Share

Bab 3

last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-29 10:45:44

Lorong jurusan yang masih senggang sangat menggambarkan kesibukan di setiap ruang. "Ken kamu mau siapa yang jadi dosen pembimbing mu?,"tanya Nacita membolak balik buku yang sangat terpaksa di baca. "Entah,"ucapku membenarkan letak kacamata yang membingkai wajah tirus ku.

"Entah lagi. Gimana kalo tanya sama Kak Alvin aja?,"tawar Nacita membuat ku mendongak. "Siapa lagi Alvin? Bukan kamu sudah setuju bertemu Pramudhita semalam?,"tanyaku. "Heish ngga semuanya tentang pacar Ken. Alvin itu loh asisten dosen yang ganteng tuh,"ucap Nacita tampak berbinar.

"Dan berakhir aku meminta nomor nya,"ucapku hafal dengan semua kelakuan gadis di sebelah ku. "Eh ya kali. Mending sama tentara aja deh. Kalo asisten dosen jatuh cintanya tentang buku. Atau kamu aja kah sama Kak Alvin,"ucap Nacita kian meracau tak karuan. "Hentikan,"ucapku memasuki dosen tanpa peduli siapapun yang ada di dalamnya maka dia yang akan menjadi dosen pembimbing ku.

Lagipun dia tidak akan keberatan jika aku mati di tengah penyelesaian dan semakin mengurangi tugasnya. Entah Alvan Alvin siapapun itu yang penting punya dosen pembimbing dulu. Teriakan Bu Leni terlalu mengerikan untuk di ulang berkali-kali. "Permisi,"ucapku mengetuk pelan pintu kaca pembatas. "Iya silahkan masuk Dek,"ucapnya.

Cih, apa semua pria seperti ini yang disukai Nacita. Penuh dengan kata-kata manis di bibirnya. "Saya ingin meminta Anda menjadi dosen pembimbing tugas akhir jika berkenan,"ucapku tanpa tedeng aling-aling membuatnya mengerutkan keningnya bingung. "Oh iya bisa Dek. Sudah ada ide?,"tanya Alvin aneh. Yang benar saja. Bahkan orang buta juga tau aku tengah membawa kertas.

"Saya sudah mencoba menulis sampai bab 2. Mohon dikoreksi adapun alasannya sudah saya sertakan di sini,"ucapku menyerahkan semua kertas yang ku bawa. "Silahkan tulis nama dan nomornya. Nanti saya hubungi untuk konsultasi berikutnya ya,"ucap Alvin menarik senyum khas seperti semua mantan Nacita. Meninggalkan ruangan tanpa banyak kata sepertinya aku membuat keputusan yang salah dengan memilih pria yang 'ramah' sebagai dosen pembimbing ku.

Akh sudahlah. Tidak juga ku selesaikan tugas akhir itu. "Kencana ayo ke pantai besok,"ajak seorang gadis berambut coklat menghampiri ku. "Untuk apa?,"tanyaku. "Biar aku aja. Ken ayo ke pantai ya,"ucap Nacita membuatku memutar bola mata malas. Pasti hanya kegiatan membuang waktu dengan tertawa di pesisir air. Tenggelam.

Tidak terlalu menyakitkan mati tenggelam, hanya menyiksa saja. "Ken,"panggil Nacita membangunkan dari lamunan. "Dengan siapa?,"tanyaku. "Eh siapa yang mau bawa Kencana,"tanya Reva begitu heboh. Apa hebatnya pergi ke pantai? "Kencana sama aku aja ya,"tawar Adrian semarak. "Gimana Ken?,"tanya Nacita hanya ku angguki singkat sebelum berlalu pulang.

Enggan membuang waktu hanya untuk bermain tidak jelas. Bunda Natasya memintanya lekas pulang. Sebagai balas budi tentu dirinya mau tidak mau harus pulang dengan cepat. Melewati jalanan yang tampak sunyi, matanya melihat beberapa wajah tertunduk lesu di tepi jalanan. Sapu mereka di tangannya petunjuk bagaimana hidup telah membuatnya menjadi semakin keras.

Mengingat uang yang diselipkan Natasya di kantung nya, dirinya menepi membeli beberapa jenis makanan untuk mereka. Tidak perlu banyak alasan baginya melakukan itu. Mereka masih perlu hidup tapi ujian untuk bertahan hidup terus menyerang. Sementara dirinya tidak perlu hidup tapi masih selalu ada penopang hidup yang tidak perlu di sisinya.

