Author POV
Memasuki dunia sekolah, drama dan babak baru kehidupan kembali bergulir. Nadira memasukkan ku ke sekolah berasrama atas permintaan Dimas. Pendidikan yang terbaik sekalipun jika anak memiliki masalah dirumahnya akan tetap membawa pengaruh. Meskipun hanya setahun tetap saja begitu terasa berat.
Harus berkomunikasi dengan banyak orang dan kondisinya yang kadang menjadi lebih buruk. Karakter Kencana yang dingin membuat putri komandan batalyon dengan pembawaan ceria tertarik. Jika Kencana di jauhi temannya
Dingin yang menusuk kulit membuatku mengeratkan jaket yang ku pakai menghalau dingin. Dengan kondisi luka berat seperti ini, sangat tidak menarik jika harus terkena angin."Biar hangat,"Sebuah cangkir tersodor dari Adhikara membuatku menarik senyum lebar. Sejak semalam dirinya tinggal di rumah sakit bersama Angga dan Natasya. Sebenarnya untuk apa juga tidak ku mengerti. "Kamu saja. Aku tidak haus,"ucapku sekedar formalitas. Adhikara bukan pria seperti Kavindra yang akan bertambah banyak bicara saat diriku diam.Akh ya kenapa harus dosen ku lagi sih? Untung saja Natasya memintanya pulang saja semalam. Jika tidak dia akan mengacau sepanjang malam dengan ocehan tidak masuk akalnya. "Astaga. Kencana kamu pulang dengan Nacita tidak apa-apa kan? Saya di panggil ke hanggar sekarang,"ucap Adhikara begitu panik. Seperti anggota Angga yang selalu bergegas setiap kali ada panggilan."Pergilah,"uca
"Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculikmu pergi seminar. Belum lagi malah kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran."Tidak perlu minta maaf Pak. Itu saya yang salah,"ucapku membuatnya terkekeh pelan."Dek,"panggil Adhikara."Saya pamit dulu,"ucap Kavindra berlalu membuatku berbalik menatap Adhikara.Pria itu seolah mengerti dengan maksud tatapan ku segera membuka mulut mengutarakan maksud kehadirannya."Obatnya belum diminum,"ucap Adhikara membuatku berjalan lemah memasuki rumah."Nanti saja. Ayah, dimana Bunda?,"tanyaku melihat Angga menyesap kopi menikmati hari libur."Bunda sama Nacita
Suasana lingkungan pagi ini tengah kondusif dengan beberapa pria melintas untuk menyapa Ayah. Sementara seorang pria berdiri membawa tas yang cukup ku kenal dengan baik. Seharusnya dia mengantarkan dengan jasa kirim layanan online. Tapi dia adalah Kavindra. Pria yang suka hidup repot dengan semua urusan. Hal kecil seperti itu akan semakin besar jika bertemu dengan dirinya. Membuat Ayah dan Bunda semakin berpikir tidak-tidak tentangnya. Dibandingkan dengan kekasih beberapa anak tetangga, dia yang paling sering berkunjung."Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculik mu pergi seminar. Belum lagi saat kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran.Selain suka repot, satu hal yang menyebalkan dari manusia termasuk pria itu depan ku adalah suka meminta maaf untuk kesalahan lawan bicara. Apa dia berusah
Suasana hitam legam yang menggambarkan betapa suramnya kehidupan pemiliknya. Udara yang tidak pernah terganti membuat suasana kelam makin tercium dengan jelas. Tatapan sayu seorang gadis kecil yang berdiri dibalik tralis jendela kamarnya menyiratkan banyak cerita yang dibungkam.“Non dipanggil Nyonya,”Berbeda dari anak pada umumnya. Gadis itu hanya menarik sudut bibirnya sinis berlalu menuruni anak tangga. Drama khas pebisnis terdengar seru padahal semua itu hanya dusta. Sosok Nyonya dalam rumah itu tampak menekan kedua keningnya. Menyiratkan ucapan untuk bagian drama yang tengah berjalan.“Selamat siang,”sapanya sekedar hanya untuk menghibur wanita yang tak berhenti melotot menatapnya. “Siang Nona. Kami dari pengadilan ingin secara langsung bertemu dengan Anda untuk menyelesaikan masalah terkait pembagian harta dan warisan mendiang Nyonya Arini,”ucap pria dengan jas lengkap.
