Masih dengan berlinang air mata, gadis malang nan memprihatinkan itu berusaha bercerita tentang kondisinya. Seakan ingin menjelaskan betapa dia tak melakukan kesalahan. Azizah hanyalah korban fitnah dari oknum tak bertanggung jawab. Namun, sukses menggemparkan sejagat.
Sementara kedua orangtua Azizah tak terima ketika nama baik mereka tercoreng oleh fitnah yang sudah terlanjur merajalela. Namun, alih-alih membela putrinya, mereka justru lebih percaya pada kabar burung yang tak tahu asalnya dari mana. Azizah mencoba untuk menjelaskan seolah mengklarifikasi rumor yang beredar, tetapi kedua telinga orangtuanya itu seolah tertutup rapat.
“Mama, Azizah tidak melakukan kesalahan. Percaya pada Azizah,” uangkap gadis itu. Berusaha mengubah paradigma kedua orangtuanya yang sudah terlanjur menelan kalimat paradoks.
“Untuk apa kami mempercayaimu kalau kenyataannya kau sudah tidur dengan banyak pria!” Sebagai seorang ayah, Fahri terlampau kasar dalam mengucap kata. Sehingga melukai hati putrinya sendiri. Padahal dia adalah nahkoda didalam rumah itu. Sudah sepatutnya menjaga serta mengayomi kawula perahunya.
“Azizah, mengapa kau terlahir untuk mempermalukan kami, nak? Mengapa kau tidak berpikir panjang sebelum melakukan perbuatan hina itu? Apa kau tidak sayang kepada kami sebagai orangtuamu?” lirih Safia sembari menangis pilu. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya, seolah tak kuasa menatap dunia yang dianggapnya tak adil dan kejam. Sedari tadi Safia menahan air mata dipuluknya yang berwarna merah.
“Mama, sumpah demi Tuhan Azizah tidak melakukan hal serendah itu. Apakah mama pernah melihat Azizah duduk berdua bersama seorang pria?” Azizah duduk di depan Safia. Memegang tangan yang tadi menunjuk wajahnya sembari menjelaskan, bahwa dia tak melakukan perbuatan hina yang sukses mempermalukan keluarga.
“Sudahlah! Kita akhiri saja masalah ini, semuanya sudah terjadi. Entah esok atau lusa apa yang akan kau tuai untuk masa depanmu. Kau hanya perlu siap-siap menerima takdir pahit.” Dengan suara bergetar, Fahri mengakhiri perdebatan itu. Mencoba mengikhlaskan kondisi walau hatinya perih. Dia tak rela ketika putrinya mempermalukan nama baik mereka. Namun terlepas dari itu semua, Fahri sangat menyayangkan perbuatan Azizah yang menurutnya menjatuhkan harga diri.
Kemudian Fahri dan Safia meninggalkan Azizah yang masih duduk didepan kursi sembari menangis pilu. Hatinya sungguh sakit dan terluka parah. Bagaimana bisa tiba-tiba saja ada rumor menjijikan seperti itu? Padahal dia tak kenal cinta, apa lagi pria. Keseharian gadis itu hanyalah di rumah serta surau yang tak jauh dari kediamannya. Lantas dari manakah gosip itu berasal?
Azizah memasuki kamar, menutup pintu rapat-rapat. Dia menggigit bibir bawahnya menahan suara tangis yang hendak menyeruak.
“Hiks, hiks, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba aku seperti anak durhaka yang melanggar kodratnya? Aku sudah mempermalukan mama dan papa.” Azizah bermonolog dengan suara pelan. Takut terdengar oleh orangtuanya yang saat ini tengah merasakan kegeraman.
“Tuhan, bantu aku untuk membuktikan pada orangtuaku, bahwa aku tidak melakukan perbuatan hina itu. Engkau adalah saksinya, Tuhan.” Azizah membatin. Memanjatkan doa setulus hati pada sang pemilik jiwa. Dengan harapan segalanya dapat berakhir tanpa harus saling menyakiti. Memang sulit membungkam mulut orang yang kerjanya hanya bisa mencela, tanpa tahu seberapa besar luka yang dihasilkan dari paradigma mereka.