"Ken kamu cepat sekali pulangnya,"keluh Nacita dengan nafas masih memburu. "Ku pikir kamu pergi dengan yang lain,"ucapku santai. "Bunda suruh pulang cepat kan hari ini. Uh ngga sabar lihat orang yang dipilih kan buatmu Ken,"ucap Nacita begitu antusias. Sepertinya ingatan tentang pria brengsek di dalam otaknya sudah menepi. "Untuk apa?,"tanya Kencana hanya dibalas kekehan kecil Nacita.

"Nah anak-anak cantik Bunda sudah pulang. Duh kalau begini kan Bunda ngga perlu capek capek cari kalian. Berangkat yuk,"ajak Natasya. "Bun sepertinya Nacita saja, aku tidak perlu,"ucapku bergegas masuk ke dalam kost usai menyalami nya lembut. "Eh Ken ikut Bunda dong. Kan kita mau pilih baju buat nanti malam. Pasti kamu punya model baju yang kamu suka kan,"ucap Natasya menahan tangan ku dengan penuh harapan.

Akh tatapan itu selalu saja berhasil membuatku tidak bisa berkutik. Tanpa pernah gagal, akhirnya tubuhnya menolak berpadu dengan isi kepala ku. "Tau ngga Bun. Kencana itu kayaknya kurang cocok deh kalo yang Bunda pilihkan kaku begitu,"ucap Nacita berkomentar. "Cocok dong. Kan kamu belum pernah bertemu dengan Adhikara secara langsung,"ucap Natasya begitu yakin. Dasarnya semua pria sama saja. Kecuali Ayahnya Nacita.

-^-

Warna warni jenis dress terpampang di butik milik teman Bunda. Namun sepertinya tidak ada yang membuatku tertarik. Semua itu terasa hambar dan hanya membuang uang untuk sebuah pertemuan yang hanya akan berakhir saat aku mati dalam waktu dekat.

Mengabaikan obrolan Nacita dengan Natasya saat memilih dress, justru mata ku lebih tertarik melihat beberapa jenis bunga yang tampak mekar dengan indahnya. Sama seperti bunga yang dibesarkan Ibu ku dulu. Semua bunga yang tumbuh diseluruh rumah begitu indah. Akh pasti Ibu ku sudah sangat bahagia melihat ku tengah menderita seperti ini.

Mengapa juga dia harus menikah jika tau pria menyakiti nya saja hingga akhir hayatnya. Kalo tidak kan, aku tidak akan capek- capek berpikir bagaimana bisa cepat mati. Memikirkan bagaimana indahnya bunga yang pernah disiram dan dirawat dengan sepenuh hati oleh wanita itu tak bisa membohongi mata yang mulai berkeringat.

"Daripada nangis ingat mantan pernah kasih bunga, mending bawa bunga ini saja,"ucap sebuah suara bariton mengangsurkan setangkai bunga. Apa pria itu berpikir semua orang akan menangis hanya karena masalah cinta? Tanpa ingin menatap wajahnya, ku kembalikan bunga yang dirinya berikan. "Sempit,"ucapku kesal kembali menghampiri Nacita.

Lebih baik mendengarkan percakapan yang tidak menarik sama sekali dibanding harus bertemu pria tidak waras seperti tadi. "Ken coba pilih-pilih dulu. Kamu mau yang seperti apa?,"tanya Natasya membuatku melirik sejenak sebelum mengambil nafas pelan. "Saya mengikuti apa saja yang Bunda pilihkan. Saya kurang baik dalam memilih pakaian,"ucapku. "Jeng. Coba buat anakku satunya yang pas yang gimana,"ucap Natasya menggandeng mendekati pemilik butik.

"Hmn kalau ini pakai apa saja cocok jeng. Kulitnya putih jadi masuk semua warna, terus badannya juga bagus. Coba yang warna navy ini. Gimana jeng?,"tanyanya menempelkan kebaya padaku. "Ih cantik loh jeng. Roknya ngga belahan yang neko-neko kan,"ucap Natasya memastikan. Sembari kembali ku tatap bosan Nacita yang tak kunjung mendapat baju. Entah berapa jam lagi gadis itu akan memilih baju.

