Dering nada ponsel yang kunjung berhenti mengganggu aktivitas Kencana. Tidak hanya sekali Alvin menghubunginya dalam sehari hanya untuk konsultasi. Sementara dirinya saja masih bersiap. "Siapa Ken?,"tanya Angga membuat Kencana mendongak sejenak. "Dosen pembimbing Kencana Yah,"ucap Kencana tenang.
"Oh yang kemarin itu. Kenapa ngga di angkat Nak?,"tanya Angga heran. Bagaimana bisa ada yang sesantai itu padahal yang menghubungi dosen pembimbing. "Tadi Kencana sudah balas baik saya segera menghadap. Tapi masih saja tetap begitu,"ucap Kencana terdengar merasa risih membuat Angga terkekeh pelan mengusap bahu putri sulung nya.
"Coba di angkat dulu. Barangkali dosennya cemas,"ucap Angga memberikan ponselnya membuat Kencana mau tidak mau menekan tombol hijau panggilan. "Selamat pagi Pak,"ucap Kencana menghela nafas berulang membuat Angga hanya menggeleng pelan. "Hah? Tidak perlu Pak. Saya bisa berangkat sendiri dan Anda tidak perlu kemari,"ucap Kencana terlonjak.
"Pak saya bis ck kenapa seenaknya sendiri sih,"decak Kencana sebal. "Kenapa kok sebel gitu Ken? Ada masalah?,"tanya Natasya menyuapkan kue sus yang baru jadi. "Nggak ada Bun hanya masalah kecil,"ucap Kencana meredam kekesalannya. Sementara Angga tampak tersenyum puas dengan rencananya yang telah dibuat. Dirinya cukup tau, dosen pembimbing Kencana memiliki karakter yang jauh lebih keras kepala dibanding Kencana.
"Sebentar Bun, Kencana antar ke koperasi dulu baru kembali lagi,"ucap Kencana beranjak. "Eh ngga usah Ken,"ucap Natasya mencegah namun bukan Kencana jika tidak keras kepala. "Sudah Bun dia lagi semangat tuh,"ucap Angga menahan istrinya yang tampak cerah. "Kenapa tadi dia kok sebel gitu Yah?,"tanya Natasya heran. "Ayah minta dosen pembimbingnya mengawasi Kencana. Ayah pikir ya mengawasi seperti biasa mahasiswa dan dosen.
Nyatanya sampai dia meminta izin Ayah mau jemput pulang pergi memastikan dia pulang ke rumah ngga kemana-mana,"ucap Angga terkekeh puas. "Tapi kenapa harus dosen pembimbingnya Yah?,"tanya Natasya membuat Angga menarik istrinya duduk memberinya pengertian. "Sifat dosen pembimbingnya yang sama keras kepala sepertinya itu cukup membuatnya harus patuh Bun.
Dan kalau dosen pembimbingnya tidak akan menimbulkan masalah terkait dengan Adhikara di kemudian hari,"ucap Angga membuat Natasya mengangguk patuh. Lain halnya dengan Kencana yang sengaja mengulur waktu ke koperasi sembari berbincang sedikit sementara kemungkinan Alvin merasa terlambat dan pulang lagi. "Eh Ken. Nunggu siapa?,"tanya pengurus koperasi tampak heran melihat anak komandannya hanya duduk diam.
Iya. Anak komandannya. Karena Angga sengaja menutup fakta Kencana anak angkat dari publik. "Ngga papa cil. Oiya cil kenapa atuh kalau malam ngga buka?,"ucap Kencana hanya basa basi. "Eh buka kok Ken. Jam berapa Kencana ke sininya. Kalau jam 10 lewat ya sudah tutup atuh,"ucap pengurus koperasi membuat gadis itu menutup rapat bibirnya. Sungguh tidak pandai berbasa basi.
