Malam telah menjelajahi keramaian kota. Kengerian tercipta seiring dengan munculnya binatang malam. Hujan baru saja reda, tapi rintiknya masih sedikit ada. Sesaat lagi, jarum panjang mengakhiri interaksi yang sangat panjang, berputar-putar, berkeliling-keliling angka satu keangka yang lain. dan ini dikerjakan selama 24 jam, tak pernah mengeluh ‘aku sudah lelah.’
Pun dengan seorang gadis remaja. Fauziah Azzahra, biasa disapa Azizah oleh teman-temannya. Azizah merupakan gadis periang serta penyayang keluarga. Usianya yang masih terbilang belia, tetapi sudah menunjukkan tanda-tanda bertanggung jawab sebagai seorang wanita dewasa. Wajahnya yang rupawan, menjadikan ia sebagai gadis natural tanpa polesan. Banyak yang kagum pada sosok gadis itu. Sehingga membuatnya dipandang selayaknya bunga desa. Akan tetapi, kecemburuan sosial membuatnya terhempas bagai sampah masyarakat di lingkungannya sendiri. Sementara kedua orangtuanya tak peduli. Meski begitu, Azizah tetap menanamkan cinta kasih kepada mereka yang telah melahirkannya, seperti pribahasa jarum jam tadi, bahwa dia tak pernah berkata ‘aku sudah lelah.’
Azizah merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Kakaknya yang tertua merantau ke ibu kota dan akhirnya menikah disana. Sementara kakaknya yang kedua menyebrang ke pulau bangka untuk mengejar cita-cita sebagai pengusaha tima. Tinggallah Azizah dan adiknya yang bernama Yana di rumah.
Di penghujung musim panas usia dua belasnya, pria paruh baya menyimpulkan sial dan tak punya harga diri pada gadis remaja itu. Mungkin karena dia sering mendapat cacian dari para tetangga maupun kerabat. Kemalangan yang di hadapi Azizah bermula ketika ia mengikuti kegiatan tujuh belasan di kotanya. Saat itu ia jatuh pingsan hingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat. Setibanya di rumah sakit tersebut, Azizah dinyatakan kekurangan darah dan kelelahan, serta mengalami penyakit magh. Sehingga ia harus dihentikan melanjutkan kegiatan. Setelah itu Azizah diantar pulang oleh ketua karantaruna mereka. Namun, setibaya di rumah Azizah mendengar fitnah yang sukses membuatnya terpukul. Dimana dia dikatakan hamil dan keguguran oleh paman dan bibinya sendiri.
“Apa saja yang sudah kau lakukan sampai kau membuat kami malu, Azizah?!” Fahri, ayah Azizah mencerca gadis itu dengan pertanyaan yang sama sekali tak ia pahami. Azizah pun hanya berkerut kening sembari menahan sakit pada bagian perut.
“Jawab aku!” imbuh Fahri masih dengan nada membentak.
“Apa maksud papa? Kesalahan apa yang sudah Azizah lakukan?” Dengan polosnya Azizah bertanya pada ayahnya. Karena memang gadis itu tak tahu apa-apa. Dia baru saja kembali dari kegiatan tujuh belasan.
“Kau hamil dan keguguran bukan?” Sumpah demi apapun, Azizah terkejut mendengar sebait kalimat tanya Fahri. Bagaimana bisa dia dikatakan hamil, sementara pernyataan dokter berbeda dari apa yang dikatakan oleh ayahnya itu.
“Hamil? Keguguran? Apa maksudnya?” Masih dengan polosnya, Azizah kembali mengajukan pertanyaan. Bukannya pura-pura polos, tapi memang dia tak tahu menahu tentang yang dikatakan oleh ayahnya itu. Bahkan kata hamil dan keguguran masih sangat asing ditelinga gadis bermata coklat tersebut. Pun untuk menyebut dua kata tabu tadi, seolah terasa kaku diujung lidahnya.
Plak!
Satu tamparan keras dilayangkan Fahri pada Azizah tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan dari putrinya itu. Sementara Azizah memegang pipinya yang terasa perih. Padahal sakit diperut masih lah nyeri, tetapi muncul lagi rasa sakit ditempat yang baru, yakni hati.
