Masih dengan berlinang air mata, gadis malang nan memprihatinkan itu berusaha bercerita tentang kondisinya. Seakan ingin menjelaskan betapa dia tak melakukan kesalahan. Azizah hanyalah korban fitnah dari oknum tak bertanggung jawab. Namun, sukses menggemparkan sejagat.
Sementara kedua orangtua Azizah tak terima ketika nama baik mereka tercoreng oleh fitnah yang sudah terlanjur merajalela. Namun, alih-alih membela putrinya, mereka justru lebih percaya pada kabar burung yang tak tahu asalnya dari mana. Azizah mencoba untuk menjelaskan seolah mengklarifikasi rumor yang beredar, tetapi kedua telinga orangtuanya itu seolah tertutup rapat.
“Mama, Azizah tidak melakukan kesalahan. Percaya pada Azizah,” uangkap gadis itu. Berusaha mengubah paradigma kedua orangtuanya yang sudah terlanjur menelan kalimat paradoks.
“Untuk apa kami mempercayaimu kalau kenyataannya kau sudah tidur dengan banyak pria!” Sebagai seorang ayah, Fahri terlampau kasar dalam mengucap kata. Sehingga melukai hati putrinya sendiri. Padahal dia adalah nahkoda didalam rumah itu. Sudah sepatutnya menjaga serta mengayomi kawula perahunya.
“Azizah, mengapa kau terlahir untuk mempermalukan kami, nak? Mengapa kau tidak berpikir panjang sebelum melakukan perbuatan hina itu? Apa kau tidak sayang kepada kami sebagai orangtuamu?” lirih Safia sembari menangis pilu. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya, seolah tak kuasa menatap dunia yang dianggapnya tak adil dan kejam. Sedari tadi Safia menahan air mata dipuluknya yang berwarna merah.
“Mama, sumpah demi Tuhan Azizah tidak melakukan hal serendah itu. Apakah mama pernah melihat Azizah duduk berdua bersama seorang pria?” Azizah duduk di depan Safia. Memegang tangan yang tadi menunjuk wajahnya sembari menjelaskan, bahwa dia tak melakukan perbuatan hina yang sukses mempermalukan keluarga.
“Sudahlah! Kita akhiri saja masalah ini, semuanya sudah terjadi. Entah esok atau lusa apa yang akan kau tuai untuk masa depanmu. Kau hanya perlu siap-siap menerima takdir pahit.” Dengan suara bergetar, Fahri mengakhiri perdebatan itu. Mencoba mengikhlaskan kondisi walau hatinya perih. Dia tak rela ketika putrinya mempermalukan nama baik mereka. Namun terlepas dari itu semua, Fahri sangat menyayangkan perbuatan Azizah yang menurutnya menjatuhkan harga diri.
Kemudian Fahri dan Safia meninggalkan Azizah yang masih duduk didepan kursi sembari menangis pilu. Hatinya sungguh sakit dan terluka parah. Bagaimana bisa tiba-tiba saja ada rumor menjijikan seperti itu? Padahal dia tak kenal cinta, apa lagi pria. Keseharian gadis itu hanyalah di rumah serta surau yang tak jauh dari kediamannya. Lantas dari manakah gosip itu berasal?
Azizah memasuki kamar, menutup pintu rapat-rapat. Dia menggigit bibir bawahnya menahan suara tangis yang hendak menyeruak.
“Hiks, hiks, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba aku seperti anak durhaka yang melanggar kodratnya? Aku sudah mempermalukan mama dan papa.” Azizah bermonolog dengan suara pelan. Takut terdengar oleh orangtuanya yang saat ini tengah merasakan kegeraman.
“Tuhan, bantu aku untuk membuktikan pada orangtuaku, bahwa aku tidak melakukan perbuatan hina itu. Engkau adalah saksinya, Tuhan.” Azizah membatin. Memanjatkan doa setulus hati pada sang pemilik jiwa. Dengan harapan segalanya dapat berakhir tanpa harus saling menyakiti. Memang sulit membungkam mulut orang yang kerjanya hanya bisa mencela, tanpa tahu seberapa besar luka yang dihasilkan dari paradigma mereka.
***
Keesokan harinya, Azizah terbaring lemas diatas tempat tidur. Semalaman gadis malang itu menangis hingga matanya perih dan lelah. Dia meremas perutnya yang terasa ngilu dan sakit. Efek dari nyeri haid serta lapar. Semalam Azizah tak mengisi perutnya sama sekali dengan makanan, bahkan segelas air putih sekalipun. Sementara kedua orangtuanya masih tetap tak peduli. Mereka lebih mengutamakan ego yang dijunjung tinggi. sehingga mengorbankan kesehatan sang putri.