Meninggalkan koperasi dengan rasa sebal begitu mencekat, Kencana mau tidak mau harus beranjak pulang. "Selamat pagi Batari Kencana,"sapa Alvin terdengar seperti playboy saja. "Pagi Pak. Maaf saya biasa dipanggil Kencana tidak sepanjang itu. Sepertinya akan terlambat jika harus masuk jadi lebih baik tidak usah saja tanpa mengurangi hormat,"ucap Kencana sebal namun masih mengedepankan sopan santun.
"Ehm tentu saja saya tunggu disini,"ucap Alvin hanya mengangguk. Mengingat memang dirinya dosen pembimbingnya tapi lokasinya menunjukkan dirinya tamu pemimpin wilayah dimana kakinya berpijak. "Pak, Non Kencana sengaja aja biar bapak nunggu diluar. Mari masuk nanti saya yang dimarahin komandan,"ucap Arsen menyapa. "Saya yang dimarahi mahasiswa saya Mas,"ucap Alvin menambahkan.
"Nggak seberat hukuman komandan Pak. Mari kompromi Pak,"ucap Arsen menarik Alvin beranjak memasuki rumah dinas Angga. Sontak membuat tuan rumah segera menyapanya hangat. "Wah ini dosennya Kencana ya. Terimakasih Pak sudah membimbing Kencana,"ucap Natasya segera memintanya duduk. "Baik sama-sama Bu,"ucap Alvin merasa begitu serba salah dengan situasi.
Apalagi melihat wajah Kencana yang sangat tidak enak untuk dijelaskan dengan kata-kata. "Maaf Pak Bu. Sepertinya Kencana sudah siap,"ucap Alvin segera berdiri dengan begitu hati-hati terlebih tidak jarang melihat senjata yang selalu berada dimana-mana. "Oalah. Hati-hati ya Pak,"ucap Angga menepuk pundak Angga mempercayakan putrinya padanya. Berbeda dengan Kencana yang ingin menumpahkan banyak kekesalan pada pria itu.
"Silahkan Kencana,"ucap Alvin membuat gadis itu semakin sebal. Yang benar saja dirinya sampai perlu membukakan pintu. "Pak apa Anda tidak punya pekerjaan lain selain harus ribet dengan satu mahasiswa di antara banyak mahasiswa?,"tanya Kencana tak bisa lagi memendam kekesalannya. "Karena kamu berbahaya jadi harus saya antar jemput,"ucap Alvin.
"Cih,"decih Kencana sebal. Yang benar saja dirinya harus selalu bersama dengan pria bermulut manis sepertinya. "Sudah sarapan belum?,"tanya Alvin tak dihiraukan. "Oh baik saya anggap sudah. Karena sepertinya sangat tidak mungkin Bu Natasya membiarkanmu kelaparan. Sudah bawa hardfile untuk konsultasi?,"tanya Alvin terlalu membodohkan. "Sudah,"ucap Kencana merasa pertanyaan itu baru masuk topik.
"Baiklah saya tidak akan bertanya lagi,"ucap Alvin membuat gadis di sebelahnya segera menghela nafas lega. 'Akhirnya bibirnya terkunci juga,'batin Kencana menikmati pemandangan pagi hari.
-&-
Kencana POV
Tumpukan buku di depan mataku di tumpuk begitu saja oleh pria di depan ku. Pria manalagi selain dosen pembimbing kesayangan Nacita. Bahkan dirinya sengaja menggunakan akses privat room di perpustakaan. Pria dengan segala tipu daya dan tak hentinya mengacau hari ku. Sudah membuatku harus manut dan patuh di depan Ayah dan Bunda. Sekarang malah membuatku harus mengikuti semua sarannya.
"Coba pelajari lagi darimana sumber gagasan yang akan kamu ambil. Apa itu sudah sesuai dengan materi atau belum. Semuanya harus punya dasar yang jelas dari buku-buku itu,"ucap Alvin membuatku melirik sekilas judul buku di sampingnya. "Semua itu sudah saya sertakan Pak,"ucapku mengingat jelas. "Bisa kau perjelas bagian mana saja,"ucap Alvin menyerahkan kertas bab 2 milikku.
