Disuatu malam yang sunyi, Azizah di tinggal seorang diri dirumah. Sementara kedua orangtua serta adiknya pergi ke rumah tante di seberang kota. Suara jangkrik berkumandang di luar sana, seolah berdendang ria bersama teman-temannya. Ada pula suara tokek yang menggema diruang tamu, menemani kesunyian Azizah malam itu. Namun, yang tak kalah menyita perhatian Azizah adalah ketika ia mendengar suara aneh dibelakang rumah. Dengan hati waspada, Azizah menutup bukunya, beralih kesumber suara yang terdengar semakin aneh dan kentara.
Azizah pergi kedapur, dan mengintip keluar rumah guna memastikan siapa yang tengah menganggu konsentrasinya membaca buku. Namun, betapa terkejutnya gadis malang itu. Dia melihat sosok mahluk aneh tengah membalas tatapannya dibalik sela pintu dapur. Tatapan itu sungguh tajam, membuat Azizah ketakutan. Betapa tidak, bukan hanya tatapannya saja yang menjadikan bulu kuduk remaja itu merinding, tetapi warna mata yang merah, serta rambutnya yang menjulang panjang hingga ketanah. Jangan lupa ukuran tubuh kaki mahluk aneh itu. Terlihat tinggi, tapi kakinya tak sampai berpijak ketanah.
“Aakk—“ pekik Azizah. Gadis itu ketakutan, dia menangis sembari membuka pintu untuk menyelamatkan diri dari apa yang dia lihat dibelakang rumahnya. Sisi lain dari Azizah adalah matanya yang unik. Dimana dia dapat melihat mahluk abstral.
Malam itu Azizah lari terpingkal-pingkal. Merasa takut pada mahluk menyeramkan tadi. Sehingga para tetangga keluar rumah dan melihat remaja itu tengah berlari.
“Apa yang terjadi Azizah? Mengapa kau berlari seperti baru saja melihat hantu?” tanya salah satu warga yang tak jauh dari rumahnya.
“S-saya melihat hantu, bi.” Dengan suara bergetar, Azizah menjawab pertanyan ibu itu.
“Hahaha, melihat hantu? Kau kali hantunya disini! Dasar gadis aneh!” Alih-alih merasa iba, ibu itu justru mencela Azizah yang tengah ketakutan. Seharusnya dia menawarkan kenyamanan pada gadis malang tersebut, tetapi karena ego dan dengki, mereka justru menertawakan Azizah tanpa welas asih.
Setelah beberapa kali mencoba untuk menjelaskan kepada orang-orang yang saat itu melihatnya lari, mereka justru semakin menertawakan Azizah. Tak ada satu pun dari warga yang percaya pada ucapannya, hingga ia disangka gadis gila.
“Kamu itu hanya melihat pria yang sudah menidurimu dulu! Bukan hantu seperti yang kau katakan tadi! Dasar gadis gila!” umpat salah satu bapak-bapak yang memakai sarung setengah paha. Senjata tumpulnya hampir saja kelihatan. Mungkin dia baru saja melakukan olahraga malam bersama istrinya. Terbukti dari tanda merah pada bagian leher pria tua bangka itu, seperti bekas cupang.
“Ayo kita pergi dari sini! Jangan dengarkan ocehannya yang tak berguna itu! Dia hanya gadis gila yang berusaha untuk mencari perhatian kita!” tambah lagi ibu-ibu bergincu merah tebal. Mulutnya yang lebar seperti ember bak dikamar mandi itu sungguh tajam seperti belati.
“Jaga suami kalian dari anak ingusan ini! Wajahnya saja yang cantik dan lugu, tapi sifatnya seperti gadis malam yang berkeliaran di pinggir jalan. Menjajakan tubuhnya untuk mencari kepuasan!” istri bapak bersarung setengah paha tadi menimpali ucapan teman mengghibanya itu. Seakan tak mau ketinggalan kereta dalam menghujat sesama manusia. Padahal malam itu anak gadisnya baru saja pulang bersama pria yang bukan muhrimnya. Entah dimana dia menghabiskan waktu, yang pasti ibu itu tak mengkritik putrinya selayaknya gadis murahan.
Memang benar apa kata peribahasa, semut diseberang lautan dapat terlihat. Namun, gaja dipelupuk mata tak dapat dilihat. Seperti para emak-emak itu, mereka dapat mencalang dosa orang lain, tanpa mau menelisik diri sendiri.
