Share

Evanescent
Evanescent
Penulis: Alvydradirgantara

Prolog

last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-16 03:43:11

Suasana hitam legam yang menggambarkan betapa suramnya kehidupan pemiliknya. Udara yang tidak pernah terganti membuat suasana kelam makin tercium dengan jelas. Tatapan sayu seorang gadis kecil yang berdiri dibalik tralis jendela kamarnya menyiratkan banyak cerita yang dibungkam.

“Non dipanggil Nyonya,”

Berbeda dari anak pada umumnya. Gadis itu hanya menarik sudut bibirnya sinis berlalu menuruni anak tangga. Drama khas pebisnis terdengar seru padahal semua itu hanya dusta. Sosok Nyonya dalam rumah itu tampak menekan kedua keningnya. Menyiratkan ucapan untuk bagian drama yang tengah berjalan.

“Selamat siang,”sapanya sekedar hanya untuk menghibur wanita yang tak berhenti melotot menatapnya. “Siang Nona. Kami dari pengadilan ingin secara langsung bertemu dengan Anda untuk menyelesaikan masalah terkait pembagian harta dan warisan mendiang Nyonya Arini,”ucap pria dengan jas lengkap.

“Silahkan saja langsung pindahkan atas nama saya seperti yang Ibu saya ingin kan tanpa perlu menambahkan hal apapun lagi. Saya tidak mau menerima dosa karena menghindari wasiat dari Ibu saya,”ucapnya lugas tanpa terjeda sedikit pun. Pria dengan jas hitam di sofa tengah lantas segera meminta gadis itu segera membubuhkan tanda tangan di atas sebuah kertas.

“Sebentar Pak. Saya rasa putri saya mudah bingung dalam mengambil keputusan,”cegah wanita berstatus Nyonya. “Tidak perlu. Saya tidak suka hal yang bertele-tele,”ucapnya lugas tanpa ingin disanggah sedikit pun. Seluruh pegawai tampak merasa cemas mewanti-wanti drama apalagi yang akan mereka tonton setelah ini.

“Bisa beri kami cukup waktu berdua?,”tanya wanita itu menekan kan alis yang sangat jelas tak simetris. “Boleh,”ucap pria itu berlalu memberi dua perempuan berbeda usia itu saling berbicara tanpa peduli bahasan apa yang tengah mereka bincangkan. "Apa ada yang perlu dibahas?,"tanya gadis itu menaikkan sebelah alisku menatap nya. "Jangan pura-pura bodoh Kencana. Apa kamu memang selalu kurang ajar pada ku?,"tanya Nadira.

"Bagian kurang ajar yang mana? Aku sudah seperti burung dalam sangkar di rumah ku sendiri. Apa kau pikir diri mu juga selalu benar dengan mengatakan poin kurang ajar? Bagaimana dengan wanita yang masuk ke dalam rumah tangga orang lain? Itu sikap etika bermoral ya? Baiklah aku rasa memang sangat tidak bermoral untuk pantas dikatakan sebagai putri.

Ups tidak. Aku pikir aku tidak salah sebenarnya? Aku masih saja seorang putri dari seorang Ayah. Sedangkan kau?,"ucap Kencana mengibaskan ujung rok yang menyentuh ujung baju Nadira karena jarak dekat di antara keduanya. “Kencana.

Kamu jangan kurang ajar ya. Saya sekarang Ibu kamu kalau lupa. Semua harta itu harusnya atas nama saya. Karena saya juga yang akan membesarkan dan mengurus kehidupan mu ke depan,”ucapnya mengancam. “Untuk apa saya lupa Tante Nadira? Oh salah. Saya juga harus memanggilmu Nyonya Nadira Hadinata.

Seorang wanita yang selalu digadang gadang semua orang sebagai Ibu sambung yang baik untuk pebisnis hebat Dimas Hadinata. Cih. Nyatanya tak lebih dari refinat. Ouh maaf aku juga terlanjur lupa kau kehilangan akal saat kemari. Jadi refinat itu tak lebih dari hasil samping saja. Dan kamu lebih samping dari segala sisi. Jadi bagaimana aku harus menjelaskan nya pada mu, Nyonya Hadinata,”ucap Kencana menaikkan sudut bibirnya.

