Malam telah menjelajahi keramaian kota. Kengerian tercipta seiring dengan munculnya binatang malam. Hujan baru saja reda, tapi rintiknya masih sedikit ada. Sesaat lagi, jarum panjang mengakhiri interaksi yang sangat panjang, berputar-putar, berkeliling-keliling angka satu keangka yang lain. dan ini dikerjakan selama 24 jam, tak pernah mengeluh ‘aku sudah lelah.’
Pun dengan seorang gadis remaja. Fauziah Azzahra, biasa disapa Azizah oleh teman-temannya. Azizah merupakan gadis periang serta penyayang keluarga. Usianya yang masih terbilang belia, tetapi sudah menunjukkan tanda-tanda bertanggung jawab sebagai seorang wanita dewasa. Wajahnya yang rupawan, menjadikan ia sebagai gadis natural tanpa polesan. Banyak yang kagum pada sosok gadis itu. Sehingga membuatnya dipandang selayaknya bunga desa. Akan tetapi, kecemburuan sosial membuatnya terhempas bagai sampah masyarakat di lingkungannya sendiri. Sementara kedua orangtuanya tak peduli. Meski begitu, Azizah tetap menanamkan cinta kasih kepada mereka yang telah melahirkannya, seperti pribahasa jarum jam tadi, bahwa dia tak pernah berkata ‘aku sudah lelah.’
Azizah merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Kakaknya yang tertua merantau ke ibu kota dan akhirnya menikah disana. Sementara kakaknya yang kedua menyebrang ke pulau bangka untuk mengejar cita-cita sebagai pengusaha tima. Tinggallah Azizah dan adiknya yang bernama Yana di rumah.
Di penghujung musim panas usia dua belasnya, pria paruh baya menyimpulkan sial dan tak punya harga diri pada gadis remaja itu. Mungkin karena dia sering mendapat cacian dari para tetangga maupun kerabat. Kemalangan yang di hadapi Azizah bermula ketika ia mengikuti kegiatan tujuh belasan di kotanya. Saat itu ia jatuh pingsan hingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat. Setibanya di rumah sakit tersebut, Azizah dinyatakan kekurangan darah dan kelelahan, serta mengalami penyakit magh. Sehingga ia harus dihentikan melanjutkan kegiatan. Setelah itu Azizah diantar pulang oleh ketua karantaruna mereka. Namun, setibaya di rumah Azizah mendengar fitnah yang sukses membuatnya terpukul. Dimana dia dikatakan hamil dan keguguran oleh paman dan bibinya sendiri.
“Apa saja yang sudah kau lakukan sampai kau membuat kami malu, Azizah?!” Fahri, ayah Azizah mencerca gadis itu dengan pertanyaan yang sama sekali tak ia pahami. Azizah pun hanya berkerut kening sembari menahan sakit pada bagian perut.
“Jawab aku!” imbuh Fahri masih dengan nada membentak.
“Apa maksud papa? Kesalahan apa yang sudah Azizah lakukan?” Dengan polosnya Azizah bertanya pada ayahnya. Karena memang gadis itu tak tahu apa-apa. Dia baru saja kembali dari kegiatan tujuh belasan.
“Kau hamil dan keguguran bukan?” Sumpah demi apapun, Azizah terkejut mendengar sebait kalimat tanya Fahri. Bagaimana bisa dia dikatakan hamil, sementara pernyataan dokter berbeda dari apa yang dikatakan oleh ayahnya itu.
“Hamil? Keguguran? Apa maksudnya?” Masih dengan polosnya, Azizah kembali mengajukan pertanyaan. Bukannya pura-pura polos, tapi memang dia tak tahu menahu tentang yang dikatakan oleh ayahnya itu. Bahkan kata hamil dan keguguran masih sangat asing ditelinga gadis bermata coklat tersebut. Pun untuk menyebut dua kata tabu tadi, seolah terasa kaku diujung lidahnya.
Plak!
Satu tamparan keras dilayangkan Fahri pada Azizah tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan dari putrinya itu. Sementara Azizah memegang pipinya yang terasa perih. Padahal sakit diperut masih lah nyeri, tetapi muncul lagi rasa sakit ditempat yang baru, yakni hati.
“Kau jangan pura-pura bertanya selayaknya anak kecil yang tak tahu apa itu kata hamil dan keguguran! Nyatanya kau sudah pernah tidur dengan banyak orang! Dengan siapa kau menadah tubuhmu ini, ha?” Fahri mencengkeram dagu Azizah, hingga gadis malang itu menitikan air mata. Dia menangis bukan karena rasa sakit pada bagian perut serta pipi, melainkan pada luka hati yang sengaja ditorehkan oleh orang yang paling ia kasihi.