**
Malam itu Azizah tak langsung kembali ke rumahnya, dia duduk diam didepan surau sembari duduk memeluk lutut. Dia menangis tersedu-sedu. Hatinya sakit ketika tak ada satu pun dari warga yang percaya ucapannya. Padahal sebagai anak yang masih tergolong kecil, seharusnya dia mendapat perlindungan. Akan tetapi, dia seperti terbuang dari lingkungannya sendiri.
“Azizah! Apa yang kau lakukan disini?” Alwi, paman Azizah yang memiliki dengki pada Fahri. Datang menghampiri gadis malang itu dengan berpura-pura menunjukkan simpatik. Padahal ada maksud terselubung dari dalam hatinya.
“Paman! Azizah takut.” Azizah berdiri, memeluk pamannya tanpa tendensi. Menganggap pria paruh baya itu selayaknya ayah yang melindungi dirinya.
“Tenanglah, sayang. paman ada disini untukmu,” sahut Alwi sembari membalas pelukan Azizah. Namun, pelukan itu dibarengi nafsu birahi yang membangunkan senjata tumpul dari balik celanya yang usang. Alwi ingin melecehkan Azizah yang merupakan keponakannya sendiri.
Merasa ada yang aneh dirasa oleh Azizah, gadis itu pun berniat melepas pelukannya. Sebab Alwi telah menggesek-gesek tubuh bawahnya pada area organ vital Azizah. Namun, pria yang seumuran dengan ayahnya itu menahan tubuh remaja itu.
“Papa!” Suara itu terdengar sungguh nyaring. Halima, istri Alwi berteriak memanggil suaminya. Sontak saja pria yang nafsu birahinya itu sudah diubun-ubun, melepas pelukan Azizah.
Sementara Azizah yang melihat bibinya, merasa senang. Bagai mendapatkan angin segar, dia menghampiri Halima sembari tersenyum.
“Bibi,” ucap Azizah sembari memegang tangan Halimah.
Plak!
Alih-alih mendapat perlindungan, Halimah justru menampar Azizah sekuat tenaga.
“Dasar gadis tidak tahu diri! Kau sengaja kan menggoda pamanmu tadi? Dia itu sudah seperti papamu sendiri tau gak? Mengapa kau ingin embat juga? Apa kau tidak puas hanya dengan satu pria yang menidurimu dulu? Haruskah pamanmu juga kau rayu?!” mulut Halimah terlampau kasar dan tajam, setajam belati yang menghunus kejantung.Sementara Alwi yang melihat adegan tak senonoh itu tersenyum menyeringai, seperti setan Durjana yang berhasil melumpuhkan manusia.
“Sudah lah, ma. Dia tidak sengaja tadi.” Alwi bersandiwara membela Azizah, padahal dia lah yang patut disalahkan dalam hal ini.
“Kamu juga! Kenapa mau saja dipeluk sama gadis murahan ini? Apakah karena ucapannya tak didengar oleh warga. Sehingga kau menawarkan kenyamanan?” tukas Halima memarahi suaminhya.
“Sayang, tenanglah. Mungkin dia benar melihat hantu atau setan, atau apalah itu. Percaya saja pada ucapannya.” Nada Alwi menenangkan istrinya seperti terdengar mengejek Azizah.
Sepasang suami istri itu seolah ingin menambah luka hati gadis malang itu. Padahal belum sembuh luka hati makian dari para warga tentangnya, mereka datang bagai bom waktu. Meledakkan perasaan Azizah hingga hancur lebur. Padahal sebagai kerabat dekat, sudah sepatutnya mereka melindungi Azizah. Memberi tumpangan dirumahnya, atau memberi segelas air minum untuk membasahi keringkongannya yang kering akibat terlalu lama menangis ketakutan.
“Ayo kita pulang! Jangan hiraukan dia yang murahan! Atau putri kita akan bernasib sama seperi anak sepupumu itu.” Tanpa welas asih Halima menghujat Azizah. Ba’ manusia suci yang tak berdosa. Dia terus saja mencela sesama. Padahal kehidupannya jauh lebih menjijikan dari Azizah.
Ya, sebelum menikah dengan Alwi. Halima bekerja disebuah club malam. Dia menjajakan tubuhnya kepada pria hidung belang setiap malam, sebelum akhirnya dia bertemu Alwi yang kala itu mencari mangsa ditempat Halima bekerja.
