Seiring berjalannya waktu, penyakit Fahri mulai membaik, hingga akhirnya dinyatakan sembuh total. Fahri pun mulai bangkit dan dibantu oleh sang istri yang selalu menemaninya baik dalam suka maupun duka. Tak ketinggalan Azizah dan juga Yana. Dua adik kakak itu membantu Fahri berjualan di pasar. Kendati tak jarang yang mengejek mereka.
“Lihatlah mereka, sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berjualan dipasar seperti pengemis saja. Meminta-minta pada pembeli untuk belanja ditempatnya.” Markonah, si ratu gossip selalu saja hadir diantara mereka yang tak pernah mengusik hidupnya. Dia seperti tak akan bisa hidup tanpa menceritakan kehidupan orang lain. Menyebut Azizah dan Fahri seperti pengemis, mengajak pelanggan untuk berbelanja. Lalu apa bedanya dengan dia yang setiap hari mempromosikan kedai lapuknya ke tetangga. Sementara Markonah juga lebih sering memohon dan mengiba, bahkan terkesan memaksa. Dan sekarang menyebut Azizah seperti pengemis jalanan. Sungguh keterlaluan!
“Mama ini ada-ada saja. Kan mama juga sering memaksa si janda Hayati dan Halima untuk belanja di kedai kita,” ucap Irma. Anaknya itu seolah membungkam mulut ember Markonah yang terkesan kasar dan tak beradab.
Plak!
“kau ini bicara apa? bahkan kita jauh lebih baik dari mereka!” Lihatlah, bahkan Markonah menolak dikatakan lebih buruk dari anaknya sendiri. Padahal Irma sangat tahu persis sifat ibunya itu. Dia tak akan pernah mau kalah jika itu berbicara mengenai harga diri. Menganggap diri paling benar dan beruntung ketimbang yang lain. Itulah sebabnya banyak yang berpura-pura baik pada Markonah, hanya demi popularitas semata di kampung mereka. Karena barang siapa yang dekat dengan Markonah, akan mendapat diskon dikedainya. Siapa yang tak ingin barang gratisan coba? Apa lagi janda kembang seperti Hayati dan Sumiati. Sekarang siapa yang lebih penjilat disini? Apakah Markonah dan orang-orang sebangsanya, atau Azizah sang remaja pekerja keras?
“Sakit, ma!” Irma menggerutu ketika tamparan itu dirasa ngilu.
“Itu karena kamu lebih membela mereka sana ketimbang mama! Awas saja kalau kau berani lagi membela Azizah dan Fahri, akan aku potong uang jajanmu setiap hari!” Ancaman Markonah tak di anggap serius oleh Irma. Sebab, remaja itu sudah terbiasa mencuri hasil kedai ibunya setiap hari. Dia tak akan merasa rugi ketika Markonah tak memberinya uang jajan sekalipun, karena yang dicuri Irma lebih banyak dari yang beri oleh wanita yang identik dengan gincu merahnya itu.
“Kasihan, ya. Rumahnya terbakar, dan sekarang harus tinggal di tempat sempit seperti ini.” Markonah mendekati Fahri serta mengejek pria itu dengan tak tahu diri. Padahal rumahnya jauh lebih buruk dari toko pakaian Fahri. Bahkan atap rumahnya tak pernah diganti ketika mengalami kebocoran, hanya mengandalkan tambalan doang.
“Eh, ada bu Markonah. Silahkan mampir, bu. Di pilih-pilih pakaiannya.” Fahri tak mau menanggapi ucapan Markonah yang terkenal dengan mulut bejatnya, atau mereka akan menjadi bulan-bulanan warga lagi. Pasalnya wanita yang hampir seumuran dengan Safia itu, sangat pandai memutar balikan fakta. Yang benar jadi salah, pun sebaliknya.
“Idih! Ngapain belanja di tempat kamu? Mending belanja di toko sebelah yang lebih original dan berkelas! Disini kami gak level!” Dengan penuh percaya diri Markonah merendahkan merk dagangan Fahri. Padahal dia tak pernah tahu mana barang yang original, dan mana yang imitasi. Bahkan kata original pun Markonah tak tahu apa artinya. Dan sekarang berlagak seolah paling berpendidikan. Sungguh wanita memalukan!
“Ayo kita ke toko sebelah, sayang. Mama akan membelikanmu pakaian yang bagus-bagus disana.” Kemudian Markonah mengajak anaknya Irma untuk belanja di toko sebelah, yang jaraknya tak jauh dari Fahri.
“Beneran, ma?” Dengan mata berbinar, Irma menyambut ucapan Markonah. Merasa gembira akan dibelikan baju baru oleh ibunya yang setiap hari ia gosipkan pelit di sekolah.