Ini yang dinamakan kerja dua kali. Dengan kekesalan yang membuncah cukup dalam, tanganku perlahan mulai membuat catatan kaki masing-masing kutipan yang ku ambil dari buku. "Pak terus bagaimana untuk yang dari jurnal?,"tanyaku tapi tak kunjung ada sahutan. "Bagus. Sekarang malah menghilang,"ucapku beranjak mencari jurnal di sisi lain perpustakaan. Baru juga melangkah, mataku menangkap bayangan yang dipantulkan pintu privat room.
Bayangan orang yang tengah melaksanakan sholat membuatku berbalik menatapnya tengah bersujud. Pria yang religius. Tapi mana ada orang religius akan sholat Subuh di jam segini? Ini sudah pukul 10 bukan pukul 6 pagi. "Maka sertakan jurnalnya. Untuk apa Anda menatap saya darisana Nona Batari Kencana,"ucap Alvin merapikan sajadahnya. Baru saja sholat sudah kambuh genitnya.
"Sudah semuanya,"ucapku menyerahkan kertas yang sudah ku beri catatan kaki. "Saya periksa dulu,"ucap Alvin duduk di sofa sementara diriku bersandar melihat beberapa buku yang tampak begitu tebal sebagai referensi tugas akhir bidang studi lain. "Jangan melamun Ken. Saya tidak pandai ruqyah,"ucap Alvin membuatku memutar bola mata sebal. Lagian yang melalui siapa pria gila.
"Baik semuanya sudah benar artinya saya tidak perlu lagi mengoreksi. Selanjutnya coba buat bab 3 nya,"ucap Alvin membuatku mengingat perbincangan semalam bersama Ayah dan Bunda menghasilkan bab 3. "Saya perlu pergi sebentar Pak,"ucapku namun membuatnya segera berdiri. "Mau kemana? Bab 3 tidak sesusah itu Ken. Saya masih bisa membimbing jadi jangan berpikir pergi,"ucap Alvin.
"Ck saya mau print bab 3 bukan mau bunuh diri,"decakku sebal seolah diriku akan mati setiap waktu. Hanya beberapa waktu saja aku akan berusaha mati. "Biar ku cek soft filenya saja dulu. Kembali ke tempatmu Ken,"ucap Alvin membuatku menghela nafas berbalik. "Penulisanmu rapikan dulu,"ucap Alvin membuatku menaikkan sebelah alisku heran.
"Jangan pakai WPS Pak. Saya sudah menulis rapi dengan Microsoft Word,"ucapku. "Sama saja Kencana. Mengapa penulisannya seperti ini?,"tanya Alvin mencoret sana sini penulisan yang salah. Seharusnya pria itu hanya perlu memberi pada bagian yang salah bukan seluruh layar. Menyusahkan saja.
-&-
"Pak sudah jam makan siang. Saya ingin bertemu dengan Nacita,"ucapku meminta izin membuatnya mendongak. "Silahkan asal kembali pukul 13.10,"ucap Alvin membuatku menghela nafas lega sembari segera keluar perpustakaan. "Ken ya Allah. Alhamdulillah kamu ngga papa. Eh kamu kata Bunda tinggal di rumah,"ucap Nacita.
"Iya Ayah sama Bunda tinggal dirumah. Itu semua karena dosen pembimbing kesayanganmu,"ucapku berdecak kesal. "Loh kamu sudah mulai bimbingan?,"tanya Nacita ku angguki. "Sungguh pria tidak waras,"ucapku membuat Nacita mengelak. "Ih ngga boleh begitu. Kak Alvin kan ganteng,"ucap Nacita membuatku tersengih. Sebuah kesalahan membicarakan orang yang tidak kita sukai pada pecinta garis kerasnya seperti Nacita.
"Kau untuk apa ke kampus?,"tanyaku heran melihat seorang Nacita ke kampus tanpa alasan. "Mau kumpul surat pengantar tugas akhir ke Bu Leni,"ucap Nacita membuatku menghentikan sejenak langkahku. "Apa kita pernah disuruh membuat itu?,"tanyaku waspada. Teriakan Bu Leni teramat menyesakkan tak semerdu Rossa untuk terus di ulang di telinga ku.