Mereka melakukannya seperti singa kelaparan. Saling memuaskan dahaga diatas ranjang. Padahal saat itu status mereka hanyalah pelanggan dan jalang. Hubungan yang berdasarkan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Alwi yang ingin nafsu birahinya terpenuhi, sedangkan Halima yang ingin memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Itulah sebabnya apa kata pepatah selalu benar, bahwa kebanyakan manusia yang mau mencubit kulit orang lain, tanpa mau mencubit kulit sendiri. Dalam artian mereka tak mau merasakan sakit serupa, hanya ingin menyakiti orang lain tanpa mengenal welas asih.
To be continued…
Hari demi hari Azizah lalui dengan air mata. Walau tak banyak yang tahu seberapa menderitanya dia. Bahkan kedua orangtuanya tak pernah melihat betapa terlukanya gadis malang tersebut. setiap hari ia menghabiskan waktu di dalam kamar, menangis disudut ruangan sembari memeluk lututnya. Azizah menggigit bibir bawah agar tak ada yang mendengar suara tangisan itu. Dia butuh seseorang yang dapat mengayomi serta meningkatkan rasa percaya dirinya yang menciut.Andai saja kedua orangtuanya berhati mulia seperti ibu guru Samsida, bersikap bijaksana selayaknya dewa, maka Azizah tak perlu takut menatap dunia. Dia bisa melawan kekejaman tempat adam dan hawa terhempas itu. Atau paling tidak ada seseorang yang memegang tangannya dengan erat agar tak terjatuh kedasar jurang yang terjal. Dimana dia tak dapat berpijak dikarang kehidupan.Hati Azizah hancur berkeping-keping. Jika itu hanya menyangkut para tetangga yang tak mengenal siapa dirinya, maka dia bisa menerima dengan lapang dada
Sepasang suami istri, tengah duduk nonton diruang tengah bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Kala itu Azizah tak sengaja lewat di belakang rumah mereka yang tak lain adalah Alwi dan Halimah setelah ia baru saja kembali dari sawah. Gadis itu merasa haus dan memutuskan untuk minum air keran yang berada di belang rumah pamannya tersebut. Namun, ternyata pria paruh baya itu memarahi Azizah dan menyebutnya telah mencemari air minumnya dengan kotoran manusia. Sehingga Azizah mendapat tatapan tajam dari para warga. “Hei! Kau apakan air kami? Mengapa kau mencemarinya dengan kotoranmu?” Alwi membentak Azizah yang sementara menghapus dahaga dengan air keran miliknya. Sontak saja gadis itu terkejut, hingga memegang dadanya. “Paman Alwi,” kata Azizah dengan hati waspada. Sepertinya gadis itu mulai bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh pamannya. Selama beberapa hari belakangan, remaja itu mempelajari sifat Alwi yang kelewat batas. Menyebar fitnah tentangnya tanpa berp
Keseharian Azizah selayaknya sampah masyarakat di tengah lingkungannya sendiri. Kedua orang tuanya pun seolah menganggap gadis itu sebagai anak pembawa sial. Betapa tidak, setiap hari orang datang kerumah dan membawa kabar tak mengenakkan. Sehingga membuat sepasang suami istri tersebut membenci putrinya sendiri.Sementara Azizah, si remaja malang hanya bisa mengadukan takdir ke hadapan Ilahi. Dia membentangkan sejadah, menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Hanya bersama-Nya lah dia mampu berucap. Dengan suara getar dan tersedu-sedu, Azizah mengeluarkan curahan hatinya. Seolah sang pengusas ada di depan mata seraya mengusap kepalanya penuh kasih.“Wahai Engkah sang pemilik hati, kuatkan lah hamba walau jiwa terluka berulang kali. Jangan biarkan hati ini melemah disaat cobaan itu semakin mendera. Sesungguhnya hamba bukanlah siapa-siapa tanpa-MU ya Rabb.” Azizah kembali terisak, hatinya teriris membayangkan begitu banyak cobaan yang ia hadapi. Jiwanya
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tibalah di penghujung tahun 2004, dimana Azizah telah naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Remaja itu mendapat juara satu di kelasnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi semua orangtua yang hidup dimuka bumi ini. Namun, tidak dengan Fahri. Pria paruh baya tersebut tak memberi respon apapun pada Azizah, walau sejatinya remaja itu telah mengharumkan nama mereka. Fahri tak mengucap kata selamat, atau sejenisnya yang turut menyemangati Azizah. Akan tetapi, berbeda dengan Safia. Wanita itu memberi ucapan selamat pada Azizah yang memang setiap tahun mendapat juara pertama. Rupanya sekejam-kejamnya Safia, tetapi nuraninya sebagai seorang ibu masih lah berjalan. “Selamat atas prestasimu, nak,” ucap Safia setelah Azizah menunjukan raportnya. “Terimakasih, ma.” Azizah tersenyum kaku pada sang ibu. Entah mengapa dia seperti merasa tabu duduk bercengkrama selayaknya keluarga. Telah lama Azizah merasakan kec