“Tentu saja, sayang. Kita kan punya banyak uang,” sahut Markonah sombong. Lalu keduanya beranjak ke toko sebelah. Sementara Fahri dan Azizah hanya bisa sapu dada sembari menggeleng-gelengkan kepala menghadapi tingkah Markonah yang sok kaya.
“Pak, keluarkan pakaian yang ori dari toko ini!” titah Markonah pada pemilik toko sebelah Fahri. Dia sengaja mengeraskan suara agar Fahri mendengarnya. Seperti biasa, Markonah sangat suka pengakuan dari para warga sekitar.
“Untuk anak ibu?” tanya pemilik toko itu.
“Ya iyalah! Masa untuk anak tetangga sebelah!” jawab Markonah sombong.
Akhirnya sang pemilik toko mengeluarkan seluruh barang-barang original yang ia punya. Dan tentu saja harganya bukan kaleng-kaleng. Sehingga membuat Markonah menelan salivanya dengan susah payah.
“Jadi mau yang mana, bu?” tanya pemilik toko yang sudah mulai merasa kesal pada Markonah. Sejak tadi dia hanya menyuruh pemilik toko itu mengeluarkan barang-barangnya tanpa satu pun yang di beli.
“Aduh, maaf ya pak. Saya lupa membawa dompet,” jawab Markonah gugup. Padahal Irma sudah memilih beberapa setel pakaian yang ia suka. Rencana pakaian itu ia gunakan sebagai ajang pamer bersama teman-teman.
“Ayo kita pergi dari sini!” Markona menarik tangan Irma seraya meletakan pakaian yang tadi di pegang untuk segera pergi dari tempat itu sebelum ia merasa lebih malu.
“Mama ini apa-apan sih? Katanya mau beli baju untuk Irma? Kok gak jadi? Padahal kan baju tadi sangat bagus, sangat cocok di badan Irma.” Irma memprotes sikap Markonah yang memalukan.
“Kau ini! duit mama tidak ada,” sahut Markonah jujur.
“Lah, terus tadi itu katanya mau membelikan baju buat Irma?” Gadis remaja berhidung pesek itu masih memprotes sikap sang mama.
“Itu hanya pura-pura saja, supaya Fahri tidak memandang enteng kita.” Sungguh Markonah manusia hina yang tak tahu malu. Dia sengaja bersandiwara di depan Fahri dan Azizah agar mendapat pengakuan dari mereka. Nyatanya Markonah tak lain hanyalah manusia tak beradap yang suka menghina dan mengghiba sesama.
**
Sementara itu, setiap hari Fahri terus bekerja keras. Membangun kembali perekonomian keluarga yang sempat terpuruk akibat dari kebakaran beberapa bulan lalu. Azizah pun tak ingin ketinggalan, dia turut membantu ayahnya itu sepulang sekolah, pun Yana yang masih kecil. Dia seharusnya bermain di lapangan seperti biasa, tetapi kini perlahan mulai berubah. Bahkan Azizah memberi uang pada Fahri dari hasil jerih payahnya sendiri. Namun tak pernah menyebutkan, bahwa uang itu darinya. Melainkan dari kedua kakaknya yang di rantau orang.
Azizah sengaja menyembunyikan fakta itu, sebab dulu ia pernah memberitahu Fahri, bahwa kedua saudaranya akan mengirimi Fahri uang. Tetapi nyatanya hal itu hanyah omong kosong belaka. Jadi, setiap hari Azizah harus membantu ibu gurunya yang bernama Samsida di rumah. Setiap hari remaja itu mencuci piring Samsida dengan upah dua puluh ribu sehari. Jadi, uang yang di kumpul Azizah setiap bulan dari Samsida adalah enam ratus ribu rupiah. Belum lagi uang dari kepala sekolah yang memberinya secara Cuma-Cuma karena melihat kegigihan Azizah dalam bersekolah sembari membantu keluarga.
“Alhamdulillah. Kakakmu memang paling mengerti keluarga,” puji Fahri pada kedua anaknya yang lain. Sementara itu, Azizah hanya bisa tersenyum puas. Akhirnya senyuman sang ayah kembali cerah setelah lama berkubang dengan kemalangan. Walau namanya tak pernah di agungkan oleh Fahri, tetapi Azizah merasa bersyukur. Sebab Tuhan masih bermurah hati memberi mereka tempat serta mengembalikan senyuman sang ayah.
“Ma, lihatlah uang ini. ini hasil kerja keras putri kita di Jakarta.” Fahri menunjukan uang itu pada Safia, dan menyebut, bahwa uang yang ia pegang saat ini merupakan kiriman dari anaknya yang tertua.