"Nggak jeng. Cocok dengan anakmu pokok nya,"ucapnya pandai sekali marketingnya. "Bun. Aku mau yang ini aja. Ken kamu bener itu aja,"tanya Nacita menatapku heran. "Perlu berbeda?,"tanyaku singkat. "Salah nanya orang kan. Tapi bener sih Ken. Kamu pakai apa saja cantik, kalau aku harus cari yang pas body. Ken ayo lihat aksesori,"ucap Nacita menarik ku mendekati berbagai benda yang terlihat  sangat tidak berguna.

"Eh Ken kamu tau tadi Kak Alvin baik banget loh. Masa dia mau kasih nomernya tanpa ku minta dong,"ucap Nacita begitu hebohnya. Dasar pria genit. Sudah tua tidak mau mengingat usia, masih saja mendekati mahasiswi nya. Memalukan. "Ken,"panggil Nacita membuyarkan lamunan yang sempat tercipta. "Kenapa kamu tertarik dengannya Cit?,"tanyaku heran. Apa yang menarik dari pria tua, genit sepertinya.

"Dia itu baik tau. Ganteng, pintar lagi. Siapa coba yang ngga suka,"ucap Nacita sepertinya sudah terkena virus dari pria aneh itu. "Bahas apa ini kok asyik banget kedengerannya?,"tanya Natasya. "Hanya Nacita dan dosen pembimbing Bun,"ucapku. "Nacita ada hubungan apa nih sama dosen pembimbingnya?,"tanya Natasya. "Nggak ada Bun. Kencana kali,"ucap Nacita malah menunjukku.

"Kalau Kencana Bunda ngga percaya Cit. Kencana belajar terus ngga kepikiran sampai sana. Bunda tunggu di mobil kalau gitu ya,"ucap Natasya. Sementara gadis di sebelahku masih saja bingung. Padahal semua itu sama saja bentuknya. Apa sulitnya tinggal mengambil saja? Dasar perempuan.

-&-

Natasya sedari tadi tak hentinya mengatakan kalimat yang sama. Seolah tidak ada kalimat lain yang bisa diungkapkan lagi selain cantiknya anak Bunda. Sementara Nacita tak hentinya membuat update di sosial medianya menyertakan diriku. "Oiya dong Pak,"ucap suara bariton khas itu membuatku menoleh melihat Angga berjalan mendekat.

"Nah ini putri kami. Nacita, Kencana,"ucap Angga tampak mengenalkan kami pada beberapa wajah disana. "Mbak Nata setiap hari makin cantik aja. Menolak tua,"ucap salah seorang perempuan paruh baya. Obrolan basa-basi macam apa itu? Terlalu membosankan terdengar di telinga. Bahkan rasanya bukanlagi membosankan tapi memuakkan. "Halo,"sapa seorang pria bertubuh atletis membuatku menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan.

"Kencana,"ucapku enggan menyentuh tangannya yang terulur. "Danton sepertinya saya ngga sanggup kalau yang dingin. Danton yang ini saja ya,"ucap pria di sebelahnya berlalu menuju Nacita. "Saya Adhikara,"ucapnya duduk di depan ku. "Aku sudah tau jadi tidak perlu di ulangi,"ucapku. "Maaf?,"tanya Adhikara tampak bingung. "Sebelum kemari kamu sudah tau nama ku kan,"ucapku.

"Iya. Saat ini masih berkuliah?,"tanya Adhikara membuatku menghela nafas sebal. "Apa hanya itu yang kalimat yang ingin kau tanyakan? Kenapa tidak secara langsung apa yang ingin kamu ketahui yang belum kamu ketahui sebelumnya dariku,"ucapku membuatnya mengatupkan bibir rapat-rapat. "Baik-baik. Setelah mengetahui biografi saya, apa Anda berkenan melanjutkan niat baik kedua orangtua?,"tanya Adhikara.

"Jangan gunakan kata Anda. Terlalu enggan mendapat banyak koreksi dari orangtua. Tujuan pertemuan ini saling mengenal. Nama ku Kencana. Terserah mau memanggil ku seperti apa,"ucapku mengaduk pelan milk shake di depan mata ku. "Baik. Jadi Kencana, apa kamu mau melanjutkan niat baik kedua orang tua?"tanya Adhikara membuatku menghela nafas kasar.