***
Keesokan harinya, Azizah terbaring lemas diatas tempat tidur. Semalaman gadis malang itu menangis hingga matanya perih dan lelah. Dia meremas perutnya yang terasa ngilu dan sakit. Efek dari nyeri haid serta lapar. Semalam Azizah tak mengisi perutnya sama sekali dengan makanan, bahkan segelas air putih sekalipun. Sementara kedua orangtuanya masih tetap tak peduli. Mereka lebih mengutamakan ego yang dijunjung tinggi. sehingga mengorbankan kesehatan sang putri.
“Aduh, sakit!” keluh Azizah masih dengan meremas perut rampingnya. Dia menangis kesakitan, sebab rasanya sungguh membuatnya tak nyaman. Andai saja rumor itu tak ada, mungkin saat ini dia akan merengek manja didepan ibunya. Akan tetapi segalanya telah berbeda, Azizah dicap sebagai anak durhaka oleh mereka yang melahirkannya.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang. Membuyarkan konsentrasi Azizah dalam mengelus perutnya yang sakit.
“Azizah keluarlah! Apa kau tidak ingin sarapan?” Rupanya dibalik kemarahan Safia, wanita paruh baya itu masih menyimpan iba didalam sana. Walau hatinya masih saja tak rela menerima penghinaan Alwi, sang pembawa rumor kedalam rumah mereka.
“Iya, bu. Sedikit lagi Azizah akan keluar,” jawab Azizah masih dengan posisi berbaring diatas tempat tidur.
Tanpa berkata lagi, Safia beranjak pergi. Meninggalkan pintu kamar Azizah menuju ruang makan. Disana terdapat Fahri dan Yana, adik Azizah yang masih berusia Sembilan tahun. Bocah itu menyantap makanan tanpa tahu apa yang tengah menggangu pikiran kedua orangtuanya. Bahkan ketika Azizah harus mendapat cercaan dari Fahri, bocah dengan rambut ikal itu tak ada di rumah. Dia tengah asik bermain diluar bersama teman-teman sebayanya.
“Akhirnya kau keluar juga!” kata Safia yang melihat Azizah kini hadir diantara mereka. Gadis itu tampak pucat dan lelah.
“Yana, kelak kau harus menjadi anak soleh. Jangan pernah mencoreng nama baik keluarga. Kau harus bisa mencontoh mereka yang melakukan kebaikan! Jaga dirimu dari mereka yang menginginkan tubuhmu sebelum menikah. Karena walau seribu orang yang menjagamu, tak ada kalahnya ketika kau menjaga dirimu sendiri.” Fahri sengaja menasehati Yana dengan menyindir Azizah. Padahal dia tak pernah tahu apa saja yang sudah dilakukan oleh putri ketiganya itu.
Azizah kerap kali membantunya berdagang dipasar sebagai profesinya sepulang sekolah. Tanpa mengenal lelah, Azizah melanjutkan pekerjaan rumah yang seharusnya diemban oleh ibunya. Akan tetapi, karena kasih sayang yang gadis itu miliki pada mereka, maka Azizah rela membuang jauh lelahnya dan mengerjakan apa yang perlu ia lakukan.
“Dan satu lagi, kau tidak boleh sembarang mengenal lelaki! Atau kau akan hancur dan kehilangan segalanya!” imbuh Fahri masih dengan menyindir Azizah. Seolah mangatasnamakan nasehat, Fahri melukai hati putrinya lagi dan lagi.
Sementara Yana yang tak tahu maksud dari ucapan ayahnya, hanya bisa menganggukan kepala, mengiyakan kata yang tak ia pahami sama sekali.
“Baiklah kalau begitu, habiskan makananmu dan berangkatlah kesekolah. Belajar yang benar agar kau sukses mencapai cita-cita.” Kali ini Safia yang berbicara. Seakan menambah bait kalimat singgungan Fahri kepada Azizah.
