"Mau mati kok takut?,"
Langkah tegas ku mendekati gadis pirang yang ragu untuk melompat di tepi dermaga. "Ken kamu ngapain ke sini?,"tanya Nacita tampak terkejut dengan kehadiran ku. "Mau mati?,"tanyaku berdiri menatap ombak yang menghempas kuat dermaga.
Miris. Beberapa saat lalu mata ku di suguhkan romansa masa muda. Hanya dalam sekejap hanya wajah putus asa yang tersisa. "Kencana kamu ngga akan pernah tau. Ilham itu orang paling ku sayang dan ku percaya. Kamu ngga tau kan gimana peduli nya dia selama ini? Tiba-tiba dia berubah begitu aja,"ucap Nacita bercucuran air mata.
"Aku belum pernah mencoba bunuh diri di sini. Kemungkinan tengkorak mu bisa langsung retak. Tapi kalo kamu terjun secara vertikal, mungkin tulang mu lebih dulu patah terkena batu pemecah ombak. Kulit mu perlahan tergores batu karang. Darah yang tercecer dengan bagian tubuh terpencar ditambah air laut yang asin.
Kemungkinan kamu mati sangat kecil, apalagi banyak orang yang bisa saja melintas. Yang ada kamu hanya menahan pedih saja. Atau bisa juga kalo misalnya ada buaya air asin melintas. Hmn aku tidak mau tersiksa dan kepastian mati yang terlalu banyak sih,"ucapku menyisir pelan rambut yang tertiup angin.
"Ih Ken kok kamu malah dukung aku bunuh diri sih. Kamu juga kenapa ngga pukul aja Ilham atau apa gitu?,"tanya Nacita persis seperti anak kecil telat di jemput pulang. "Kamu tuh coba ngerti Ken. Ilham tuh selalu ada dalam kondisi apapun. Terus sekarang dia hilang gitu aja,"ucap Nacita mengusap wajahnya frustasi.
"Kamu sholat kan. Bukan setiap kamu sholat dan mengaji meminta pada Tuhan? Apa itu tidak cukup? Dia juga selalu ada kan,"ucapku terdengar religius padahal kaki ku saja hanya saat di rumah atau lebaran menginjak masjid. "Apa kau benar-benar bosan hidup? Lompat lah. Jika kau lekas tiada aku bisa dengan senang hati terjun,"ucapku melihat sapuan kencang ombak.
"Sudah cukup. Salah bertanya aku. Bisanya bertanya sama pakar uji coba bunuh diri. Nggak nggak. Aku nggak mau mati muda dan menyakitkan begitu,"ucap Nacita membungkam bibir ku. Gadis ini hanya terguncang saja bukan sepenuhnya ingin melompat. Tapi hanya karena percintaan terlalu mahal untuk melompat.
"Eh masih di sini ternyata,"Suara sumbang tak asing menyapu indra pendengaran ku. Daripada suaranya lebih merdu suara burung nasar. Beberapa saat lalu baru melepas satu kekasih, dirinya sudah membawa kekasih baru. Apa selain brengsek dia buta?
Wanita dengan rambut pirang 3 warna, baju nyaris semua terbuka, alis yang tinggi sebelah, blush on kelewat merah, warna bibir merah mengkil
Cukup. Aku tidak mau body shaming dan memberatkan otak ku. Sungguh ini pasangan apa pantas di anggap sebagai manusia? "Oh ini mantan yang kamu bilang ngga bisa ngapa ngapain terus punya temen cewek gila?,"tanya wanita aneh itu menunjuk Nacita. "Oh ternyata begini yang kamu maksud Kak? Lebih cantik ya dari aku?,"cibir Nacita. Ck haruskah dia meladeni.
Seperti ini terdengar seperti Ilham bak pria idaman semua wanita. Nyatanya jauh lebih rendah dari bangkai. "Vodka nya sudah habis berapa botol? Kamar Melati losmen sudah penuh ya? Jadi gimana? Striptis nya laku ya? Apa perbincangan romantis seperti itu?,"tanyaku mempersingkat waktu.
Sepertinya sekarang pun, Natasha makin lemas begitu tau putri tunggal nya tidak kunjung pulang. "Vodka? Striptis? Losmen?,"tanya Nacita membungkam bibir nya menatap kedua makhluk ababil tak tau diri. Gadis pirang itu terlalu polos dan muda dalam berpikir.
