Sepasang suami istri, tengah duduk nonton diruang tengah bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Kala itu Azizah tak sengaja lewat di belakang rumah mereka yang tak lain adalah Alwi dan Halimah setelah ia baru saja kembali dari sawah. Gadis itu merasa haus dan memutuskan untuk minum air keran yang berada di belang rumah pamannya tersebut. Namun, ternyata pria paruh baya itu memarahi Azizah dan menyebutnya telah mencemari air minumnya dengan kotoran manusia. Sehingga Azizah mendapat tatapan tajam dari para warga.
“Hei! Kau apakan air kami? Mengapa kau mencemarinya dengan kotoranmu?” Alwi membentak Azizah yang sementara menghapus dahaga dengan air keran miliknya. Sontak saja gadis itu terkejut, hingga memegang dadanya.
“Paman Alwi,” kata Azizah dengan hati waspada. Sepertinya gadis itu mulai bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh pamannya. Selama beberapa hari belakangan, remaja itu mempelajari sifat Alwi yang kelewat batas. Menyebar fitnah tentangnya tanpa berpikir, bahwa mereka adalah kerabat dekat.
“Ada apa? apa kau takut karena katahuan melakukan kesalahan? Kau memang anak pembawa sial! Tidak tahu diri, hidup lagi!” Tanpa welas asih Alwi berucap selayaknya manusia suci dan hebat. Padahal dia jauh lebih biadab dibanding mahluk manapun didunia ini.
Alwi merupakan seorang pencuri ulung ditempatnya bekerja. Memanipulasi situasi dan kondisi untuk menghilangkan jejak. Beberapa kali ketahuan berbohong dan dipecat. Sehingga sekarang dia hanyalah seorang tukang ojek pengkolan dikota itu.
“Paman, Azizah tidak mencemari air paman dengan kotoran. Azizah hanya numpang minum di air keran ini.” Azizah membatah tudingan sang paman. Sementara para warga mulai berdatangan, setelah mendengar ada suara rebut-ribut. Warga itu seakan tak ingin ketinggalan kereta dalam mengghiba serta menjudge anak gadis orang. Padahal sebagian besar dari mereka memiliki hati busuk. Mereka lebih layak disebut kaum munafikun ketimbang alim ulama dikampungnya. Setiap hari membentangkan sejadah, menengadahkan tangan serta menundukkan kepala didepan sang pencipta. Surau yang dulunya sunyi, perlahan ramai karena mereka yang mengisinya. Namun, setelah pulang dari tempat ibadah tersebut, mereka berkumpul bercerita yang topiknya itu-itu saja. Tak lain dan tak bukan adalah Fauziah Azzahra, si gadis malang yang menjadi bunga desa. Mengalahkan putri mereka yang tak ada apa-apanya.
“Apa lagi yang dilakukan anak ini sih? Kok dia paling suka mencari perhatian warga sekitar?” timpal bapak-bapak yang memakai peci. Dia baru saja usai melaksanakan sholat Ashar. Bahkan tasbi masih melekat ditangannya.
“Dia kan memang suka mencari perhatian kita! Sama kaya orangtuanya yang tak tahu diri itu!” istri bapak berpeci tadi turut menimpali. Dia dengan sombongnya berucap yang tidak-tidak. Merasa paling benar diantara semua orang.
“Ayo kita bawa dia ke rumahnya dan memberitahu pada kedua orangtuanya, bahwa anak ini sudah mencemari air kita!” Markonah, ibu Irma yang selalu menjadi ratu gossip, selalu hadir dalam tiap masalah yang ada. saat ini wanita paruh baya itu tengah memakai handuk pendek. Menunjukkan pahanya yang di penuhi bekas luka dan kadas. Paha itu tak ada mulus-mulusnya sama sekali, tetapi dengan percaya diri dia memakai handuk tak bertuan. Dan dengan tak tahu malunya turut nimbrung dalam urusan yang tak ada hubungan dengannya. Sungguh dia manusia yang paling pantas disebut wanita murahan.
“Iya betul sekali. Ayo kita bawa dia sekarang juga!” janda muda bernama Hayati, turut mengeluarkan asumsi. Menggiring opini seolah Azizah patut dieksekusi selayaknya terdakwa. Padahal gadis itu tak melakukan apa-apa. dia hanyalah korban fitnah dari pamannya yang tak tahu diri.