“Jaga sikapmu Kencana. Karena didikan Ibu yang kotor makanya kamu sama kurang ajarnya dengannya. Apa kau sudah kehilangan akal? Harusnya kamu tanyakan Ibu mu. Apa hanya bisa mati? Sedangkan putrinya terlantar dimana mana,”ucap Nadira membuat seluruh darah di dalam tubuh Kencana mendidih. “Kotor? Setidaknya Ibu melahirkan putri dari pernikahan yang sah kalau Anda lupa Nadira,”ucap Kencana tersenyum sinis.

Plak

Tamparan panas itu nyaris saja menjadi miliknya. Jika seorang pria tidak buru-buru menghampirinya. Akh rasanya aku juga tidak bisa memanggil pria tua dengan bekas memerah di pipinya sebagai pria. Dia terlalu brengsek hingga menatap wajahnya saja aku enggan.

“Kencana keributan apalagi yang kamu buat dengan Ibu mu Nak,”tanya pria itu menatap tajam gadis muda disebelahnya. “Ibu ku sudah meninggal kalau Bapak lupa. Jangan lupa mengurus istri Bapak. Terlalu menjijikkan untuk melewati mata ku,”ucap Kencana berlalu.

“Kamu kenapa sih Mas? Apa sesusah itu memberi gadis itu pelajaran?,”tanya Nadira terdengar memaksa. “Hust. Sudah ya. Kamu mau makan apa Dek?,”tanya Dimas lembut. Selalu saja kejadian seperti ini menjadi makanan sehari-hari yang harus dia terima.

“Mas aku sudah cukup sabar. Lebih baik masukkan dia ke asrama saja selama aku hamil. Aku selalu saja dihina Mas. Jangan sampai anak kita nanti yang menanggung resik nya hanya karena gadis malang itu,”ucap Nadira mengeluarkan ungkapan seperti biasa.

 “Kenapa? Apa setelah sepeninggal Ibu, bahkan aku juga tidak pantas berada di sini? Kalau saja kamu cerdas pasti lebih memilih menjadi wanita karier. Akh tapi aku lupa. Kau tidak punya kecerdasan di dalam benda bulat di atas lehermu. Daripada mencari jalan hidup baru, kau malah lebih memilih merusak tatanan.

Dari apa kau dibuat? Apa dari dosa dan nista?,”tanya Kencana angkat bicara. Belum satu bulan rumah mewah itu diselimuti duka kehilangan permatanya, semuanya seolah ingin dipindahtangan begitu saja. Rasa muak yang terlalu membumbung di dalam otaknya tanpa sengaja malah mengeluarkan ucapan yang jelas bisa melukai telinga siapapun yang mendengar.

“KENCANA. Kamu kira dia siapa Nak? Dia juga Ibu mu,”ucap Dimas mencengkeram lengannya kuat. “Ibu dari bayi yang dia kandung. Sepertinya aku tidak dibutuhkan di sini,”ucapku muak berlalu meninggalkan rumah. “Iya sejauh mungkin sampai kalau bisa bertemu Ibu mu Nak,”ucap Dimas membuatnya terhenti sejenak sebelum akhirnya kembali berjalan dengan senyum di wajahnya.

“KENCANAAAA,”

Sontak teriakan itu membuat sosok yang dipanggil terkesiap. Matanya langsung tertuju pada jam di pergelangan tangannya. Pantas saja dia bayangan mengerikan waktu kecil itu muncul. Saat ini sudah menjelang senja. Bu Arini selalu mengajarkan tidak tidur menjelang senja.