"Iya kenapa? Dia lebih paham daripada kamu. Baru di sentuh aja sudah deg degan apalagi yang lain?,"ucap Ilham membuat sebuah tangan melayang bebas. "Kamu ngga jijik dengan sampah Cit?,"tanyaku berlalu dengan santai tanpa peduli. "Oh iya lupa Ken. Gimana ya jadi perempuan berkelas ngga sebanding dengan mu ra han,"ucap Nacita terdengar melangkah mengikuti langkah jenjang ku.
"APAAN DASAR CABE CABEAN. NGGA WARAS!?,"
Tanpa berusaha membalas, sudut bibir ku sedikit terangkat. "Jeruk kok bilang jeruk,"ucap Nacita sebal tanpa ada lagi air mata yang menitik. "Capek salah jodoh terus?,"tanyaku di anggukinya pasrah. Terkadang aku juga bingung dengan gadis pirang itu. Apa motivasi gadis itu selama pendidikan hanya untuk mencari kekasih saja?
Dari SMP sampai kuliah selalu saja ada kekasih yang menemani nya. Dan semua itu selalu berakhir dengan toxic relationship. "Kapan coba ada orang yang tepat buat ku?,"tanya Nacita membuat sebuah ide cemerlang terbit. "Bunda mau menawarkan lamaran bagus dari rekan Ayah,"ucapku.
"Lagi-lagi. Kamu aja deh yang temui,"ucap Nacita. "Daripada salah pilih?,"tanyaku. "Akh tapi aku bosan Ken. Kamu ngga tau betapa bosannya hidup di dunia yang sama,"ucap Nacita sebal. "Daripada bosan hidup?,"ucapku ringan.
-^-
Bunyi teko panas yang tengah memanasi air tidak kalah ribut dengan suara perbincangan di ruang tamu. "Kan Bunda sudah bilang dia bukan pria baik Cit,"ucap Natasya memberikan gambaran. Sementara gadis pirang itu hanya menunduk dalam.
"Iya Bun. Nacita nggak ulangi lagi kok,"ucap Nacita terdengar serius. Tunggu saja dua minggu kemudian pasti sudah ada lagi kekasih barunya. Sungguh anak itu. Apa sesusah itu hidup sendiri? "Mending ikuti pilihan Bunda aja deh. Ada perwira muda nggak kalah ganteng kok daripada masyarakat sipil.
Orangnya sudah dari sejak kecil Bunda sama Ayah kenal. Apalagi keluarga nya Bunda kenal,"ucap Natasya memulai lagi strategi marketing nya. "Bun. Kencana aja. Kan Kencana lebih tua dari Nacita Bun. Kasihan ku lihat Kencana selalu sendiri tanpa pasangan kemana mana,"ucap Nacita sangat di luar logika.
"Tidak perlu,"ucapku. "Apanya yang ngga ada. Kencana aja Bun. Sekali kali. Masa Nacita terus,"ucap Nacita merengek. "Ah iya. Kencana juga sepertinya cocok kalo dengan Adhikara. Bagus bagus. Tapi Bunda punya dua calon dan dua duanya sudah cocok untuk kalian,"ucap Natasya.
"Sepertinya saya mau ke kamar mandi dulu Bun,"ucapku jelas tidak ada pilihan. Tapi sangat tidak mungkin wajah kecewa seorang wanita yang sudah sangat berjasa seperti Natasya tercipta karena ku. "Akh alasan aja Kencana ini Bun. Ehm request boleh nggak Bun? Jangan yang kaku coba? Yang keren gitu. Bukan kayak siap kan pasukan.
Bukan keren kalo itu mah. Malah jadi ilfeel,"ucap Nacita panjang lebar menahan lengan ku. "Bunda juga tau loh selera anak muda kayak kalian. Percaya sama Bunda ngga ngecewakan. Mau ya?,"tanya Natasya. "Aku ikut Kencana Bun. Kencana kan lebih tua,"ucap Nacita mengeratkan genggaman pada lengan ku.