Sementara itu, Azizah yang tahu diri hanya bisa menahan sakit didalam sana. Dia tak dapat berbuat banyak. Ingin mengklarifikasi juga percuma. Toh dia sudah terlanjur dianggap gadis tak bermoral oleh kedua orang tuanya sendiri. Walau sekuat apapun dia mencoba, hasilnya tetap sama. Fahri dan Safia tak percaya ucapannya yang dianggap membual.
Fitnah itu Azizah telan, walau rasanya pahit tak berduri. Namun, menembus ke ulu hati, hingga rasanya merasuk ke sanubari. Akan tetapi, dia bisa apa? usianya bahkan masih menginjak dua belas tahun. Sementara kedua orang tuanya lebih mempercayai ucapan para tetangga dan mereka yang disebut sebagai paman dan bibinya, ketimbang anak yang tengah menahan sakit hati di dalam sana.
“Yana berangkat ke sekolah dulu ya?” pamit Yana.
“Kakak tidak ke sekolah?” tanya bocah kecil itu kemudian. Dia merasa heran kepada Azizah yang tak mengenakan seragam sekolah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
“Kakak kamu tidak perlu ke sekolah! Dia masih harus menyelesaikan apa yang baru saja dimulai,” ucap Fahri penuh penekanan.
“Oh begitu.” Yana hanya bisa ber-oh ria, tanpa tahu apa makna dari kalimat ayahnya. Kemudian bocah berambut ikal itu pamit ke sekolah, sebelum tadi ia mencium punggung tangan kedua orangtuanya.
“Mulai sekarang kau tidak boleh kemana-mana! Atau kau hanya akan menambah beban kami. Dasar anak tidak tahu diri! Bisanya cuma membawa sial saja!” Fahri mengeluarkan sabda tak terbantahkan lagi. Dia menekan gadis itu untuk tak menunjukkan batang hidungnya diluar rumah. Padahal sebagai orangtua seharusnya dia bisa bijaksana dalam menentukan sikap. Bukan malah turut menjudge dia yang sejujurnya adalah korban.
To be continued…
Tiga minggu pasca rumor itu beredar, akhirnya Azizah di izinkan keluar rumah setelah lama berkabung dengan hati dan jiwanya. Kedua orangtua gadis itu seolah telah berdamai dengan keadaan, serta bersahabat bersama rumor yang perlahan mulai menyurut. Walau masih tersimpan rasa malu dan juga takut. Akan tetapi, hidup terus berjalan. Tak mungkin anak gadisnya harus duduk diam terkurung dalam rumah dan menghabiskan seumur hidupnya disana.“Kau boleh pergi sekolah sekarang, tapi dengan catatan sepulang sekolah kau tidak boleh kemana-mana. Dan ingat, jangan jalan bersama pria manapun itu, walau itu keluargamu sendiri. Apa kau paham?” ucap Safia seolah memberi ultimatum pada Azizah.“Iya, ma.” Kendati hatinya gembira, tetapi Azizah merasa tertekan pada keadaan. Sebab, ruang geraknya terbatas. Dia hidup seperti dalam penjara walau sebenarnya berada di alam bebas.“Satu lagi, jangan genit terhadap gurumu. Berjalanlah menunduk. Jangan tatap ma
Disuatu malam yang sunyi, Azizah di tinggal seorang diri dirumah. Sementara kedua orangtua serta adiknya pergi ke rumah tante di seberang kota. Suara jangkrik berkumandang di luar sana, seolah berdendang ria bersama teman-temannya. Ada pula suara tokek yang menggema diruang tamu, menemani kesunyian Azizah malam itu. Namun, yang tak kalah menyita perhatian Azizah adalah ketika ia mendengar suara aneh dibelakang rumah. Dengan hati waspada, Azizah menutup bukunya, beralih kesumber suara yang terdengar semakin aneh dan kentara.Azizah pergi kedapur, dan mengintip keluar rumah guna memastikan siapa yang tengah menganggu konsentrasinya membaca buku. Namun, betapa terkejutnya gadis malang itu. Dia melihat sosok mahluk aneh tengah membalas tatapannya dibalik sela pintu dapur. Tatapan itu sungguh tajam, membuat Azizah ketakutan. Betapa tidak, bukan hanya tatapannya saja yang menjadikan bulu kuduk remaja itu merinding, tetapi warna mata yang merah, serta rambutnya yang menjulang panjan