“Azizah tidak mengerti maksud papa. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Mengapa papa mengatakan, bahwa Azizah hamil?” Dengan suara terbata-bata, Azizah kembali mengajukan pertanyaan.
“Sudahlah, pa. Lepaskan dulu dia. Biarkan dia mengganti seragamnya.” Kali ini Safia yang berbicara. Ibu Azizah itu sedikit merasa iba pada putrinya. Walau sebenarnya dia juga merasa geram atas apa yang didengar dari kerabatnya beberapa jam yang lalu.
“Kau manjakan saja terus dia! Akhirnya dia menjadi seperti ini. Dia sudah membuat kita malu! Dasar anak pembawa sial!” Sungguh tak ada yang lebih menyakitkan dari kata ‘pembawa sial.’ Dan parahnya lagi kata itu terlontar dari mulut ayah sendiri.
“Mengapa kau malah menyalahkan aku? Apakah aku yang membawanya kesemak-semak untuk melakukan perbuatan hina itu? Bukan hanya kau yang merasa malu dan marah disini, tapi aku juga! Apa kau pikir perbuatan Azizah tak membuatku terguncang? Bahkan aku tak kuasa menatap mata Alwi tadi,” tandas Safia tak terima.
Alwi adalah sepupu Fahri. Pria paruh baya itu yang membawa kabar, bahwa Azizah hamil dan keguguran. Entah dari mana asalnya rumor tak sedap itu, yang pasti tengah hari Alwi datang ke rumah Fahri dan memberi informasi tak mengenakan hati.
“Ini semua karenamu!” Alih-alih simpatik, Safia justru menyalahkan putrinya. Seolah melupakan rasa ibanya.
Sembari berurai air mata, Azizah pun kembali bertanya, “Sebenarnya siapa yang mengatakan Azizah hamil? Bahkan saat ini Azizah sedang datang bulan.” Mendengar ucapan Azizah, bukannya percaya Fahri justru semakin marah.
“Hala, itu Cuma alasan kamu saja! Itu bukan darah haid, tapi darah karena kamu keguguran!” Ingin rasanya Azizah berteriak, menegaskan betapa dia masih suci. Haruskah gadis itu meraung sembari membuka celana berlapis pembalut yang menampung darah kotor bulanan seorang wanita?
“Mulai sekarang kau tidak boleh kemana-mana lagi! Habiskan waktumu di rumah sampai rumor itu meredah. Atau kau rasakan sendiri akibatnya!” imbuh Fahri. Mengeluarkan kalimat ancaman bernadakan sabda tak terbantahkan.
“Tapi bagaimana dengan sekolah Azizah?” Gadis malang itu masih memikirkan nasib pendidikannya yang telah berada diujung pemberhentian.
“Untuk sementara waktu kau tidak boleh ke sekolah! Bukankah para guru sudah tahu, bahwa kau sedang sakit karena keguguran? Lalu mengapa kau harus memikirkan pendidikan yang tak ada guna? Percuma saja kau sekolah, tapi moralmu tak baik. Kau bergaul pada sembarang orang, sampai mau saja tidur dengan mereka! Entah siapa pria yang sudah berhasil mengambil kesucianmu!” tukas Fahri seolah lupa siapa Azizah. Padahal sebagai orangtua, seharusnya ia lebih mempercayai putrinya, ketimbang omongan orang yang tak mengenal mereka luar dalam. Atau paling tidak dengarkan penjelasan gadis malang itu. Dia hanyalah korban fitnah dari beberapa orang yang tak bertanggung jawab.
Sementara pembawa kabar burung tersebut tengah tertawa ria di rumahnya, tanpa tahu seberapa dalam luka hati Azizah karena rumor yang sengaja ia sebar. Padahal si pengghiba itu adalah kerabat Fahri sendiri.
“Nikmatilah kemalanganmu Azizah!” Sembari tersenyum menyeringai, Alwi membayangkan Fahri menampar serta menyiksa Azizah. Gadis polos nan malang yang baru saja ia fitnah. Padahal Azizah merupakan keponakannya sendiri. Entah ada dendam apa yang terjadi diantara dua keluarga beda kasta tersebut, yang pasti Alwi sangat benci dan dengki terhadap keluarga Fahri.
“Pa, mengapa senyum-senyum? Apa kau baru saja memenangkan lotre?” Halima, istri Alwi yang baru saja datang dengan secangkir kopi ditangan, melihat suaminya tersenyum cengengesan. Merasa penasaran, hingga ia mengajukan pertanyaan.
“Ini bukan lagi tentang lotre, tapi tentang Azizah yang tengah hamil dan keguguran,” terang Alwi. Membuat Halima penasaran. Dia duduk disisi Alwi sembari meletakkan cangkir kopi yang ia pegang tadi.
