Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tibalah di penghujung tahun 2004, dimana Azizah telah naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Remaja itu mendapat juara satu di kelasnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi semua orangtua yang hidup dimuka bumi ini. Namun, tidak dengan Fahri. Pria paruh baya tersebut tak memberi respon apapun pada Azizah, walau sejatinya remaja itu telah mengharumkan nama mereka. Fahri tak mengucap kata selamat, atau sejenisnya yang turut menyemangati Azizah.
Akan tetapi, berbeda dengan Safia. Wanita itu memberi ucapan selamat pada Azizah yang memang setiap tahun mendapat juara pertama. Rupanya sekejam-kejamnya Safia, tetapi nuraninya sebagai seorang ibu masih lah berjalan.
“Selamat atas prestasimu, nak,” ucap Safia setelah Azizah menunjukan raportnya.
“Terimakasih, ma.” Azizah tersenyum kaku pada sang ibu. Entah mengapa dia seperti merasa tabu duduk bercengkrama selayaknya keluarga. Telah lama Azizah merasakan kecanggungan bersama mereka yang terkesan tak menganggapnya ada.
“Sudah selesai acara pertunjukan raportnya, kan? Sekarang waktunya kau membuatkan papa kopi! Papa akan jauh lebih bahagia ketika kau berprestasi didalam rumah dan lingkungan kita. Tidak mencemari nama baik keluarga. Apa lagi sampai harus disebut sampah masyarakat oleh mereka!” Hampir setiap hari Fahri mengungkap hal serupa. Dia seolah tak bosan mengingatkan Azizah tentang gelar yang disandangnya, yakni sampah masyarakat.
Gelar itu diberikan oleh warga, dan terus dikembangkan Fahri didalam rumah setia hari. Sehingga membuat Azizah semakin merasakan sakit dan terluka. Padahal prestasi disekolah jauh lebih membanggakan ketimbang harus mendapat pengakuan baik di depan mereka yang munafik. Untuk apa memperdulikan mereka yang sejatinya tak mengenali kita dengan baik?
Para warga itu hanya merasa iri dan dengki terhadap Azizah yang sejatinya sangat baik, cantik, serta berperestasi. Dan tak lupa pula keberhasilan kedua orangtuanya yang terbilang instan. Orang-orang itu hanyalah sekumpulan manusia syirik yang di penuhi hati sempit. Tak suka ketika melihat orang bahagia dan sukses. Namun, gembira saat melihat mereka yang menderita.
Ada sebagian manusia berpura-pura baik dan simpatik, namun di belakang menusuk dengan kalimat fitnah. Menjatuhkan harkat dan martabat sesama. Saling menuding satu sama lain. Dan mereka adalah termasuk golongan orang-orang munafikun. Contohnya Markonah dan Hayati, serta beberapa ibu-ibu lainnya.
Di depan Safia bersandiwara menyayangkan sikap warga terhadap Azizah, padahal karena mereka lah remaja itu harus di anggap bagai sampah.
**
Setelah lama membuka usaha di pasar sebagai pedagang, papa Azizah pun akhirnya jatuh sakit. Dia mengidap penyakit langka yang tak ada obatnya. Fahri mengalami benjolan pada bagian lutut dan juga paha. Namun, ketika dokter memeriksa pria paruh baya tersebut, tak ditemukan penyakit apapun. Hal itu sontak saja membuat Safia heran. Sementara Azizah yang saat itu menjadi anak yang dituakan didalam rumah, merawat papanya tanpa mengeluh sama sekali. Kasih sayang gadis belia tersebut tak lekang dimakan oleh kebencian Fahri terhadapnya.
“Apakah rasanya masih sakit?” tanya Azizah seraya memijit betis sang ayah yang terbaring lemah ditempat tidur.
“Masih sakit, hanya saja lebih mendingan ketimbang tadi pagi,” sahut Fahri. Suara pria itu melemah. Sudah banyak obat yang ia konsumsi. Baik secara medis maupun alternatif, tetapi tak menunjukkan tanda-tanda positif.
Setiap hari Fahri harus menahan sakit pada bagian paha dan betis. Kadang Azizah harus menyuapi pria itu untuk makan. Sebab Fahri kesulitan untuk bangun. Sementara Safia juga sering mengalami sakit pada bagian pinggang. Entah penyakit apa yang diidap wanita berambut ikal tersebut, yang pasti kondisi kedua orangtuanya itu membuat Azizah ketakutan.