“Kencana kamu sudah makan belum? Tadi waktu pulang dari kampus, Ibu kost lagi ada acara. Daripada tunggu kamu belum tentu mau juga, ya ku bawakan aja,”ucap gadis berambut pirang. Tanpa peduli bahasan yang di bawa rekan kostnya, Kencana mengambil tempat memulihkan kembali ketenangan yang sedang mengusiknya.

“Kencana sepertinya malam ini kita makan mie,”

“Kencana duh aku lupa beli beras,”

“Eh Mie instan kita juga habis ternyata,”

Gadis pirang itu terus saja berbicara tanpa henti meskipun tidak ada satu pun kalimatnya yang masih bisa di cerna Kencana. Pikirannya melambung pada bayangan kelam masa kecil yang mengubah nasibnya seperti sekarang.

“Kamu habis mimpi buruk?,”tanya gadis pirang itu yang mulai lelah dengan kalimat panjang lebarnya. “Apa terlalu terlihat?,”tanya Kencana menyentuh wajahnya seolah tampak bingung sebuah kesalahan. “Bahkan orang buta saja bisa lihat,”ucap gadis pirang itu sebal.

Dirinya dibuat mencerocos dengan angin sepanjang waktu tanpa satu kata pun menyangkut di dalam Kencana. “Aku sudah makan Cit. Tidak perlu repot,”ucap Kencana berlalu pergi begitu saja. “Tidak perlu repot katanya?

Padahal nanti kalau sakit, aku juga yang repot. Dasar es batu. Eh mau ke mana kamu?,”panggil Nacita setengah berteriak. Bukannya menjawab, lagi-lagi Kencana hanya menganggap sekitarnya angin lalu. Tanpa peduli beribu cacian kekesalan keluar dari bibir Nacita, fokus pikirannya masih terendam dalam bayangan mimpi buruk.

Ujaran kebencian saat seluruh dunia tidak lagi mengharapkan kehadirannya. Bahkan pria yang sudah seharusnya melindungi dan menjadi sumber kekuatan, malah mendoakan atas kematiannya. Apa yang bisa diharapkan dari semua itu?

“Kenapa tidak ku ikuti saja kalimatnya?,”ucap Kencana mulai frustrasi setiap kali mengingat momen buruk itu. Berendam pada suasana suram tanpa cahaya sedikit pun sudah menunjukkan seberapa depresinya gadis itu.

“Kencana buka pintunya,”ketukan nyaring dari pintu dengan tempo cepat tak membuat Kencana beralih. Kepalanya sudah terlanjur dipenuhi dengan keping masa lalu yang sama sekali tidak ingin di ingatnya sedikit pun.

“Kencana jangan pikir mau bunuh diri lagi ya. Ayolah Kencana, pintunya baru saja Minggu lalu diperbaiki. Masa mau di dobrak lagi,”ucap Nacita mulai panik di luar kamar. Lagi? Mendengar kata itu membuat garis bibir Kencana terangkat.

Banyak usaha dilakukannya untuk bertemu lagi dengan Ibu. Namun tidak satu kali usahanya berhasil karena dobrakan pintu maupun bantuan medis yang datang terlalu cepat. Seharusnya mereka menunggu saja, membiarkan gadis yang sudah bosan hidup itu tiada.

Semua orang selalu punya harapan untuk menjadi sosok hebat suatu saat nanti dengan berbagai alasan. Sedangkan Kencana, selalu punya harapan untuk mati secepat mungkin. Jika saja dia sukses tidak akan mengubah fakta di masa lalu.

Ceklek

“Eh mau ke mana lagi kamu? Astaga Kencana. Sekali saja bisakah berpikir lebih jernih? Lihatlah masih banyak orang yang peduli denganmu. Kalau pun kamu mati, apa bisa membuatmu puas?,”tanya Nacita mencegah Kencana yang hendak pergi.

Nacita sudah hafal dengan baik. Ketika gadis itu menemui mimpi buruknya, pasti dia akan kembali bertingkah aneh. Antara mencoba peruntungan bunuh diri atau menemui Ibunya. Maksudnya menemui Ibunya di pemakaman. Tapi bukannya Nacita tidak ingin Kencana menemui Ibunya.

