Keseharian Azizah selayaknya sampah masyarakat di tengah lingkungannya sendiri. Kedua orang tuanya pun seolah menganggap gadis itu sebagai anak pembawa sial. Betapa tidak, setiap hari orang datang kerumah dan membawa kabar tak mengenakkan. Sehingga membuat sepasang suami istri tersebut membenci putrinya sendiri.
Sementara Azizah, si remaja malang hanya bisa mengadukan takdir ke hadapan Ilahi. Dia membentangkan sejadah, menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Hanya bersama-Nya lah dia mampu berucap. Dengan suara getar dan tersedu-sedu, Azizah mengeluarkan curahan hatinya. Seolah sang pengusas ada di depan mata seraya mengusap kepalanya penuh kasih.
“Wahai Engkah sang pemilik hati, kuatkan lah hamba walau jiwa terluka berulang kali. Jangan biarkan hati ini melemah disaat cobaan itu semakin mendera. Sesungguhnya hamba bukanlah siapa-siapa tanpa-MU ya Rabb.” Azizah kembali terisak, hatinya teriris membayangkan begitu banyak cobaan yang ia hadapi. Jiwanya solah merana setiap hari, dia butuh sosok mengayomi serta meneduhkan sukma.
“Wahai engkau sang maha membolak-balikan hati dan keadaan, jangan biarkan jiwa hamba berkelana pada sesuatu yang Engkau haramkan. Tuntun lah selalu hati ini agar tak tergadaikan oleh indahnya dunia. Sesungguhnya, hamba tiada daya dan upaya melainkan pertolongan dari-MU ya Allah. Aamiin ya robbal ‘aalamiin. Alhamdulillah.” Azizah menutup doanya dengan mengucap kalimat hamdalah. Merasa bersyukur masih diberi kenikmatan berupa hidup. Walau hidup itu sendiri kerap kali membawanya dalam duka. Akan tetapi, Azizah paham, bahwa nestapa itu datangnya dari Tuhan. Tentu saja dengan tujuan agar dia terus mengingat serta menyebut nama sang pemilik bumi.
Usai melaksanakan ibadah, Azizah membuka mukena serta merapikannya seperti semula. Kemudian remaja itu memperhatikan wajahnya yang membiru akibat dari hantaman keras sang ayah. Pun paha dan juga betisnya. Dua anggota tubuh itu seakan terasa remuk. Belum lagi perihnya cakaran yang menyisakan goresan. Mungkin semua bekas pukulan itu tak sebanding dengan luka hati Azizah yang di pendam selama bertahun-tahun. Luka itu nyaris infeksi, sebab setiap hari dibubuhi garam, tanpa pernah meyisakan penawar.
“Hiks! Hiks!” isakan Azizah terdengar memilukan bagi siapa saja yang mendengar gadis berusia dua belas tahun tersebut. ternyata dia tak sekuat apa yang sedetik lalu ia katakan di hadapan Tuhan. Anak itu hanyalah mahluk lemah tak berdaya ketika merasakan kembali dukanya.
“Sebenarnya apa salah dan dosaku Tuhan? Sehingga Engkau memberikan cobaan yang teramat berat seperti ini. sesungguhnya aku tidak sekuat itu ya, Rabb.” Azizah terkulai lemah di depan cermin sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia kembali meluahkan emosi serta kata hati. Mengadu pada Tuhannya seperti anak kecil yang tersesat di persimpangan jalan. Tak tahu kemana arah dan tujuan hidup ini akan ia bawa pergi.
Setiap hari hati Azizah nelangsa, bahkan nyaris berputus asa andai sang penguasa tak menegurnya secara tiba-tiba dari arah tak terduga. Mungkin saat ini remaja itu tak lagi hidup bersama mereka yang menzoliminya.
Tok! Tok! Tok!
“Azizah, keluar lah!” suara Fahri menggema di balik pintu kamar Azizah. Entah apa lagi yang akan di persoalkan oleh pria paruh baya tersebut. Sementara Azizah yang mendengar suara ayahnya, cepat-cepat menyeka air mata. Membenahi hijab menghadap cermin. Melatih bibir membentuk senyuman manis namun palsu. Padahal di sekujur tubuh remaja itu penuh dengan luka.
“Iya, pa.” Aziza membuka pintu kamar.
“Kemarilah! Ada yang ingin papa tanyakan padamu mengenai peristiwa tadi sore,” ungkap Fahri.