Hari demi hari Azizah lalui dengan air mata. Walau tak banyak yang tahu seberapa menderitanya dia. Bahkan kedua orangtuanya tak pernah melihat betapa terlukanya gadis malang tersebut. setiap hari ia menghabiskan waktu di dalam kamar, menangis disudut ruangan sembari memeluk lututnya. Azizah menggigit bibir bawah agar tak ada yang mendengar suara tangisan itu. Dia butuh seseorang yang dapat mengayomi serta meningkatkan rasa percaya dirinya yang menciut.Andai saja kedua orangtuanya berhati mulia seperti ibu guru Samsida, bersikap bijaksana selayaknya dewa, maka Azizah tak perlu takut menatap dunia. Dia bisa melawan kekejaman tempat adam dan hawa terhempas itu. Atau paling tidak ada seseorang yang memegang tangannya dengan erat agar tak terjatuh kedasar jurang yang terjal. Dimana dia tak dapat berpijak dikarang kehidupan.Hati Azizah hancur berkeping-keping. Jika itu hanya menyangkut para tetangga yang tak mengenal siapa dirinya, maka dia bisa menerima dengan lapang dada
Sepasang suami istri, tengah duduk nonton diruang tengah bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Kala itu Azizah tak sengaja lewat di belakang rumah mereka yang tak lain adalah Alwi dan Halimah setelah ia baru saja kembali dari sawah. Gadis itu merasa haus dan memutuskan untuk minum air keran yang berada di belang rumah pamannya tersebut. Namun, ternyata pria paruh baya itu memarahi Azizah dan menyebutnya telah mencemari air minumnya dengan kotoran manusia. Sehingga Azizah mendapat tatapan tajam dari para warga. “Hei! Kau apakan air kami? Mengapa kau mencemarinya dengan kotoranmu?” Alwi membentak Azizah yang sementara menghapus dahaga dengan air keran miliknya. Sontak saja gadis itu terkejut, hingga memegang dadanya. “Paman Alwi,” kata Azizah dengan hati waspada. Sepertinya gadis itu mulai bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh pamannya. Selama beberapa hari belakangan, remaja itu mempelajari sifat Alwi yang kelewat batas. Menyebar fitnah tentangnya tanpa berp
Keseharian Azizah selayaknya sampah masyarakat di tengah lingkungannya sendiri. Kedua orang tuanya pun seolah menganggap gadis itu sebagai anak pembawa sial. Betapa tidak, setiap hari orang datang kerumah dan membawa kabar tak mengenakkan. Sehingga membuat sepasang suami istri tersebut membenci putrinya sendiri.Sementara Azizah, si remaja malang hanya bisa mengadukan takdir ke hadapan Ilahi. Dia membentangkan sejadah, menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Hanya bersama-Nya lah dia mampu berucap. Dengan suara getar dan tersedu-sedu, Azizah mengeluarkan curahan hatinya. Seolah sang pengusas ada di depan mata seraya mengusap kepalanya penuh kasih.“Wahai Engkah sang pemilik hati, kuatkan lah hamba walau jiwa terluka berulang kali. Jangan biarkan hati ini melemah disaat cobaan itu semakin mendera. Sesungguhnya hamba bukanlah siapa-siapa tanpa-MU ya Rabb.” Azizah kembali terisak, hatinya teriris membayangkan begitu banyak cobaan yang ia hadapi. Jiwanya
