Beranda / Romansa / FAUZIAH AZZAHRA / Sampah Masyarakat

Share

Sampah Masyarakat

Keseharian Azizah selayaknya sampah masyarakat di tengah lingkungannya sendiri. Kedua orang tuanya pun seolah menganggap gadis itu sebagai anak pembawa sial. Betapa tidak, setiap hari orang datang kerumah dan membawa kabar tak mengenakkan. Sehingga membuat sepasang suami istri tersebut membenci putrinya sendiri.

Sementara Azizah, si remaja malang hanya bisa mengadukan takdir ke hadapan Ilahi. Dia membentangkan sejadah, menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Hanya bersama-Nya lah dia mampu berucap. Dengan suara getar dan tersedu-sedu, Azizah mengeluarkan curahan hatinya. Seolah sang pengusas ada di depan mata seraya mengusap kepalanya penuh kasih.

“Wahai Engkah sang pemilik hati, kuatkan lah hamba walau jiwa terluka berulang kali. Jangan biarkan hati ini melemah disaat cobaan itu semakin mendera. Sesungguhnya hamba bukanlah siapa-siapa tanpa-MU ya Rabb.” Azizah kembali terisak, hatinya teriris membayangkan begitu banyak cobaan yang ia hadapi. Jiwanya solah merana setiap hari, dia butuh sosok mengayomi serta meneduhkan sukma.

“Wahai engkau sang maha membolak-balikan hati dan keadaan, jangan biarkan jiwa hamba berkelana pada sesuatu yang Engkau haramkan. Tuntun lah selalu hati ini agar tak tergadaikan oleh indahnya dunia. Sesungguhnya, hamba tiada daya dan upaya melainkan pertolongan dari-MU ya Allah. Aamiin ya robbal ‘aalamiin. Alhamdulillah.” Azizah menutup doanya dengan mengucap kalimat hamdalah. Merasa bersyukur masih diberi kenikmatan berupa hidup. Walau hidup itu sendiri kerap kali membawanya dalam duka. Akan tetapi, Azizah paham, bahwa nestapa itu datangnya dari Tuhan. Tentu saja dengan tujuan agar dia terus mengingat serta menyebut nama sang pemilik bumi.

Usai melaksanakan ibadah, Azizah membuka mukena serta merapikannya seperti semula. Kemudian remaja itu memperhatikan wajahnya yang membiru akibat dari hantaman keras sang ayah. Pun paha dan juga betisnya. Dua anggota tubuh itu seakan terasa remuk. Belum lagi perihnya cakaran yang menyisakan goresan. Mungkin semua bekas pukulan itu tak sebanding dengan luka hati Azizah yang di pendam selama bertahun-tahun. Luka itu nyaris infeksi, sebab setiap hari dibubuhi garam, tanpa pernah meyisakan penawar.

“Hiks! Hiks!” isakan Azizah terdengar memilukan bagi siapa saja yang mendengar gadis berusia dua belas tahun tersebut. ternyata dia tak sekuat apa yang sedetik lalu ia katakan di hadapan Tuhan. Anak itu hanyalah mahluk lemah tak berdaya ketika merasakan kembali dukanya.

“Sebenarnya apa salah dan dosaku Tuhan? Sehingga Engkau memberikan cobaan yang teramat berat seperti ini. sesungguhnya aku tidak sekuat itu ya, Rabb.” Azizah terkulai lemah di depan cermin sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia kembali meluahkan emosi serta kata hati. Mengadu pada Tuhannya seperti anak kecil yang tersesat di persimpangan jalan. Tak tahu kemana arah dan tujuan hidup ini akan ia bawa pergi.

Setiap hari hati Azizah nelangsa, bahkan nyaris berputus asa andai sang penguasa tak menegurnya secara tiba-tiba dari arah tak terduga. Mungkin saat ini remaja itu tak lagi hidup bersama mereka yang menzoliminya.

Tok! Tok! Tok!

“Azizah, keluar lah!” suara Fahri menggema di balik pintu kamar Azizah. Entah apa lagi yang akan di persoalkan oleh pria paruh baya tersebut. Sementara Azizah yang mendengar suara ayahnya, cepat-cepat menyeka air mata. Membenahi hijab menghadap cermin. Melatih bibir membentuk senyuman manis namun palsu. Padahal di sekujur tubuh remaja itu penuh dengan luka.

“Iya, pa.” Aziza membuka pintu kamar.

“Kemarilah! Ada yang ingin papa tanyakan padamu mengenai peristiwa tadi sore,” ungkap Fahri.

Mendengar itu, pikiran Azizah kembali berkelana pada peristiwa memalukan beberapa jam yang lalu. Hatinya kembali sakit dan terluka. Ternyata sekuat apapun ia mencoba untuk merelakan segalanya, Azizah tetaplah hanya manusia biasa yang bisa sakit ketika mata belati kembali mengarah padanya.

“Baiklah, pa.” Tanpa berkata-kata lagi, Azizah menuruti interupsi sang ayah. Lagi pula, dia tak dapat membantah Fahri yang terkesan arogan dan keras.