"Iya Bun nanti Kencana datang,"ucap ku begitu menerima tatapan begitu penuh keyakinan dari Natasya. "Nah gitu dong. Bentar Bunda kabari dulu mereka ya,"ucap Natasya sumringah berlalu masuk. "Ken kamu serius?,"tanya Nacita. "Aku hanya punya kamu dan keluarga mu yang masih menganggap ku manusia. Apa bisa ku kecewa kan?
Apalagi seorang Ibu?,"tanyaku sembari berlalu keluar menghirup udara segar di teras. "Non, mau bakso?,"sapa pria bertubuh atletis. "Makasih,"ucapku menyandarkan kepala pada bahu kursi tunggu. "Non nggak jalan?,"tanya Arsen sembari menikmati makanan favorit nya. "Sudah,"ucapku. "Bukan jalan dari dalam ke luar kost loh ya. Tadi waktu jalan banyak yang wara wiri bawa pacar.
Mumpung malam minggu Non,"ucap Arsen. "Para hamba cinta Pak. Lagian harusnya saya yang bertanya. Bapak sudah mapan kenapa belum menikah? Kapan izin menikah?,"tanyaku. "Duh beda Non. Kalo saya menikah harus benar-benar cari yang memang siap di ajak berumah tangga. Bukan yang mau main-main,"ucap Arsen.
"Kenapa memangnya kalo main-main. Cari istri kan? Bukan asisten rumah tangga?,"tanyaku. "Iya istri. Bukan maksudnya saya suruh suruh. Yang bener-bener mau di ajak ke rumah di kenalkan dengan orang tua dan menerima memang saya bukan dari orang kaya,"ucap Arsen.
"Tapi banyak tuh yang datang ke rumah tiap libur hanya mengurus pengajuan nikah,"ucapku mengingat ingat. "Beda itu Non. Kebanyakan perwira dan mereka juga lebih mapan dari saya,"ucap Arsen. "Jangan jadikan harta dan materil sebagai standar. Yang ada rumah tangga mu di isi dengan suami yang sibuk bekerja.
Istri yang tak henti mengejar pekerjaan juga harus siap di rumah untuk suami dan buah hati. Juga anak yang terlantar akibat kurang kasih sayang keduanya. Pertengkaran akibat rasa lelah dari bekerja jadi makanan pokok buah hati mu. Aku hanya memberi saran. Jangan di ikuti karena kamu juga tau aku hanya berbicara,"ucapku.
Iya membicarakan apa yang pernah ku alami semasa kecil. Keluarga yang sangat berantakan padahal harta tak perlu di kira. "Ya ngga begitu lah Non. Saya malah lebih baik istri saya di rumah saja. Melakukan apa saja hobi nya. Tapi saya kagum dengan pemikiran Anda tentang kehidupan pernikahan Non,"ucap Arsen.
"Lupakan aku hanya melantur,"ucapku memalingkan wajah ku. "Non Kencana pasti ngga nyesel kalo sudah ketemu dengan Danton Adhikara,"ucap Arsen membuatku menghela nafas berat. "Cukup aku tidak mau mendengar apapun tentang hal berbau ke arah topik yang kamu bawa,"ucapku sebelum Arsen membuka bibir nya.
"Ya sudah Non. Begini saja mau dengar cerita saya habis tugas kemarin?,"tanya Arsen membuatku menaikkan sebelah alis ku. "Tidak perlu,"ucapku singkat. "Sudah malam. Selamat malam,"ucap ku melanjutkan kalimat ku yang tertunda sembari masuk ke dalam rumah. Apa pentingnya membahas kegiatan tugas nya?
"Ken kamu harus tanggung jawab pokoknya. Gimana nih cara kabur nya? Aku ngga mau Ken,"ucap Nacita merangsek ke atas ranjang. "Harus kabur?,"tanyaku bergabung. "Beda Ken. Aku tuh ngga cocok dengan orang yang terlalu kaku,"ucap Nacita masih saja beralasan."Tapi ngga brengsek seperti Ilham,"ucapku membuat bibirnya terkatup rapat.
Apa sesusah itu melupakan sosok pria brengsek yang bahkan tidak bisa dianggap sebagai pria? Belum saja Nacita menyanggah kembali kalimat yang ku ucapkan, bunyi ketukan halus dari balok kaya tipis di belakang ku.