“Aduh, sakit!” keluh Azizah masih dengan meremas perut rampingnya. Dia menangis kesakitan, sebab rasanya sungguh membuatnya tak nyaman. Andai saja rumor itu tak ada, mungkin saat ini dia akan merengek manja didepan ibunya. Akan tetapi segalanya telah berbeda, Azizah dicap sebagai anak durhaka oleh mereka yang melahirkannya.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang. Membuyarkan konsentrasi Azizah dalam mengelus perutnya yang sakit.
“Azizah keluarlah! Apa kau tidak ingin sarapan?” Rupanya dibalik kemarahan Safia, wanita paruh baya itu masih menyimpan iba didalam sana. Walau hatinya masih saja tak rela menerima penghinaan Alwi, sang pembawa rumor kedalam rumah mereka.
“Iya, bu. Sedikit lagi Azizah akan keluar,” jawab Azizah masih dengan posisi berbaring diatas tempat tidur.
Tanpa berkata lagi, Safia beranjak pergi. Meninggalkan pintu kamar Azizah menuju ruang makan. Disana terdapat Fahri dan Yana, adik Azizah yang masih berusia Sembilan tahun. Bocah itu menyantap makanan tanpa tahu apa yang tengah menggangu pikiran kedua orangtuanya. Bahkan ketika Azizah harus mendapat cercaan dari Fahri, bocah dengan rambut ikal itu tak ada di rumah. Dia tengah asik bermain diluar bersama teman-teman sebayanya.
“Akhirnya kau keluar juga!” kata Safia yang melihat Azizah kini hadir diantara mereka. Gadis itu tampak pucat dan lelah.
“Yana, kelak kau harus menjadi anak soleh. Jangan pernah mencoreng nama baik keluarga. Kau harus bisa mencontoh mereka yang melakukan kebaikan! Jaga dirimu dari mereka yang menginginkan tubuhmu sebelum menikah. Karena walau seribu orang yang menjagamu, tak ada kalahnya ketika kau menjaga dirimu sendiri.” Fahri sengaja menasehati Yana dengan menyindir Azizah. Padahal dia tak pernah tahu apa saja yang sudah dilakukan oleh putri ketiganya itu.
Azizah kerap kali membantunya berdagang dipasar sebagai profesinya sepulang sekolah. Tanpa mengenal lelah, Azizah melanjutkan pekerjaan rumah yang seharusnya diemban oleh ibunya. Akan tetapi, karena kasih sayang yang gadis itu miliki pada mereka, maka Azizah rela membuang jauh lelahnya dan mengerjakan apa yang perlu ia lakukan.
“Dan satu lagi, kau tidak boleh sembarang mengenal lelaki! Atau kau akan hancur dan kehilangan segalanya!” imbuh Fahri masih dengan menyindir Azizah. Seolah mangatasnamakan nasehat, Fahri melukai hati putrinya lagi dan lagi.
Sementara Yana yang tak tahu maksud dari ucapan ayahnya, hanya bisa menganggukan kepala, mengiyakan kata yang tak ia pahami sama sekali.
“Baiklah kalau begitu, habiskan makananmu dan berangkatlah kesekolah. Belajar yang benar agar kau sukses mencapai cita-cita.” Kali ini Safia yang berbicara. Seakan menambah bait kalimat singgungan Fahri kepada Azizah.
Sementara itu, Azizah yang tahu diri hanya bisa menahan sakit didalam sana. Dia tak dapat berbuat banyak. Ingin mengklarifikasi juga percuma. Toh dia sudah terlanjur dianggap gadis tak bermoral oleh kedua orang tuanya sendiri. Walau sekuat apapun dia mencoba, hasilnya tetap sama. Fahri dan Safia tak percaya ucapannya yang dianggap membual.
Fitnah itu Azizah telan, walau rasanya pahit tak berduri. Namun, menembus ke ulu hati, hingga rasanya merasuk ke sanubari. Akan tetapi, dia bisa apa? usianya bahkan masih menginjak dua belas tahun. Sementara kedua orang tuanya lebih mempercayai ucapan para tetangga dan mereka yang disebut sebagai paman dan bibinya, ketimbang anak yang tengah menahan sakit hati di dalam sana.
“Yana berangkat ke sekolah dulu ya?” pamit Yana.