"Apa aku punya pilihan lain? Hidupku hanya untuk dua orang disana yang banyak membawa arti. Maka jangan pernah tanyakan hal membodohkan seperti itu. Jika diriku enggan tentu saja. Tapi aku bukan manusia tidak tau diri,"ucapku terus terang membuatnya mengangguk mengiyakan. "Saya anggap setuju berarti. Kamu tau kan pekerjaan saya membuat banyak syarat sebelum pernikahan.

Kapan sekiranya kamu siap menikah?,"tanya Adhikara membuatku menghentikan tangan yang tengah mengaduk milk shake. "Aku enggan menikah apalagi usia kita tidak cukup  matang untuk menikah. Jadi kamu cukup tau maksudnya kan,"ucapku. "Baik. Setelah menikah jika saya tinggal di asrama apa kamu keberatan?,"tanya Adhikara. Jauh sekali pikirannya. Sedangkan diriku akan mati setelah wisuda tentu saja tidak akan ada cerita Kencana menikah.

"Pikiran Anda terlalu jauh. Tapi aku bukan orang pemilih. Dimanapun tinggal tidak ada bedanya,"ucapku. "Yang terakhir. Boleh bertukar nomor?,"tanya Adhikara membuatku mengambil ponsel dari dalam tas. "Lihat sendiri. Aku juga lupa berapa nomor ku,"ucapku menyodorkan ponsel ku. "Kamu serius Ken?,"tanya Adhikara. "Aku tidak pernah membuka ponsel. Dia hanya benda persegi empat tanpa makna.

Kecuali ketika kedua orangtua menghubungi ku,"ucapku. "Gadis unik,"ucap Adhikara terkekeh membuat kedua keningku bertaut. "Gila bukan unik. Aku terlalu gila bukan terlalu unik,"ucapku mengoreksi. Gadis mana lagi yang akan selalu berencana bunuh diri dalam setiap kesempatan. Siapa lagi kalau bukan diriku. Naasnya selalu gagal karena ada yang melihat aksi ku.

"Seharusnya aku perlu bertanya padamu. Apa kau tau masa lalu kelam diriku?,"tanyaku. "Tidak perlu. Semua orang punya masa lalu. Itu hanya akan jadi cermin. Masa lalu mu itu adalah bagian pendewasaan,"ucap Adhikara. Dewasa dengan punya pikiran selalu ingin bunuh diri? Apa itu makna kata dewasa yang dia maksud?

"Ken sepertinya ada yang menghubungi mu,"ucap Adhikara membuatku melirik panggilan masuk dari nomor berderet tak dikenal. Pun diriku juga tidak ingin tau. "Apa tidak lebih baik diangkat saja? Gimana kalau ternyata dosenmu. Mengingat sepertinya hanya orangtuamu dan saudarimu saja yang tersimpan di sana kontaknya,"tanya Adhikara membuatku menekan tombol hijau enggan mendengar ceramah.

"Halo. Siapa?,"

"Halo Dek. Untuk konsultasi bisa besok ya. Terkait Bab 2 ada yang perlu diperbaiki. Selebihnya sudah baik,"

"Baik besok saya kesana,"ucapku segera mematikan panggilan. "Dosen pembimbing tugas akhir,"ucapku kembali menyimpan ponsel. "Tidak kamu simpan?,"tanya Adhikara. "Terlanjur mati ponselnya,"ucap ku enggan lagi membuka ponsel. "Bisa kita percepat saja? Ingat tujuan pertemuan ini hanya mengenal bukan langsung menikah,"titahku membuatnya mengangguk paham sembari beranjak mendekati para orangtua.

"Saya Kencana,"ucapku mengenalkan diri tanpa diminta. "Ya ampun cantiknya sayang,"ucap seorang wanita paruh baya mengusap tanganku. "Terimakasih,"ucapku. "Mbak Novita kalau Kencana agak beda dengan Nacita. Kencana lebih awet diemnya dan lebih tenang. Jadi memang karakternya agak dingin,"ucap Natasya. "Oh ngga papa. Malah bagus berarti semakin spesial. Panggilnya Mama aja ya sayang. Kalau Ayahnya Adhikara Rama,"ucap Novita.