“Alhamdulillah. Kita bisa menutupi belanja kita bulan ini, pa.” Safia tak kalah bahagianya dari Fahri. Dia mengucap syukur seraya memeluk tubuh suaminya itu. Sementara Azizah hanya bisa tersenyum lega. Padahal uang itu dari hasil jerih payahnya selama ini. Akan tetapi, Azizah tak butuh pengakuan dari sang ayah. Cukup dengan melihat senyuman di kedua sudut bibir orangtuanya itu sudah membuatnya bangga.
To be continued...
Selang beberapa tahun kemudian, rumah yang dulunya terbakar kini bisa di tempati kembali. Fahri merenovasi hingga sedemikian rupa, dan membuatnya merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu tak berlangsung lama. Sebab sang istri, Safia tiba-tiba menderita penyakit strok berat. Azizah yang kala itu masih menginjak kelas dua SMA, hampir saja mengorbankan sekolahnya demi merawat sang bunda. Beruntung saudara dari Safia mau membantu gadis tersebut. Mereka berbagi tugas merawat Safia yang sakitnya terbilang aneh. Wanita berambut ikal itu dinyatakan menderita strok oleh dokter, tetapi mentalnya turut terganggu.“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? kenapa Engkau memberikan cobaan yang begitu berat secara bertubi-tubi kapada kami?” keluh Azizah saat usai menunaikan ibadah sholat maghrib. Dia menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Menyayangkan takdir yang selalu tak berpihak padanya.“Jika memang ini yang terbaik, maka lapangkan hatiku dalam menerima segalanya, ya
Senja hari yang indah, dimana Azizah tengah duduk di depan rumah. Seolah menikmati indahnya pemandangan. Namun, hati seolah menuntun nalarnya untuk berjalan menuju kantor kelurahan yang sementara direnovasi. Sementara Azizah mengagumi ornament kantor tersebut, tiba-tiba seorang pria muncul dari arah belakang. Sehingga membuat Azizah terkejut ketakutan. Pertemuan tak disengaja itu menghantarkan mereka kedalam hubungan pertemanan, dan berakhir dengan percintaan. Dimana Adrian mengajak Azizah berkencan. Namun, sejak awal pemuda dengan tahi lalat dipipi itu tak pernah jujur pada Azizah. Dia menyembunyikan statusnya yang telah menikah dan memiliki dua orang anak.“Hai, namaku Adrian. apa kau yang tinggal di depan sana?” tanya Adrian kepada Azizah. Pemuda itu menatap Azizah dengan penuh kagum. Betapa tidak, wajah gadis tersebut sangat natural tanpa polesan apapun. Belum lagi senyumannya yang manis. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpukau.“Maafkan
Hubungan Azizah dan Adrian rupanya disambut baik oleh kedua orang tua gadis tersebut. Sehingga sepasang kekasih yang tengah dilanda asmara itu merasa bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sebab rekan kerja Adrian merasa cemburu pada pemuda tersebut. Rupanya diam-diam rekan kerja Adrian yang bernama Izul menaruh rasa pada Azizah. Sehingga membocorkan status Adrian padanya. Namun, semula Azizah tak paham apa maksud ucapan Izul . Sehingga ia tak peduli dan tetap melanjutkan hubungan mereka.“Jadi kau menyukai putriku?” tanya Fahri kepada Adrian. Pemuda itu kini memperkenalkan diri kepada kedua orantua Azizah selayaknya pria dewasa yang bertanggung jawab. Adrian duduk di depan Fahri dan juga Safia sembari menundukan kepala. Merasa segan pada kedua orangtua kekasihnya itu.“Iya, om,” jawab Adrian ragu-ragu. Walaupun usia Adrian sudah dewasa dan memiliki pengalaman sebelumnya, tetapi kali ini dia merasa berbeda. Azizah gadis spesial ya
“Kalian sedang meributkan apa?” tanya Azizah di sela perdebatan antara Izul dan Adrian. Keduanya tengah merebutkan Azizah.“Ah, kami baik-baik saja kok, Za. Tidak terjadi sesuatu pada kami berdua.” Sengaja Adrian menutupi yang sebebnarnya, agar status yang selama ini coba ia sembunyikan tidak ketahuan.“Adrian kamu sungguh egois! mentang-mentang kamu sudah pernah menikah, lantas dengan mudahnya menipu Azizah!” Izul sengaja mengungkap kebohongan Adrian di depan Azizah, agar gadis itu memutuskan hubungan bersama Adrian.“Apa maksud kalian? Aku tidak mengerti.” Namun, Azizah masih belum memahami maksud dari ucapan Izul.“Zul, kamu apa-apaan sih? Apa kamu sengaja ingin memberitahu Azizah tentang yang sebenarnya? Apa kamu sengaja ingin merebut dia dariku?!” Adrian membawa Izul ke sudut ruangan kelurahan yang hampir rampung. Disana dia mencerca pemuda berkulit sawo matang itu dengan kalimat penuh penek