Akhirnya para warga itu beramai-ramai membawa Azizah ke rumah Fahri selayaknya manusia hina, dan diikuti seluruh warga yang tadi menyaksikan Alwi berteriak keras. Disepanjang perjalanan itu, Azizah jadi bahan tontonan warga sekitar yang hanya berdiri didepan pintu pagar rumah mereka. Sementara Azizah hanya bisa menundukkan kepala, merasa malu dan takut. Namun, gadis itu takut bukan karena mereka yang menghakiminya, melainkan kepada ayah yang tak pernah membelanya walau dalam situasi apapun.
“Fahri! Keluar lah!” Alwi berteriak menyebut nama Fahri begitu tiba di rumah sepupunya itu.
“Ada apa ini rebut-ribut?” Fahri yang baru saja memakai baju setelah membersihkan diri, merasa terkejut saat melihat banyak orang berdatangan ke rumahnya. Namun, yang tak kalah menarik perhatian pria paruh baya itu adalah, keberadaan Azizah ditengah warga. Remaja itu menundukkan kepala sembari meremas jemari yang berkeringat sedari tadi.
“Hei, Fahri! Kau lihatlah putrimu ini. Dia sudah mencemari air pak Alwi dengan kotoran manusia. Apa begini caramu mengajarinya?!” pak Rt yang baru saja tiba, memberitahu fahri perbuatan Azizah. Membuat mata pria berkulit sawo matang itu membeliak.
“Apa benar begitu Azizah?!” Fahri membentak Azizah dengan suara lantang. Sehingga Halimah yang sedari tadi diam tersenyum penuh kemenangan. Kata hati wanita licik itu seolah terwakilkan oleh mereka yang turut nimbrung memvonis Azizah selayaknya sampah.
“Papa, aku—“ Suara Azizah bergetar hebat. Dia sungguh takut terkena amukan ayahnya yang tak mengenal tendensi atau welas asih. Pria paruh baya itu selalu tak mau mendengar penjelasan Azizah. Mengutamakan rasa malu yang ia emban dari para warga. Padahal putrinya begitu menderita selama ini.
Plak!
Fahri mendekati Azizah lalu menampar putrinya itu di depan semua orang. Sehingga gadis malang itu mengaduh kesakitan. Sementara Alwi dan Halimah tersenyum Devil. Disambut oleh Markonah, siwanita bar-bar tak tahu diri.
“Kau benar-benar membuat bapak malu! Masuk ke dalam rumah!” bentak Fahri pada Azizah.
“Tolong maafkan putri saya. Saya janji akan memberinya pelajaran. Setelah ini dia tak akan berulah lagi,” imbuh Fahri seraya mengatupkan tangan. Meminta maaf pada warga, terutaman Alwi dan Halimah.
“Baiklah, hari ini kami memaafkan putrimu. Tapi tidak untuk lain kali!” sahut pak Rt.
“Terimakasih atas pengertiannya.” Fahri mengembuskan nafas lega, setelah warga itu akhirnya meninggalkan rumahnya. Lalu pria itu masuk kedalam rumah dan menemui Azizah yang tengah ketakutan.
Plak! Plak! Plak!
Bug! Kedebug! Gubrak!
Fahri menyiksa Azizah tanpa belas kasihan. Seluruh tubuh gadis itu terasa sakit dan membiru. Bahkan wajahnya yang cantik harus tergores akibat dari cakaran sang ayah. Sungguh malang nasib gadis itu, harus menerima fitnaan berulang kali. Padahal dia tak melakukan apa-apa.
“Papa, Azizah tidak melakukan apa-apa.” Dengan suara terbata-bata, Azizah berusaha membela diri. Dia tak terima ketika ayahnya itu selalu saja menelan mentah-mentah apa yang ia dengar tanpa mau bertanya terlebih dahulu. Atau paling tidak berikan gadis itu kesempatan untuk bercerita, agar Fahri juga tahu seberapa luka yang coba ia simpan selama ini. Seandainya saja dada Azizah dapat dibelah, maka dia pasti akan menunjukkan berbagai macam jenis luka didalam sana. Ada luka yang diberangi nanah, ada luka yang sudah terinfeksi lama, dan ada pula luka yang tak ada obatnya.
“Tidak melakukan kesalahan kau bilang? Lalu apa tadi, ha? Semua warga datang ke rumah kita dan membawamu seperti terdakwa. Apa itu artinya kalau bukan karena kau melakukan kesalahan?!” nada suara Fahri mencapai tujuh oktaf lebih tinggi dari tadi. Sementara Safia yang hanya bisa melihat putrinya di siksa oleh suaminya, tak melakukan perlawanan. Dia seolah menyerahkan segalanya pada Fahri. Padahal sebagai ibu, seharusnya dia lebih peka terhadap putrinya. Melindungi gadis itu dari pandangan serta mata jahat mereka yang tak bertanggung jawab. Tapi lain halnya dengan Safia, dia seolah menjelma seperti wanita tak punya hati. Hanya tahu melahirkan, tapi tak tahu bagaimana cara menerapkan cinta kasih.