"Iya Ma,"ucapku tidak sesulit beberapa orang pada umumnya. "Ma Adhikara sama Kencana mau berkenalan semakin dekat dulu. Nanti ketika sama-sama siap bisa saling menghadap,"ucap Adhikara membuat beberapa wajah tampak mengembang. "Oalah iya ngga papa. Saling kenalan dulu satu sama lain,"ucap Angga begitu bahagia. Padahal tinggal bilang iya sesusah itukah Nacita?

"Kalian sudah tukeran nomor?,"tanya Muria. "Aduh Pak Muria. Anak muda zaman sekarang kalau mau kenalan langsung saja. Ngga perlu tukeran kayak zaman dulu,"ucap Natasya. "Iya loh sekarang sudah canggih,"ucap Novita memulai nostalgia di antara mereka. Apa bagusnya mengulang sesuatu yang sudah akan usai?

Bab terkait

  • Evanescent   Bab 4

    "Ken kamu tau Pramudhita orangnya loyal banget tau. Masa dia bilang kan dulu dia pernah sekali punya pacar tapi habis itu mereka putus karena ceweknya selingkuh. Se loyal itu coba,"ucap Nacita begitu bersemangat bercerita."Apa perlu bertanya sampai sejauh itu?,"tanyaku mencuci beras untuk ku masak esok hari. "Hmn gimana ya jawabnya Ken. Kamu gimana sama Adhikara?,"tanya Nacita tampak begitu penasaran. "Apa susahnya tinggal mengatakan iya? Sudahlah Cit sepertinya malam ini aku akan tidur lebih cepat. Besok harus ke kampus,"ucapku usai menaruh beras ke rice cooker."Eh ngapain kamu ke kampus besok? Bukannya kita mau ke pantai?,"tanya Nacita. "Dosen pembimbing ku meminta menemui besok untuk bimbingan,"ucapku. "Hah cepatnya. Aku malah belum ada di respon,"ucap Nacita. "Entahlah,"ucapku sembari berlalu ke kamar. "Okelah,"ucap Nacita terdengar berlalu menuju kamarnya. Sementara itu sedari tadi ponsel ku tak henti menyala pertanda notifika

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Evanescent   Bab 5

    Brugh"APA KAU SUDAH GILA?? KAU MAU MATI HANYA KARENA TUGAS AKHIR? APA SEMUDAH ITU KAU TIDAK BISA??,"teriakan memenuhi rongga telinga ku begitu hantaman kerikil menyapu punggung ku. "IYA AKU GILA. KAU TIDAK PERNAH TAU APA YANG KU RASAKAN. ENYAHLAH,"hardikku kembali mendekati rel kereta api."Cukup. Kamu sepertinya hanya lelah. Mari berpikir jernih,"ucapnya mendekapku. "Enyah. Aku tak sudi berdekatan dengan para pria brengsek,"tukasku terus berusaha meronta dari dekapannya. "Kau apa tidak ada pikiran lain selain bunuh diri?,"tanyanya begitu kereta sudah berlalu menjauh dari pandangan. "Jangan pernah ikut campur apa yang ada dalam hidup ku,"ucapku mengenyahkan diri dari dekapannya."Kenapa tidak bisa? Aku dosen pembimbing mu yang bertanggung jawab apapun yang terjadi padamu. Apa kau tak berpikir bagaimana perasaan orangtuamu?,"tanya Alvin membuatku menatapnya lurus. "Kamu hanya akan jadi dosen pembimbing jika aku ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Evanescent   Bab 6

    Dering nada ponsel yang kunjung berhenti mengganggu aktivitas Kencana. Tidak hanya sekali Alvin menghubunginya dalam sehari hanya untuk konsultasi. Sementara dirinya saja masih bersiap. "Siapa Ken?,"tanya Angga membuat Kencana mendongak sejenak. "Dosen pembimbing Kencana Yah,"ucap Kencana tenang."Oh yang kemarin itu. Kenapa ngga di angkat Nak?,"tanya Angga heran. Bagaimana bisa ada yang sesantai itu padahal yang menghubungi dosen pembimbing. "Tadi Kencana sudah balas baik saya segera menghadap. Tapi masih saja tetap begitu,"ucap Kencana terdengar merasa risih membuat Angga terkekeh pelan mengusap bahu putri sulung nya."Coba di angkat dulu. Barangkali dosennya cemas,"ucap Angga memberikan ponselnya membuat Kencana mau tidak mau menekan tombol hijau panggilan. "Selamat pagi Pak,"ucap Kencana menghela nafas berulang membuat Angga hanya menggeleng pelan. "Hah? Tidak perlu Pak. Saya bisa berangkat sendiri dan Anda tidak perlu kemari,"ucap Ken