Mendengar itu, pikiran Azizah kembali berkelana pada peristiwa memalukan beberapa jam yang lalu. Hatinya kembali sakit dan terluka. Ternyata sekuat apapun ia mencoba untuk merelakan segalanya, Azizah tetaplah hanya manusia biasa yang bisa sakit ketika mata belati kembali mengarah padanya.
“Baiklah, pa.” Tanpa berkata-kata lagi, Azizah menuruti interupsi sang ayah. Lagi pula, dia tak dapat membantah Fahri yang terkesan arogan dan keras.
“Duduklah!” titah Fahri setelah sampai diruang tengah. Di tempat itu, ada Safia dan juga Yana. Seluruh anggota keluarga tersebut berkumpul seperti hendak melaksanakan sidang. Azizah menundukan kepala, tak berani menatap mata sang ayah, pun Safia.
“Ceritakan pada papa, sebenarnya apa yang kau lakukan di rumah pamanmu tadi sore?” tanya Fahri. Kali ini nada suara pria itu terdengar melunak. Tak seperti biasanya yang penuh penekanan.
“Azizah tidak melakukan apa-apa, pa. Tadi Azizah hanya pergi ke sawah nenek. Setelah pulang, Azizah melewati rumah paman. Karena merasa haus, akhirnya Azizah memutuskan untuk minum di air keran Paman Alwi. Tapi paman justru mengatakan, bahwa Azizah mencemari air mereka dengan kotoran manusia,” ungkap Azizah dengan suara terbata-bata. Gadis itu masih merunduk, tak berani menatap wajah Fahri. Ia meremas jemari lentiknya terus menerus.
“Itulah sebabnya sudah sering papa katakan padamu, jauhi rumah Alwi! Kau selalu saja membuat masalah. Apa kau tidak malu di perlakukan sebagai sampah masyarakat oleh mereka yang membencimu?” Alih-alih menyadari kesalah pahamannya terhadap Azizah karena tak percaya pada ucapan gadis itu, Fahri justru kembali menyalahkan putrinya tersebut. Padahal sebagai seorang ayah, seharusnya dia pergi melabrak Alwi karena telah memfitnah anak gadisnya. Tapi, apa yang dilakukan Fahri tak mencerminkan prilaku seorang ayah yang bertanggung jawab.
Azizah pergi ke sawah juga, karena atas perintah Fahri yang menginginkan daun pandan untuk dijadikan obat asam uratnya. Lantas mengapa remaja tak berdosa itu yang harus disalahkan? Padahal dia hanyalah korban.
“Mulai besok kau tidak boleh kemana-mana! Hanya sekolah dan rumah!” Seperti biasa, jika Fahri merasa Azizah memberinya masalah, maka dia tak mengizinkan gadis itu untuk keluar rumah setelah menyiksanya. Sungguh ultimatum yang aneh. Menekan seorang anak selayaknya tahanan.
“Tapi bagaimana dengan obat, papa? Azizah kemarin ke sawah untuk mengambilkan obat buat papa, bukan?” kata Azizah.
“Jadi kau menyalahkan papa atas apa yang terjadi tadi sore? Kau tidak ikhlas membantu orangtuamu sendiri? Dasar anak tidak tahu diri!”
Plak!
Fahri kembali berang, dia menampar Azizah yang sejatinya hanya mengungkap alasan mengapa ia bisa sampai berakhir seperti tadi. Namun, Fahri justru bertingkah seolah manusia yang paling benar. Dia tak pernah mau menerima apapun itu yang menjadi alasan Azizah. Selain dari pada itu, maksud Azizah adalah jika ia tak di izinkan untuk keluar rumah, lantas siapa yang akan mengambilkan obat asam urat Fahri disawah. Sementara Safia juga sedang sakit. Daun pandang itu adanya hanya di sawah sang nenek.
“Sudah lah, pa. Kasihan dia.” Kali ini Safia yang berbicara. Hati kecilnya merasa iba pada anak ketiganya itu.
“Apa kau ingin membelanya?” Namun, Fahri masih tak mau kalah. Dia bertahan pada ego yang membuncah.
“Bukan membelanya, tapi apa kau tidak capek marah-marah terus? Ingat dengan kesehatanmu juga!” jawab Safia dengan nada satu oktaf lebih tinggi.