Ya, Azizah sangat takut kehilangan mereka. Walau hampir setiap hari remaja itu menelan omelan, cercaan, dan juga hinaan dari Fahri, pun Safia. Sementara saudaranya yang lain seperti tak menunjukan tanda-tanda simpatik. Mereka hanya mendengar kabar, bahwa kedua orangtuanya sakit, tetapi tak pernah berkunjung atau sekedar mengirim uang. Mungkin seperti kondisi seperti ini lah yang patut disebut, bahwa seorang ibu mampu merawat puluhan anaknya, tetapi anak belum tentu bisa merawat kedua orangtuanya.
“Apa kau sudah menghubungi kakakmu, nak?” tanya Fahri kepada Azizah yang masih setia mendampinginya.
“Sudah, pa,” sahut Azizah.
“Apa kata mereka?” Pertanyaan Fahri kali ini membuat Azizah sejenak bungkam. Dia tak tahu harus memberi jawaban apa pada ayahnya tersebut. sebab respon yang diberikan kedua kakaknya tak pernah berubah, hanya seutas kata semoga cepat sembuh saja.
Mengingat jawaban kedua kakaknya itu, hati Azizah kembali menangis. Ingin rasanya dia berteriak pada mereka yang tak peduli. Tapi Azizah bisa apa? dia bahkan tak memiliki keberanian untuk sekedar membunuh nyamuk yang menghinggap di kulitnya.
“Kata kakak, nanti mereka akan mengirimkan papa duit. Dan semoga papa cepat sembuh. Kakak sangat mencemaskan papa dan juga mama. Andai saja mereka tidak sibuk, mungkin besok mereka sudah ada disini bersama kita. Tapi, kerjaan lah yang mengharuskan kakak tetap tinggal disana.” Dengan menahan perih di hati, terpaksa Azizah berbohong pada ayahnya demi menutupi kekecewaan Fahri. Dan hal itu terbukti berhasil. Fahri tersenyum bahagia ketika tahu kedua anaknya yang di rantau orang mencemaskna dirinya. Bahkan sebentar lagi akan mengiriminya uang.
Sementara mata Azizah kembali berkaca-kaca. Dalam hati remaja itu meminta maaf pada kedua orangtuanya serta Tuhan karena telah membohongi mereka. Tak ada pilihan lain selain mengucap kalimat dusta.
“Ya Allah, tolong maafkan hamba yang hina ini. Dengan sengaja hamba membohongi papa. Sesungguh Engkau lebih mengetahui niat dan usaha hamba, ya Rabb,” batin Azizah.
“Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu. Sekarang pergilah bantu mamamu di dapur. Ajak serta Yana,” titah Fahri setelah merasa lebih baik.
“Baik, pa.” Azizah pun berdiri meninggalkan Fahri yang masih terbaring diatas tempat tidur. Azizah menoleh pada ayahnya yang membelakanginya begitu sampai di ambang pintu.
“Maafkan Azizah, pa. Azizah terpaksa harus membohongi papa. Azizah hanya tidak ingin papa kecewa pada kakak. Selama ini papa begitu menaruh bangga pada mereka. Dan Azizah tak tega menghancurkan hati papa.” Azizah kembali membatin sembari berurai air mata. Cairan bening yang sedari tadi coba ia tahan akhirnya luruh juga. Hatinya semakin perih ketika kedua kakaknya seolah tak peduli pada Fahri dan Safia. Padahal hampir setiap hari Fahri memuji mereka yang katanya telah mandiri dan tak pernah mencemari nama baik keluarga. Sangat berbeda dengan Azizah yang setiap hari harus menerima hinaan dari para warga.
“Kakak, mama jatuh pingsan!” Belum usai luka hati Azizah mengenai kedua kakaknya, kini Yana membawa kabar tak sedap pada gadis tersebut.
“Pingsan? Bagaimana bisa?” Azizah berlari kearah dapur, melihat ibunya yang sudah terbaring di atas lantai.
“Mama!” teriak Azizah.
“Mama, bangun, ma. Apa yang terjadi pada mama?” Azizah panik. Dia terus membangunkan ibunya yang tak sadarkan diri.
“Yana akan memberitahu papa,” ucap Yana.
“Tidak! Kau jangan memberitahu papa. Nanti dia tambah sakit. Biarkan kita berdua saja yang mengurus mama.” Namun, Azizah mencegah adiknya itu. Takut penyakit Fahri semakin menjadi-jadi. Walau sebenarnya penyakit itu tak jelas keberadaannya dalam tubuh Fahri.
