“Dasar!” Huang mendengus pelan dengan membuang muka. “Tidak di sini, tidak di Tiongkok, semua orang sama saja. Kalau sudah menyangkut uang, sikap yang kasar berubah menjadi lembut. Tak peduli tua maupun muda.”“Sst!” Feng menahan tawa seraya menyenggol punggung sang istri dengan bahunya. “Tidak baik berkata seperti itu. Lagi pula, dia masih kecil dan sedang mencoba mengais rezeki dengan caranya sendiri. Yang terpenting, dia tidak mengambil hak orang lain.”“Ya, ya …” Huang mendesah halus sembari mengusap keningnya.“Baiklah, Adik Kecil,” kata Feng pada si remaja. “Jadi, dengan uang sebanyak itu, kau akan bersedia menjaga sampan kami, bukan?”Sang remaja terkekeh dengan melipat tangan ke dada.“Koko dan Cici tidak perlu khawatir,” ucapnya. “Aku akan menjaga sampan kalian dengan nyawaku.”Huang tidak bisa menahan senyumannya karena ucapan dan tingkah sang remaja, begitu pula dengan Feng yang mengusap kepala sang remaja dengan hangat.“Satu hal lagi,” kata Feng pada sang remaja. “Jika ak
“Jika tujuan kalian adalah Istana Minanga,” kata seorang perempuan paruh baya pada Feng dan Huang di sebuah jalan di tepi hutan, sisi selatan Teluk Meranti. “Maka kalian berdua hanya perlu pergi ke arah sana!”Pasangan muda-mudi melirik ke arah belakang mereka, arah selatan memasuki rimba belantara.Keduanya telah meninggalkan penginapan di tengah keramaian itu di awal pagi sebab tak ingin mengulur-ulur waktu untuk tujuan mereka. Dan tujuan itu kini berganti menjadi menemukan Guru Ma dan Daiyun sebab mereka yakin bahwa Haoren sedang mengincar kedua Biksu Budha tersebut.“Apakah kalian menggunakan kuda?”“Ah, tidak,” jawab Feng dengan sopan. “Kami hanya berjalan kaki saja.”“Hmm, begitu, ya?” perempuan paruh baya mengangguk-angguk. “Kalau kalian menggunakan kuda tanpa istirahat, aku rasa dalam dua hari kalian bisa tiba di Sungai Batang Kuantan. Setelah itu, kalian tinggal meneruskan ke hulu sungai itu dengan menggunakan perahu, dan kalian akan tiba di Istana Minanga dalam beberapa hari
Mendapat serangan bertubi-tubi dari tiga orang membuat sang pendekar akhirnya terjengkang.Seorang gadis manis menyaksikan perkelahian itu dari barisan para pedagang. Berbeda dengan para pedagang dan saudagar yang ketakutan dan cemas, sang gadis tampak terlihat jauh lebih tenang.Tidak hanya sang pendekar yang tadi saja yang bertumbangan ke tanah tapi juga dengan kesembilan temannya yang satu per satu terjengkang.“Habisi mereka!” teriak seorang di antara bertiga.Dan ketiganya lantas melompat dengan mengayunkan senjata masing-masing pada si pendekar pertama yang terjengkang tadi.Si gadis manis secara diam-diam menjentikkan jarinya sebanyak tiga kali.Syu! Syu! Syu!Tiga cahaya kuning pudar yang nyaris tak terlihat melesat sangat cepat, mematahkan setiap senjata di tangan ketiga penjahat, dan sekaligus membuat ketiganya terjengkang, terhempas keras ke tanah.“Si-Siapa?” teriak penjahat yang sama sembari mengedarkan pandangan dengan wajah pucat pasi. “Siapa yang membokong? Keluar, tun
“Astaga,” Kanteh terlihat sangat khawatir. “Apa yang dilakukan gadis itu? Tidakkah ada rasa jerih di hatinya terhadap si Mata Malaikat dan orang-orangnya?”“Paduko?” kata Kirat pula.Pemuda rupawan hanya tersenyum saja dengan pandangan yang tak lepas pada sosok Hoa Nhai di bawah sana.“Dia gadis yang menarik!”Empat pengawal pribadi sang pemuda rupawan hanya bisa mengernyit dan saling pandang.Kamba kemudian terkekeh. “Tampaknya, Angku Mudo kita ini sedang terpesona hatinya.”“Yaah!” Kirawah dan dua lainnya mengangguk.“Tidak, bukan seperti itu,” sahut si pemuda rupawan. “Ahh, sudahlah. Susah untuk bicara dengan kalian berempat!”Tapi tentu saja, keempat pengawal khusus tersebut justru tersenyum-senyum dan tahu benar bahwa Tuan Muda mereka sedang jatuh hati, atau … sesuatu yang mengarah ke sana terhadap di gadis imut yang sangat pemberani.“Kau tidak gentar sama sekali!” ucap si Mata Malaikat dengan seringai lebar di wajahnya. “Luar biasa, Hoa Nhai. Luar biasa!”“Lalu apa?” sang gadis