“Kau jangan pura-pura bertanya selayaknya anak kecil yang tak tahu apa itu kata hamil dan keguguran! Nyatanya kau sudah pernah tidur dengan banyak orang! Dengan siapa kau menadah tubuhmu ini, ha?” Fahri mencengkeram dagu Azizah, hingga gadis malang itu menitikan air mata. Dia menangis bukan karena rasa sakit pada bagian perut serta pipi, melainkan pada luka hati yang sengaja ditorehkan oleh orang yang paling ia kasihi.
“Azizah tidak mengerti maksud papa. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Mengapa papa mengatakan, bahwa Azizah hamil?” Dengan suara terbata-bata, Azizah kembali mengajukan pertanyaan.
“Sudahlah, pa. Lepaskan dulu dia. Biarkan dia mengganti seragamnya.” Kali ini Safia yang berbicara. Ibu Azizah itu sedikit merasa iba pada putrinya. Walau sebenarnya dia juga merasa geram atas apa yang didengar dari kerabatnya beberapa jam yang lalu.
“Kau manjakan saja terus dia! Akhirnya dia menjadi seperti ini. Dia sudah membuat kita malu! Dasar anak pembawa sial!” Sungguh tak ada yang lebih menyakitkan dari kata ‘pembawa sial.’ Dan parahnya lagi kata itu terlontar dari mulut ayah sendiri.
“Mengapa kau malah menyalahkan aku? Apakah aku yang membawanya kesemak-semak untuk melakukan perbuatan hina itu? Bukan hanya kau yang merasa malu dan marah disini, tapi aku juga! Apa kau pikir perbuatan Azizah tak membuatku terguncang? Bahkan aku tak kuasa menatap mata Alwi tadi,” tandas Safia tak terima.
Alwi adalah sepupu Fahri. Pria paruh baya itu yang membawa kabar, bahwa Azizah hamil dan keguguran. Entah dari mana asalnya rumor tak sedap itu, yang pasti tengah hari Alwi datang ke rumah Fahri dan memberi informasi tak mengenakan hati.
“Ini semua karenamu!” Alih-alih simpatik, Safia justru menyalahkan putrinya. Seolah melupakan rasa ibanya.
Sembari berurai air mata, Azizah pun kembali bertanya, “Sebenarnya siapa yang mengatakan Azizah hamil? Bahkan saat ini Azizah sedang datang bulan.” Mendengar ucapan Azizah, bukannya percaya Fahri justru semakin marah.
“Hala, itu Cuma alasan kamu saja! Itu bukan darah haid, tapi darah karena kamu keguguran!” Ingin rasanya Azizah berteriak, menegaskan betapa dia masih suci. Haruskah gadis itu meraung sembari membuka celana berlapis pembalut yang menampung darah kotor bulanan seorang wanita?
“Mulai sekarang kau tidak boleh kemana-mana lagi! Habiskan waktumu di rumah sampai rumor itu meredah. Atau kau rasakan sendiri akibatnya!” imbuh Fahri. Mengeluarkan kalimat ancaman bernadakan sabda tak terbantahkan.
“Tapi bagaimana dengan sekolah Azizah?” Gadis malang itu masih memikirkan nasib pendidikannya yang telah berada diujung pemberhentian.
“Untuk sementara waktu kau tidak boleh ke sekolah! Bukankah para guru sudah tahu, bahwa kau sedang sakit karena keguguran? Lalu mengapa kau harus memikirkan pendidikan yang tak ada guna? Percuma saja kau sekolah, tapi moralmu tak baik. Kau bergaul pada sembarang orang, sampai mau saja tidur dengan mereka! Entah siapa pria yang sudah berhasil mengambil kesucianmu!” tukas Fahri seolah lupa siapa Azizah. Padahal sebagai orangtua, seharusnya ia lebih mempercayai putrinya, ketimbang omongan orang yang tak mengenal mereka luar dalam. Atau paling tidak dengarkan penjelasan gadis malang itu. Dia hanyalah korban fitnah dari beberapa orang yang tak bertanggung jawab.
Sementara pembawa kabar burung tersebut tengah tertawa ria di rumahnya, tanpa tahu seberapa dalam luka hati Azizah karena rumor yang sengaja ia sebar. Padahal si pengghiba itu adalah kerabat Fahri sendiri.