"Ada Ken. Yang minggu lalu Bu Leni bilang setiap mahasiswa harus sudah punya surat pengantar tugas akhir dan harus diserahkan maksimal hari ini,"ucap Nacita membuatku mengetuk keningku keras. Bodoh sekali, kenapa harus melupakan itu sih Ken. Apa semua hal harus kau lupakan seperti satu ini. "Kau sudah mengerjakannya kan,"ucap Nacita menyadari perubahan ekspresi ku. "Ken,"ulang Nacita perlahan ku gelengkan.
-&-
"BATARI KENCANA HADINATA,"
"APA MENURUTMU SEMUA DOSEN MAU TAU URUSANMU? KALAU KAMU MALAS MENGURUS ADMINISTRASI KULIAH LEBIH BAIK TIDAK USAH KULIAH. BISANYA BARU MAU MEMINTA FORM PENGISIAN KEMANA SAJA KAMU SELAMA INI? SIBUK PACARAN ATAU SIBUK BERLIBUR? SUDAH TAU SEMESTER AKHIR MASIH SAJA SANTAI. SAYA MINTA TERAKHIR JAM 15.00,"bentak Leni seperti dugaan.
Padahal dirinya hanya akan membuang waktu dengan membentak telinga bebal sepertiku. "Bukan lagi malas, mati jauh lebih baik daripada mendengar omelan penuh fitnah. Racun kampus saja,"ucapku mencibir lirih sembari mengisi seadanya seperti yang tertulis. "Memang kamu dibilangi apa sama Ibu Ken?,"tanya Nacita. "Sibuk pacaran atau sibuk berlibur?
Bagaimana jika ku jawab sibuk bagaimana cara mati?,"ucapku begitu saja tanpa menggunakan emosi. Aku tidak sebodoh itu yang marah padahal kita juga penyebab kemarahannya. "Sudah Ken. Kalau kamu mah bukan bercanda lagi. Tapi bener sih lagian ibu tau darimana kamu punya pacar?,"tanya Nacita membantu menempelkan materai di atasnya.
"Ken coba lihat di datamu di jurusan sudah sesuai belum,"ucap Nacita membuatku segera membuka Web kampus. Tapi tunggu. Untuk apa terdapat banyak sekali panggilan dari Alvin. Akh bodohnya. Bagaimana bisa lupa harus kembali pukul 13.10 dan sekarang sudah hampir setengah 3. Alvin sepertinya masih bisa menunggu dan tidak akan mengeluarkan teriakan gagal audisi dari Bu Leni.
"Ini Bu,"ucapku kembali mengumpulkan. Namun ya sangat tidak sah jika tanpa menyertakan teriakan dan segala hal tak penting lainnya. "Kencana makanya jangan pacaran terus. Lagian pacarmu yang mana? Seganteng apa sampai kamu ikut terus jalan dengannya?,"tanya Leni membuatku menarik nafas perlahan. "Malaikat Izrail Bu,"ucapku jujur. Siapa lagi yang selalu ku kejar selama ini selain nya?
"ANAK KURANG AJAR. BU MAHASISWA INI WALINYA SIAPA?,"tanya Leni berkoar-koar memancing perhatian semua dosen. "Ken? Kencana tidak pernah punya masalah setau saya Bu,"ucap Nabila, dosen waliku memang benar adanya. Lagian untuk apa aku berbohong. "Sepertinya tidak di ajari tata krama dirumahnya. Saya tanya siapa pacarnya malah jawab malaikat Izrail,"ucap Leni membuatku menggigit bibir kesal.
"Mohon maaf Bu. Saya tidak punya tata krama karena orangtua saya mati,"ucapku menunduk sejenak sebelum berlalu nyatanya tak menutup teriakan Leni. "Baguslah mereka mati. Coba tidak, malu punya anak seperti mu,"ucap Leni membuatku kembali merasakan rasa yang sama seperti yang ku rasakan kemarin. Sekujur tubuhku bergetar hingga mengeluarkan keringat dingin.