Ditengah penyakit yang mendera, Fahri harus mengalami peristiwa nahas lainnya, yakni rumah yang dahulu ia bangun dengan keringat dan air mata, harus di lahap si jago merah. Beruntung kala itu mereka cepat sadar. Seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah Fahri. Namun, hanya beberapa dari mereka yang membantu memadamkan api.“Kebakaran!” teriak Fahri yang mulai menyadari sebagian rumahnya di lahap si jago merah.“Safia, bangunlah. Rumah kita terbakar!” Kemudian Fahri membangunkan istrinya.“Kebakaran?” Safia masih setengah sadar. Dia belum menyadari jika kobaran api sudah mulai menyebar ke arah dapur.“Safia, sadarlah! Rumah kita kebakaran!” Sekali lagi Fahri menyadarkan Safia dari rasa kantuk yang mendera. Dan beruntung kesadaran wanita paruh baya itu akhirnya terkumpul juga.“Api! Api!” teriak Safia begitu ia menyadari ada api dimana-mana dalam rumahnya.“Ayo kita keluar dari
Seiring berjalannya waktu, penyakit Fahri mulai membaik, hingga akhirnya dinyatakan sembuh total. Fahri pun mulai bangkit dan dibantu oleh sang istri yang selalu menemaninya baik dalam suka maupun duka. Tak ketinggalan Azizah dan juga Yana. Dua adik kakak itu membantu Fahri berjualan di pasar. Kendati tak jarang yang mengejek mereka.“Lihatlah mereka, sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berjualan dipasar seperti pengemis saja. Meminta-minta pada pembeli untuk belanja ditempatnya.” Markonah, si ratu gossip selalu saja hadir diantara mereka yang tak pernah mengusik hidupnya. Dia seperti tak akan bisa hidup tanpa menceritakan kehidupan orang lain. Menyebut Azizah dan Fahri seperti pengemis, mengajak pelanggan untuk berbelanja. Lalu apa bedanya dengan dia yang setiap hari mempromosikan kedai lapuknya ke tetangga. Sementara Markonah juga lebih sering memohon dan mengiba, bahkan terkesan memaksa. Dan sekarang menyebut Azizah seperti pengemis jalanan. Sungg
Selang beberapa tahun kemudian, rumah yang dulunya terbakar kini bisa di tempati kembali. Fahri merenovasi hingga sedemikian rupa, dan membuatnya merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu tak berlangsung lama. Sebab sang istri, Safia tiba-tiba menderita penyakit strok berat. Azizah yang kala itu masih menginjak kelas dua SMA, hampir saja mengorbankan sekolahnya demi merawat sang bunda. Beruntung saudara dari Safia mau membantu gadis tersebut. Mereka berbagi tugas merawat Safia yang sakitnya terbilang aneh. Wanita berambut ikal itu dinyatakan menderita strok oleh dokter, tetapi mentalnya turut terganggu.“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? kenapa Engkau memberikan cobaan yang begitu berat secara bertubi-tubi kapada kami?” keluh Azizah saat usai menunaikan ibadah sholat maghrib. Dia menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Menyayangkan takdir yang selalu tak berpihak padanya.“Jika memang ini yang terbaik, maka lapangkan hatiku dalam menerima segalanya, ya
Senja hari yang indah, dimana Azizah tengah duduk di depan rumah. Seolah menikmati indahnya pemandangan. Namun, hati seolah menuntun nalarnya untuk berjalan menuju kantor kelurahan yang sementara direnovasi. Sementara Azizah mengagumi ornament kantor tersebut, tiba-tiba seorang pria muncul dari arah belakang. Sehingga membuat Azizah terkejut ketakutan. Pertemuan tak disengaja itu menghantarkan mereka kedalam hubungan pertemanan, dan berakhir dengan percintaan. Dimana Adrian mengajak Azizah berkencan. Namun, sejak awal pemuda dengan tahi lalat dipipi itu tak pernah jujur pada Azizah. Dia menyembunyikan statusnya yang telah menikah dan memiliki dua orang anak.“Hai, namaku Adrian. apa kau yang tinggal di depan sana?” tanya Adrian kepada Azizah. Pemuda itu menatap Azizah dengan penuh kagum. Betapa tidak, wajah gadis tersebut sangat natural tanpa polesan apapun. Belum lagi senyumannya yang manis. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpukau.“Maafkan