.Masuk ke area perumahan yang ketiga, tidak banyak orang yang tinggal di sini. Rumah pertama sebelah kiri adalah sebuah rumah seperti gudang buah, rumah inilah yang ia tuju.Tepat di sebelah rumah itu terdapat rumah lain yang cukup besar. Rumah biru muda itu memiliki pagar beton berwarna biru pudar. Rumah itu jelas sudah lama tidak ditinggali.Anna memegang liontin emas putih berbentuk hati berukuran kecil yang terpasang di lehernya itu dengan lembut, matanya masih terus memandangi rumah itu dengan pandangan yang sangat sedih, tapi dia tidak menangis.Dia sudah lama mampu mengendalikan dirinya dari tangisan tak terkontrol setiap kali mengingat rumah ini dan semua kenangan buruk di dalamnya.Anna memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah itu. Ia memandang sekeliling dan melihat beberapa anak yang bermain di taman tadi mengikutinya. Mereka jarang melihat orang yang datang dari pusat kota dan berpenampilan seperti Anna.Anna mengangkat kacamatanya dan membuka bagasi mobilnya. Anak-anak itu langsung tersenyum lebar saat Anna memberikan mereka snack dan juga mainan. Mereka memborong semuanya sampai habis.“Hai Anna,” sapa seseorang di dalam rumah sebelah.Anna mengenali suara itu. Ia langsung mendatangi rumah itu dan mendapati seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh, penuh debu tanah, dengan sebuah gunting ranting kecil ada di saku celananya sebelah kanan.“Paman Rudy!”“Apa yang membawa orang kota ke sini?”“Aku hanya merindukan paman.”“Apa kau ke sini karena mendengar akan ada reuni SMP?”“Bagaimana paman tahu?”“Ini pemukiman kecil, semua orang tahu.”“Apa Gina yang memberi tahu paman?”“Benar.”“Aku akan menginap jika paman tidak keberatan.”Paman Rudy mencubit pipi Anna. “Bicara apa kau? Tentu saja kau boleh menginap di sini, ini kan rumahmu juga!”Anna melepas tangan Paman Rudy dan mendengus dengan manja. “Gina akan datang kan?”“Tentu saja. Tunggu saja dia keluar.”“Oke,” Anna mengangguk-angguk. Saat menyadari perkataan Paman Rudy yang berkata kalau ia akan turun, wajahnya langsung berubah kegirangan. “Keluar? Gina di sini?”Paman Rudy hanya tersenyum sementara Anna langsung menghambur masuk untuk menemui sahabat masa kecilnya itu.“Anna!” teriak Gina sambil melemparkan keranjang jeruk yang dipegangnya.Mereka langsung berpelukan erat dan histeris seperti anak-anak.Gina dan Anna sudah beberapa bulan ini tidak bertemu karena kantornya mengharuskan Gina untuk sekolah lagi guna memperdalam ilmunya di Jakarta.Paman Rudy tertawa melihat tingkah dua anak wanita yang sudah dewasa itu. “Aku akan tinggalkan kalian di sini. Jika kalian membutuhkanku, aku ada di belakang.”Setelah paman Rudy berlalu, Gina lalu mengajak Anna ke lantai dua. Ia berhenti sebentar di dapur untuk mengambil jus jeruk yang ia buat tadi pagi berserta dua buah gelas kosong menuju kamarnya.“Aku senang akhirnya kita bisa bertemu,” kata Gina sambil meletakkan jus jeruk dan gelas itu di mejanya. “Kenapa kau tidak bilang kalau mau ke sini lebih awal?”“Aku masih ada pekerjaan. Tapi hari ini tiba-tiba saja pekerjaanku harus tertunda, makanya aku bisa ke sini,” ucap Anna. Ia duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan sambil menikmati es jeruk yang tadi dituangnya."Karena aku sudah di sini dan akan tetap bekerja di kota ini, aku sudah menyewa sebuah apartemen yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalmu. Aku ingin bisa ke apartemenmu setiap saat aku inginkan."“Terserah padamu saja. Apa kau sudah berbenah di apartemen itu?""Tidak juga, apartemen itu sudah memiliki semua yang aku perlu. Aku hanya tinggal membawa pakaianku saja." Jawab Gina.Mata Anna lalu terkunci pada sebuah rumah lama lain yang juga terlihat lusuh dan sudah lama tak di tempati lagi.Rumah itu berwarna putih, berjarak sekitar enam rumah dari sini. Atapnya terlihat sudah berlubang-lubang. Rumput ilalang tumbuh mengelilingi rumah itu. Kaca jendelanya juga terlihat ada yang retak dan pecah.