Hanya saja waktu sudah mulai gelap. Tidak mungkin Nacita membiarkan gadis itu berakhir di jalan entah dengan menabrakkan diri atau melompat dari jembatan seperti waktu itu. “Untuk apa kamu peduli dengan ku?,”tanya Kencana tetap memaksa keluar. “Haruskah aku uji nyali lagi Kencanaaa,”tanya Nacita segera mengejar langkah panjang Kencana. “Tidak ada yang meminta,”ucap Kencana ringan.

-^-

“Ken sudah malam nih,”ucap Nacita menggosok beberapa bagian tubuhnya yang memerah. “Siapa yang memintamu ikut?,”tanya Kencana masih setia duduk di tepi makam Ibunya. “Ken kamu nanti kesurupan malam-malam duduk di makam,”ucap Nacita terus berusaha membujuk.

“Baguslah. Bisa ku bunuh pria bejat dan wanita gila itu tanpa ada hukum menjerat,”ucap Kencana. “Salah ngomong lagi. Sudahlah Ken, kita pulang ya. Lagian kalau Ibu lihat kamu begini bakal seneng?,”tanya Nacita. “Mana mungkin Ibu mengusir ku dari sini juga?,”tanya Kencana.

“Hmn bukan itu maksudnya Ken. Besok aku bener-bener harus pasang lampu di makam,”ucap Nacita menggerutu. Pasalnya dirinya masih normal untuk merasa takut di dalam makam saat malam tiba. Belum lagi bau tanah makam yang menyengat makin menambah kesan mistis.

“Udah yuk Ken. Serem nih,”ucap Nacita menggoyangkan lengan Kencana yang masih terdiam sepi di depan makam. “Siapa yang suruh ikut?,”tanya Kencana dingin makin menambah ketakutan Nacita. “Ken. Malam ini kita ada kelas. Kamu mau alfa?,”tanya Nacita dengan ide cemerlang nya.

Berbeda dengan alasan sebelumnya, sontak Kencana segera berdiri berlalu keluar dari makam disusul gadis pirang itu. Tidak bisa Kencana pungkiri, sekalipun dia tidak pernah meminta pendidikan tinggi. Namun dukungan dari kedua orang tua Nacita yang mau membiayai nya sudah cukup jadi alasan.

“Siapa yang malam ini mengajar?,”tanya Kencana mulai mencair. “Heh aku mau ngomel dulu ya. Tadi sore, aku sudah berbicara sampai berbusa sama sekali tidak ada yang masuk ke dalam otakmu. Entahlah sepertinya kau memang benar-benar tidak peduli dengan ku.

Kau tau Ken,”ucap Nacita terhenti saat lima jari Kencana berada di depan wajahnya. “Perlukah kamu menceritakan keluhan mu yang sudah berlalu hanya untuk mengisi waktu?,”tanya Kencana sukses membungkam bibirnya yang sudah menyiapkan pembelaan.

“Kulkas dua pintu,”cibir Nacita merangkul Kencana. Membawa gadis dingin itu berlari kecil absurd tak tentu arah. “Memalukan Cit,”ucap Kencana datar meskipun tubuhnya terbawa ke sana kemari gadis pirang gila katanya.

“Senyum dulu dong Ken. Kamu terlalu mengerikan dengan wajah datar mu itu. Riana saja harus bertekuk lutut begitu melihatmu,”ucap Nacita mengatur nafasnya. “Aku bukan pesulap,”ucap Kencana ringan. “Sama saja kulkas. Makanya kalau di ajak UKM ikut. Bukan malah pulang duluan berakhir ketiduran senja,”ucap Nacita.

“Untuk apa?,”tanya Kencana merapikan anak rambutnya yang lengket di beberapa bagian wajahnya karena keringat. “Eh Ken kalau sudah lulus kan kita perlu juga kerja. Tapi kalau kamu pasti jadi dosen. Apalagi dengan nilai yang begitu memuaskan,”ucap Nacita.