“Nikmatilah kemalanganmu Azizah!” Sembari tersenyum menyeringai, Alwi membayangkan Fahri menampar serta menyiksa Azizah. Gadis polos nan malang yang baru saja ia fitnah. Padahal Azizah merupakan keponakannya sendiri. Entah ada dendam apa yang terjadi diantara dua keluarga beda kasta tersebut, yang pasti Alwi sangat benci dan dengki terhadap keluarga Fahri.
“Pa, mengapa senyum-senyum? Apa kau baru saja memenangkan lotre?” Halima, istri Alwi yang baru saja datang dengan secangkir kopi ditangan, melihat suaminya tersenyum cengengesan. Merasa penasaran, hingga ia mengajukan pertanyaan.
“Ini bukan lagi tentang lotre, tapi tentang Azizah yang tengah hamil dan keguguran,” terang Alwi. Membuat Halima penasaran. Dia duduk disisi Alwi sembari meletakkan cangkir kopi yang ia pegang tadi.
“Jadi kau dengar juga rumor itu?” tanya Halima.
“Tentu saja! Apa kau pikir aku akan melewatkan kabar baik ini? Ini adalah senjata kita untuk membuat keluarga Fahri malu. Beruntung tadi aku ke warung sebelah. Jadilah kita memiliki alibi untuk menjatuhkan nama baik mereka. Irma, gadis gemuk itu sudah mengantar kita menuju kemenangan.”
Irma adalah sahabat Azizah. Dialah orang pertama yang membawa berita tak sedap itu pada tetangga. Sehingga Alwi yang kala itu tengah belanja rokok dan keperluan rumah lainnya diwarung orangtua gadis bertubuh pendek serta gemuk rersebut, menajamkan pendengaran. Irma bercerita, bahwa Azizah jatuh pingsan ketika kegiatan tujuh belasan tengah berlangsung, dan dokter memvonis gadis berhijab itu tengah mengalami pendarahan. Padahal kenyataannya tidak seperti apa yang dikatakan Irma. Gadis itu hanya merasa dengki pada Azizah, sebab tak diikut sertakan dalam kegiatan tujuh belasan.
Sungguh alasan klasik, namun tak masuk akal. Bagaimana bisa seorang sahabat tega memfitnah sahabat lainnya sekeji itu. Padahal usia Azizah masih lah belia. Dua belas tahun merupakan fase dimana seseorang baru pertama kali mengalami puberitas, namun tergolong labil. Lalu mengapa dalam hal ini Azizah harus menderita akibat dari paradoks tak mendasar?
To be continued…
Masih dengan berlinang air mata, gadis malang nan memprihatinkan itu berusaha bercerita tentang kondisinya. Seakan ingin menjelaskan betapa dia tak melakukan kesalahan. Azizah hanyalah korban fitnah dari oknum tak bertanggung jawab. Namun, sukses menggemparkan sejagat.Sementara kedua orangtua Azizah tak terima ketika nama baik mereka tercoreng oleh fitnah yang sudah terlanjur merajalela. Namun, alih-alih membela putrinya, mereka justru lebih percaya pada kabar burung yang tak tahu asalnya dari mana. Azizah mencoba untuk menjelaskan seolah mengklarifikasi rumor yang beredar, tetapi kedua telinga orangtuanya itu seolah tertutup rapat.“Mama, Azizah tidak melakukan kesalahan. Percaya pada Azizah,” uangkap gadis itu. Berusaha mengubah paradigma kedua orangtuanya yang sudah terlanjur menelan kalimat paradoks.“Untuk apa kami mempercayaimu kalau kenyataannya kau sudah tidur dengan banyak pria!” Sebagai seorang ayah, Fahri terlampau kasar dalam
Tiga minggu pasca rumor itu beredar, akhirnya Azizah di izinkan keluar rumah setelah lama berkabung dengan hati dan jiwanya. Kedua orangtua gadis itu seolah telah berdamai dengan keadaan, serta bersahabat bersama rumor yang perlahan mulai menyurut. Walau masih tersimpan rasa malu dan juga takut. Akan tetapi, hidup terus berjalan. Tak mungkin anak gadisnya harus duduk diam terkurung dalam rumah dan menghabiskan seumur hidupnya disana.“Kau boleh pergi sekolah sekarang, tapi dengan catatan sepulang sekolah kau tidak boleh kemana-mana. Dan ingat, jangan jalan bersama pria manapun itu, walau itu keluargamu sendiri. Apa kau paham?” ucap Safia seolah memberi ultimatum pada Azizah.“Iya, ma.” Kendati hatinya gembira, tetapi Azizah merasa tertekan pada keadaan. Sebab, ruang geraknya terbatas. Dia hidup seperti dalam penjara walau sebenarnya berada di alam bebas.“Satu lagi, jangan genit terhadap gurumu. Berjalanlah menunduk. Jangan tatap ma