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Evanescent   Bab 7

    "Entah apa yang akan diminta pria itu setelah ini,"gerutuku berjalan menuju perpustakaan. Tapi tunggu. Mengapa aku mudah teralih hanya karena pria aneh itu? "Kencana sudah telat berapa jam kamu Dek?,"tanya Alvin menaruh hard file bab 3 yang telah di print dan dikoreksi tentunya. "Maaf Pak saya tadi ada urusan dengan Bu Leni lupa melapor,"ucapku membolak balik kertas."Jangan diulang lagi lain kali. Sudah sore dan saya harus segera pulang sebelum macet. Ayo pulang,"ucap Alvin membuatku mendongak menatapnya heran. "Saya pulang bersama Nacita saja Pak,"ucapku berjalan lebih cepat meninggalkannya. "Tidak harus bunuh diri lagi Kencana. Revisi untuk belajar bukan untuk dibawa mati,"ucap Alvin menyeret tas punggung ku ke arah parkiran."Tapi Pak saya ngga mau bunuh diri. Saya mau ke kost,"ucapku sebal. "Saya tidak percaya. Masuklah Kencana sebelum banyak orang,"ucap Alvin membukakan pintu mobil membuatku merengut sejenak sembari menghempaskan tub

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-03
  • Evanescent   Bab 8

    Natasya menarik bibirnya tersenyum putri sulungnya mengetahui kehadirannya. "Di kampus, apa ada yang menyakitimu Nak?,"tanya Natasya mengusap kepalaku lembut. Memangnya kapan Bu Leni pernah berbicara dengan nada yang baik? "Dosen ngga pernah salah Bun. Jadi sebanyak apapun kesalahannya tetap dihitung ngga salah. Lagipula yang dikatakan Ibu dosen Kencana benar.Itu sudah fakta jadi Kencana tidak perlu lagi menutupinya dan itu bukan masalah yang besar,"ucapku menenangkan membuatnya tersenyum lega. Pasti wanita ini sudah begitu cemas memikirkan bagaimana kondisi terkini ku. Semakin tidak tega rasanya melihat matanya berlinang air mata jika harus melihat kenyataan rencana buruk yang ku rencanakan setelah wisuda.Akh tidak Kencana. Jangan goyah lagi. Cukup sekali membebankan orang lain untuk diriku. Aku tidak mau lagu menjadi beban untuk banyak orang di kemudian hari. Bunyi ponsel yang bergetar tanpa sengaja membuat Natasya melirik pesan Alvin

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-08
  • Evanescent   Bab 9

    "Ken,""Kencana,""Oy Kencana,""Kenapa Cit?,"tanyaku memutar bola mata malas. "Loh kok pulangnya ngga mood sayang. Tadi ada masalah di jalan?,"tanya Natasya menarikku duduk di ruang tamu. "Bunda tau,"ucap Nacita tergelak puas menertawai kebodohan ku. "Kenapa ini kok ada yang kurang sreg?,"tanya Angga mendekat."Ayah tau. Ternyata selama ini Nacita sama Kencana itu beda dosen pembimbing. Dosen pembimbingnya Nacita itu memang masih muda dan belum mulai bimbingan,"ucap Nacita tergelak puas. Ingatan ku masih jelas terngiang saat Kavindra menarik senyum lebar mengetahui selama ini diriku salah orang.Flashback On "Jadi bapak itu Pak Alvin, dosen pembimbingnya Kencana ya,"tanya Adhikara. "Saya bukan Pak Alvin. Pak Alvin asisten dosen yang masih muda. Saya Kav

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-15
  • Evanescent   Bab 10

    "Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-22
  • Evanescent   Bab 11