‘Rumah itu sama rusaknya dengan rumahku, katanya dalam hati.Beberapa kilasan adegan masa lalu muncul di pikirannya. Seorang anak laki-laki berdiri di depan rumah itu lengkap dengan seragam sekolah dan tas di belakangnya.Ia tersenyum pada seorang gadis berambut pendek dan berkaca mata, yang berdiri dengan jarak lima rumah darinya. Gadis itu tersipu malu. Gadis itu menyukai anak laki-laki itu dan berharap ia memiliki perasaan yang sama juga.Tetapi pemandangan itu segera berubah saat pemandangan itu terlihat bergoncang-goncang.“Anna!” panggil Gina yang mengguncang tubuhnya.Anna tersadar dari lamunannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyadari bahwa dirinya sedang melamun.“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Gina sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela dan mengarahkan pandangannya pada rumah yang dipandangi Anna sedari tadi, lalu masuk ke dalam dan melipat tangannya di dadanya, “kenapa kau memandang rumah Jonas?”“Aku penasaran, bagaimana kabarnya sekarang ini?”Gina meneguk jus jeruknya. “Kudengar terakhir kali, dia membuka usaha biji kopi dan membuka usaha kedai kopi di kota. Apa dia tidak pernah menghubungimu? Bukankah sudah satu tahun ini kita tergabung dalam satu grup media sosial yang sama?”“Pernah. Satu kali. Dia meneleponku, tetapi aku tidak mengangkatnya… Aku menunggunya untuk menelepon lagi, tapi dia tidak pernah melakukannya. Kira-kira, apakah dia baik-baik saja?”“Sepertinya iya. Aku tidak begitu tahu. Dia itu seperti ditelan bumi. Tidak ada yang tahu kabarnya seperti apa. Kau tahu? Sejak dia…” kata-kata Gina terputus, ia tidak yakin kalau hal itu pantas untuk diungkit.“Sejak…” Kata-kata Anna langsung tercekat kala memori mengerikan itu terlintas di otaknya.“Ya,” ucap Gina dengan muram tanpa membiarkan temannya itu menyebutkan kejadian macam apa yang pernah terjadi.Otak Gina memutar kilas balik mengerikan yang terjadi pada malam itu. Saat itulah Jonas menghilang dari sahabatnya dan meninggalkan Anna dalam titik terendah yang akan ia ingat seumur hidupnya.***Beberapa orang-orang kampung berdatangan setelah mendengar keributan yang ada di rumah Anna, remaja yang jago bermain piano itu. Mereka dapat dengan jelas mendengar lolongan gadis yang masih duduk di bangku SMP tersebut.Paman Rudy dan Gina, tetangga sekaligus sahabat keluarga Anna adalah orang yang pertama kali datang ke sana. Mereka terpaku saat mendengar pintu yang terbuka dengan keras, dan melihat seorang pria paruh baya keluar dari rumah Anna dengan tatapan kejam dan mata merah, dengan cipratan darah di bajunya. Ia terlihat kusut dan sangat marah."Wira!" Panggil Paman Rudy. “Ada apa ini? Apa yang terjadi? Mana Yuni, Anna dan Darryl?”“Wanita jahanam itu sudah mampus,” ucapnya dingin dan tanpa emosi sedikit pun.“Apa maksudmu?” tanya Paman Rudy lagi sambil menjaga jarak. Paman Rudy dapat mengendus aura bahaya yang ditebar oleh tetangganya itu.Ia menggenggam tangan Gina dengan erat dan menyembunyikan anaknya itu di belakang punggungnya, sementara Gina meremas lengan baju ayahnya karena takut melihat penampilan pria itu.Tetapi Wira itu tidak mau menjawab lagi. Ia terus berjalan menuju mobilnya. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan langsung mengendarai benda itu keluar dari garasi rumah tersebut dengan menabrak pagar kayu miliknya sendiri, yang tidak ia buka terlebih dulu sehingga benda pembatas itu jadi hancur berantakan.Melihat mobil Wira itu sudah menjauh, Paman Rudy pelan-pelan melepas Gina. "Tinggal di sini," perintah Paman Rudy pada Gina sementara ia melangkah masuk dengan perasaan waswas.Hati Gina sudah dipenuhi firasat tidak enak. Sesuatu yang sangat buruk pasti sudah terjadi. Tubuhnya gemetar, keringat bercucuran di wajahnya. Jantungnya berdegup cepat sekali ketika mencoba menebak apa yang telah terjadi. Gina semakin takut jika terjadi apa-apa pada Anna, namun dia tidak punya nyali untuk ikut masuk.Saat ayahnya masuk ke dalam, betapa terkejutnya Gina saat mendengar ayahnya berteriak. "Gina, panggil polisi dan ambulance!"