Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.
“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.
“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.
“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.
“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.
“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.
“Ayo kita keluar dari sini. Periksa anak-anak. Apakah mereka masih tidur atau tidak.” Fahri mulai panik. Dia mencemaskan kedua putrinya yang ternyata lebih dulu tersadar dari mereka. Saat itu Azizah tengah berusaha melindungi Yana dari kobaran api yang mengarah padanya. Dia memeluk tubuh adiknya itu seraya menangis tersedu-sedu.
Azizah dan Yana terjebak luapan api yang berkobar di depan pintu kamar mereka.
“Azizah, Yana! Apa kalian baik-baik saja?” teriak Fahri. Sembari menahan rasa sakit pada bagian paha dan betis, Fahri memadamkan api di depan pintu kamar Azizah, dan berhasil. Mereka akhirnya dapat keluar kamar begitu api telah padam.
“Papa.” Azizah dan Yana memeluk Fahri secara bersamaan. Merasa takut pada situasi yang semakin mencekam.
“Ayo kita pergi dari sini sebelum apinya semakin menyebar kemana-mana.” Fahri mengajak seluruh anggota keluarganya keluar dari rumah yang sebagian sudah di lahap si gajo merah tersebut. sementara para warga sudah berkumpul di depan rumah Fahri. Menyaksikan kebakaran itu sembari menyiramkan air guna memadamkan api. Walau hanya sebagian dari mereka yang menunjukan rasa simpatik dengan menolong keluarga Fahri.
Akan tetapi, tidak dengan Alwi dan Halima. Sepasang suami istri itu seolah merasa puas atas kemalangan yang menimpa Fahri dan Safia. Kebakaran tersebut bagai keberuntungan besar bagi keduanya. Dimana telah lama menantikan kebangkrutan saudara sepupunya itu.
“Nikmatilah kemalanganmu, Fahri. Sekarang saatnya kau menderita!” Alwi tersenyum menyeringai, menikmati kemenangan yang ia raih.
Memang kehancuran usaha Fahri merupakan sebuah kemenangan bagi seorang Alwi dan Halima. Mereka seakan lama menantikan pria yang berprofesi sebagai pedagang itu hancur berkeping-keping.
“Aku harap setelah ini Fahri dan Safia hidup dijalanan seperti gembel!” Halima, si wanita rubah. Tanpa iba mendoakan Fahri dan Safia untuk hidup dijalanan selayaknya manusia hina. Mereka tak memiliki rasa welas asih sama sekali pada keluarga Fahri. Padahal sebagai kerabat, seharusnya mereka lah orang pertama yang menawarkan perlindungan untuk Fahri dan keluarganya. Tetapi Alwi justru menikmati kesialan saudara sepupunya itu.
“kau benar, sayang. Aku sangat menantikan mereka hidup melarat di jalanan seperti gembel kelaparan. Begitu juga dengan Azizah. Dia akan aku jadikan gadis malam yang menjajakan tubuhnya di pinggir jalan. Atau aku membawanya di club malam tempat kau bekerja dulu.” Sungguh bejat niat Alwi pada gadis remaja seperti Azizah. Dia ingin menjadikan keponakannya itu sebagai pelacur murahan di sebuah club malam.
Kebencian Alwi pada Fahri seakan menjalar keanak-anaknya. tak ada ampunan bagi garis keturuanan Fahri.
“Tapi lihatlah orang-orang bodoh itu! Mereka menyelamatkan Fahri dan keluarganya!” Halima tampak sangat kesal begitu ia melihat Fahri justru diselamatkan oleh sebagian warga yang ada disana.
“Kau tenanglah. Mungkin mereka bisa selamat dari kobaran api yang kita buat itu. Tapi ingatlah, bahwa setelah ini mereka tak ada tempat untuk tinggal! Siapa yang akan memberi mereka tumpangan? Seluruh warga sangat membenci Azizah yang sudah seperti sampah masyarakat!”
Ya, oknum yang membakar rumah Fahri tidak lain adalah Alwi seorang. Dia dengan sengaja melempar puntung rokoknya ke rumah Fahri yang sebelumnya sudah ia siram dengan minyak tanah. Alwi merasa dengki pada Fahri yang memiliki beberapa usaha pakaian.
Toko Fahri memilki kemajuan yang sungguh pesat. Letaknya tak jauh dari pusat kota yang sangat ramai pengunjung setiap hari. Sementara di rumah juga mereka menjalankan usaha serupa. Dimana Safia turut andil dalam menjual pakaian didalam rumah tersebut.