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tibalah di penghujung tahun 2004, dimana Azizah telah naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Remaja itu mendapat juara satu di kelasnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi semua orangtua yang hidup dimuka bumi ini. Namun, tidak dengan Fahri. Pria paruh baya tersebut tak memberi respon apapun pada Azizah, walau sejatinya remaja itu telah mengharumkan nama mereka. Fahri tak mengucap kata selamat, atau sejenisnya yang turut menyemangati Azizah. Akan tetapi, berbeda dengan Safia. Wanita itu memberi ucapan selamat pada Azizah yang memang setiap tahun mendapat juara pertama. Rupanya sekejam-kejamnya Safia, tetapi nuraninya sebagai seorang ibu masih lah berjalan. “Selamat atas prestasimu, nak,” ucap Safia setelah Azizah menunjukan raportnya. “Terimakasih, ma.” Azizah tersenyum kaku pada sang ibu. Entah mengapa dia seperti merasa tabu duduk bercengkrama selayaknya keluarga. Telah lama Azizah merasakan kec
Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.“Ayo kita keluar dari
Seiring berjalannya waktu, penyakit Fahri mulai membaik, hingga akhirnya dinyatakan sembuh total. Fahri pun mulai bangkit dan dibantu oleh sang istri yang selalu menemaninya baik dalam suka maupun duka. Tak ketinggalan Azizah dan juga Yana. Dua adik kakak itu membantu Fahri berjualan di pasar. Kendati tak jarang yang mengejek mereka.“Lihatlah mereka, sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berjualan dipasar seperti pengemis saja. Meminta-minta pada pembeli untuk belanja ditempatnya.” Markonah, si ratu gossip selalu saja hadir diantara mereka yang tak pernah mengusik hidupnya. Dia seperti tak akan bisa hidup tanpa menceritakan kehidupan orang lain. Menyebut Azizah dan Fahri seperti pengemis, mengajak pelanggan untuk berbelanja. Lalu apa bedanya dengan dia yang setiap hari mempromosikan kedai lapuknya ke tetangga. Sementara Markonah juga lebih sering memohon dan mengiba, bahkan terkesan memaksa. Dan sekarang menyebut Azizah seperti pengemis jalanan. Sungg
Setelah bertahan melawan penyakit selama dua tahun tujuh bulan, akhirnya Safia mengembuskan nafas terakhir di rumahnnya. Kala itu Azizah tak berada di sana. Dia sedang menghadiri acara tahlilan ayah salah satu temannya. Azizah yang mendengar kabar duka itu, sontak menghentikan bacaan Yasin. Dia bergegas pulang, sebab sang bunda terus saja menyebut namanya."Mama, tunggu Azizah." Sembari berurai air mata, Azizah menyebut mamanya. Berharap masih di beri kesempatan untuk melihat sang bunda walau untuk yang terakhir kalinya.Dan akhirnya ojek yang di tumpangi Azizah tiba juga di rumah. Dia membayar upah jasa ojek tersebut tanpa mengambil uang kembaliannya. Azizah terlalu panik kala itu. Bahkan dia melewati keramaian warga yang sudah berdatangan di rumahnya."Mama," lirih Azizah.Tubuh Safia terbujur kaku di ruang tengah, tetapi masih menyisakan sedikit nafas yang di temani Yana serta salah tante mereka. Sementara para sepupu yang lainnya juga berada di
Penantian itu turut juga di rasakan oleh Safia, ibu Azizah. Dia menunggu pria yang bakal menjadi calon menantunya. Safia selalu yakin, bahwa suatu saat nanti Adrian tetap akan menjadi menantunya. Padahal rejeki, jodoh, dan maut tak pernah ada yang tahu. Semuanya menjadi rahasia Illahi. Bahkan malaikat pun tak tahu ketiga hal tersebut. Nantilah mendapat perintah dari Tuhan, baru malaikat itu akan datang."Azizah, mama hanya ingin kau menikah dengan Adrian. Tidak bersama lelaki lain," lirih Safia. Meminta Azizah untuk tidak berpaling pada pria lain di kemudian hari."Sudahlah, ma. Jangan terlalu di pikirkan. Lagi pula aku masih muda, perjalananku masih panjang. Aku tidak ingin membuat impian melambung tinggi. Sudah cukup semua yang terjadi. Kak Adrian membohongi kita, dan aku tidak bisa mentolerir seorang pembohong," papar Azizah. Menolak permintaan ibunya, namun secara halus. Agar wanita paruh baya itu tak merasa kecewa yang berlebihan."Baiklah, kali ini m