“Tidak mungkin. Aku mungkin sudah terlindas kereta api saat wisuda,”ucap Kencana bersandar pada bangku taman. “Ken kamu harus bersyukur di beri hidup,”ucap Nacita sudah tidak lagi kaget mendengar kalimatnya.  “Apa yang harus disyukuri kalo tidak ada lagi yang mengharapkan ku?,”tanya Kencana beranjak.

“Mau ke makam lagi?,”tanya Nacita menatap horor. “Katanya ada kelas malam? Ayo pulang. Aku juga perlu makan,”ucap Kencana membuat Nacita mendesah lega. Gadis pirang itu memang tidak pernah tau dengan jelas apa yang membuat rekan dari masa SD nya itu sangat giat menguji coba kematian.

Tapi dia tau rekannya bukan penderita gangguan jiwa. Kencana hanya terguncang dan sangat yakin suatu saat nanti bisa kembali seperti sediakala seperti gadis ceria pada umumnya. Semoga saja, batin gadis pirang itu mengikuti langkah tegap Kencana selangkah di depannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Evanescent   Bab 1

    Kencana POVSuara teko panas yang tengah mendidih begitu ricuh cukup untuk membangunkan kawanan kucing milik tetangga di luar rumah. "Apa yang mau kamu buat di pagi buta Ken?,"tanya seorang gadis pirang yang memunculkan wajah dengan garis halus bekas bantal menjalar."Bisakah kau cuci dulu wajahmu dan sikat gigi dulu?,"Tidak. Kalimat itu tidak terlontar dari bibir ku. Hanya tertahan memenuhi kerongkongan saja. "Ken?,"ulang Nacita. "Bubur,"ucapku tanpa berusaha menambahkan kata yang ku rasa sudah cukup panjang. "Ouh. Bagi ya Ken. Aku malas lagi memasak masakan apapun sekarang,"ucap Nacita."Hmn,""Nah gitu dong. Oiya Ken, Elina tadi malam chat aku. Karena katanya kamu nggak bisa dihubungi sama sekali. Elina mau tanya tugas Pak Hanif. Kamu sudah kerjakan?,"tanya Nacita. "Sudah,"ucapku memindahkan air panas ke mangkuk. "Haruskah kamu bertanya Nacita? Dia itu Batari Kencana Had"Cukup,"ucapku tak ingin mendengar nama itu terdengar

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16
  • Evanescent   Bab 2

    "Mau mati kok takut?,"Langkah tegas ku mendekati gadis pirang yang ragu untuk melompat di tepi dermaga. "Ken kamu ngapain ke sini?,"tanya Nacita tampak terkejut dengan kehadiran ku. "Mau mati?,"tanyaku berdiri menatap ombak yang menghempas kuat dermaga.Miris. Beberapa saat lalu mata ku di suguhkan romansa masa muda. Hanya dalam sekejap hanya wajah putus asa yang tersisa. "Kencana kamu ngga akan pernah tau. Ilham itu orang paling ku sayang dan ku percaya. Kamu ngga tau kan gimana peduli nya dia selama ini? Tiba-tiba dia berubah begitu aja,"ucap Nacita bercucuran air mata."Aku belum pernah mencoba bunuh diri di sini. Kemungkinan tengkorak mu bisa langsung retak. Tapi kalo kamu terjun secara vertikal, mungkin tulang mu lebih dulu patah terkena batu pemecah ombak. Kulit mu perlahan tergores batu karang. Darah yang tercecer dengan bagian tubuh terpencar ditambah air laut yang asin.Kemungkinan kamu mati sang