    "Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-23

Bab terbaru

  • Evanescent   Bab 18

    Suasana lingkungan pagi ini tengah kondusif dengan beberapa pria melintas untuk menyapa Ayah. Sementara seorang pria berdiri membawa tas yang cukup ku kenal dengan baik. Seharusnya dia mengantarkan dengan jasa kirim layanan online. Tapi dia adalah Kavindra. Pria yang suka hidup repot dengan semua urusan. Hal kecil seperti itu akan semakin besar jika bertemu dengan dirinya. Membuat Ayah dan Bunda semakin berpikir tidak-tidak tentangnya. Dibandingkan dengan kekasih beberapa anak tetangga, dia yang paling sering berkunjung."Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculik mu pergi seminar. Belum lagi saat kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran.Selain suka repot, satu hal yang menyebalkan dari manusia termasuk pria itu depan ku adalah suka meminta maaf untuk kesalahan lawan bicara. Apa dia berusah

  • Evanescent   Bab 17

    "Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculikmu pergi seminar. Belum lagi malah kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran."Tidak perlu minta maaf Pak. Itu saya yang salah,"ucapku membuatnya terkekeh pelan."Dek,"panggil Adhikara."Saya pamit dulu,"ucap Kavindra berlalu membuatku berbalik menatap Adhikara.Pria itu seolah mengerti dengan maksud tatapan ku segera membuka mulut mengutarakan maksud kehadirannya."Obatnya belum diminum,"ucap Adhikara membuatku berjalan lemah memasuki rumah."Nanti saja. Ayah, dimana Bunda?,"tanyaku melihat Angga menyesap kopi menikmati hari libur."Bunda sama Nacita

  • Evanescent   Bab 16

    Dingin yang menusuk kulit membuatku mengeratkan jaket yang ku pakai menghalau dingin. Dengan kondisi luka berat seperti ini, sangat tidak menarik jika harus terkena angin."Biar hangat,"Sebuah cangkir tersodor dari Adhikara membuatku menarik senyum lebar. Sejak semalam dirinya tinggal di rumah sakit bersama Angga dan Natasya. Sebenarnya untuk apa juga tidak ku mengerti. "Kamu saja. Aku tidak haus,"ucapku sekedar formalitas. Adhikara bukan pria seperti Kavindra yang akan bertambah banyak bicara saat diriku diam.Akh ya kenapa harus dosen ku lagi sih? Untung saja Natasya memintanya pulang saja semalam. Jika tidak dia akan mengacau sepanjang malam dengan ocehan tidak masuk akalnya. "Astaga. Kencana kamu pulang dengan Nacita tidak apa-apa kan? Saya di panggil ke hanggar sekarang,"ucap Adhikara begitu panik. Seperti anggota Angga yang selalu bergegas setiap kali ada panggilan."Pergilah,"uca

  • Evanescent   Bab 15

    Author POV Memasuki dunia sekolah, drama dan babak baru kehidupan kembali bergulir. Nadira memasukkan ku ke sekolah berasrama atas permintaan Dimas. Pendidikan yang terbaik sekalipun jika anak memiliki masalah dirumahnya akan tetap membawa pengaruh. Meskipun hanya setahun tetap saja begitu terasa berat.Harus berkomunikasi dengan banyak orang dan kondisinya yang kadang menjadi lebih buruk. Karakter Kencana yang dingin membuat putri komandan batalyon dengan pembawaan ceria tertarik. Jika Kencana di jauhi temannya

  • Evanescent   Bab 14

    Author POV Byurr Byurr Dua riak gelombang di laguna membuktikan ada dua benda yang jatuh menimpanya. Kencana yang merasakan beberapa tulangnya terasa terkena dasar laguna berupa bagian hanya terdiam saja. Dirinya memejamkan mata menikmati sisa penyiksaan kehidupan dunia sebelum ajal menemuinya. Darah segar secara spontan langsung menguar membuat air menjadi merah.Kencana yang merentangkan tangan begitu tenang menyerahkan diri pada kematian terhenyak begitu merasakan tubuhnya di rengkuh. Sontak kedua matanya terbuka menatap seorang pria yang begitu payah dalam berenang berusaha menyelamatkan nya. Ck kalau dibiarkan dia akan mati. Melupakan keinginan untuk bunuh diri, Kencana menarik pria yang merengkuh nya menuju tepi.Kencana sudah berusaha menendang punggung Kavindra berharap pria itu bisa mengapung. Namun nyatanya dirinya dengan sengaja mem

  • Evanescent   Bab 13

    Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k

  • Evanescent   Bab 12

    "Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama

  • Evanescent   Bab 11

    "Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.

  • Evanescent   Bab 10

    "Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,

DMCA.com Protection Status