***Gina meneguk jus jeruknya sampai habis. Ia memicingkan mata sembari merasa sedikit kepahitan ada di jus itu. Namun bukan itu saja yang pahit. Ada beberapa kenangan pahit yang harus melekat di ingatannya jika menengok ke masa lalu.Memang, hal itu tidak terjadi padanya. Tetapi semua orang di sini merasa kasihan pada kejadian yang menimpa pada Anna dan anak laki-laki itu, belasan tahun silam. Itu menjadi suatu sejarah yang kelam, yang tidak ingin orang ingat-ingat lagi.“Ini sudah lima belas tahun kan?” tanya Anna pada Gina.Entah kenapa, biar bagaimanapun sulitnya Anna melupakannya, gadis itu masih saja mengungkitnya. Gina tidak punya hak apa-apa melarang Anna untuk mengingat hal itu.Dia justru kasihan pada sahabatnya karena kenangan yang terlalu buruk itu terus menghantuinya.Tetapi di rumah ini, Gina dan paman Rudy adalah tempat perteduhan Anna. Merekalah yang menjadi keluarga bagi Anna saat ia kehilangan semuanya. Keluarga inilah yang membawa Anna masuk di saat ia telah kehilangan orang-orang yang seharusnya membuat sebuah rumah menjadi rumah yang damai.Saat ini, Gina bekerja sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan audit ternama, sedangkan Anna bekerja sebagai bendahara di sebuah yayasan sekolah swasta yang memiliki asrama anak perempuan dan memiliki cabang di mana-mana.Mereka telah tumbuh menjadi wanita karir yang pintar dan mandiri.Anna bekerja sangat giat dan keras, ia tidak punya waktu untuk memiliki keluarga sendiri. Seluruh pekerjaan yang ia lakukan adalah demi Darryl, adik kecilnya yang terpaut usia 15 tahun darinya.Kini Darryl sendiri kini telah berusia 16 tahun dan dia tidak tahu apa-apa terhadap apa yang terjadi pada keluarganya di masa yang lalu.Anna membuka matanya, ia mendengar suara seorang pria dan seorang wanita bersahut-sahutan di bawah. Matanya yang berat itu ia paksakan untuk melihat ke arah jam dinding yang ada di seberangnya. Jam itu menunjukkan pukul 12 malam. Ia mendorong selimutnya dan berjalan keluar dari kamar. Ia maju terus untuk mencari arah sumber suara itu. Di tengah perjalanan, ia berhenti di sebuah kamar besar dengan ranjang yang cukup besar. Di sana terdapat kasur bayi dengan pagar tinggi. Di dalamnya tertidur seorang anak laki-laki tampan yang sedang lelap-lelapnya. Ia memperhatikannya sejenak, anak laki-laki ini tetap tidak terbangun meski mendengar suara berisik. Ia sangat nyenyak. Tetapi Anna tetap harus mencari asal suara itu. Ia turun ke lantai bawah dan memeriksa semua ruangan, tetapi tidak menemukan siapa-siapa, sampai ia akhirnya melangkahkan kakinya menuju dapur. Suara berisik itu makin terdengar dan jelas. Sampai akhirnya ia melihat sos
Sepulang sekolah, Anna dan Gina lansung bergegas menggunakan sepeda untuk pulang. Mereka sering berlomba siapa yang akan sampai rumah duluan. Tetapi saat itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Anna sebelum sampai ke rumah. Gina melihat ke arah jam dan mengatakan bahwa ia harus segera pulang karena ibunya sakit. Seorang anak laki-laki duduk termenung di ayunan yang berada dekat pohon besar di taman itu. Anna melihatnya dan mengenalnya sebagai Jonas. Anak itu terkenal sebagai anak yang selalu terlibat dalam hal-hal yang melanggar aturan sekolah, mulai dari merokok hingga minum minuman keras. Ia telah berulang kali masuk ruang konseling dan sering mendapat peringatan. Entah dari mana ia mendapat benda-benda tersebut. Orang tua Jonas juga tidak pernah datang saat dapat panggilan di sekolah. Tetapi, Anna tidak melihat ada prilaku yang terlalu salah dari Jonas. Di sekolah, ia selalu menjadi anak yang penurut. Ia tidak pernah berkata kasar, dan sering