Sepasang suami istri itu kembali berdebat didepan kedua putrinya yang tak seharusnya menyaksikan mereka. Fahri terlihat seperti kepala rumah tangga yang tak bertanggung jawab kepada keluarga serta diri sendiri. Menjadikan anak dan istri sebagai objek pekampiasan emosi. Padahal sejatinya ia adalah imam dalam keluarga tersebut. Sudah seharusnya ia menjadi nahkoda bagi mereka yang menjadi bagian penting dalam hidupnya. Bukan justru menambah beban serta memperkeruh suasana. Mendukung mereka yang menganggap putrinya sebagai sampah masyarakat.
Perdebatan itu akan menimbulkan trauma tersendiri bagi kedua putrinya, terutama pada Yana yang masih kecil. Fahri tak menjaga pandangan bocah yang sejatinya hanya tahu bermain dan belajar. Tak tahu arti pertengkaran sesama orang dewasa. Tapi Fahri dan Safia seolah menyuguhkan adegan tak senonoh itu secara Cuma-Cuma pada mereka.
Peristiwa yang sungguh miris jika ada seorang pria di usianya yang beranjak senja, tetapi tak mampu mengendalikan emosi serta jiwanya yang meronta. Memilih marah-marah dan menyalahkan mereka. Padahal seharusnya ia menegur Alwi, seseorang yang bertanggung jawab atas apa yang menimpa putrinya sendiri.
To be continued...
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tibalah di penghujung tahun 2004, dimana Azizah telah naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Remaja itu mendapat juara satu di kelasnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi semua orangtua yang hidup dimuka bumi ini. Namun, tidak dengan Fahri. Pria paruh baya tersebut tak memberi respon apapun pada Azizah, walau sejatinya remaja itu telah mengharumkan nama mereka. Fahri tak mengucap kata selamat, atau sejenisnya yang turut menyemangati Azizah. Akan tetapi, berbeda dengan Safia. Wanita itu memberi ucapan selamat pada Azizah yang memang setiap tahun mendapat juara pertama. Rupanya sekejam-kejamnya Safia, tetapi nuraninya sebagai seorang ibu masih lah berjalan. “Selamat atas prestasimu, nak,” ucap Safia setelah Azizah menunjukan raportnya. “Terimakasih, ma.” Azizah tersenyum kaku pada sang ibu. Entah mengapa dia seperti merasa tabu duduk bercengkrama selayaknya keluarga. Telah lama Azizah merasakan kec
Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.“Ayo kita keluar dari
Seiring berjalannya waktu, penyakit Fahri mulai membaik, hingga akhirnya dinyatakan sembuh total. Fahri pun mulai bangkit dan dibantu oleh sang istri yang selalu menemaninya baik dalam suka maupun duka. Tak ketinggalan Azizah dan juga Yana. Dua adik kakak itu membantu Fahri berjualan di pasar. Kendati tak jarang yang mengejek mereka.“Lihatlah mereka, sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berjualan dipasar seperti pengemis saja. Meminta-minta pada pembeli untuk belanja ditempatnya.” Markonah, si ratu gossip selalu saja hadir diantara mereka yang tak pernah mengusik hidupnya. Dia seperti tak akan bisa hidup tanpa menceritakan kehidupan orang lain. Menyebut Azizah dan Fahri seperti pengemis, mengajak pelanggan untuk berbelanja. Lalu apa bedanya dengan dia yang setiap hari mempromosikan kedai lapuknya ke tetangga. Sementara Markonah juga lebih sering memohon dan mengiba, bahkan terkesan memaksa. Dan sekarang menyebut Azizah seperti pengemis jalanan. Sungg
Selang beberapa tahun kemudian, rumah yang dulunya terbakar kini bisa di tempati kembali. Fahri merenovasi hingga sedemikian rupa, dan membuatnya merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu tak berlangsung lama. Sebab sang istri, Safia tiba-tiba menderita penyakit strok berat. Azizah yang kala itu masih menginjak kelas dua SMA, hampir saja mengorbankan sekolahnya demi merawat sang bunda. Beruntung saudara dari Safia mau membantu gadis tersebut. Mereka berbagi tugas merawat Safia yang sakitnya terbilang aneh. Wanita berambut ikal itu dinyatakan menderita strok oleh dokter, tetapi mentalnya turut terganggu.“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? kenapa Engkau memberikan cobaan yang begitu berat secara bertubi-tubi kapada kami?” keluh Azizah saat usai menunaikan ibadah sholat maghrib. Dia menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Menyayangkan takdir yang selalu tak berpihak padanya.“Jika memang ini yang terbaik, maka lapangkan hatiku dalam menerima segalanya, ya