Ketika mendengar penjelasan Adrian, hati Azizah mulai terenyuh. Ada sentuhan iba didalam sana yang mulai bergejolak. Dia dapat melihat adanya luka lewat sorot mata sayu Adrian. Sesal pun turut terpancarkan dari sinaran netra pemuda tersebut.“Baiklah kalau begitu. Kakak beri Azizah waktu untuk berpikir. Azizah butuh waktu untuk mencerna segalanya. Karena semua yang kakak katakan tadi terlalu mengejutkan. Selama ini Azizah pikir tidak ada wanita lain dalam hubungan kita, tapi ternyata Azizah justru menjadi yang kedua.” Ada sesal yang di rasa oleh gadis cantik tersebut. Dimana dulu ia tak menanyakan tentang latar belakang Adrian. Pria yang tiba-tiba saja datang dari arah belakang dan mengajaknya berkenalan serta berakhir dengan kencan.Andai saja Azizah lebih teliti dalam mengenali seorang pria, mungkin dia tak akan terluka sampai sejauh ini. Yang ada dalam benak Azizah kala itu adalah tidak mungkin seorang pria yang sudah menikah akan berani me
Drama pertengkaran yang berlangsung cukup lama itu, ternyata membuat Azizah mengetahui segala fakta yang selama ini coba di tutupi oleh Adrian. Merasa terkejut, Azizah pun bertanya pada Yanti mengenai hubungannya bersama Adrian. Semula Yanti bungkam, tetapi pelan-pelan dia mulai terbuka saat Adrian menanyakan alasannya kembali ke kota itu. Rupanya sudah setahun lebih Yanti meninggalkan Adrian serta membawa dua anak mereka yang kala itu masih berusia satu tahun. Disitulah Azizah paham, bahwa Adrian sengaja menutupi statusnya darinya sebab pria itu sudah merencanakan perceraian bersama Yanti.Sementara itu, di sisi lain kedua orangtua Azizah telah mengetahui status pemuda yang telah menjalin kasih bersama anaknya itu. Akan tetapi, mereka masih bungkam. Fahri dan Safia yang tak sengaja melintasi lokasi kerja Adrian memilih kembali ke rumah. Mereka berencana menanyakan perihal itu setelah sampai di tempat hunian mereka. Fahri membiarkan Azizah menyelesaikan masalahnya bersama Adr
Untuk menunjukkan keseriusannya, Adrian membawa Azizah ke rumah orang tuanya serta memperkenalkan gadis itu kepada keluarga besar. Anehnya, ada beberapa saudara Adrian yang menatap sinis pada Azizah. Akan tetapi, tidak dengan kedua orang tua pemuda tersebut. Mereka menyambut Azizah dengan tangan terbuka, walau ada pesan tersirat yang sempat dilayangkan oleh ibu Adrian kepada pemuda itu.“Ma, perkenalkan. Ini Azizah, teman dekat Adrian,” ucap Adrian saat memperkenalkan Azizah kepada kedua orangtuanya. Disana ada kakak Adrian yang baru saja pulang dari ibu kota. Wanita itu duduk sembari menatap tak suka pada Azizah. Sementara saudara Adrian yang lainnya menyunggingkan senyuman. Menyambut hangat dia yang cantik rupawan.“Jadi ini wanita yang pernah kau ceritakan itu?” Pertanyaan ibu Adrian membuat Azizah menundukan kepala. Merasa malu kepada mereka. Rupanya Adrian sudah sering menyebut nama gadis itu di depan keluarga.“I
Semula hubungan yang sempat renggang itu mendapat tentangan dari Fahri, tetapi Adrian berhasil membujuk kedua orang tua Azizah. Dia pun berkata jujur pada Fahri dan Safia. Karena kejujurannya itulah Safia menilai Adrian merupakan pemuda yang baik. Dia mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan mengakui segala kesalahan yang sengaja ia lakukan.“Mengapa kalian tidak meminta izin padaku sebelum keluar rumah? Apa kalian mulai berani melangkahiku sebagai orangtua?” Kali ini sepertinya Fahri kecewa terhadap keputusan Adrian yang mengajak Azizah ke rumahnya tanpa sepetahuan mereka. Kendati tak ada niat melangkahi Fahri, tetapi Adrian tetaplah merasa bersalah.“Maafkan Adrian, om. Kami tidak bermaksud melangkahi orangtua, tetapi saat itu Adrian tak punya pilihan lain. Kami sempat menunggu om pulang, tetapi kata Azizah om dan tante akan lama berada di luar rumah. Jadi Adrian memutuskan untuk mengajak Azizah ke rumah bertemu kedua orangtua,”