Air mata Anna mengering. Ia merengkuh tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa itu di pelukkannya sementara Gina menggendong Darryl, adik laki-lakinya yang masih kecil. Setelah ibunya Anna dinyatakan meninggal dunia, Anna berlari lalu memeluknya hingga ia tidak mampu meratap lagi. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Apa yang ibunya Anna lakukan hingga ayahnya tega menghabisinya? Bukankah selama ini, ibunya Anna adalah ibu yang baik bagi ayahnya yang selalu pergi melaut dan kembali hanya 2 minggu setelah berbulan-bulan berlayar? Baginya, ibunya adalah orang yang setia dan mengutamakan keluarga. Ia akan bekerja sendiri jika mereka kekurangan uang. Tetapi ayahnya, meski bukanlah orang yang jahat, ia akan ringan tangan pada istrinya jika mereka bertengkar. Sosok ayahnya adalah sosok yang sedikit menakutkan bagi Anna, dan ia paling benci jika melihat kekerasan itu terjadi pada ibunya. Anna mengambil liontin yang dikenakan ibunya itu dan memasang
Anna memeluk Darryl dengan erat dan menangis dengan pilu saat melihat kedua orang tuanya diturunkan ke dalam liang lahat yang telah di gali berdampingan itu. Hampir semua orang di kampung itu datang untuk menghadiri prosesi pemakaman kedua orang tua Anna, dan semua wanita yang ada di sana ikut menangis dalam duka. Paman Rudy berdiri di samping Anna dan mengambil Darryl dari gendongannya. Anna langsung terduduk dan memeluk nisan di atas tanah yang sudah tertumpuk di atas jenazah ibunya. Gina yang juga sangat berduka atas kejadian itu langsung berjongkok di samping Anna dan merengkuhnya dalam pelukannya. Air matanya ikut turun untuk menangisi kepergian ibunya Anna yang sudah sangat baik sekali padanya. Belum sempat Gina membalas semua kebaikan itu, Tuhan telah memanggilnya dengan cara yang diluar pemikiran semua orang. Ia terus mengelus punggung dan lengan Anna yang masih histeris dalam kemalanga
Anna menarik Gina masuk dalam toilet wanita. “Ada apa? Kenapa kau menarikku ke dalam sini?” protes Gina. Anna terlihat tidak nyaman. Berulang kali kepalanya keluar masuk, melihat seseorang yang dari jauh berjalan kian mendekat. Gina yang penasaran, ia juga langsung menoleh ke arah yang dimaksud. “Kamu menghindari siapa?” “Rian. Sedari tadi, aku tidak dibiarkan sendirian. Dia mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan ke toilet wanita.” “Sepertinya dia menyukaimu.” “Aku tau, dan dia sudah mengakuinya padaku kemarin. Tapi aku tidak suka padanya. Jadi aku tolak saja dia waktu dia ingin jadi pacarku.” “Kau tau, sepertinya, Rian tidak buruk. Dia terkenal sebagai anak yang baik dan selalu dapat peringkat teratas. Dia juga sopan. Di tambah lagi, dia juga anak orang kaya. Keluarganya punya sebuah rumah sakit dan sebuah sekolah khusus anak perempuan di kota.” “Entahlah. Aku merasa ada yang
Seharian ini, Anna menghindari bertemu dengan Jonas. Dirinya tidak bisa berhenti merasa grogi setiap kali harus berhadapan dengan anak laki-laki yang kini telah menjadi kekasihnya itu. Sepulang sekolah, Jonas mendatangi Anna yang baru saja mengambil sepedanya dari parkiran. Ingin sekali Anna kabur dari sana, tetapi Jonas meraih memegangi tangannya dengan lembut. Saat Anna melihat kalau Jonas tidak membawa sepeda, Anna lalu menawari Jonas untuk pulang bersama. Ia lalu menaiki sepedanya, tetapi Jonas malah berdiri di sana dengan bingung. “Kenapa?” tanya Anna. Wajah Jonas melembut. “Turunlah, tidak mungkin kau yang memboncengku.” “Tapi aku bisa, aku sering membonceng Gina, dia kan lebih berat darimu. Aku…” Jonas memotong omongan Anna dengan tertawa. “Kau ini lucu… Bukan seperti itu caranya. Tidak mungkin aku membiarkan kekasihku memboncengku. Di mana harga diriku?”