Senja hari yang indah, dimana Azizah tengah duduk di depan rumah. Seolah menikmati indahnya pemandangan. Namun, hati seolah menuntun nalarnya untuk berjalan menuju kantor kelurahan yang sementara direnovasi. Sementara Azizah mengagumi ornament kantor tersebut, tiba-tiba seorang pria muncul dari arah belakang. Sehingga membuat Azizah terkejut ketakutan. Pertemuan tak disengaja itu menghantarkan mereka kedalam hubungan pertemanan, dan berakhir dengan percintaan. Dimana Adrian mengajak Azizah berkencan. Namun, sejak awal pemuda dengan tahi lalat dipipi itu tak pernah jujur pada Azizah. Dia menyembunyikan statusnya yang telah menikah dan memiliki dua orang anak.“Hai, namaku Adrian. apa kau yang tinggal di depan sana?” tanya Adrian kepada Azizah. Pemuda itu menatap Azizah dengan penuh kagum. Betapa tidak, wajah gadis tersebut sangat natural tanpa polesan apapun. Belum lagi senyumannya yang manis. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpukau.“Maafkan
Hubungan Azizah dan Adrian rupanya disambut baik oleh kedua orang tua gadis tersebut. Sehingga sepasang kekasih yang tengah dilanda asmara itu merasa bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sebab rekan kerja Adrian merasa cemburu pada pemuda tersebut. Rupanya diam-diam rekan kerja Adrian yang bernama Izul menaruh rasa pada Azizah. Sehingga membocorkan status Adrian padanya. Namun, semula Azizah tak paham apa maksud ucapan Izul . Sehingga ia tak peduli dan tetap melanjutkan hubungan mereka.“Jadi kau menyukai putriku?” tanya Fahri kepada Adrian. Pemuda itu kini memperkenalkan diri kepada kedua orantua Azizah selayaknya pria dewasa yang bertanggung jawab. Adrian duduk di depan Fahri dan juga Safia sembari menundukan kepala. Merasa segan pada kedua orangtua kekasihnya itu.“Iya, om,” jawab Adrian ragu-ragu. Walaupun usia Adrian sudah dewasa dan memiliki pengalaman sebelumnya, tetapi kali ini dia merasa berbeda. Azizah gadis spesial ya
“Kalian sedang meributkan apa?” tanya Azizah di sela perdebatan antara Izul dan Adrian. Keduanya tengah merebutkan Azizah.“Ah, kami baik-baik saja kok, Za. Tidak terjadi sesuatu pada kami berdua.” Sengaja Adrian menutupi yang sebebnarnya, agar status yang selama ini coba ia sembunyikan tidak ketahuan.“Adrian kamu sungguh egois! mentang-mentang kamu sudah pernah menikah, lantas dengan mudahnya menipu Azizah!” Izul sengaja mengungkap kebohongan Adrian di depan Azizah, agar gadis itu memutuskan hubungan bersama Adrian.“Apa maksud kalian? Aku tidak mengerti.” Namun, Azizah masih belum memahami maksud dari ucapan Izul.“Zul, kamu apa-apaan sih? Apa kamu sengaja ingin memberitahu Azizah tentang yang sebenarnya? Apa kamu sengaja ingin merebut dia dariku?!” Adrian membawa Izul ke sudut ruangan kelurahan yang hampir rampung. Disana dia mencerca pemuda berkulit sawo matang itu dengan kalimat penuh penek
Ketika mendengar penjelasan Adrian, hati Azizah mulai terenyuh. Ada sentuhan iba didalam sana yang mulai bergejolak. Dia dapat melihat adanya luka lewat sorot mata sayu Adrian. Sesal pun turut terpancarkan dari sinaran netra pemuda tersebut.“Baiklah kalau begitu. Kakak beri Azizah waktu untuk berpikir. Azizah butuh waktu untuk mencerna segalanya. Karena semua yang kakak katakan tadi terlalu mengejutkan. Selama ini Azizah pikir tidak ada wanita lain dalam hubungan kita, tapi ternyata Azizah justru menjadi yang kedua.” Ada sesal yang di rasa oleh gadis cantik tersebut. Dimana dulu ia tak menanyakan tentang latar belakang Adrian. Pria yang tiba-tiba saja datang dari arah belakang dan mengajaknya berkenalan serta berakhir dengan kencan.Andai saja Azizah lebih teliti dalam mengenali seorang pria, mungkin dia tak akan terluka sampai sejauh ini. Yang ada dalam benak Azizah kala itu adalah tidak mungkin seorang pria yang sudah menikah akan berani me