Rumah Fahri memang tak terlalu besar, tetapi dia menyisikan satu ruangan yang cukup luas untuk dijadikan tempat menjual. Dan di tempat itulah setiap hari Safia mengais rejeki. Sementara Fahri melaksanakan rutinitasnya di pasar, serta di bantu oleh Azizah apa bila remaja itu pulang sekolah. Namun, kini Fahri harus kehilangan salah satu usahanya tersebut.
Belum lagi kedua anak Fahri yang terbilang sukses di rantau orang. Kendati nyaris tak pernah mengirimkan mereka uang, tetapi Fahri cukup bangga pada kedua anaknya itu. paling tidak mereka tak seperti kebanyakan anak muda lainnya. Suka berjudi dan minum-minuman keras. Meminta uang kepada orang tuanya yang seharusnya mengistirahatkan badan. Atau menggantikan mereka untuk bekerja.
Fahri merasa bersyukur di karuniai anak-anak yang dia anggap berbakti padanya. Hanya Azizah satu-sayunya anak yang ia sebut sebagai pembawa sial. Padahal gadis itulah yang selalu ada disisinya tiap kali Fahri kesakitan.
“Pak Fahri, ayo kita ke rumahku dulu. Malam ini kalian menginaplah bersama kami. Kasihan anak dan istrimu.” Pak Rt dengan murah hati menawarkan tempat kepada Fahri untuk malam ini.
“Terimakasih pak Rt. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan,” jawab Fahri, merasa bersyukur masih ada orang yang mau berbaik hati padanya untuk memberi tempat bernaung sementara waktu.
“He! lihatlah Halima dan Alwi. Bukannya mereka adalah kerabat Fahri? Kok tidak menawarkan tempat tinggal padanya?” Markonah, ibunya Irma. Bertingkah seolah dia peduli pada keluarga Fahri. Padahal beberapa menit yang lalu dia mengucap syukur dalam hati sebab rumah Fahri terbakar. Sekarang dia justru mencari-cari kesalahan orang lain hanya untuk mengghiba. Walau sebenarnya Halima dan Alwi juga salah.
“Seperti kau tidak tahu saja! Mereka itu kan iri sama Fahri dan Safia.” Hayati, teman sejagat Markonah dalam mengghiba, turut mempertegas hubungan Fahri dan juga Alwi. Seolah paling tahu segalanya dari mereka yang tak tahu apa-apa.
“Mereka itu keluarga, tapi seperti orang lain! untung keluargaku tidak seperti mereka. Kami saling menyayangi satu sama lain.” Markonah kembali mengeluarkan statmen, bahwa keluarganya lah yang paling baik ketimbang Fahri dan Alwi. Padahal satu dunia juga tahu, bahwa keluarganya bercerai berai. Saling menuding satu sama lain hanya karena harta peninggalan orang tua yang hingga saat ini masih menjadi sengketa sesama mereka para saudara. Bahkan Hayati juga tahu itu. Namun, karena takut pada amukan Markonah, saat ini dia menutup mulutnya rapat-rapat.
“Hala, Markonah. Kau beringkah seperti manusia paling baik saja. Padahal kau juga merampas harta orang tuamu dari saudara yang selama ini kau buang!” Hayati hanya berani membatin, atau mulutnya akan Markonah bakar dengan api yang masih sedikit menyala di rumah Fahri.
Begitulah sejatinya manusia, hanya mampu menilai orang lain tanpa mau menyadari kesalahan diri sendiri. Mencari-cari dosa sesama demi sebuah pengakuan dari khalayak ramai, bahwa mereka lebih baik di antara yang lain.
Selalu saja begitu, tak ada yang mau mengakui dosanya secara suka rela di depan orang. Dan jika memang itu ada, maka hanya sebagian dari mereka yang bijaksana. Mungkin sekitar tiga persen populasi manusia di muka bumi ini dengan berani mengaku salah. Selebihnya itu hanya ingin menang sendiri, menyebut orang lain jahat dan munafik. Padahal mereka jauh lebih buruk.