Setelah pemakaman ibunya, mereka akhirnya pulang ke rumah. Gina tidak berhenti melepas genggaman tangannya dari tangan sahabatnya yang sedang berduka cita itu sambil memeluk Darryl digendongannya. Anak kecil itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia tertidur setelah acara pemakaman itu selesai dan belum bangun hingga sekarang. Di sana, Gina bisa melihata air mata Anna telah mengering, matanya bengkak, dan wajahnya terlihat kusut. Setelah sampai di rumah itu, paman Rudy memarkirkan mobilnya di luar tanpa memasukkannya ke dalam garasi. Mereka lalu melompat ke luar satu per satu dari dalam mobil itu. “Aku akan mengurus Darryl, kau bisa beristirahat,” ucap Gina pada sahabatnya itu. Anna menunggu hingga semua orang masuk saat matanya tertuju pada rumah yang menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi dua hari sebelumnya. Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul dari ujung jalan. Mobil itu ter
Di hari Sabtu, Anna telah bersiap-siap di apartemennya. Rian bilang, ia ingin makan malam di sebuah restoran mewah yang ada di lantai 5 sebuah mall. Ketika Anna menolak untuk makan di tempat seperti itu, Rian tidak memberinya banyak pilihan saat mengatakan kalau meja mereka telah dipesan dari jauh-jauh hari. Mau tidak mau, Anna akhirnya mengikuti saja, dan ia harus mengenakan dress. Ia memakai gaun warna beige selutut dan heels setinggi 5cm. Ia melihat dirinya di cermin dan menundukkan kepalanya, ia belum bisa membayangkan seperti apa makan malam bersama orang yang selama ini selalu dihindari olehnya itu. Setelah menerima kabar dari Rian kalau ia ada di lobby tower apartemen disebelah, Anna segera turun menggunakan lift, bermaksud untuk menggunakan junction di lantai bawah di sana agar ia terlihat seperti turun dari apartemen sebelah. Ia masih tidak ingin Rian tahu di mana sebenarnya ia tinggal. Langkahnya terhenti saat melihat Jonas duduk di sebuah
Satu tahun kemudian… Matahari pagi membangunkan Anna dan Jonas yang tertidur lelap di atas kasur di sebuah ruangan yang bukan milik mereka. “Selamat pagi sayang,” kata Jonas pada Anna sambil menggosok matanya. “Selamat pagi,” jawab Anna dengan mengusap wajahnya. Keduanya terlihat kusut setelah melalui malam yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka pulang ke rumah Paman Rudy bersama juga dengan Gina dan mereka mengobrol hingga pukul 2 dini hari. Anna menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika Anna hendak turun untuk membuat kopi untuk Jonas, Jonas tiba-tiba menghentikannya. “Aku ingin menyapa Joanna dulu,” kata Jonas. Anna tersenyum lalu kembali duduk di samping Jonas yang segera duduk dan mengarahkan wajahnya pada perut Anna yang kini terlihat membuncit karena telah ada sosok manusia kecil yang bermukim dalam perutnya selama 5 bulan ini. “Hai Joanna, ini Papamu. Selamat pa
Tiga bulan kemudian… Jreng… suara gitar yang tak beraturan terdengar dari sebuah ruangan yang ada di tengah rumah tersebut diikuti oleh suara anak-anak kecil tertawa cekikikan, menandakan kalau para pelaku keributan itu lebih dari satu orang. Jonas mencari anak yang bernama Dina itu ke ruangan yang dipenuhi dengan instrumen gitar dan menemukan Dina, saudara kembar Dina yang bernama Doni, dan Vika sedang memainkan gitar dengan sembarangan. “Hayo, kalian sedang apa?” tanya Jonas sambil bersedekap. Dina dan Vika terkejut dan mereka berdiri dengan tegang, sementara Doni langsung buru-buru meletakkan gitar itu pada stand yang ada di dekat mereka. Wajah mereka terlihat cemas dan takut dan sambil melirik satu sama lain. Jonas melepas tangannya dan berjongkok, “Doni, Dina, kalian sudah dijemput oleh mama kalian.” Doni dan Dina langsung sumringah dan menghampiri Jonas, menyalaminya dan pamit padanya secara bersamaan, “bye