“Bantu kakak membawa mama kedalam kamar,” imbuh Azizah. Memberi interupsi pada Yana untuk membawa Safia ke dalam kamar gadis tersebut.
Setibanya dikamar, Azizah dan Yana membaringkan wanita yang telah melahirkan mereka itu diatas tempat tidur. Membuka kancing baju Safia untuk memberi ruang lebih luas dalam bernafas, serta mengolesi minyak kayu putih pada bagian kaki dan juga pangkal hidungnya.
Kini hati Azizah semakin cemas dan waspada. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada kedua orangtuanya. Walau setiap hari dia mendapat siksaaan dari Fahri dan juga Safia, tetapi anehnya Azizah tak menaruh benci dan juga dendam. Padahal luka hatinya semakin hari semakin berdarah dan parah. Tak pernah di tawari obat oleh siapapun itu. Sedangkan Yana hanyalah bocah kecil yang masih belum memahami arti dunia dan luka. Dia hanya sibuk bersama diri sendiri dan juga mainannya.
To be continued.
Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.“Ayo kita keluar dari
Seiring berjalannya waktu, penyakit Fahri mulai membaik, hingga akhirnya dinyatakan sembuh total. Fahri pun mulai bangkit dan dibantu oleh sang istri yang selalu menemaninya baik dalam suka maupun duka. Tak ketinggalan Azizah dan juga Yana. Dua adik kakak itu membantu Fahri berjualan di pasar. Kendati tak jarang yang mengejek mereka.“Lihatlah mereka, sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berjualan dipasar seperti pengemis saja. Meminta-minta pada pembeli untuk belanja ditempatnya.” Markonah, si ratu gossip selalu saja hadir diantara mereka yang tak pernah mengusik hidupnya. Dia seperti tak akan bisa hidup tanpa menceritakan kehidupan orang lain. Menyebut Azizah dan Fahri seperti pengemis, mengajak pelanggan untuk berbelanja. Lalu apa bedanya dengan dia yang setiap hari mempromosikan kedai lapuknya ke tetangga. Sementara Markonah juga lebih sering memohon dan mengiba, bahkan terkesan memaksa. Dan sekarang menyebut Azizah seperti pengemis jalanan. Sungg
Selang beberapa tahun kemudian, rumah yang dulunya terbakar kini bisa di tempati kembali. Fahri merenovasi hingga sedemikian rupa, dan membuatnya merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu tak berlangsung lama. Sebab sang istri, Safia tiba-tiba menderita penyakit strok berat. Azizah yang kala itu masih menginjak kelas dua SMA, hampir saja mengorbankan sekolahnya demi merawat sang bunda. Beruntung saudara dari Safia mau membantu gadis tersebut. Mereka berbagi tugas merawat Safia yang sakitnya terbilang aneh. Wanita berambut ikal itu dinyatakan menderita strok oleh dokter, tetapi mentalnya turut terganggu.“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? kenapa Engkau memberikan cobaan yang begitu berat secara bertubi-tubi kapada kami?” keluh Azizah saat usai menunaikan ibadah sholat maghrib. Dia menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Menyayangkan takdir yang selalu tak berpihak padanya.“Jika memang ini yang terbaik, maka lapangkan hatiku dalam menerima segalanya, ya
Senja hari yang indah, dimana Azizah tengah duduk di depan rumah. Seolah menikmati indahnya pemandangan. Namun, hati seolah menuntun nalarnya untuk berjalan menuju kantor kelurahan yang sementara direnovasi. Sementara Azizah mengagumi ornament kantor tersebut, tiba-tiba seorang pria muncul dari arah belakang. Sehingga membuat Azizah terkejut ketakutan. Pertemuan tak disengaja itu menghantarkan mereka kedalam hubungan pertemanan, dan berakhir dengan percintaan. Dimana Adrian mengajak Azizah berkencan. Namun, sejak awal pemuda dengan tahi lalat dipipi itu tak pernah jujur pada Azizah. Dia menyembunyikan statusnya yang telah menikah dan memiliki dua orang anak.“Hai, namaku Adrian. apa kau yang tinggal di depan sana?” tanya Adrian kepada Azizah. Pemuda itu menatap Azizah dengan penuh kagum. Betapa tidak, wajah gadis tersebut sangat natural tanpa polesan apapun. Belum lagi senyumannya yang manis. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpukau.“Maafkan