“Jadi kau dengar juga rumor itu?” tanya Halima.
“Tentu saja! Apa kau pikir aku akan melewatkan kabar baik ini? Ini adalah senjata kita untuk membuat keluarga Fahri malu. Beruntung tadi aku ke warung sebelah. Jadilah kita memiliki alibi untuk menjatuhkan nama baik mereka. Irma, gadis gemuk itu sudah mengantar kita menuju kemenangan.”
Irma adalah sahabat Azizah. Dialah orang pertama yang membawa berita tak sedap itu pada tetangga. Sehingga Alwi yang kala itu tengah belanja rokok dan keperluan rumah lainnya diwarung orangtua gadis bertubuh pendek serta gemuk rersebut, menajamkan pendengaran. Irma bercerita, bahwa Azizah jatuh pingsan ketika kegiatan tujuh belasan tengah berlangsung, dan dokter memvonis gadis berhijab itu tengah mengalami pendarahan. Padahal kenyataannya tidak seperti apa yang dikatakan Irma. Gadis itu hanya merasa dengki pada Azizah, sebab tak diikut sertakan dalam kegiatan tujuh belasan.
Sungguh alasan klasik, namun tak masuk akal. Bagaimana bisa seorang sahabat tega memfitnah sahabat lainnya sekeji itu. Padahal usia Azizah masih lah belia. Dua belas tahun merupakan fase dimana seseorang baru pertama kali mengalami puberitas, namun tergolong labil. Lalu mengapa dalam hal ini Azizah harus menderita akibat dari paradoks tak mendasar?
To be continued…
Masih dengan berlinang air mata, gadis malang nan memprihatinkan itu berusaha bercerita tentang kondisinya. Seakan ingin menjelaskan betapa dia tak melakukan kesalahan. Azizah hanyalah korban fitnah dari oknum tak bertanggung jawab. Namun, sukses menggemparkan sejagat.Sementara kedua orangtua Azizah tak terima ketika nama baik mereka tercoreng oleh fitnah yang sudah terlanjur merajalela. Namun, alih-alih membela putrinya, mereka justru lebih percaya pada kabar burung yang tak tahu asalnya dari mana. Azizah mencoba untuk menjelaskan seolah mengklarifikasi rumor yang beredar, tetapi kedua telinga orangtuanya itu seolah tertutup rapat.“Mama, Azizah tidak melakukan kesalahan. Percaya pada Azizah,” uangkap gadis itu. Berusaha mengubah paradigma kedua orangtuanya yang sudah terlanjur menelan kalimat paradoks.“Untuk apa kami mempercayaimu kalau kenyataannya kau sudah tidur dengan banyak pria!” Sebagai seorang ayah, Fahri terlampau kasar dalam
Tiga minggu pasca rumor itu beredar, akhirnya Azizah di izinkan keluar rumah setelah lama berkabung dengan hati dan jiwanya. Kedua orangtua gadis itu seolah telah berdamai dengan keadaan, serta bersahabat bersama rumor yang perlahan mulai menyurut. Walau masih tersimpan rasa malu dan juga takut. Akan tetapi, hidup terus berjalan. Tak mungkin anak gadisnya harus duduk diam terkurung dalam rumah dan menghabiskan seumur hidupnya disana.“Kau boleh pergi sekolah sekarang, tapi dengan catatan sepulang sekolah kau tidak boleh kemana-mana. Dan ingat, jangan jalan bersama pria manapun itu, walau itu keluargamu sendiri. Apa kau paham?” ucap Safia seolah memberi ultimatum pada Azizah.“Iya, ma.” Kendati hatinya gembira, tetapi Azizah merasa tertekan pada keadaan. Sebab, ruang geraknya terbatas. Dia hidup seperti dalam penjara walau sebenarnya berada di alam bebas.“Satu lagi, jangan genit terhadap gurumu. Berjalanlah menunduk. Jangan tatap ma
Disuatu malam yang sunyi, Azizah di tinggal seorang diri dirumah. Sementara kedua orangtua serta adiknya pergi ke rumah tante di seberang kota. Suara jangkrik berkumandang di luar sana, seolah berdendang ria bersama teman-temannya. Ada pula suara tokek yang menggema diruang tamu, menemani kesunyian Azizah malam itu. Namun, yang tak kalah menyita perhatian Azizah adalah ketika ia mendengar suara aneh dibelakang rumah. Dengan hati waspada, Azizah menutup bukunya, beralih kesumber suara yang terdengar semakin aneh dan kentara.Azizah pergi kedapur, dan mengintip keluar rumah guna memastikan siapa yang tengah menganggu konsentrasinya membaca buku. Namun, betapa terkejutnya gadis malang itu. Dia melihat sosok mahluk aneh tengah membalas tatapannya dibalik sela pintu dapur. Tatapan itu sungguh tajam, membuat Azizah ketakutan. Betapa tidak, bukan hanya tatapannya saja yang menjadikan bulu kuduk remaja itu merinding, tetapi warna mata yang merah, serta rambutnya yang menjulang panjan