Satu minggu setelah pernikahan Anna dan Jonas, semua orang akhirnya kembali ke Balikpapan. Jonas dan Darryl sempat cemas pada keadaan ayahnya karena beliau sempat berkata sakit pinggang dan hampir tidak bisa berjalan, sehingga harus menggunakan kursi roda untuk bisa turun dari pesawat. Tanpa menunda, Jonas dan Anna langsung membawa Paman Jonathan ke rumah sakit terdekat. Paman Jonathan menerima perawatan di sana kurang lebih selama satu minggu untuk memulihkan kondisinya yang kelelahan akibat acara. Anna sempat kuatir pada Paman Rudy juga, tetapi lelaki tangguh itu jelas tidak apa-apa dan menuruhnya fokus pada Paman Jonathan yang terlihat lebih lemah dari biasanya. Di rumah sakit, Darryl, Jonathan dan Michelle akan menjaga ayahnya secara bergantian tanpa kenal lelah. Sedangkan Anna akan membawakan makanan dan pakaian ganti untuk mereka setiap harinya. Ketika Paman Jonathan diizinkan pulang, Jonas menyuruh Michelle untuk menyiapkan kamar untuk
“Kenapa wanita itu bisa ada di sini?” tanya Anna saat melihat nyonya Vina duduk di sana seraya menampilkan wajah angkuhnya dan dengan gaun pendek yang tidak cocok dengan usianya. Seketika, perasaan bahagianya langsung sirna, digantikan dengan perasaan takut yang sama sekali tidak menyenangkan. Dengan pakaian minim itu, wanita ini lebih mirip seorang PSK dari pada orang kaya. Nyonya Vina menoleh pada mereka. Jelas, ada yang salah pada wanita ini. Anna dan Jonas sedikit tercengang dengan penampilan Nyonya Vina yang terkesan kusut dan berantakan. Rambutnya terlihat memutih, kerutan di wajahnya terlihat tambah banyak dan beliau terlihat lebih kurus. Nyonya Vina berjalan ke arah Anna dan Jonas. “Halo…” “Halo,” jawab Anna. “Jangan kuatir, oke?” kata Jonas mencoba menenangkan Anna, lalu memalingkan pandangannya pada Nyonya Vina. “Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” Nyonya Vina menunduk untuk menelan salivanya, la
10 hari kemudian Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Konsep yang mereka pilih adalah konsep pernikahan di taman berumput hijau yang menghadap laut, di mana taman itu masih ada dalam area hotel yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang dan lampu-lampu temaram yang bergelantungan. Awalnya Anna ingin menikah di pantai, tetapi urung karena ada potensi gelombang tinggi. Jonas melihat kalau taman itu bukanlah tempat yang buruk, dan memutuskan memilih menikah di sana. Venue utama tersebut terbagi dua. Sebelah kanan digunakan untuk resepsi, sebelah kiri digunakan untuk acara pernikahan. Di area acara pernikahan sendiri telah tersusun kursi-kursi yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan, dan menyisakan satu jalan di tengah yang akan dilalui oleh pengantin Acara berlangsung tepat pukul 5 sore menjelang senja yang akan dilanjutkan dengan makan malam di area resepsi yang terdapat gazebo yang digunakan sebagai panggung untuk para perf