Seiring berjalannya waktu, penyakit Fahri mulai membaik, hingga akhirnya dinyatakan sembuh total. Fahri pun mulai bangkit dan dibantu oleh sang istri yang selalu menemaninya baik dalam suka maupun duka. Tak ketinggalan Azizah dan juga Yana. Dua adik kakak itu membantu Fahri berjualan di pasar. Kendati tak jarang yang mengejek mereka.“Lihatlah mereka, sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berjualan dipasar seperti pengemis saja. Meminta-minta pada pembeli untuk belanja ditempatnya.” Markonah, si ratu gossip selalu saja hadir diantara mereka yang tak pernah mengusik hidupnya. Dia seperti tak akan bisa hidup tanpa menceritakan kehidupan orang lain. Menyebut Azizah dan Fahri seperti pengemis, mengajak pelanggan untuk berbelanja. Lalu apa bedanya dengan dia yang setiap hari mempromosikan kedai lapuknya ke tetangga. Sementara Markonah juga lebih sering memohon dan mengiba, bahkan terkesan memaksa. Dan sekarang menyebut Azizah seperti pengemis jalanan. Sungg
Selang beberapa tahun kemudian, rumah yang dulunya terbakar kini bisa di tempati kembali. Fahri merenovasi hingga sedemikian rupa, dan membuatnya merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu tak berlangsung lama. Sebab sang istri, Safia tiba-tiba menderita penyakit strok berat. Azizah yang kala itu masih menginjak kelas dua SMA, hampir saja mengorbankan sekolahnya demi merawat sang bunda. Beruntung saudara dari Safia mau membantu gadis tersebut. Mereka berbagi tugas merawat Safia yang sakitnya terbilang aneh. Wanita berambut ikal itu dinyatakan menderita strok oleh dokter, tetapi mentalnya turut terganggu.“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? kenapa Engkau memberikan cobaan yang begitu berat secara bertubi-tubi kapada kami?” keluh Azizah saat usai menunaikan ibadah sholat maghrib. Dia menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Menyayangkan takdir yang selalu tak berpihak padanya.“Jika memang ini yang terbaik, maka lapangkan hatiku dalam menerima segalanya, ya
Senja hari yang indah, dimana Azizah tengah duduk di depan rumah. Seolah menikmati indahnya pemandangan. Namun, hati seolah menuntun nalarnya untuk berjalan menuju kantor kelurahan yang sementara direnovasi. Sementara Azizah mengagumi ornament kantor tersebut, tiba-tiba seorang pria muncul dari arah belakang. Sehingga membuat Azizah terkejut ketakutan. Pertemuan tak disengaja itu menghantarkan mereka kedalam hubungan pertemanan, dan berakhir dengan percintaan. Dimana Adrian mengajak Azizah berkencan. Namun, sejak awal pemuda dengan tahi lalat dipipi itu tak pernah jujur pada Azizah. Dia menyembunyikan statusnya yang telah menikah dan memiliki dua orang anak.“Hai, namaku Adrian. apa kau yang tinggal di depan sana?” tanya Adrian kepada Azizah. Pemuda itu menatap Azizah dengan penuh kagum. Betapa tidak, wajah gadis tersebut sangat natural tanpa polesan apapun. Belum lagi senyumannya yang manis. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpukau.“Maafkan
Hubungan Azizah dan Adrian rupanya disambut baik oleh kedua orang tua gadis tersebut. Sehingga sepasang kekasih yang tengah dilanda asmara itu merasa bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sebab rekan kerja Adrian merasa cemburu pada pemuda tersebut. Rupanya diam-diam rekan kerja Adrian yang bernama Izul menaruh rasa pada Azizah. Sehingga membocorkan status Adrian padanya. Namun, semula Azizah tak paham apa maksud ucapan Izul . Sehingga ia tak peduli dan tetap melanjutkan hubungan mereka.“Jadi kau menyukai putriku?” tanya Fahri kepada Adrian. Pemuda itu kini memperkenalkan diri kepada kedua orantua Azizah selayaknya pria dewasa yang bertanggung jawab. Adrian duduk di depan Fahri dan juga Safia sembari menundukan kepala. Merasa segan pada kedua orangtua kekasihnya itu.“Iya, om,” jawab Adrian ragu-ragu. Walaupun usia Adrian sudah dewasa dan memiliki pengalaman sebelumnya, tetapi kali ini dia merasa berbeda. Azizah gadis spesial ya