"Kencana sini sayang. Bunda mau cerita sesuatu nih,"panggil Natasya lembut. Pasti tentang kisah pria yang baik hati berkedok sesuatu. Apa se penting itu menemukan pasangan? Pria hanya akan begitu jika matanya belum terkena wajah wanita lain. Atau dirinya masih di mabuk cinta.
Ujungnya yang disalahkan pihak perempuan. Seperti tidak bisa memenuhi keinginan dan kebutuhan. Apa harus jadi bodoh saat menjadi istri? Pria dewasa kan yang di nikahi. Bukan bayi yang harus di urus. Bayi saja masih tau siapa yang mengurus. Beberapa tahun pasti sudah tercium bau bau pertengkaran.
"Lihat. Ini yang namanya Adhikara. Gimana ganteng nggak pilihan Bunda,"ucap Natasya menunjukkan foto pria dengan seragam biru. "Itu calon yang mau dikenalkan ke Kencana Bun?,"tanya Nacita. "Iya dong,"ucap Natasya begitu bangga. "Akh mau juga yang begitu.
Yang mau Bunda kenalin ke Nacita bukan anak culun kan Bun,"ucap Nacita berubah 180 derajat dengan beberapa saat lalu. "Ya nggak lah. Gimana Kencana sayang. Suka dengan yang Bunda pilihkan? Atau ada yang mau kamu tanyakan? Nomor telfon nya mungkin,"ucap Natasya sangat bersemangat.
"Bun kalo ini mah Kencana juga mau,"ucap Nacita. "Gimana Nacita? Mau Bunda catat kan pertanyaan buat Adhikara?,"tanya Natasya. "Tidak perlu. Terimakasih Bun sudah banyak berjasa untuk saya,"ucapku menarik senyum kecil sebelum beranjak pergi. "Loh kenapa sayang? Ngga suka ya dengan pilihan Bunda?,"tanya Natasya ku gelengkan pelan.
"Tidak. Saya sangat menyukai. Hanya saja saya selalu membenci keberadaan makhluk jenis itu, yang terlalu mengganggu,"ucapku implisit enggan menyebutkan masa kelam ku dulu. "Eh sayang ngga boleh gitu. Kalau memang pilihan yang Bunda ceritakan belum mampu menggelitik hati mu, Bunda ngga keberatan kok sayang,"ucap Natasya menggenggam tangan ku erat.
"Kencana sebenarnya bukan bingung Bun. Cuma trauma dengan masa lalu nya aja. Iya kan Ken,"ucap Nacita ku gelengkan. "Bun. Dengan menikahkan saya dengan teman Bunda itu merepotkan dan yang ada saya malah menciptakan jarak karena tidak berusaha jadi menantu,"ucapku berniat negosiasi.
"Loh kalo memang nggak cocok ya nggak papa Ken. Udah ngga usah ingat yang dulu dulu ya. Sekarang terserah Kencana deh mau nya gimana,"ucap Natasya hanya ku balas senyuman tipis. Sangat tidak mungkin ku katakan, aku ingin mati. Bukan diri ku jadinya yang pergi meninggalkan dunia. Malah wanita baik hati di depan ku dengan riwayat stroke nya.
"Nanti Kencana datang untuk bertemu. Kencana susah memikirkan pertanyaan jika hanya melihat potret nya saja. Berbeda jika melihat ekspresi nya. Lebih tau yang mana kejujuran dengan kebohongan dari raut yang tercipta,"ucapku. "Kamu seriusan mau langsung ketemu aja Ken?,"bisik Nacita ku angguki pelan tanpa kalimat lain.
"Bagus. Bunda suka prinsipnya Kencana. Sebentar ya sayang coba Bunda tanya sama temen Bunda dulu kapan baiknya kalian bertemu secara langsung. Makasih ya sayang,"ucap Natasya meninggalkan kecupan hangat di kepala ku sebelum berlalu. Memancing ingatan lama tentang kecupan di tempat yang sama.
Hanya saja bedanya kecupan itu di tunjukkan untuk mengusir bukan untuk memberikan kasih sayang. Mirisnya hanya karena satu wanita lain, bahkan ungkapan anak perempuan cinta pertama ayahnya perlu ku ubah. Anak perempuan cinta pertama Ibunya.
Wanita yang hingga akhir hayatnya hanya bisa menahan sakit melihat rumah tangga nya terlepas begitu saja. Sungguh manusia tanpa belas kasih sama sekali. Tidak. Bukan hanya manusia, tapi juga takdir. Mengutuk masa muda ku menjadi kehancuran permanen.