Tiga Bulan Kemudian Singkat cerita, Anna shock mendengar berita kepergian Rian. Namun, saat itu, dia sudah jauh lebih tegar. Anna begitu menyesal karena ia tidak bisa menemui Rian untuk terakhir kalinya dan berkata kalau ia telah benar-benar memaafkan Rian. Pak Hendri dan juga Silvanna tidak bersedia memberitahu di mana Rian dimakamkan. Bahkan setelah Anna memaksa, mereka tetap bungkam. “Ini adalah amanat Rian pada kami,” kata Silvanna saat menjelaskan kenapa mereka tidak memberitahunya. “Rian tidak ingin kau temui lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu.” Hal itu membuat hati Anna jadi penuh sesak karena rasa bersalah. Namun Silvanna benar, Anna harus melanjutkan hidupnya dengan mengingat seluruh kebaikan Rian. Kejadian ini membuka mata hati Anna, bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan hati yang jahat. Tanpa sadar, Rian telah mengajarkan Anna banyak hal. Bahwa kata “jahat” hanyalah sebuah kata yang digunakan orang-orang
Orang yang pertama tahu tentang lamaran Jonas adalah Rona yang kebetulan mampir ke apartemen Gina untuk menjenguk Anna. Tetapi Anna menyuruhnya untuk tidak memberitahukannya pada Gina karena Anna akan memberitahukan mereka malam nanti. Jonas kemudian memberitahu Michelle dan ayahnya kalau dia dan Anna telah bertunangan dan disambut bahagia oleh mereka, meski Paman Jonathan akhirnya lupa lagi kalau Anna dan Jonas sekarang sudah dewasa dan akan menikah. “Jonas, kau kah itu? Kenapa badanmu besar sekali?” kata Paman Jonathan sambil memperhatikan Jonas dengan kaca matanya yang tebal. “Papa, aku sudah dewasa sekarang. Ini calon istriku,” kata Jonas saat Anna melambaikan tangannya pada Paman Jonathan. Di mata Paman Jonathan, mereka selalu menjadi anak SMP yang lugu. Jonas dan Anna hanya tertawa melihat Paman Jonathan yang kebingungan lalu mengingat lagi kalau mereka kini sudah dewasa. Anna merahasiakan ini semua sampai mereka dapat berkumpul bersama-
Buat kalian yang bingung guys kenapa bab ini diulang, ada plot hole yang harus aku perbaiki mulai bab 48. Jadi ini ngga diulang ya guys, tapi digeser dikit heheh. Enjoy… Tidak ada satu pun informasi yang didapat Anna dan Jonas, para perawat dan tenaga medis, semuanya berkata tidak tahu. Ketika Anna dan Jonas kembali ke apartemen, Anna memutuskan untuk menelepon Pak Hendri dan Silvanna. Di sini, Anna sudah tahu, kalau semua orang bersepakat terhadap sesuatu. Hingga kini, Anna tidak tahu Rian masih hidup atau tidak. Bukannya mendoakan dan meragukan kuasa Tuhan, tetapi tubuh Rian pasti terlalu lemah untuk bertahan tanpa sokongan tenaga medis dan oksigen. Saat ini, Anna berdiri di dekat pintu balkon, sedang melamun dengan pikiran yang kosong. Jonas muncul di belakangnya sambil membawa dua gelas cokelat panas. Dia menyerahkan salah satu gelas yang ada di tangannya dan Anna menyambut gelas
“Kalau kau mau, kita tidak usah masuk. Kita bisa lihat dia dari luar,” ucap Jonas sambil menggenggam tangan Anna dengan erat. Begitu mendengar bahwa Rian telah sadar, Anna dan Jonas memutuskan untuk datang ke rumah sakit keesokan harinya. Anna berhenti sebentar tepat di depan ruang ICU itu. Napasnya menderu dengan cepat. Jonas memperhatikannya dan mempererat genggamannya. “Apa kau baik-baik saja? Kita bisa pulang jika kau berubah pikiran.” Anna menggeleng, mencoba menepis gejala serangan panik yang mulai datang. “Aku ingin masuk.” Jonas lalu menunggu di luar tepat di dekat jendela kamar Rian. Ia memperhatikan Rian yang sudah kurus kering itu dengan mata memicing, urat-urat lehernya mencuat di balik kulitnya dengan jelas. Tangannya terkepal waspada. Dengan perlahan, Anna berjalan mendekati Rian yang terbaring lemah dan masih menggunakan oksigen. Bibirnya terlihat kering dan wajahnya masih pucat. Di sebelahnya terlihat Silvanna yang sedang membe