“Itu tidak benar, pa. Azizah tidak mencemari air minum paman Alwi.” Masih dengan berusaha sekuat tenaga, Azizah mencoba meyakinkan ayahnya.
“Kau memang anak pembawa sial! Apa kau tidak lihat semua saudaramu yang tak pernah membuat kami malu? Hanya kau yang seperti ini Azizah!” Namun, alih-alih mendapat kepercayaan dari Fahri, Azizah justru semakin tersisihkan. Dan sekarang dibanding-bandingkan oleh saudaranya yang lain. Padahal sebagai orang tua, kita tak boleh membanding-bandingkan anak. Karena akan berimbas pada mental mereka, serta kehilangan kepercayaan dirinya.
Hati Azziah semakin terhiris sembilu. Ucapan tajam sang ayah lebih menyakitkan dari fitnah dan tamparan keras tadi. Tapi dia bisa apa? sedangkan untuk sekedar mengklarifikasi saja dia tak kuasa. Fahri tak pernah memberi kesempatan padanya. Ayah gadis itu seakan menciptakan jarak antara anak dan orangtua.
To be continued...
Keseharian Azizah selayaknya sampah masyarakat di tengah lingkungannya sendiri. Kedua orang tuanya pun seolah menganggap gadis itu sebagai anak pembawa sial. Betapa tidak, setiap hari orang datang kerumah dan membawa kabar tak mengenakkan. Sehingga membuat sepasang suami istri tersebut membenci putrinya sendiri.Sementara Azizah, si remaja malang hanya bisa mengadukan takdir ke hadapan Ilahi. Dia membentangkan sejadah, menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Hanya bersama-Nya lah dia mampu berucap. Dengan suara getar dan tersedu-sedu, Azizah mengeluarkan curahan hatinya. Seolah sang pengusas ada di depan mata seraya mengusap kepalanya penuh kasih.“Wahai Engkah sang pemilik hati, kuatkan lah hamba walau jiwa terluka berulang kali. Jangan biarkan hati ini melemah disaat cobaan itu semakin mendera. Sesungguhnya hamba bukanlah siapa-siapa tanpa-MU ya Rabb.” Azizah kembali terisak, hatinya teriris membayangkan begitu banyak cobaan yang ia hadapi. Jiwanya
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tibalah di penghujung tahun 2004, dimana Azizah telah naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Remaja itu mendapat juara satu di kelasnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi semua orangtua yang hidup dimuka bumi ini. Namun, tidak dengan Fahri. Pria paruh baya tersebut tak memberi respon apapun pada Azizah, walau sejatinya remaja itu telah mengharumkan nama mereka. Fahri tak mengucap kata selamat, atau sejenisnya yang turut menyemangati Azizah. Akan tetapi, berbeda dengan Safia. Wanita itu memberi ucapan selamat pada Azizah yang memang setiap tahun mendapat juara pertama. Rupanya sekejam-kejamnya Safia, tetapi nuraninya sebagai seorang ibu masih lah berjalan. “Selamat atas prestasimu, nak,” ucap Safia setelah Azizah menunjukan raportnya. “Terimakasih, ma.” Azizah tersenyum kaku pada sang ibu. Entah mengapa dia seperti merasa tabu duduk bercengkrama selayaknya keluarga. Telah lama Azizah merasakan kec
Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.“Ayo kita keluar dari
Seiring berjalannya waktu, penyakit Fahri mulai membaik, hingga akhirnya dinyatakan sembuh total. Fahri pun mulai bangkit dan dibantu oleh sang istri yang selalu menemaninya baik dalam suka maupun duka. Tak ketinggalan Azizah dan juga Yana. Dua adik kakak itu membantu Fahri berjualan di pasar. Kendati tak jarang yang mengejek mereka.“Lihatlah mereka, sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berjualan dipasar seperti pengemis saja. Meminta-minta pada pembeli untuk belanja ditempatnya.” Markonah, si ratu gossip selalu saja hadir diantara mereka yang tak pernah mengusik hidupnya. Dia seperti tak akan bisa hidup tanpa menceritakan kehidupan orang lain. Menyebut Azizah dan Fahri seperti pengemis, mengajak pelanggan untuk berbelanja. Lalu apa bedanya dengan dia yang setiap hari mempromosikan kedai lapuknya ke tetangga. Sementara Markonah juga lebih sering memohon dan mengiba, bahkan terkesan memaksa. Dan sekarang menyebut Azizah seperti pengemis jalanan. Sungg