Disuatu malam yang sunyi, Azizah di tinggal seorang diri dirumah. Sementara kedua orangtua serta adiknya pergi ke rumah tante di seberang kota. Suara jangkrik berkumandang di luar sana, seolah berdendang ria bersama teman-temannya. Ada pula suara tokek yang menggema diruang tamu, menemani kesunyian Azizah malam itu. Namun, yang tak kalah menyita perhatian Azizah adalah ketika ia mendengar suara aneh dibelakang rumah. Dengan hati waspada, Azizah menutup bukunya, beralih kesumber suara yang terdengar semakin aneh dan kentara.Azizah pergi kedapur, dan mengintip keluar rumah guna memastikan siapa yang tengah menganggu konsentrasinya membaca buku. Namun, betapa terkejutnya gadis malang itu. Dia melihat sosok mahluk aneh tengah membalas tatapannya dibalik sela pintu dapur. Tatapan itu sungguh tajam, membuat Azizah ketakutan. Betapa tidak, bukan hanya tatapannya saja yang menjadikan bulu kuduk remaja itu merinding, tetapi warna mata yang merah, serta rambutnya yang menjulang panjan
Hari demi hari Azizah lalui dengan air mata. Walau tak banyak yang tahu seberapa menderitanya dia. Bahkan kedua orangtuanya tak pernah melihat betapa terlukanya gadis malang tersebut. setiap hari ia menghabiskan waktu di dalam kamar, menangis disudut ruangan sembari memeluk lututnya. Azizah menggigit bibir bawah agar tak ada yang mendengar suara tangisan itu. Dia butuh seseorang yang dapat mengayomi serta meningkatkan rasa percaya dirinya yang menciut.Andai saja kedua orangtuanya berhati mulia seperti ibu guru Samsida, bersikap bijaksana selayaknya dewa, maka Azizah tak perlu takut menatap dunia. Dia bisa melawan kekejaman tempat adam dan hawa terhempas itu. Atau paling tidak ada seseorang yang memegang tangannya dengan erat agar tak terjatuh kedasar jurang yang terjal. Dimana dia tak dapat berpijak dikarang kehidupan.Hati Azizah hancur berkeping-keping. Jika itu hanya menyangkut para tetangga yang tak mengenal siapa dirinya, maka dia bisa menerima dengan lapang dada
Sepasang suami istri, tengah duduk nonton diruang tengah bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Kala itu Azizah tak sengaja lewat di belakang rumah mereka yang tak lain adalah Alwi dan Halimah setelah ia baru saja kembali dari sawah. Gadis itu merasa haus dan memutuskan untuk minum air keran yang berada di belang rumah pamannya tersebut. Namun, ternyata pria paruh baya itu memarahi Azizah dan menyebutnya telah mencemari air minumnya dengan kotoran manusia. Sehingga Azizah mendapat tatapan tajam dari para warga. “Hei! Kau apakan air kami? Mengapa kau mencemarinya dengan kotoranmu?” Alwi membentak Azizah yang sementara menghapus dahaga dengan air keran miliknya. Sontak saja gadis itu terkejut, hingga memegang dadanya. “Paman Alwi,” kata Azizah dengan hati waspada. Sepertinya gadis itu mulai bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh pamannya. Selama beberapa hari belakangan, remaja itu mempelajari sifat Alwi yang kelewat batas. Menyebar fitnah tentangnya tanpa berp