“Kakak tidak ke sekolah?” tanya bocah kecil itu kemudian. Dia merasa heran kepada Azizah yang tak mengenakan seragam sekolah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
“Kakak kamu tidak perlu ke sekolah! Dia masih harus menyelesaikan apa yang baru saja dimulai,” ucap Fahri penuh penekanan.
“Oh begitu.” Yana hanya bisa ber-oh ria, tanpa tahu apa makna dari kalimat ayahnya. Kemudian bocah berambut ikal itu pamit ke sekolah, sebelum tadi ia mencium punggung tangan kedua orangtuanya.
“Mulai sekarang kau tidak boleh kemana-mana! Atau kau hanya akan menambah beban kami. Dasar anak tidak tahu diri! Bisanya cuma membawa sial saja!” Fahri mengeluarkan sabda tak terbantahkan lagi. Dia menekan gadis itu untuk tak menunjukkan batang hidungnya diluar rumah. Padahal sebagai orangtua seharusnya dia bisa bijaksana dalam menentukan sikap. Bukan malah turut menjudge dia yang sejujurnya adalah korban.
To be continued…
Tiga minggu pasca rumor itu beredar, akhirnya Azizah di izinkan keluar rumah setelah lama berkabung dengan hati dan jiwanya. Kedua orangtua gadis itu seolah telah berdamai dengan keadaan, serta bersahabat bersama rumor yang perlahan mulai menyurut. Walau masih tersimpan rasa malu dan juga takut. Akan tetapi, hidup terus berjalan. Tak mungkin anak gadisnya harus duduk diam terkurung dalam rumah dan menghabiskan seumur hidupnya disana.“Kau boleh pergi sekolah sekarang, tapi dengan catatan sepulang sekolah kau tidak boleh kemana-mana. Dan ingat, jangan jalan bersama pria manapun itu, walau itu keluargamu sendiri. Apa kau paham?” ucap Safia seolah memberi ultimatum pada Azizah.“Iya, ma.” Kendati hatinya gembira, tetapi Azizah merasa tertekan pada keadaan. Sebab, ruang geraknya terbatas. Dia hidup seperti dalam penjara walau sebenarnya berada di alam bebas.“Satu lagi, jangan genit terhadap gurumu. Berjalanlah menunduk. Jangan tatap ma
Disuatu malam yang sunyi, Azizah di tinggal seorang diri dirumah. Sementara kedua orangtua serta adiknya pergi ke rumah tante di seberang kota. Suara jangkrik berkumandang di luar sana, seolah berdendang ria bersama teman-temannya. Ada pula suara tokek yang menggema diruang tamu, menemani kesunyian Azizah malam itu. Namun, yang tak kalah menyita perhatian Azizah adalah ketika ia mendengar suara aneh dibelakang rumah. Dengan hati waspada, Azizah menutup bukunya, beralih kesumber suara yang terdengar semakin aneh dan kentara.Azizah pergi kedapur, dan mengintip keluar rumah guna memastikan siapa yang tengah menganggu konsentrasinya membaca buku. Namun, betapa terkejutnya gadis malang itu. Dia melihat sosok mahluk aneh tengah membalas tatapannya dibalik sela pintu dapur. Tatapan itu sungguh tajam, membuat Azizah ketakutan. Betapa tidak, bukan hanya tatapannya saja yang menjadikan bulu kuduk remaja itu merinding, tetapi warna mata yang merah, serta rambutnya yang menjulang panjan
Hari demi hari Azizah lalui dengan air mata. Walau tak banyak yang tahu seberapa menderitanya dia. Bahkan kedua orangtuanya tak pernah melihat betapa terlukanya gadis malang tersebut. setiap hari ia menghabiskan waktu di dalam kamar, menangis disudut ruangan sembari memeluk lututnya. Azizah menggigit bibir bawah agar tak ada yang mendengar suara tangisan itu. Dia butuh seseorang yang dapat mengayomi serta meningkatkan rasa percaya dirinya yang menciut.Andai saja kedua orangtuanya berhati mulia seperti ibu guru Samsida, bersikap bijaksana selayaknya dewa, maka Azizah tak perlu takut menatap dunia. Dia bisa melawan kekejaman tempat adam dan hawa terhempas itu. Atau paling tidak ada seseorang yang memegang tangannya dengan erat agar tak terjatuh kedasar jurang yang terjal. Dimana dia tak dapat berpijak dikarang kehidupan.Hati Azizah hancur berkeping-keping. Jika itu hanya menyangkut para tetangga yang tak mengenal siapa dirinya, maka dia bisa menerima dengan lapang dada