Selang beberapa tahun kemudian, rumah yang dulunya terbakar kini bisa di tempati kembali. Fahri merenovasi hingga sedemikian rupa, dan membuatnya merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu tak berlangsung lama. Sebab sang istri, Safia tiba-tiba menderita penyakit strok berat. Azizah yang kala itu masih menginjak kelas dua SMA, hampir saja mengorbankan sekolahnya demi merawat sang bunda. Beruntung saudara dari Safia mau membantu gadis tersebut. Mereka berbagi tugas merawat Safia yang sakitnya terbilang aneh. Wanita berambut ikal itu dinyatakan menderita strok oleh dokter, tetapi mentalnya turut terganggu.“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? kenapa Engkau memberikan cobaan yang begitu berat secara bertubi-tubi kapada kami?” keluh Azizah saat usai menunaikan ibadah sholat maghrib. Dia menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Menyayangkan takdir yang selalu tak berpihak padanya.“Jika memang ini yang terbaik, maka lapangkan hatiku dalam menerima segalanya, ya
Senja hari yang indah, dimana Azizah tengah duduk di depan rumah. Seolah menikmati indahnya pemandangan. Namun, hati seolah menuntun nalarnya untuk berjalan menuju kantor kelurahan yang sementara direnovasi. Sementara Azizah mengagumi ornament kantor tersebut, tiba-tiba seorang pria muncul dari arah belakang. Sehingga membuat Azizah terkejut ketakutan. Pertemuan tak disengaja itu menghantarkan mereka kedalam hubungan pertemanan, dan berakhir dengan percintaan. Dimana Adrian mengajak Azizah berkencan. Namun, sejak awal pemuda dengan tahi lalat dipipi itu tak pernah jujur pada Azizah. Dia menyembunyikan statusnya yang telah menikah dan memiliki dua orang anak.“Hai, namaku Adrian. apa kau yang tinggal di depan sana?” tanya Adrian kepada Azizah. Pemuda itu menatap Azizah dengan penuh kagum. Betapa tidak, wajah gadis tersebut sangat natural tanpa polesan apapun. Belum lagi senyumannya yang manis. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpukau.“Maafkan
Hubungan Azizah dan Adrian rupanya disambut baik oleh kedua orang tua gadis tersebut. Sehingga sepasang kekasih yang tengah dilanda asmara itu merasa bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sebab rekan kerja Adrian merasa cemburu pada pemuda tersebut. Rupanya diam-diam rekan kerja Adrian yang bernama Izul menaruh rasa pada Azizah. Sehingga membocorkan status Adrian padanya. Namun, semula Azizah tak paham apa maksud ucapan Izul . Sehingga ia tak peduli dan tetap melanjutkan hubungan mereka.“Jadi kau menyukai putriku?” tanya Fahri kepada Adrian. Pemuda itu kini memperkenalkan diri kepada kedua orantua Azizah selayaknya pria dewasa yang bertanggung jawab. Adrian duduk di depan Fahri dan juga Safia sembari menundukan kepala. Merasa segan pada kedua orangtua kekasihnya itu.“Iya, om,” jawab Adrian ragu-ragu. Walaupun usia Adrian sudah dewasa dan memiliki pengalaman sebelumnya, tetapi kali ini dia merasa berbeda. Azizah gadis spesial ya
“Kalian sedang meributkan apa?” tanya Azizah di sela perdebatan antara Izul dan Adrian. Keduanya tengah merebutkan Azizah.“Ah, kami baik-baik saja kok, Za. Tidak terjadi sesuatu pada kami berdua.” Sengaja Adrian menutupi yang sebebnarnya, agar status yang selama ini coba ia sembunyikan tidak ketahuan.“Adrian kamu sungguh egois! mentang-mentang kamu sudah pernah menikah, lantas dengan mudahnya menipu Azizah!” Izul sengaja mengungkap kebohongan Adrian di depan Azizah, agar gadis itu memutuskan hubungan bersama Adrian.“Apa maksud kalian? Aku tidak mengerti.” Namun, Azizah masih belum memahami maksud dari ucapan Izul.“Zul, kamu apa-apaan sih? Apa kamu sengaja ingin memberitahu Azizah tentang yang sebenarnya? Apa kamu sengaja ingin merebut dia dariku?!” Adrian membawa Izul ke sudut ruangan kelurahan yang hampir rampung. Disana dia mencerca pemuda berkulit sawo matang itu dengan kalimat penuh penek