Keseharian Azizah selayaknya sampah masyarakat di tengah lingkungannya sendiri. Kedua orang tuanya pun seolah menganggap gadis itu sebagai anak pembawa sial. Betapa tidak, setiap hari orang datang kerumah dan membawa kabar tak mengenakkan. Sehingga membuat sepasang suami istri tersebut membenci putrinya sendiri.Sementara Azizah, si remaja malang hanya bisa mengadukan takdir ke hadapan Ilahi. Dia membentangkan sejadah, menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Hanya bersama-Nya lah dia mampu berucap. Dengan suara getar dan tersedu-sedu, Azizah mengeluarkan curahan hatinya. Seolah sang pengusas ada di depan mata seraya mengusap kepalanya penuh kasih.“Wahai Engkah sang pemilik hati, kuatkan lah hamba walau jiwa terluka berulang kali. Jangan biarkan hati ini melemah disaat cobaan itu semakin mendera. Sesungguhnya hamba bukanlah siapa-siapa tanpa-MU ya Rabb.” Azizah kembali terisak, hatinya teriris membayangkan begitu banyak cobaan yang ia hadapi. Jiwanya
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tibalah di penghujung tahun 2004, dimana Azizah telah naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Remaja itu mendapat juara satu di kelasnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi semua orangtua yang hidup dimuka bumi ini. Namun, tidak dengan Fahri. Pria paruh baya tersebut tak memberi respon apapun pada Azizah, walau sejatinya remaja itu telah mengharumkan nama mereka. Fahri tak mengucap kata selamat, atau sejenisnya yang turut menyemangati Azizah. Akan tetapi, berbeda dengan Safia. Wanita itu memberi ucapan selamat pada Azizah yang memang setiap tahun mendapat juara pertama. Rupanya sekejam-kejamnya Safia, tetapi nuraninya sebagai seorang ibu masih lah berjalan. “Selamat atas prestasimu, nak,” ucap Safia setelah Azizah menunjukan raportnya. “Terimakasih, ma.” Azizah tersenyum kaku pada sang ibu. Entah mengapa dia seperti merasa tabu duduk bercengkrama selayaknya keluarga. Telah lama Azizah merasakan kec
Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.“Ayo kita keluar dari
Setelah bertahan melawan penyakit selama dua tahun tujuh bulan, akhirnya Safia mengembuskan nafas terakhir di rumahnnya. Kala itu Azizah tak berada di sana. Dia sedang menghadiri acara tahlilan ayah salah satu temannya. Azizah yang mendengar kabar duka itu, sontak menghentikan bacaan Yasin. Dia bergegas pulang, sebab sang bunda terus saja menyebut namanya."Mama, tunggu Azizah." Sembari berurai air mata, Azizah menyebut mamanya. Berharap masih di beri kesempatan untuk melihat sang bunda walau untuk yang terakhir kalinya.Dan akhirnya ojek yang di tumpangi Azizah tiba juga di rumah. Dia membayar upah jasa ojek tersebut tanpa mengambil uang kembaliannya. Azizah terlalu panik kala itu. Bahkan dia melewati keramaian warga yang sudah berdatangan di rumahnya."Mama," lirih Azizah.Tubuh Safia terbujur kaku di ruang tengah, tetapi masih menyisakan sedikit nafas yang di temani Yana serta salah tante mereka. Sementara para sepupu yang lainnya juga berada di
Penantian itu turut juga di rasakan oleh Safia, ibu Azizah. Dia menunggu pria yang bakal menjadi calon menantunya. Safia selalu yakin, bahwa suatu saat nanti Adrian tetap akan menjadi menantunya. Padahal rejeki, jodoh, dan maut tak pernah ada yang tahu. Semuanya menjadi rahasia Illahi. Bahkan malaikat pun tak tahu ketiga hal tersebut. Nantilah mendapat perintah dari Tuhan, baru malaikat itu akan datang."Azizah, mama hanya ingin kau menikah dengan Adrian. Tidak bersama lelaki lain," lirih Safia. Meminta Azizah untuk tidak berpaling pada pria lain di kemudian hari."Sudahlah, ma. Jangan terlalu di pikirkan. Lagi pula aku masih muda, perjalananku masih panjang. Aku tidak ingin membuat impian melambung tinggi. Sudah cukup semua yang terjadi. Kak Adrian membohongi kita, dan aku tidak bisa mentolerir seorang pembohong," papar Azizah. Menolak permintaan ibunya, namun secara halus. Agar wanita paruh baya itu tak merasa kecewa yang berlebihan."Baiklah, kali ini m