Hubungan Azizah dan Adrian rupanya disambut baik oleh kedua orang tua gadis tersebut. Sehingga sepasang kekasih yang tengah dilanda asmara itu merasa bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sebab rekan kerja Adrian merasa cemburu pada pemuda tersebut. Rupanya diam-diam rekan kerja Adrian yang bernama Izul menaruh rasa pada Azizah. Sehingga membocorkan status Adrian padanya. Namun, semula Azizah tak paham apa maksud ucapan Izul . Sehingga ia tak peduli dan tetap melanjutkan hubungan mereka.“Jadi kau menyukai putriku?” tanya Fahri kepada Adrian. Pemuda itu kini memperkenalkan diri kepada kedua orantua Azizah selayaknya pria dewasa yang bertanggung jawab. Adrian duduk di depan Fahri dan juga Safia sembari menundukan kepala. Merasa segan pada kedua orangtua kekasihnya itu.“Iya, om,” jawab Adrian ragu-ragu. Walaupun usia Adrian sudah dewasa dan memiliki pengalaman sebelumnya, tetapi kali ini dia merasa berbeda. Azizah gadis spesial ya
“Kalian sedang meributkan apa?” tanya Azizah di sela perdebatan antara Izul dan Adrian. Keduanya tengah merebutkan Azizah.“Ah, kami baik-baik saja kok, Za. Tidak terjadi sesuatu pada kami berdua.” Sengaja Adrian menutupi yang sebebnarnya, agar status yang selama ini coba ia sembunyikan tidak ketahuan.“Adrian kamu sungguh egois! mentang-mentang kamu sudah pernah menikah, lantas dengan mudahnya menipu Azizah!” Izul sengaja mengungkap kebohongan Adrian di depan Azizah, agar gadis itu memutuskan hubungan bersama Adrian.“Apa maksud kalian? Aku tidak mengerti.” Namun, Azizah masih belum memahami maksud dari ucapan Izul.“Zul, kamu apa-apaan sih? Apa kamu sengaja ingin memberitahu Azizah tentang yang sebenarnya? Apa kamu sengaja ingin merebut dia dariku?!” Adrian membawa Izul ke sudut ruangan kelurahan yang hampir rampung. Disana dia mencerca pemuda berkulit sawo matang itu dengan kalimat penuh penek
Ketika mendengar penjelasan Adrian, hati Azizah mulai terenyuh. Ada sentuhan iba didalam sana yang mulai bergejolak. Dia dapat melihat adanya luka lewat sorot mata sayu Adrian. Sesal pun turut terpancarkan dari sinaran netra pemuda tersebut.“Baiklah kalau begitu. Kakak beri Azizah waktu untuk berpikir. Azizah butuh waktu untuk mencerna segalanya. Karena semua yang kakak katakan tadi terlalu mengejutkan. Selama ini Azizah pikir tidak ada wanita lain dalam hubungan kita, tapi ternyata Azizah justru menjadi yang kedua.” Ada sesal yang di rasa oleh gadis cantik tersebut. Dimana dulu ia tak menanyakan tentang latar belakang Adrian. Pria yang tiba-tiba saja datang dari arah belakang dan mengajaknya berkenalan serta berakhir dengan kencan.Andai saja Azizah lebih teliti dalam mengenali seorang pria, mungkin dia tak akan terluka sampai sejauh ini. Yang ada dalam benak Azizah kala itu adalah tidak mungkin seorang pria yang sudah menikah akan berani me
Drama pertengkaran yang berlangsung cukup lama itu, ternyata membuat Azizah mengetahui segala fakta yang selama ini coba di tutupi oleh Adrian. Merasa terkejut, Azizah pun bertanya pada Yanti mengenai hubungannya bersama Adrian. Semula Yanti bungkam, tetapi pelan-pelan dia mulai terbuka saat Adrian menanyakan alasannya kembali ke kota itu. Rupanya sudah setahun lebih Yanti meninggalkan Adrian serta membawa dua anak mereka yang kala itu masih berusia satu tahun. Disitulah Azizah paham, bahwa Adrian sengaja menutupi statusnya darinya sebab pria itu sudah merencanakan perceraian bersama Yanti.Sementara itu, di sisi lain kedua orangtua Azizah telah mengetahui status pemuda yang telah menjalin kasih bersama anaknya itu. Akan tetapi, mereka masih bungkam. Fahri dan Safia yang tak sengaja melintasi lokasi kerja Adrian memilih kembali ke rumah. Mereka berencana menanyakan perihal itu setelah sampai di tempat hunian mereka. Fahri membiarkan Azizah menyelesaikan masalahnya bersama Adr