Hari demi hari Azizah lalui dengan air mata. Walau tak banyak yang tahu seberapa menderitanya dia. Bahkan kedua orangtuanya tak pernah melihat betapa terlukanya gadis malang tersebut. setiap hari ia menghabiskan waktu di dalam kamar, menangis disudut ruangan sembari memeluk lututnya. Azizah menggigit bibir bawah agar tak ada yang mendengar suara tangisan itu. Dia butuh seseorang yang dapat mengayomi serta meningkatkan rasa percaya dirinya yang menciut.Andai saja kedua orangtuanya berhati mulia seperti ibu guru Samsida, bersikap bijaksana selayaknya dewa, maka Azizah tak perlu takut menatap dunia. Dia bisa melawan kekejaman tempat adam dan hawa terhempas itu. Atau paling tidak ada seseorang yang memegang tangannya dengan erat agar tak terjatuh kedasar jurang yang terjal. Dimana dia tak dapat berpijak dikarang kehidupan.Hati Azizah hancur berkeping-keping. Jika itu hanya menyangkut para tetangga yang tak mengenal siapa dirinya, maka dia bisa menerima dengan lapang dada
Sepasang suami istri, tengah duduk nonton diruang tengah bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Kala itu Azizah tak sengaja lewat di belakang rumah mereka yang tak lain adalah Alwi dan Halimah setelah ia baru saja kembali dari sawah. Gadis itu merasa haus dan memutuskan untuk minum air keran yang berada di belang rumah pamannya tersebut. Namun, ternyata pria paruh baya itu memarahi Azizah dan menyebutnya telah mencemari air minumnya dengan kotoran manusia. Sehingga Azizah mendapat tatapan tajam dari para warga. “Hei! Kau apakan air kami? Mengapa kau mencemarinya dengan kotoranmu?” Alwi membentak Azizah yang sementara menghapus dahaga dengan air keran miliknya. Sontak saja gadis itu terkejut, hingga memegang dadanya. “Paman Alwi,” kata Azizah dengan hati waspada. Sepertinya gadis itu mulai bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh pamannya. Selama beberapa hari belakangan, remaja itu mempelajari sifat Alwi yang kelewat batas. Menyebar fitnah tentangnya tanpa berp
Keseharian Azizah selayaknya sampah masyarakat di tengah lingkungannya sendiri. Kedua orang tuanya pun seolah menganggap gadis itu sebagai anak pembawa sial. Betapa tidak, setiap hari orang datang kerumah dan membawa kabar tak mengenakkan. Sehingga membuat sepasang suami istri tersebut membenci putrinya sendiri.Sementara Azizah, si remaja malang hanya bisa mengadukan takdir ke hadapan Ilahi. Dia membentangkan sejadah, menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Hanya bersama-Nya lah dia mampu berucap. Dengan suara getar dan tersedu-sedu, Azizah mengeluarkan curahan hatinya. Seolah sang pengusas ada di depan mata seraya mengusap kepalanya penuh kasih.“Wahai Engkah sang pemilik hati, kuatkan lah hamba walau jiwa terluka berulang kali. Jangan biarkan hati ini melemah disaat cobaan itu semakin mendera. Sesungguhnya hamba bukanlah siapa-siapa tanpa-MU ya Rabb.” Azizah kembali terisak, hatinya teriris membayangkan begitu banyak cobaan yang ia hadapi. Jiwanya
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tibalah di penghujung tahun 2004, dimana Azizah telah naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Remaja itu mendapat juara satu di kelasnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi semua orangtua yang hidup dimuka bumi ini. Namun, tidak dengan Fahri. Pria paruh baya tersebut tak memberi respon apapun pada Azizah, walau sejatinya remaja itu telah mengharumkan nama mereka. Fahri tak mengucap kata selamat, atau sejenisnya yang turut menyemangati Azizah. Akan tetapi, berbeda dengan Safia. Wanita itu memberi ucapan selamat pada Azizah yang memang setiap tahun mendapat juara pertama. Rupanya sekejam-kejamnya Safia, tetapi nuraninya sebagai seorang ibu masih lah berjalan. “Selamat atas prestasimu, nak,” ucap Safia setelah Azizah menunjukan raportnya. “Terimakasih, ma.” Azizah tersenyum kaku pada sang ibu. Entah mengapa dia seperti merasa tabu duduk bercengkrama selayaknya keluarga. Telah lama Azizah merasakan kec
Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.“Ayo kita keluar dari