Prank!Gelas kaca, piring, dan juga mangkok sayur, habis terlidas kemarahan Alwi. Pagi-pagi sekali pria paruh baya itu menghancurkan sebagian isi dapurnya. Memecahkan sesuatu yang sekiranya dapat di jangkau.Pecahan itu berserakan di lantai, hingga memenuhi ruang dapurnya yang kecil."Aakk--," pekik Alwi frustasi. Dia merasa gagal dalam menjatuhkan Fahri serta Azizah semalam."Keluarga itu benar-benar brengsek! Pelacur kecil itu selamat dari buruan para warga. Mereka pasti sudah merencanakan segalanya lebih awal!" seloroh Alwi dengan wajahnya yang memerah. Menyebut Azizah seperti hewan melata perusak suasana hati. Entah mengapa Alwi begitu membenci mereka, padahal mengalir darah keturunan yang sama."Ini semua karena kau yang terlalu percaya diri! Coba semalam kau mendengarkan ucapanku untuk menunggu gadis itu di pinggir jalan, mungkin kita bisa melihat ada Adrian di sana!" Halima, bukannya menenangkan Alwi, dia justru menyalahkan keputusan suaminy
Tatapan para emak itu begitu mengintimidasi. Seolah Azizah adalah tersangka utama dalam kasus pembunuhan serta pencabulan anak di bawah umur. Mereka memperlakukan gadis malang itu selayaknya penjahat. Bahkan di antara mereka ada yang memandang hina Azizah. Seakan dunia ini telah di cemari hama penyakit oleh gadis berhijab tersebut."Kau dari mana maghrib-maghrib begini?" Markonah mengajukan pertanyaan seolah dialah wali dari gadis itu. Padahal dia hanyalah orang lain yang bahkan tak memiliki hubungan darah sama sekali."Maaf ibu Markonah, saya rasa bukan urusan anda saya dari mana dan mau kemana. Karena itu hak dan privasi saya. Anda hanyalah orang lain yang tak harus turut campur!" Azizah menjawab pertanyan Markonah dalam sekali telak. Sehingga membuat para emak yang lainnya terlihat menahan tawa.Sementara Markonah sedikit tercengang kala Azizah memberinya jawaban menohok. Tak pernah ia duga sebelumnya, bahwa gadis itu telah pandai merangkai kalimat jawa
Malam hari ba'da sholat Maghrib, para emak tadi masih setia menanti kehadiran Azizah serta Adrian yang katanya sebentar lagi akan pulang. Mereka seakan enggan meninggalkan tempat duduk demi menunggu sang artis yang di kata kontroversi oleh Markonah berserta teman-temannya. Sementara itu, ketua remaja di kampung Azizah sudah dalam tahap siaga satu untuk mengusir Adrian apabila lelaki itu berani memasuki daerahnya. Mereka menyiapkan kayu, bambu, serta benda tajam lainnya yang akan di gunakan untuk mengancam Adrian. Sepertinya ketua remaja itu telah termakan provokasi Alwi, sepupu Fahri yang kerap kali dengki. Entah apa masalah pria paruh baya itu, hatinya selalu saja sempit dan sekakar. "Apa kau yakin rencana kita kali ini akan berhasil?" Halima, istri Alwi memantau dari rumahnya. Melihat persiapan para warga dalam menyambut kedatangan Adrian serta Azizah beberapa saat lagi. "Tentu saja akan berhasil. Kali ini para warga akan menela