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22
  • Evanescent   Bab 3

    Lorong jurusan yang masih senggang sangat menggambarkan kesibukan di setiap ruang. "Ken kamu mau siapa yang jadi dosen pembimbing mu?,"tanya Nacita membolak balik buku yang sangat terpaksa di baca. "Entah,"ucapku membenarkan letak kacamata yang membingkai wajah tirus ku."Entah lagi. Gimana kalo tanya sama Kak Alvin aja?,"tawar Nacita membuat ku mendongak. "Siapa lagi Alvin? Bukan kamu sudah setuju bertemu Pramudhita semalam?,"tanyaku. "Heish ngga semuanya tentang pacar Ken. Alvin itu loh asisten dosen yang ganteng tuh,"ucap Nacita tampak berbinar."Dan berakhir aku meminta nomor nya,"ucapku hafal dengan semua kelakuan gadis di sebelah ku. "Eh ya kali. Mending sama tentara aja deh. Kalo asisten dosen jatuh cintanya tentang buku. Atau kamu aja kah sama Kak Alvin,"ucap Nacita kian meracau tak karuan. "Hentikan,"ucapku memasuki dosen tanpa peduli siapapun yang ada di dalamnya maka dia yang akan menjadi dosen pembimbing ku.La

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-29
  • Evanescent   Bab 4

    "Ken kamu tau Pramudhita orangnya loyal banget tau. Masa dia bilang kan dulu dia pernah sekali punya pacar tapi habis itu mereka putus karena ceweknya selingkuh. Se loyal itu coba,"ucap Nacita begitu bersemangat bercerita."Apa perlu bertanya sampai sejauh itu?,"tanyaku mencuci beras untuk ku masak esok hari. "Hmn gimana ya jawabnya Ken. Kamu gimana sama Adhikara?,"tanya Nacita tampak begitu penasaran. "Apa susahnya tinggal mengatakan iya? Sudahlah Cit sepertinya malam ini aku akan tidur lebih cepat. Besok harus ke kampus,"ucapku usai menaruh beras ke rice cooker."Eh ngapain kamu ke kampus besok? Bukannya kita mau ke pantai?,"tanya Nacita. "Dosen pembimbing ku meminta menemui besok untuk bimbingan,"ucapku. "Hah cepatnya. Aku malah belum ada di respon,"ucap Nacita. "Entahlah,"ucapku sembari berlalu ke kamar. "Okelah,"ucap Nacita terdengar berlalu menuju kamarnya. Sementara itu sedari tadi ponsel ku tak henti menyala pertanda notifika

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Evanescent   Bab 5

    Brugh"APA KAU SUDAH GILA?? KAU MAU MATI HANYA KARENA TUGAS AKHIR? APA SEMUDAH ITU KAU TIDAK BISA??,"teriakan memenuhi rongga telinga ku begitu hantaman kerikil menyapu punggung ku. "IYA AKU GILA. KAU TIDAK PERNAH TAU APA YANG KU RASAKAN. ENYAHLAH,"hardikku kembali mendekati rel kereta api."Cukup. Kamu sepertinya hanya lelah. Mari berpikir jernih,"ucapnya mendekapku. "Enyah. Aku tak sudi berdekatan dengan para pria brengsek,"tukasku terus berusaha meronta dari dekapannya. "Kau apa tidak ada pikiran lain selain bunuh diri?,"tanyanya begitu kereta sudah berlalu menjauh dari pandangan. "Jangan pernah ikut campur apa yang ada dalam hidup ku,"ucapku mengenyahkan diri dari dekapannya."Kenapa tidak bisa? Aku dosen pembimbing mu yang bertanggung jawab apapun yang terjadi padamu. Apa kau tak berpikir bagaimana perasaan orangtuamu?,"tanya Alvin membuatku menatapnya lurus. "Kamu hanya akan jadi dosen pembimbing jika aku ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Evanescent   Bab 6