Sepasang suami istri, tengah duduk nonton diruang tengah bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Kala itu Azizah tak sengaja lewat di belakang rumah mereka yang tak lain adalah Alwi dan Halimah setelah ia baru saja kembali dari sawah. Gadis itu merasa haus dan memutuskan untuk minum air keran yang berada di belang rumah pamannya tersebut. Namun, ternyata pria paruh baya itu memarahi Azizah dan menyebutnya telah mencemari air minumnya dengan kotoran manusia. Sehingga Azizah mendapat tatapan tajam dari para warga. “Hei! Kau apakan air kami? Mengapa kau mencemarinya dengan kotoranmu?” Alwi membentak Azizah yang sementara menghapus dahaga dengan air keran miliknya. Sontak saja gadis itu terkejut, hingga memegang dadanya. “Paman Alwi,” kata Azizah dengan hati waspada. Sepertinya gadis itu mulai bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh pamannya. Selama beberapa hari belakangan, remaja itu mempelajari sifat Alwi yang kelewat batas. Menyebar fitnah tentangnya tanpa berp
Keseharian Azizah selayaknya sampah masyarakat di tengah lingkungannya sendiri. Kedua orang tuanya pun seolah menganggap gadis itu sebagai anak pembawa sial. Betapa tidak, setiap hari orang datang kerumah dan membawa kabar tak mengenakkan. Sehingga membuat sepasang suami istri tersebut membenci putrinya sendiri.Sementara Azizah, si remaja malang hanya bisa mengadukan takdir ke hadapan Ilahi. Dia membentangkan sejadah, menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Hanya bersama-Nya lah dia mampu berucap. Dengan suara getar dan tersedu-sedu, Azizah mengeluarkan curahan hatinya. Seolah sang pengusas ada di depan mata seraya mengusap kepalanya penuh kasih.“Wahai Engkah sang pemilik hati, kuatkan lah hamba walau jiwa terluka berulang kali. Jangan biarkan hati ini melemah disaat cobaan itu semakin mendera. Sesungguhnya hamba bukanlah siapa-siapa tanpa-MU ya Rabb.” Azizah kembali terisak, hatinya teriris membayangkan begitu banyak cobaan yang ia hadapi. Jiwanya
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tibalah di penghujung tahun 2004, dimana Azizah telah naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Remaja itu mendapat juara satu di kelasnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi semua orangtua yang hidup dimuka bumi ini. Namun, tidak dengan Fahri. Pria paruh baya tersebut tak memberi respon apapun pada Azizah, walau sejatinya remaja itu telah mengharumkan nama mereka. Fahri tak mengucap kata selamat, atau sejenisnya yang turut menyemangati Azizah. Akan tetapi, berbeda dengan Safia. Wanita itu memberi ucapan selamat pada Azizah yang memang setiap tahun mendapat juara pertama. Rupanya sekejam-kejamnya Safia, tetapi nuraninya sebagai seorang ibu masih lah berjalan. “Selamat atas prestasimu, nak,” ucap Safia setelah Azizah menunjukan raportnya. “Terimakasih, ma.” Azizah tersenyum kaku pada sang ibu. Entah mengapa dia seperti merasa tabu duduk bercengkrama selayaknya keluarga. Telah lama Azizah merasakan kec
Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.“Ayo kita keluar dari
Seiring berjalannya waktu, penyakit Fahri mulai membaik, hingga akhirnya dinyatakan sembuh total. Fahri pun mulai bangkit dan dibantu oleh sang istri yang selalu menemaninya baik dalam suka maupun duka. Tak ketinggalan Azizah dan juga Yana. Dua adik kakak itu membantu Fahri berjualan di pasar. Kendati tak jarang yang mengejek mereka.“Lihatlah mereka, sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berjualan dipasar seperti pengemis saja. Meminta-minta pada pembeli untuk belanja ditempatnya.” Markonah, si ratu gossip selalu saja hadir diantara mereka yang tak pernah mengusik hidupnya. Dia seperti tak akan bisa hidup tanpa menceritakan kehidupan orang lain. Menyebut Azizah dan Fahri seperti pengemis, mengajak pelanggan untuk berbelanja. Lalu apa bedanya dengan dia yang setiap hari mempromosikan kedai lapuknya ke tetangga. Sementara Markonah juga lebih sering memohon dan mengiba, bahkan terkesan memaksa. Dan sekarang menyebut Azizah seperti pengemis jalanan. Sungg