Keegoisan Adrian yang memaksa Azizah untuk tetap bersama hingga memiliki anak diluar nikah, membuat gadis berhijab itu tak terima. Dia marah dan kecewa terhadap sikap Adrian yang terkesan memaksa. Sebagai pria dewasa, seharusnya dia lebih mengoreksi diri dan membenahi segalanya. Bukan menjelma menjadi sosok tak bertanggung jawab selayaknya manusia tak bermoral.“Aku tidak percaya kakak merencanakan hal hina itu padaku. Mungkin aku mencintai kak Adrian, tapi bukan berarti aku akan menggadaikan harga diriku pada kakak. Karena keinginan kakak itu merupakan permainan setan. Jadi, maaf aku tidak bisa ikut dalam permainan itu. Jika kakak memilih untuk meninggalkanku dan kembali pada Yanti, maka aku siap untuk itu. Asal harga diriku tak terabaikan hanya karena ego semata!” telak Azizah.Adrian tak berkutik lagi saat mendengar keputusan Azizah. Gadis itu mengakhiri segalanya tanpa mau mempertimbangkan permintaan pemuda tersebut. Bagi Azizah harga diri
Permintaan Adrian yang tak masuk dalam nalar itu, di tolak mentah-mentah oleh Azizah. Gadis itu tidak ingin mencoreng nama baik keluarga yang susah paya ia bangun hingga sedemikian rupa. Kasih sayang yang dulu sering diabaikan oleh mama papanya, telah hadir diantara mereka. Haruskah Azizah menghancurkan hanya karena ego semata? Padahal Adrian selalu saja membuat perasaan Azizah jatuh bangun. Namun, Adrian terus memaksa Azizah untuk tetap bersama ditengah status pemuda itu yang masih suami orang.“Apa kak Adrian kehilangan akal? Bagaimana bisa kakak memintaku untuk melakukan zina? Apakah tidak ada cara lain untuk kita bersama? mengapa kita tidak menikah saja lalu memiliki anak? Ataukah karena kakak benar-benar kembali menikah lagi bersama istri kakak yang dulu?” Azizah tak habis pikir pada Adrian yang ia kenal baik dan bermartabat. Namun, apa yang di tunjukan pemuda itu sekarang, sungguh di luar nalar. Meminta seorang gadis yang bukan istrinya untuk berhubungan bad
Setelah bertemu, Azizah pun meminta penjelasan pada Adrian. Namun, bukannya mengakui kesalahan, Adrian justru meminta Azizah menunggunya. Karena pemuda dengan rambut ikal tersebut masih menaruh rasa pada Azizah. Akan tetapi dia tak menyebutkan alasan secara sepesifik mengapa dulu ia memutuskan pertunangan dan memilih kembali bersama Yanti. Alasan Adrian hanyalah satu, mengapa sampai ia meminta Azizah untuk menunggunya, yakni anak. Adrian menginginkan anak dari Azizah. Dengan kata lain Adrian ingin Azizah hamil di luar nikah dengannya. Agar ia memiliki alibi untuk dapat menikahi gadis berhijab tersebut.“Kak Adrian.” Azizah berdiri menatap sendu dan juga rindu pada Adrian. Pria yang sukses memporak-porandakan hidup serta jiwanya.“Azizah, sedang apa kau disini?” tanya Adrian.“Kak, bisa jelaskan padaku mengapa kakak meminta putus dariku? Dan apa yang aku lihat tadi itu salah?” Pertanyaan Azizah membuat jantung Adrian berd
Di perjalanan menuju rumah Adrian, Azizah menyusun kata yang nanti ia gunakan kepada pria tersebut. Mengungkapkan segala yang mengganjal di hati, serta menanyakan alasan di baliknya perpisahan sepihak tersebut.Azizah juga membayangkan ketika ia akan kembali merajut kasih bersama Adrian, pria yang meminangnya tiga bulan silam, hingga akhirnya tiba lah dia di kota tempat Adrian berada.“Lima ribu,” ucap supir angkot.“Ini, pa. terimakasih,” sahut Azizah seraya memberinya upah. Lalu kemudian Azizah pergi ke rumah Adrian. Melewati banyak rumah dalam lorong sempit. Sebab hunian pria berkulit putih tersebut berada dalam gang yang jaraknya cukup jauh dari jalan utama. Kala itu Azizah menanggalkan logikanya, serta mengutamakan rasa yang meronta ria di dalam sana demi bertemu Adrian untuk di mintai penjelasan. Mungkin orang akan berkomentar buruk mengenai keputusan Azizah yang berani menemui Adrian kala itu. Tapi dia bisa apa? menunggu di rumah s