Prank!Gelas kaca, piring, dan juga mangkok sayur, habis terlidas kemarahan Alwi. Pagi-pagi sekali pria paruh baya itu menghancurkan sebagian isi dapurnya. Memecahkan sesuatu yang sekiranya dapat di jangkau.Pecahan itu berserakan di lantai, hingga memenuhi ruang dapurnya yang kecil."Aakk--," pekik Alwi frustasi. Dia merasa gagal dalam menjatuhkan Fahri serta Azizah semalam."Keluarga itu benar-benar brengsek! Pelacur kecil itu selamat dari buruan para warga. Mereka pasti sudah merencanakan segalanya lebih awal!" seloroh Alwi dengan wajahnya yang memerah. Menyebut Azizah seperti hewan melata perusak suasana hati. Entah mengapa Alwi begitu membenci mereka, padahal mengalir darah keturunan yang sama."Ini semua karena kau yang terlalu percaya diri! Coba semalam kau mendengarkan ucapanku untuk menunggu gadis itu di pinggir jalan, mungkin kita bisa melihat ada Adrian di sana!" Halima, bukannya menenangkan Alwi, dia justru menyalahkan keputusan suaminy
Tatapan para emak itu begitu mengintimidasi. Seolah Azizah adalah tersangka utama dalam kasus pembunuhan serta pencabulan anak di bawah umur. Mereka memperlakukan gadis malang itu selayaknya penjahat. Bahkan di antara mereka ada yang memandang hina Azizah. Seakan dunia ini telah di cemari hama penyakit oleh gadis berhijab tersebut."Kau dari mana maghrib-maghrib begini?" Markonah mengajukan pertanyaan seolah dialah wali dari gadis itu. Padahal dia hanyalah orang lain yang bahkan tak memiliki hubungan darah sama sekali."Maaf ibu Markonah, saya rasa bukan urusan anda saya dari mana dan mau kemana. Karena itu hak dan privasi saya. Anda hanyalah orang lain yang tak harus turut campur!" Azizah menjawab pertanyan Markonah dalam sekali telak. Sehingga membuat para emak yang lainnya terlihat menahan tawa.Sementara Markonah sedikit tercengang kala Azizah memberinya jawaban menohok. Tak pernah ia duga sebelumnya, bahwa gadis itu telah pandai merangkai kalimat jawa
Malam hari ba'da sholat Maghrib, para emak tadi masih setia menanti kehadiran Azizah serta Adrian yang katanya sebentar lagi akan pulang. Mereka seakan enggan meninggalkan tempat duduk demi menunggu sang artis yang di kata kontroversi oleh Markonah berserta teman-temannya. Sementara itu, ketua remaja di kampung Azizah sudah dalam tahap siaga satu untuk mengusir Adrian apabila lelaki itu berani memasuki daerahnya. Mereka menyiapkan kayu, bambu, serta benda tajam lainnya yang akan di gunakan untuk mengancam Adrian. Sepertinya ketua remaja itu telah termakan provokasi Alwi, sepupu Fahri yang kerap kali dengki. Entah apa masalah pria paruh baya itu, hatinya selalu saja sempit dan sekakar. "Apa kau yakin rencana kita kali ini akan berhasil?" Halima, istri Alwi memantau dari rumahnya. Melihat persiapan para warga dalam menyambut kedatangan Adrian serta Azizah beberapa saat lagi. "Tentu saja akan berhasil. Kali ini para warga akan menela