“Duduklah!” titah Fahri setelah sampai diruang tengah. Di tempat itu, ada Safia dan juga Yana. Seluruh anggota keluarga tersebut berkumpul seperti hendak melaksanakan sidang. Azizah menundukan kepala, tak berani menatap mata sang ayah, pun Safia.

“Ceritakan pada papa, sebenarnya apa yang kau lakukan di rumah pamanmu tadi sore?” tanya Fahri. Kali ini nada suara pria itu terdengar melunak. Tak seperti biasanya yang penuh penekanan.

“Azizah tidak melakukan apa-apa, pa. Tadi Azizah hanya pergi ke sawah nenek. Setelah pulang, Azizah melewati rumah paman. Karena merasa haus, akhirnya Azizah memutuskan untuk minum di air keran Paman Alwi. Tapi paman justru mengatakan, bahwa Azizah mencemari air mereka dengan kotoran manusia,” ungkap Azizah dengan suara terbata-bata. Gadis itu masih merunduk, tak berani menatap wajah Fahri. Ia meremas jemari lentiknya terus menerus.

“Itulah sebabnya sudah sering papa katakan padamu, jauhi rumah Alwi! Kau selalu saja membuat masalah. Apa kau tidak malu di perlakukan sebagai sampah masyarakat oleh mereka yang membencimu?” Alih-alih menyadari kesalah pahamannya terhadap Azizah karena tak percaya pada ucapan gadis itu, Fahri justru kembali menyalahkan putrinya tersebut. Padahal sebagai seorang ayah, seharusnya dia pergi melabrak Alwi karena telah memfitnah anak gadisnya. Tapi, apa yang dilakukan Fahri tak mencerminkan prilaku seorang ayah yang bertanggung jawab.

Azizah pergi ke sawah juga, karena atas perintah Fahri yang menginginkan daun pandan untuk dijadikan obat asam uratnya. Lantas mengapa remaja tak berdosa itu yang harus disalahkan? Padahal dia hanyalah korban.

“Mulai besok kau tidak boleh kemana-mana! Hanya sekolah dan rumah!” Seperti biasa, jika Fahri merasa Azizah memberinya masalah, maka dia tak mengizinkan gadis itu untuk keluar rumah setelah menyiksanya. Sungguh ultimatum yang aneh. Menekan seorang anak selayaknya tahanan.

“Tapi bagaimana dengan obat, papa? Azizah kemarin ke sawah untuk mengambilkan obat buat papa, bukan?” kata Azizah.

“Jadi kau menyalahkan papa atas apa yang terjadi tadi sore? Kau tidak ikhlas membantu orangtuamu sendiri? Dasar anak tidak tahu diri!”

Plak!

Fahri kembali berang, dia menampar Azizah yang sejatinya hanya mengungkap alasan mengapa ia bisa sampai berakhir seperti tadi. Namun, Fahri justru bertingkah seolah manusia yang paling benar. Dia tak pernah mau menerima apapun itu yang menjadi alasan Azizah. Selain dari pada itu, maksud Azizah adalah jika ia tak di izinkan untuk keluar rumah, lantas siapa yang akan mengambilkan obat asam urat Fahri disawah. Sementara Safia juga sedang sakit. Daun pandang itu adanya hanya di sawah sang nenek.

“Sudah lah, pa. Kasihan dia.” Kali ini Safia yang berbicara. Hati kecilnya merasa iba pada anak ketiganya itu.

“Apa kau ingin membelanya?” Namun, Fahri masih tak mau kalah. Dia bertahan pada ego yang membuncah.

“Bukan membelanya, tapi apa kau tidak capek marah-marah terus? Ingat dengan kesehatanmu juga!” jawab Safia dengan nada satu oktaf lebih tinggi.

Sepasang suami istri itu kembali berdebat didepan kedua putrinya yang tak seharusnya menyaksikan mereka. Fahri terlihat seperti kepala rumah tangga yang tak bertanggung jawab kepada keluarga serta diri sendiri. Menjadikan anak dan istri sebagai objek pekampiasan emosi. Padahal sejatinya ia adalah imam dalam keluarga tersebut. Sudah seharusnya ia menjadi nahkoda bagi mereka yang menjadi bagian penting dalam hidupnya. Bukan justru menambah beban serta memperkeruh suasana. Mendukung mereka yang menganggap putrinya sebagai sampah masyarakat.

Perdebatan itu akan menimbulkan trauma tersendiri bagi kedua putrinya, terutama pada Yana yang masih kecil. Fahri tak menjaga pandangan bocah yang sejatinya hanya tahu bermain dan belajar. Tak tahu arti pertengkaran sesama orang dewasa. Tapi Fahri dan Safia seolah menyuguhkan adegan tak senonoh itu secara Cuma-Cuma pada mereka.

Peristiwa yang sungguh miris jika ada seorang pria di usianya yang beranjak senja, tetapi tak mampu mengendalikan emosi serta jiwanya yang meronta. Memilih marah-marah dan menyalahkan mereka. Padahal seharusnya ia menegur Alwi, seseorang yang bertanggung jawab atas apa yang menimpa putrinya sendiri.

To be continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status