Tepat di saat si Mata Malaikat melompat dari punggung kudanya, Feng dan Huang muncul di sisi timur laut kawasan hutan berbukit-bukit. Keduanya sama menghentikan langkah.“Sepertinya telah terjadi sesuatu di sini,” ucap Feng.“Orang-orang dengan gerobak-gerobak itu sepertinya para pedagang atau saudagar,” kata Huang pula. “Kakak, mungkin orang banyak yang menghadang mereka itu adalah para penjahat yang hendak merampok mereka.”“Adik!” Feng menahan lembut bahu istrinya. “Jangan gegabah, ingat apa yang dikatakan Datuk Gomo pada kita beberapa hari yang lalu!”Huang menghela napas dalam-dalam. “Kau benar, Kak Jian.”Feng tersenyum dan mengangguk. “Untuk saat ini, ada baiknya kita memerhatikan saja terlebih dahulu sebelum kita terlanjur bertindak dan ternyata salah memahami.”Huang tersenyum memerhatikan sang suami yang sedang mengawasi kondisi di bawah sana.Maafkan aku, Suamiku, bisiknya di dalam hati. Aku tahu, sebagai istrimu dan kita baru saja menikah, aku belum sekali jua menunaikan t
Syu!Stab!Hoa Nhai dengan anggun dapat menghindari tinju besar yang terlihat berat itu namun sesungguhnya sangat cepat.Si Mata Malaikat menggeram. Angin tinjunya hanya mengenai tempat kosong dan membuat permukaan tanah di mana sang gadis berdiri sebelumnya melesak sedalam satu jengkal sebesar buah kelapa dan dengan mengepulkan asap tipis.Sebelum menjejakkan kakinya ke tanah, si Gadis Champa terlebih dahulu menendang dua pria di dekatnya.Duakh! Duakh!Dua anak buah si Mata Malaikat melenguh pendek dan terhempas ke tanah, lalu hening tak lagi bergerak.Hoa Nhai berputar dengan sangat indah, lalu memasang senyuman manis di wajahnya dengan menatap si Mata Malaikat.Melihat bagaimana cara bertarung sang gadis yang seakan-akan sengaja merendahkan dirinya, membuat si Mata Malaikat semakin meradang.Meski berbadan besar, tinggi, dan sangat berotot, si Mata Malaikat memiliki gerakan yang sangat luwes dan cepat.Dia telah kembali melompat tinggi, menyerang si gadis manis dengan dua pukulan
“Aku tidak memintamu berlutut di hadapanku, Amugar,” pemuda rupawan tersenyum manis. “Aku hanya memintamu melepaskan Gadih Champo dalam genggamanmu. Itu saja!”Sementara itu, empat pengawal pribadi sang pemuda rupawan yang sesungguhnya adalah Putra Mahkota Kerajaan Minangatamvan telah pun terlibat pertarungan dengan anak buah si Mata Malaikat.Pria tinggi berbadan besar tergelak hingga air liurnya bermuncratan, sementara Hoa Nhai mati-matian bertahan agar tulang lehernya tidak remuk dalam cengkeraman sang Pimpinan Penjahat.“Aku yakin, Dangmudo Basa,” ucap si Mata Malaikat dengan garang. “Kau bukan dalam posisi bisa mengaturku di sini!”“Oh!” Dangmudo Basa tersenyum lagi.Hanya saja, sepersekian detik berikutnya, ketika si Mata Malaikat memandang remeh dia yang masih muda, Dangmudo Basa mengedipkan sebelah matanya pada Hoa Nhai, disusul dengan gerakan tangan kanannya dalam bentuk cakar yang menderu dengan sangat cepat.Si Gadis Champa seolah memahami arti kedipan si pemuda rupawan lan
Meski telah dibantu oleh Kanteh, Kamba, Kirat, dan Kirawah, namun sepuluh pendekar masih saja kesulitan untuk melindungi para pedagang dan saudagar.Akan tetapi, sampai sejauh itu, belum ada korban jiwa di antara para pedagang dan saudagar. Sedangkan para Penjahat Bukit Tiga Puluh sudah banyak yang sudah terkapar, bergeletakkan saja di tanah.Siwan dengan kemarahan yang begitu besar menebaskan pedang pendeknya dengan kekuatan penuh.Tring!Namun tebasan kuat itu tertahan oleh pedang patah di tangan Kirat.Pria tiga puluh tahun yang sebaya dengan Siwan tersebut menyeringai meskipun angin tajam serangan Siwan yan terpecah juga menggores tipis pipi kirinya, dan menyayat pakaian di bahu kanannya.Hal yang sama juga terjadi kepada Siwan. Pedang patah di tangan Kirat yang menghentikan tebasan pedang pendeknya juga menghasilkan angin tajam yang terpecah dan menggores tangannya, bahkan memutus sejumput rambutnya.“Keparat!” makinya dengan menambah kekuatan tekanan pada pedangnya.“Biar kuteba
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n