“Kalian sedang meributkan apa?” tanya Azizah di sela perdebatan antara Izul dan Adrian. Keduanya tengah merebutkan Azizah.“Ah, kami baik-baik saja kok, Za. Tidak terjadi sesuatu pada kami berdua.” Sengaja Adrian menutupi yang sebebnarnya, agar status yang selama ini coba ia sembunyikan tidak ketahuan.“Adrian kamu sungguh egois! mentang-mentang kamu sudah pernah menikah, lantas dengan mudahnya menipu Azizah!” Izul sengaja mengungkap kebohongan Adrian di depan Azizah, agar gadis itu memutuskan hubungan bersama Adrian.“Apa maksud kalian? Aku tidak mengerti.” Namun, Azizah masih belum memahami maksud dari ucapan Izul.“Zul, kamu apa-apaan sih? Apa kamu sengaja ingin memberitahu Azizah tentang yang sebenarnya? Apa kamu sengaja ingin merebut dia dariku?!” Adrian membawa Izul ke sudut ruangan kelurahan yang hampir rampung. Disana dia mencerca pemuda berkulit sawo matang itu dengan kalimat penuh penek
Ketika mendengar penjelasan Adrian, hati Azizah mulai terenyuh. Ada sentuhan iba didalam sana yang mulai bergejolak. Dia dapat melihat adanya luka lewat sorot mata sayu Adrian. Sesal pun turut terpancarkan dari sinaran netra pemuda tersebut.“Baiklah kalau begitu. Kakak beri Azizah waktu untuk berpikir. Azizah butuh waktu untuk mencerna segalanya. Karena semua yang kakak katakan tadi terlalu mengejutkan. Selama ini Azizah pikir tidak ada wanita lain dalam hubungan kita, tapi ternyata Azizah justru menjadi yang kedua.” Ada sesal yang di rasa oleh gadis cantik tersebut. Dimana dulu ia tak menanyakan tentang latar belakang Adrian. Pria yang tiba-tiba saja datang dari arah belakang dan mengajaknya berkenalan serta berakhir dengan kencan.Andai saja Azizah lebih teliti dalam mengenali seorang pria, mungkin dia tak akan terluka sampai sejauh ini. Yang ada dalam benak Azizah kala itu adalah tidak mungkin seorang pria yang sudah menikah akan berani me
Drama pertengkaran yang berlangsung cukup lama itu, ternyata membuat Azizah mengetahui segala fakta yang selama ini coba di tutupi oleh Adrian. Merasa terkejut, Azizah pun bertanya pada Yanti mengenai hubungannya bersama Adrian. Semula Yanti bungkam, tetapi pelan-pelan dia mulai terbuka saat Adrian menanyakan alasannya kembali ke kota itu. Rupanya sudah setahun lebih Yanti meninggalkan Adrian serta membawa dua anak mereka yang kala itu masih berusia satu tahun. Disitulah Azizah paham, bahwa Adrian sengaja menutupi statusnya darinya sebab pria itu sudah merencanakan perceraian bersama Yanti.Sementara itu, di sisi lain kedua orangtua Azizah telah mengetahui status pemuda yang telah menjalin kasih bersama anaknya itu. Akan tetapi, mereka masih bungkam. Fahri dan Safia yang tak sengaja melintasi lokasi kerja Adrian memilih kembali ke rumah. Mereka berencana menanyakan perihal itu setelah sampai di tempat hunian mereka. Fahri membiarkan Azizah menyelesaikan masalahnya bersama Adr
Untuk menunjukkan keseriusannya, Adrian membawa Azizah ke rumah orang tuanya serta memperkenalkan gadis itu kepada keluarga besar. Anehnya, ada beberapa saudara Adrian yang menatap sinis pada Azizah. Akan tetapi, tidak dengan kedua orang tua pemuda tersebut. Mereka menyambut Azizah dengan tangan terbuka, walau ada pesan tersirat yang sempat dilayangkan oleh ibu Adrian kepada pemuda itu.“Ma, perkenalkan. Ini Azizah, teman dekat Adrian,” ucap Adrian saat memperkenalkan Azizah kepada kedua orangtuanya. Disana ada kakak Adrian yang baru saja pulang dari ibu kota. Wanita itu duduk sembari menatap tak suka pada Azizah. Sementara saudara Adrian yang lainnya menyunggingkan senyuman. Menyambut hangat dia yang cantik rupawan.“Jadi ini wanita yang pernah kau ceritakan itu?” Pertanyaan ibu Adrian membuat Azizah menundukan kepala. Merasa malu kepada mereka. Rupanya Adrian sudah sering menyebut nama gadis itu di depan keluarga.“I