    Dering nada ponsel yang kunjung berhenti mengganggu aktivitas Kencana. Tidak hanya sekali Alvin menghubunginya dalam sehari hanya untuk konsultasi. Sementara dirinya saja masih bersiap. "Siapa Ken?,"tanya Angga membuat Kencana mendongak sejenak. "Dosen pembimbing Kencana Yah,"ucap Kencana tenang."Oh yang kemarin itu. Kenapa ngga di angkat Nak?,"tanya Angga heran. Bagaimana bisa ada yang sesantai itu padahal yang menghubungi dosen pembimbing. "Tadi Kencana sudah balas baik saya segera menghadap. Tapi masih saja tetap begitu,"ucap Kencana terdengar merasa risih membuat Angga terkekeh pelan mengusap bahu putri sulung nya."Coba di angkat dulu. Barangkali dosennya cemas,"ucap Angga memberikan ponselnya membuat Kencana mau tidak mau menekan tombol hijau panggilan. "Selamat pagi Pak,"ucap Kencana menghela nafas berulang membuat Angga hanya menggeleng pelan. "Hah? Tidak perlu Pak. Saya bisa berangkat sendiri dan Anda tidak perlu kemari,"ucap Ken

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Evanescent   Bab 7

    "Entah apa yang akan diminta pria itu setelah ini,"gerutuku berjalan menuju perpustakaan. Tapi tunggu. Mengapa aku mudah teralih hanya karena pria aneh itu? "Kencana sudah telat berapa jam kamu Dek?,"tanya Alvin menaruh hard file bab 3 yang telah di print dan dikoreksi tentunya. "Maaf Pak saya tadi ada urusan dengan Bu Leni lupa melapor,"ucapku membolak balik kertas."Jangan diulang lagi lain kali. Sudah sore dan saya harus segera pulang sebelum macet. Ayo pulang,"ucap Alvin membuatku mendongak menatapnya heran. "Saya pulang bersama Nacita saja Pak,"ucapku berjalan lebih cepat meninggalkannya. "Tidak harus bunuh diri lagi Kencana. Revisi untuk belajar bukan untuk dibawa mati,"ucap Alvin menyeret tas punggung ku ke arah parkiran."Tapi Pak saya ngga mau bunuh diri. Saya mau ke kost,"ucapku sebal. "Saya tidak percaya. Masuklah Kencana sebelum banyak orang,"ucap Alvin membukakan pintu mobil membuatku merengut sejenak sembari menghempaskan tub

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-03
  • Evanescent   Bab 8

    Natasya menarik bibirnya tersenyum putri sulungnya mengetahui kehadirannya. "Di kampus, apa ada yang menyakitimu Nak?,"tanya Natasya mengusap kepalaku lembut. Memangnya kapan Bu Leni pernah berbicara dengan nada yang baik? "Dosen ngga pernah salah Bun. Jadi sebanyak apapun kesalahannya tetap dihitung ngga salah. Lagipula yang dikatakan Ibu dosen Kencana benar.Itu sudah fakta jadi Kencana tidak perlu lagi menutupinya dan itu bukan masalah yang besar,"ucapku menenangkan membuatnya tersenyum lega. Pasti wanita ini sudah begitu cemas memikirkan bagaimana kondisi terkini ku. Semakin tidak tega rasanya melihat matanya berlinang air mata jika harus melihat kenyataan rencana buruk yang ku rencanakan setelah wisuda.Akh tidak Kencana. Jangan goyah lagi. Cukup sekali membebankan orang lain untuk diriku. Aku tidak mau lagu menjadi beban untuk banyak orang di kemudian hari. Bunyi ponsel yang bergetar tanpa sengaja membuat Natasya melirik pesan Alvin

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-08

Bab terbaru

  • Evanescent   Bab 18

    Suasana lingkungan pagi ini tengah kondusif dengan beberapa pria melintas untuk menyapa Ayah. Sementara seorang pria berdiri membawa tas yang cukup ku kenal dengan baik. Seharusnya dia mengantarkan dengan jasa kirim layanan online. Tapi dia adalah Kavindra. Pria yang suka hidup repot dengan semua urusan. Hal kecil seperti itu akan semakin besar jika bertemu dengan dirinya. Membuat Ayah dan Bunda semakin berpikir tidak-tidak tentangnya. Dibandingkan dengan kekasih beberapa anak tetangga, dia yang paling sering berkunjung."Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculik mu pergi seminar. Belum lagi saat kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran.Selain suka repot, satu hal yang menyebalkan dari manusia termasuk pria itu depan ku adalah suka meminta maaf untuk kesalahan lawan bicara. Apa dia berusah