Keegoisan Adrian yang memaksa Azizah untuk tetap bersama hingga memiliki anak diluar nikah, membuat gadis berhijab itu tak terima. Dia marah dan kecewa terhadap sikap Adrian yang terkesan memaksa. Sebagai pria dewasa, seharusnya dia lebih mengoreksi diri dan membenahi segalanya. Bukan menjelma menjadi sosok tak bertanggung jawab selayaknya manusia tak bermoral.“Aku tidak percaya kakak merencanakan hal hina itu padaku. Mungkin aku mencintai kak Adrian, tapi bukan berarti aku akan menggadaikan harga diriku pada kakak. Karena keinginan kakak itu merupakan permainan setan. Jadi, maaf aku tidak bisa ikut dalam permainan itu. Jika kakak memilih untuk meninggalkanku dan kembali pada Yanti, maka aku siap untuk itu. Asal harga diriku tak terabaikan hanya karena ego semata!” telak Azizah.Adrian tak berkutik lagi saat mendengar keputusan Azizah. Gadis itu mengakhiri segalanya tanpa mau mempertimbangkan permintaan pemuda tersebut. Bagi Azizah harga diri
Permintaan Adrian yang tak masuk dalam nalar itu, di tolak mentah-mentah oleh Azizah. Gadis itu tidak ingin mencoreng nama baik keluarga yang susah paya ia bangun hingga sedemikian rupa. Kasih sayang yang dulu sering diabaikan oleh mama papanya, telah hadir diantara mereka. Haruskah Azizah menghancurkan hanya karena ego semata? Padahal Adrian selalu saja membuat perasaan Azizah jatuh bangun. Namun, Adrian terus memaksa Azizah untuk tetap bersama ditengah status pemuda itu yang masih suami orang.“Apa kak Adrian kehilangan akal? Bagaimana bisa kakak memintaku untuk melakukan zina? Apakah tidak ada cara lain untuk kita bersama? mengapa kita tidak menikah saja lalu memiliki anak? Ataukah karena kakak benar-benar kembali menikah lagi bersama istri kakak yang dulu?” Azizah tak habis pikir pada Adrian yang ia kenal baik dan bermartabat. Namun, apa yang di tunjukan pemuda itu sekarang, sungguh di luar nalar. Meminta seorang gadis yang bukan istrinya untuk berhubungan bad
Setelah bertemu, Azizah pun meminta penjelasan pada Adrian. Namun, bukannya mengakui kesalahan, Adrian justru meminta Azizah menunggunya. Karena pemuda dengan rambut ikal tersebut masih menaruh rasa pada Azizah. Akan tetapi dia tak menyebutkan alasan secara sepesifik mengapa dulu ia memutuskan pertunangan dan memilih kembali bersama Yanti. Alasan Adrian hanyalah satu, mengapa sampai ia meminta Azizah untuk menunggunya, yakni anak. Adrian menginginkan anak dari Azizah. Dengan kata lain Adrian ingin Azizah hamil di luar nikah dengannya. Agar ia memiliki alibi untuk dapat menikahi gadis berhijab tersebut.“Kak Adrian.” Azizah berdiri menatap sendu dan juga rindu pada Adrian. Pria yang sukses memporak-porandakan hidup serta jiwanya.“Azizah, sedang apa kau disini?” tanya Adrian.“Kak, bisa jelaskan padaku mengapa kakak meminta putus dariku? Dan apa yang aku lihat tadi itu salah?” Pertanyaan Azizah membuat jantung Adrian berd
Di perjalanan menuju rumah Adrian, Azizah menyusun kata yang nanti ia gunakan kepada pria tersebut. Mengungkapkan segala yang mengganjal di hati, serta menanyakan alasan di baliknya perpisahan sepihak tersebut.Azizah juga membayangkan ketika ia akan kembali merajut kasih bersama Adrian, pria yang meminangnya tiga bulan silam, hingga akhirnya tiba lah dia di kota tempat Adrian berada.“Lima ribu,” ucap supir angkot.“Ini, pa. terimakasih,” sahut Azizah seraya memberinya upah. Lalu kemudian Azizah pergi ke rumah Adrian. Melewati banyak rumah dalam lorong sempit. Sebab hunian pria berkulit putih tersebut berada dalam gang yang jaraknya cukup jauh dari jalan utama. Kala itu Azizah menanggalkan logikanya, serta mengutamakan rasa yang meronta ria di dalam sana demi bertemu Adrian untuk di mintai penjelasan. Mungkin orang akan berkomentar buruk mengenai keputusan Azizah yang berani menemui Adrian kala itu. Tapi dia bisa apa? menunggu di rumah s