Lorong jurusan yang masih senggang sangat menggambarkan kesibukan di setiap ruang. "Ken kamu mau siapa yang jadi dosen pembimbing mu?,"tanya Nacita membolak balik buku yang sangat terpaksa di baca. "Entah,"ucapku membenarkan letak kacamata yang membingkai wajah tirus ku."Entah lagi. Gimana kalo tanya sama Kak Alvin aja?,"tawar Nacita membuat ku mendongak. "Siapa lagi Alvin? Bukan kamu sudah setuju bertemu Pramudhita semalam?,"tanyaku. "Heish ngga semuanya tentang pacar Ken. Alvin itu loh asisten dosen yang ganteng tuh,"ucap Nacita tampak berbinar."Dan berakhir aku meminta nomor nya,"ucapku hafal dengan semua kelakuan gadis di sebelah ku. "Eh ya kali. Mending sama tentara aja deh. Kalo asisten dosen jatuh cintanya tentang buku. Atau kamu aja kah sama Kak Alvin,"ucap Nacita kian meracau tak karuan. "Hentikan,"ucapku memasuki dosen tanpa peduli siapapun yang ada di dalamnya maka dia yang akan menjadi dosen pembimbing ku.La
"Ken kamu tau Pramudhita orangnya loyal banget tau. Masa dia bilang kan dulu dia pernah sekali punya pacar tapi habis itu mereka putus karena ceweknya selingkuh. Se loyal itu coba,"ucap Nacita begitu bersemangat bercerita."Apa perlu bertanya sampai sejauh itu?,"tanyaku mencuci beras untuk ku masak esok hari. "Hmn gimana ya jawabnya Ken. Kamu gimana sama Adhikara?,"tanya Nacita tampak begitu penasaran. "Apa susahnya tinggal mengatakan iya? Sudahlah Cit sepertinya malam ini aku akan tidur lebih cepat. Besok harus ke kampus,"ucapku usai menaruh beras ke rice cooker."Eh ngapain kamu ke kampus besok? Bukannya kita mau ke pantai?,"tanya Nacita. "Dosen pembimbing ku meminta menemui besok untuk bimbingan,"ucapku. "Hah cepatnya. Aku malah belum ada di respon,"ucap Nacita. "Entahlah,"ucapku sembari berlalu ke kamar. "Okelah,"ucap Nacita terdengar berlalu menuju kamarnya. Sementara itu sedari tadi ponsel ku tak henti menyala pertanda notifika
Brugh"APA KAU SUDAH GILA?? KAU MAU MATI HANYA KARENA TUGAS AKHIR? APA SEMUDAH ITU KAU TIDAK BISA??,"teriakan memenuhi rongga telinga ku begitu hantaman kerikil menyapu punggung ku. "IYA AKU GILA. KAU TIDAK PERNAH TAU APA YANG KU RASAKAN. ENYAHLAH,"hardikku kembali mendekati rel kereta api."Cukup. Kamu sepertinya hanya lelah. Mari berpikir jernih,"ucapnya mendekapku. "Enyah. Aku tak sudi berdekatan dengan para pria brengsek,"tukasku terus berusaha meronta dari dekapannya. "Kau apa tidak ada pikiran lain selain bunuh diri?,"tanyanya begitu kereta sudah berlalu menjauh dari pandangan. "Jangan pernah ikut campur apa yang ada dalam hidup ku,"ucapku mengenyahkan diri dari dekapannya."Kenapa tidak bisa? Aku dosen pembimbing mu yang bertanggung jawab apapun yang terjadi padamu. Apa kau tak berpikir bagaimana perasaan orangtuamu?,"tanya Alvin membuatku menatapnya lurus. "Kamu hanya akan jadi dosen pembimbing jika aku ma
Dering nada ponsel yang kunjung berhenti mengganggu aktivitas Kencana. Tidak hanya sekali Alvin menghubunginya dalam sehari hanya untuk konsultasi. Sementara dirinya saja masih bersiap. "Siapa Ken?,"tanya Angga membuat Kencana mendongak sejenak. "Dosen pembimbing Kencana Yah,"ucap Kencana tenang."Oh yang kemarin itu. Kenapa ngga di angkat Nak?,"tanya Angga heran. Bagaimana bisa ada yang sesantai itu padahal yang menghubungi dosen pembimbing. "Tadi Kencana sudah balas baik saya segera menghadap. Tapi masih saja tetap begitu,"ucap Kencana terdengar merasa risih membuat Angga terkekeh pelan mengusap bahu putri sulung nya."Coba di angkat dulu. Barangkali dosennya cemas,"ucap Angga memberikan ponselnya membuat Kencana mau tidak mau menekan tombol hijau panggilan. "Selamat pagi Pak,"ucap Kencana menghela nafas berulang membuat Angga hanya menggeleng pelan. "Hah? Tidak perlu Pak. Saya bisa berangkat sendiri dan Anda tidak perlu kemari,"ucap Ken