  • Evanescent   Bab 17

    "Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculikmu pergi seminar. Belum lagi malah kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran."Tidak perlu minta maaf Pak. Itu saya yang salah,"ucapku membuatnya terkekeh pelan."Dek,"panggil Adhikara."Saya pamit dulu,"ucap Kavindra berlalu membuatku berbalik menatap Adhikara.Pria itu seolah mengerti dengan maksud tatapan ku segera membuka mulut mengutarakan maksud kehadirannya."Obatnya belum diminum,"ucap Adhikara membuatku berjalan lemah memasuki rumah."Nanti saja. Ayah, dimana Bunda?,"tanyaku melihat Angga menyesap kopi menikmati hari libur."Bunda sama Nacita

  • Evanescent   Bab 16

    Dingin yang menusuk kulit membuatku mengeratkan jaket yang ku pakai menghalau dingin. Dengan kondisi luka berat seperti ini, sangat tidak menarik jika harus terkena angin."Biar hangat,"Sebuah cangkir tersodor dari Adhikara membuatku menarik senyum lebar. Sejak semalam dirinya tinggal di rumah sakit bersama Angga dan Natasya. Sebenarnya untuk apa juga tidak ku mengerti. "Kamu saja. Aku tidak haus,"ucapku sekedar formalitas. Adhikara bukan pria seperti Kavindra yang akan bertambah banyak bicara saat diriku diam.Akh ya kenapa harus dosen ku lagi sih? Untung saja Natasya memintanya pulang saja semalam. Jika tidak dia akan mengacau sepanjang malam dengan ocehan tidak masuk akalnya. "Astaga. Kencana kamu pulang dengan Nacita tidak apa-apa kan? Saya di panggil ke hanggar sekarang,"ucap Adhikara begitu panik. Seperti anggota Angga yang selalu bergegas setiap kali ada panggilan."Pergilah,"uca

  • Evanescent   Bab 15

    Author POV Memasuki dunia sekolah, drama dan babak baru kehidupan kembali bergulir. Nadira memasukkan ku ke sekolah berasrama atas permintaan Dimas. Pendidikan yang terbaik sekalipun jika anak memiliki masalah dirumahnya akan tetap membawa pengaruh. Meskipun hanya setahun tetap saja begitu terasa berat.Harus berkomunikasi dengan banyak orang dan kondisinya yang kadang menjadi lebih buruk. Karakter Kencana yang dingin membuat putri komandan batalyon dengan pembawaan ceria tertarik. Jika Kencana di jauhi temannya

  • Evanescent   Bab 14

    Author POV Byurr Byurr Dua riak gelombang di laguna membuktikan ada dua benda yang jatuh menimpanya. Kencana yang merasakan beberapa tulangnya terasa terkena dasar laguna berupa bagian hanya terdiam saja. Dirinya memejamkan mata menikmati sisa penyiksaan kehidupan dunia sebelum ajal menemuinya. Darah segar secara spontan langsung menguar membuat air menjadi merah.Kencana yang merentangkan tangan begitu tenang menyerahkan diri pada kematian terhenyak begitu merasakan tubuhnya di rengkuh. Sontak kedua matanya terbuka menatap seorang pria yang begitu payah dalam berenang berusaha menyelamatkan nya. Ck kalau dibiarkan dia akan mati. Melupakan keinginan untuk bunuh diri, Kencana menarik pria yang merengkuh nya menuju tepi.Kencana sudah berusaha menendang punggung Kavindra berharap pria itu bisa mengapung. Namun nyatanya dirinya dengan sengaja mem

  • Evanescent   Bab 13

    Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k

  • Evanescent   Bab 12

    "Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama

  • Evanescent   Bab 11

    "Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.

  • Evanescent   Bab 10

    "Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status