Kencana POVSuara teko panas yang tengah mendidih begitu ricuh cukup untuk membangunkan kawanan kucing milik tetangga di luar rumah. "Apa yang mau kamu buat di pagi buta Ken?,"tanya seorang gadis pirang yang memunculkan wajah dengan garis halus bekas bantal menjalar."Bisakah kau cuci dulu wajahmu dan sikat gigi dulu?,"Tidak. Kalimat itu tidak terlontar dari bibir ku. Hanya tertahan memenuhi kerongkongan saja. "Ken?,"ulang Nacita. "Bubur,"ucapku tanpa berusaha menambahkan kata yang ku rasa sudah cukup panjang. "Ouh. Bagi ya Ken. Aku malas lagi memasak masakan apapun sekarang,"ucap Nacita."Hmn,""Nah gitu dong. Oiya Ken, Elina tadi malam chat aku. Karena katanya kamu nggak bisa dihubungi sama sekali. Elina mau tanya tugas Pak Hanif. Kamu sudah kerjakan?,"tanya Nacita. "Sudah,"ucapku memindahkan air panas ke mangkuk. "Haruskah kamu bertanya Nacita? Dia itu Batari Kencana Had"Cukup,"ucapku tak ingin mendengar nama itu terdengar
"Mau mati kok takut?,"Langkah tegas ku mendekati gadis pirang yang ragu untuk melompat di tepi dermaga. "Ken kamu ngapain ke sini?,"tanya Nacita tampak terkejut dengan kehadiran ku. "Mau mati?,"tanyaku berdiri menatap ombak yang menghempas kuat dermaga.Miris. Beberapa saat lalu mata ku di suguhkan romansa masa muda. Hanya dalam sekejap hanya wajah putus asa yang tersisa. "Kencana kamu ngga akan pernah tau. Ilham itu orang paling ku sayang dan ku percaya. Kamu ngga tau kan gimana peduli nya dia selama ini? Tiba-tiba dia berubah begitu aja,"ucap Nacita bercucuran air mata."Aku belum pernah mencoba bunuh diri di sini. Kemungkinan tengkorak mu bisa langsung retak. Tapi kalo kamu terjun secara vertikal, mungkin tulang mu lebih dulu patah terkena batu pemecah ombak. Kulit mu perlahan tergores batu karang. Darah yang tercecer dengan bagian tubuh terpencar ditambah air laut yang asin.Kemungkinan kamu mati sang
Lorong jurusan yang masih senggang sangat menggambarkan kesibukan di setiap ruang. "Ken kamu mau siapa yang jadi dosen pembimbing mu?,"tanya Nacita membolak balik buku yang sangat terpaksa di baca. "Entah,"ucapku membenarkan letak kacamata yang membingkai wajah tirus ku."Entah lagi. Gimana kalo tanya sama Kak Alvin aja?,"tawar Nacita membuat ku mendongak. "Siapa lagi Alvin? Bukan kamu sudah setuju bertemu Pramudhita semalam?,"tanyaku. "Heish ngga semuanya tentang pacar Ken. Alvin itu loh asisten dosen yang ganteng tuh,"ucap Nacita tampak berbinar."Dan berakhir aku meminta nomor nya,"ucapku hafal dengan semua kelakuan gadis di sebelah ku. "Eh ya kali. Mending sama tentara aja deh. Kalo asisten dosen jatuh cintanya tentang buku. Atau kamu aja kah sama Kak Alvin,"ucap Nacita kian meracau tak karuan. "Hentikan,"ucapku memasuki dosen tanpa peduli siapapun yang ada di dalamnya maka dia yang akan menjadi dosen pembimbing ku.La
"Ken kamu tau Pramudhita orangnya loyal banget tau. Masa dia bilang kan dulu dia pernah sekali punya pacar tapi habis itu mereka putus karena ceweknya selingkuh. Se loyal itu coba,"ucap Nacita begitu bersemangat bercerita."Apa perlu bertanya sampai sejauh itu?,"tanyaku mencuci beras untuk ku masak esok hari. "Hmn gimana ya jawabnya Ken. Kamu gimana sama Adhikara?,"tanya Nacita tampak begitu penasaran. "Apa susahnya tinggal mengatakan iya? Sudahlah Cit sepertinya malam ini aku akan tidur lebih cepat. Besok harus ke kampus,"ucapku usai menaruh beras ke rice cooker."Eh ngapain kamu ke kampus besok? Bukannya kita mau ke pantai?,"tanya Nacita. "Dosen pembimbing ku meminta menemui besok untuk bimbingan,"ucapku. "Hah cepatnya. Aku malah belum ada di respon,"ucap Nacita. "Entahlah,"ucapku sembari berlalu ke kamar. "Okelah,"ucap Nacita terdengar berlalu menuju kamarnya. Sementara itu sedari tadi ponsel ku tak henti menyala pertanda notifika
