“Dunsanak,” ujar Dangmudo Basa. “Jika engkau mengetahui sesuatu tentang seseorang bernama Hoaren yang dicari oleh dua pendekar dari Tiongkok ini, bukankah akan lebih baik engkau sampaikan? Setidaknya, ini dapat membantu mereka.”Saliah mencoba menghela napas panjang hingga dua kali. Kegugupan begitu nyata di dirinya meski wajahnya tertutup topeng kulit tipis.Seolah-olah, dia memang begitu canggung jika harus berbicara dengan seseorang. Dan juga, seakan memberi tahu pada semua orang bahwa dia selama ini hanya tinggal seorang diri. Atau, telah tinggal sangat lama di satu tempat yang sangat terpecil di mana tiada seorang pun yang menemaninya.“Tuan,” kata Feng pula dengan sangat bersopan. “Sepertinya tadi Anda cukup terkejut mendengar kami menyebut nama Hoaren. Jika benar Anda mengetahui sesuatu tentang pria yang satu itu, mohon beri tahu kami, dan kami akan sangat berterima kasih padamu.”“Du-Dua hari yang lalu,” ucap Saliah. “A-Aku sedang berada di Lubuk Linggau, di satu warung makan.
Di bagian selatan kawasan Bukit Tigapuluh. Di satu lereng tanah berbukit-bukit, terdapat sebuah air terjun berundak-undak, tidak begitu besar, hanya terlihat seperti sebuah aliran anak sungai yang terjun bebas setinggi dua puluh meter, dan dikelilingi hutan lebat yang seakan belum terjamah sama sekali.Akan tetapi, panorama yang terhampar di kawasan bertebing-tebing itu sungguh dapat menyejukkan mata dan hati.Sayangnya, tidak begitu yang terjadi pada Amugar alias si Mata Malaikat.Dia masih berjuang untuk sampai ke titik di mana terdapat kolam kecil yang terbentuk oleh empasan air terjun. Dengan setengah merangkak, sesekali dia terbatuk, batuk yang diserati menyemburnya darah kental kehitaman dari mulut.Jelas terlihat bahwa serangan Feng Da Jian dalam jurus Kibasan Ekor Sang Naga sehari yang lalu itu telah melukainya di bagian dalam.“Pemuda Tiongkok keparat!” geramnya dan terus merangkak dengan cengkeraman tangannya yang masih memiliki kekuatannya. “Aku pasti akan membunuhmu dan me
Siwan menaiki undakan anak tangga ke tepi kolam, dia harus menelentang terlebih dahulu di tepi kolam demi mengumpulkan tenaganya.“Hei!”Dan barulah dia kembali bangkit dengan bersusah payah setelah dipanggil kembali oleh si Mata Malaikat.“Kau juga terluka?” tanya Siwan sembari mendekati sang pimpinan.Selagi dalam langkahnya yang terseok-seok itu, Siwan melepaskan pakaiannya yang basah kuyub satu per satu hingga ketika dia tiba di samping si Mata Malaikat, kondisinya telah bertelanjang bulat.“Yaah!” si Mata Malaikat menggeram. “Pemuda Tiongkok itu ternyata punya kesaktian yang tak biasa! Tapi setidaknya, luka dalamku sudah tidak lagi membahayakan nyawaku. Duduklah!”Seakan sudah memahami pengobatan seperti apa yang akan dilakukan oleh sang pimpinan, Siwan menurut saja dengan duduk di hadapannya dan saling berhadapan.Meskipun dia baru saja sembuh dari luka dalamnya, tapi itu tidak membuat tenaga dalamnya berkurang sama sekali. Jadi, si Mata Malaikat langsung menempelkan dua telapak
Gadis yang satu ini memang sangat berbeda, bisik Dangmudo Basa di dalam hati seraya tersenyum memandangi sang rembulan.“Bagaimana dengan kau sendiri?”Si Gadis Champa mengedipkan sebelah matanya pada si pemuda rupawan yang membuat sang pemuda bersemu wajahnya.“Ehm…” Dangmudo Basa berdeham. “Orang tuaku memanggilku dengan Basa saja. Yaah, kau bisa memanggilku dengan nama itu.”“Baiklah,” sahut Hoa Nhai alias Puti Champo. “Basa!”“Oh, Dewa …” Dangmudo Basa terkekeh tanpa suara seraya menunduk dan menggeleng-geleng kecil. “Aku sangat senang.”“Senang?”“Ehm …” sang pemuda mengendikkan bahu. “Maksudku, dengan satu dan lain alasan, aku merasa bahwa engkau sesungguhnya bukanlah gadis biasa.”Hoa Nhai tidak langsung menanggapi itu melainkan kembali memandangi sang rembulan yang perlahan merangkak semakin tinggi.“Apa aku benar?”Sang gadis tersenyum lebar, lalu menatap ke dalam matasang pemuda. “Aku hanya seorang―ehm, pendekar wanita. Yaah, kau bisa bilang seperti itu!”Si pemuda rupawan t