"Entah apa yang akan diminta pria itu setelah ini,"gerutuku berjalan menuju perpustakaan. Tapi tunggu. Mengapa aku mudah teralih hanya karena pria aneh itu? "Kencana sudah telat berapa jam kamu Dek?,"tanya Alvin menaruh hard file bab 3 yang telah di print dan dikoreksi tentunya. "Maaf Pak saya tadi ada urusan dengan Bu Leni lupa melapor,"ucapku membolak balik kertas."Jangan diulang lagi lain kali. Sudah sore dan saya harus segera pulang sebelum macet. Ayo pulang,"ucap Alvin membuatku mendongak menatapnya heran. "Saya pulang bersama Nacita saja Pak,"ucapku berjalan lebih cepat meninggalkannya. "Tidak harus bunuh diri lagi Kencana. Revisi untuk belajar bukan untuk dibawa mati,"ucap Alvin menyeret tas punggung ku ke arah parkiran."Tapi Pak saya ngga mau bunuh diri. Saya mau ke kost,"ucapku sebal. "Saya tidak percaya. Masuklah Kencana sebelum banyak orang,"ucap Alvin membukakan pintu mobil membuatku merengut sejenak sembari menghempaskan tub
Natasya menarik bibirnya tersenyum putri sulungnya mengetahui kehadirannya. "Di kampus, apa ada yang menyakitimu Nak?,"tanya Natasya mengusap kepalaku lembut. Memangnya kapan Bu Leni pernah berbicara dengan nada yang baik? "Dosen ngga pernah salah Bun. Jadi sebanyak apapun kesalahannya tetap dihitung ngga salah. Lagipula yang dikatakan Ibu dosen Kencana benar.Itu sudah fakta jadi Kencana tidak perlu lagi menutupinya dan itu bukan masalah yang besar,"ucapku menenangkan membuatnya tersenyum lega. Pasti wanita ini sudah begitu cemas memikirkan bagaimana kondisi terkini ku. Semakin tidak tega rasanya melihat matanya berlinang air mata jika harus melihat kenyataan rencana buruk yang ku rencanakan setelah wisuda.Akh tidak Kencana. Jangan goyah lagi. Cukup sekali membebankan orang lain untuk diriku. Aku tidak mau lagu menjadi beban untuk banyak orang di kemudian hari. Bunyi ponsel yang bergetar tanpa sengaja membuat Natasya melirik pesan Alvin
"Ken,""Kencana,""Oy Kencana,""Kenapa Cit?,"tanyaku memutar bola mata malas. "Loh kok pulangnya ngga mood sayang. Tadi ada masalah di jalan?,"tanya Natasya menarikku duduk di ruang tamu. "Bunda tau,"ucap Nacita tergelak puas menertawai kebodohan ku. "Kenapa ini kok ada yang kurang sreg?,"tanya Angga mendekat."Ayah tau. Ternyata selama ini Nacita sama Kencana itu beda dosen pembimbing. Dosen pembimbingnya Nacita itu memang masih muda dan belum mulai bimbingan,"ucap Nacita tergelak puas. Ingatan ku masih jelas terngiang saat Kavindra menarik senyum lebar mengetahui selama ini diriku salah orang.Flashback On "Jadi bapak itu Pak Alvin, dosen pembimbingnya Kencana ya,"tanya Adhikara. "Saya bukan Pak Alvin. Pak Alvin asisten dosen yang masih muda. Saya Kav
"Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,
Suasana lingkungan pagi ini tengah kondusif dengan beberapa pria melintas untuk menyapa Ayah. Sementara seorang pria berdiri membawa tas yang cukup ku kenal dengan baik. Seharusnya dia mengantarkan dengan jasa kirim layanan online. Tapi dia adalah Kavindra. Pria yang suka hidup repot dengan semua urusan. Hal kecil seperti itu akan semakin besar jika bertemu dengan dirinya. Membuat Ayah dan Bunda semakin berpikir tidak-tidak tentangnya. Dibandingkan dengan kekasih beberapa anak tetangga, dia yang paling sering berkunjung."Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculik mu pergi seminar. Belum lagi saat kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran.Selain suka repot, satu hal yang menyebalkan dari manusia termasuk pria itu depan ku adalah suka meminta maaf untuk kesalahan lawan bicara. Apa dia berusah
"Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculikmu pergi seminar. Belum lagi malah kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran."Tidak perlu minta maaf Pak. Itu saya yang salah,"ucapku membuatnya terkekeh pelan."Dek,"panggil Adhikara."Saya pamit dulu,"ucap Kavindra berlalu membuatku berbalik menatap Adhikara.Pria itu seolah mengerti dengan maksud tatapan ku segera membuka mulut mengutarakan maksud kehadirannya."Obatnya belum diminum,"ucap Adhikara membuatku berjalan lemah memasuki rumah."Nanti saja. Ayah, dimana Bunda?,"tanyaku melihat Angga menyesap kopi menikmati hari libur."Bunda sama Nacita
Dingin yang menusuk kulit membuatku mengeratkan jaket yang ku pakai menghalau dingin. Dengan kondisi luka berat seperti ini, sangat tidak menarik jika harus terkena angin."Biar hangat,"Sebuah cangkir tersodor dari Adhikara membuatku menarik senyum lebar. Sejak semalam dirinya tinggal di rumah sakit bersama Angga dan Natasya. Sebenarnya untuk apa juga tidak ku mengerti. "Kamu saja. Aku tidak haus,"ucapku sekedar formalitas. Adhikara bukan pria seperti Kavindra yang akan bertambah banyak bicara saat diriku diam.Akh ya kenapa harus dosen ku lagi sih? Untung saja Natasya memintanya pulang saja semalam. Jika tidak dia akan mengacau sepanjang malam dengan ocehan tidak masuk akalnya. "Astaga. Kencana kamu pulang dengan Nacita tidak apa-apa kan? Saya di panggil ke hanggar sekarang,"ucap Adhikara begitu panik. Seperti anggota Angga yang selalu bergegas setiap kali ada panggilan."Pergilah,"uca
Author POV Memasuki dunia sekolah, drama dan babak baru kehidupan kembali bergulir. Nadira memasukkan ku ke sekolah berasrama atas permintaan Dimas. Pendidikan yang terbaik sekalipun jika anak memiliki masalah dirumahnya akan tetap membawa pengaruh. Meskipun hanya setahun tetap saja begitu terasa berat.Harus berkomunikasi dengan banyak orang dan kondisinya yang kadang menjadi lebih buruk. Karakter Kencana yang dingin membuat putri komandan batalyon dengan pembawaan ceria tertarik. Jika Kencana di jauhi temannya
Author POV Byurr Byurr Dua riak gelombang di laguna membuktikan ada dua benda yang jatuh menimpanya. Kencana yang merasakan beberapa tulangnya terasa terkena dasar laguna berupa bagian hanya terdiam saja. Dirinya memejamkan mata menikmati sisa penyiksaan kehidupan dunia sebelum ajal menemuinya. Darah segar secara spontan langsung menguar membuat air menjadi merah.Kencana yang merentangkan tangan begitu tenang menyerahkan diri pada kematian terhenyak begitu merasakan tubuhnya di rengkuh. Sontak kedua matanya terbuka menatap seorang pria yang begitu payah dalam berenang berusaha menyelamatkan nya. Ck kalau dibiarkan dia akan mati. Melupakan keinginan untuk bunuh diri, Kencana menarik pria yang merengkuh nya menuju tepi.Kencana sudah berusaha menendang punggung Kavindra berharap pria itu bisa mengapung. Namun nyatanya dirinya dengan sengaja mem
Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k
"Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama
"Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.
"Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,