Suasana lingkungan pagi ini tengah kondusif dengan beberapa pria melintas untuk menyapa Ayah. Sementara seorang pria berdiri membawa tas yang cukup ku kenal dengan baik. Seharusnya dia mengantarkan dengan jasa kirim layanan online. Tapi dia adalah Kavindra. Pria yang suka hidup repot dengan semua urusan. Hal kecil seperti itu akan semakin besar jika bertemu dengan dirinya. Membuat Ayah dan Bunda semakin berpikir tidak-tidak tentangnya. Dibandingkan dengan kekasih beberapa anak tetangga, dia yang paling sering berkunjung."Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculik mu pergi seminar. Belum lagi saat kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran.Selain suka repot, satu hal yang menyebalkan dari manusia termasuk pria itu depan ku adalah suka meminta maaf untuk kesalahan lawan bicara. Apa dia berusah
"Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculikmu pergi seminar. Belum lagi malah kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran."Tidak perlu minta maaf Pak. Itu saya yang salah,"ucapku membuatnya terkekeh pelan."Dek,"panggil Adhikara."Saya pamit dulu,"ucap Kavindra berlalu membuatku berbalik menatap Adhikara.Pria itu seolah mengerti dengan maksud tatapan ku segera membuka mulut mengutarakan maksud kehadirannya."Obatnya belum diminum,"ucap Adhikara membuatku berjalan lemah memasuki rumah."Nanti saja. Ayah, dimana Bunda?,"tanyaku melihat Angga menyesap kopi menikmati hari libur."Bunda sama Nacita
Dingin yang menusuk kulit membuatku mengeratkan jaket yang ku pakai menghalau dingin. Dengan kondisi luka berat seperti ini, sangat tidak menarik jika harus terkena angin."Biar hangat,"Sebuah cangkir tersodor dari Adhikara membuatku menarik senyum lebar. Sejak semalam dirinya tinggal di rumah sakit bersama Angga dan Natasya. Sebenarnya untuk apa juga tidak ku mengerti. "Kamu saja. Aku tidak haus,"ucapku sekedar formalitas. Adhikara bukan pria seperti Kavindra yang akan bertambah banyak bicara saat diriku diam.Akh ya kenapa harus dosen ku lagi sih? Untung saja Natasya memintanya pulang saja semalam. Jika tidak dia akan mengacau sepanjang malam dengan ocehan tidak masuk akalnya. "Astaga. Kencana kamu pulang dengan Nacita tidak apa-apa kan? Saya di panggil ke hanggar sekarang,"ucap Adhikara begitu panik. Seperti anggota Angga yang selalu bergegas setiap kali ada panggilan."Pergilah,"uca
Author POV Memasuki dunia sekolah, drama dan babak baru kehidupan kembali bergulir. Nadira memasukkan ku ke sekolah berasrama atas permintaan Dimas. Pendidikan yang terbaik sekalipun jika anak memiliki masalah dirumahnya akan tetap membawa pengaruh. Meskipun hanya setahun tetap saja begitu terasa berat.Harus berkomunikasi dengan banyak orang dan kondisinya yang kadang menjadi lebih buruk. Karakter Kencana yang dingin membuat putri komandan batalyon dengan pembawaan ceria tertarik. Jika Kencana di jauhi temannya
Author POV Byurr Byurr Dua riak gelombang di laguna membuktikan ada dua benda yang jatuh menimpanya. Kencana yang merasakan beberapa tulangnya terasa terkena dasar laguna berupa bagian hanya terdiam saja. Dirinya memejamkan mata menikmati sisa penyiksaan kehidupan dunia sebelum ajal menemuinya. Darah segar secara spontan langsung menguar membuat air menjadi merah.Kencana yang merentangkan tangan begitu tenang menyerahkan diri pada kematian terhenyak begitu merasakan tubuhnya di rengkuh. Sontak kedua matanya terbuka menatap seorang pria yang begitu payah dalam berenang berusaha menyelamatkan nya. Ck kalau dibiarkan dia akan mati. Melupakan keinginan untuk bunuh diri, Kencana menarik pria yang merengkuh nya menuju tepi.Kencana sudah berusaha menendang punggung Kavindra berharap pria itu bisa mengapung. Namun nyatanya dirinya dengan sengaja mem
Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k
"Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama
"Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.
"Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,