Dari kawasan bernama Lubuk Kandis, Dangmudo Basa memimpin yang lainnya untuk menaiki lereng dataran tinggi Bukit Tigapuluh.Dengan satu dan lain alasan, Feng serta Huang juga mendampingi Dangmudo Basa untuk menyisir kawasan perbukitan yang luas tersebut demi menemukan si Mata Malaikat yang sebelumnya melarikan diri dari pertempuran di kawasan Terusan Siam.Hoa Nhai memandang ke sana kemari ketika mereka telah mencapai puncak bukit dari sisi utara tersebut.“Sekarang, kemana kita akan menyelidik?” tanyanya.Dangmudo Basa memerhatikan kondisi puncak bukit yang subur itu untuk sesaat, sebelum dia berkata, “Kurasa akan lebih baik menelisik hingga ke bagian paling selatan dari perbukitan ini.”“Paduko,” ucap Kirat, “apa Anda yakin?”“Kenapa tidak?” sahut Kamba. “Kurasa kita sudah separo jalan. Tidak ada salahnya menyusuri semua bagian perbukitan ini.”“Yaah,” Dangmudo Basa menghela napas lebih dalam. “Itulah yang aku pikirkan.”“Maaf,” kata Feng kemudian. “Tapi, bagaimana dengan kami berdu
“Jadi,” si Mata Malaikat menatap jauh sembari mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. “Yang sepasang pergi ke arah selatan, hah?”“Benar, Ketua,” ucap salah seorang dari dua anak buahnya. “Sedangkan rombongan Dangmudo Basa, kami rasa mereka kembali ke Batang Kuantan melalui sisi timur Bukit Tigapuluh.”“Apa yang kau pikirkan, Ketua?” tanya Siwan.Si Mata Malaikat menghela napas dalam-dalam. Dia kemudian berdiri dan meninggalkan singgasananya, melangkah ke sisi kanan ruangan besar tanpa sekat tersebut.“Dua orang itu,” ucapnya kemudian dengan melirik Siwan di belakang hanya dari ujung bahunya saja sementra dua tangan menyatu di belakang punggung. “Kurasa mereka sama seperti si gadis cantik yang mengaku bernama Hoa Nhai sebelumnya itu.”“Yaah!” Siwan mengangguk. “Sepertinya mereka juga berasal dari Champa. Ketua!”Sang wanita muda menghampiri sang pimpinan lalu berdiri dua langkah di kiri belakangnya.“Engkau sudah pernah bertarung dengan sosok yang pria, bukan?”Si Mata Malaik
“Hei,” Feng sedikit merasa tersinggung dengan ucapan si pria di tengah. “Kami tidak mengenal kalian dan kalian tidak mengenal kami, lalu mengapa berkasar kata pada kami?”“Jangan banyak cakap, orang asing!” hardik seorang yang di kiri dengan menunjuk Feng menggunakan parang di tangannya. “Apakah kalian punya izin memasuki kawasan kami ini, hah?”“Izin?” Huang menyeringai tipis, lantas melipat tangan ke dada, sekaligus mengepit pedang bergagang merahnya.“Yah, tentu saja!” sahut pria yang sama. “Apa kau itu bodoh?”“Apakah kalian akan percaya,” balas Huang, “jika kukatakan bahwa kami diberi izin langsung oleh Putra Mahkota Minangatamvan?”Tiga pria itu saling pandang. Keraguan sedikit terlihat di antara mereka, akan tetapi, itu hanya sekejap sebelum mereka tertawa-tawa dengan merendahkan Feng dan Huang.“Tuan-Tuan bertiga,” kata Feng dengan mencoba untuk tetap tampak tenang, bahkan dengan gestur yang sangat sopan. “Saya adalah Feng dan ini adalah istri saya, Huang. Istri saya berkata y
Angin tajam menggores dalam permukaan tanah dan berakhir berbentur keras dengan parang di tangan si penjahat sehingga menghentikan perputaran tubuhnya, juga sekaligus melontarkannya dua langkah ke belakang.Brukk!“Keparat!” pria berparang menggeram, dari sela giginya yang terkatup rapat mengalir darah segar.“Belum terlambat untuk pergi dari sini,” ucap Feng dengan baik.“Oh, aku semakin ingin mencincangmu, bajingan!”Wuush!Pria berkeris kembali melancarkan serangan.Tapi si Pemuda Tiongkok itu kembali menyarungkan pedangnya setelah menghempaskan si penjahat berparah.Hal ini justru membuat penjahat berkeris semakin meradang sebab menganggap bahwa si Pemuda Tiongkok sedang merendahkan dirinya.“Terima seranganku, bajingan!”Swiing!Begitu menjejak tanah, si penjahat langsung mengibaskan keris di tangannya sedemikian rupa.Gerakan itu cukup indah di mata Feng. Tapi tentu saja, dia tidak ingin terluka atau mati sia-sia karena hal tersebut sehingga menggunakan pedang yang telah dia sar