Aku tidak pernah sakit hati jika diriku di hina cacat atau apapun itu. Tapi aku akan merasakan rasa sakit begitu dalam jika dihina orangtua ku, ibu ku mati karena tidak mengharapkan ku. Rasa tidak di harapkan berada di dunia sukses membuatku tak bisa mengendalikan diri dan emosi yang berkecamuk. "Kenapa diam Kencana? Daritadi terus berbicara,"ucap Leni tak peduli peringatan semua dosen yang menahannya.
"Terimakasih membuat saya sadar,"ucapku berjalan sembari menyentuh dinding karena kaki ku saja tak bisa menahan langkah yang bergetar tak tentu. "Kencana. Ken kenapa kamu keringat dingin? Ken lihat aku Ken,"ucap Nacita mengibaskan tangan di depan wajahku. "Ken kita pulang. Hey hey buang semua perkataan tidak enak itu. Buang Ken. Ingat aku ngga akan pergi darimu,"ucap Nacita mengusap punggung ku perlahan.
"Memang dia ngga bisa kasih kalimat positif Ken. Jadi abaikan aja. Oiya Kak Alvin dari tadi hubungi kamu terus tuh,"ucap Nacita membuatku mengerutkan kening sebal. "Apa selain mengganggu hidupku tidak punya kegiatan lain? Seharusnya dia bukan melamar jadi dosen. Tapi jadi pengganggu hidup saja,"decakku sebal berlalu menuju perpustakaan.
"Entah apa yang akan diminta pria itu setelah ini,"gerutuku berjalan menuju perpustakaan. Tapi tunggu. Mengapa aku mudah teralih hanya karena pria aneh itu? "Kencana sudah telat berapa jam kamu Dek?,"tanya Alvin menaruh hard file bab 3 yang telah di print dan dikoreksi tentunya. "Maaf Pak saya tadi ada urusan dengan Bu Leni lupa melapor,"ucapku membolak balik kertas."Jangan diulang lagi lain kali. Sudah sore dan saya harus segera pulang sebelum macet. Ayo pulang,"ucap Alvin membuatku mendongak menatapnya heran. "Saya pulang bersama Nacita saja Pak,"ucapku berjalan lebih cepat meninggalkannya. "Tidak harus bunuh diri lagi Kencana. Revisi untuk belajar bukan untuk dibawa mati,"ucap Alvin menyeret tas punggung ku ke arah parkiran."Tapi Pak saya ngga mau bunuh diri. Saya mau ke kost,"ucapku sebal. "Saya tidak percaya. Masuklah Kencana sebelum banyak orang,"ucap Alvin membukakan pintu mobil membuatku merengut sejenak sembari menghempaskan tub
Natasya menarik bibirnya tersenyum putri sulungnya mengetahui kehadirannya. "Di kampus, apa ada yang menyakitimu Nak?,"tanya Natasya mengusap kepalaku lembut. Memangnya kapan Bu Leni pernah berbicara dengan nada yang baik? "Dosen ngga pernah salah Bun. Jadi sebanyak apapun kesalahannya tetap dihitung ngga salah. Lagipula yang dikatakan Ibu dosen Kencana benar.Itu sudah fakta jadi Kencana tidak perlu lagi menutupinya dan itu bukan masalah yang besar,"ucapku menenangkan membuatnya tersenyum lega. Pasti wanita ini sudah begitu cemas memikirkan bagaimana kondisi terkini ku. Semakin tidak tega rasanya melihat matanya berlinang air mata jika harus melihat kenyataan rencana buruk yang ku rencanakan setelah wisuda.Akh tidak Kencana. Jangan goyah lagi. Cukup sekali membebankan orang lain untuk diriku. Aku tidak mau lagu menjadi beban untuk banyak orang di kemudian hari. Bunyi ponsel yang bergetar tanpa sengaja membuat Natasya melirik pesan Alvin
"Ken,""Kencana,""Oy Kencana,""Kenapa Cit?,"tanyaku memutar bola mata malas. "Loh kok pulangnya ngga mood sayang. Tadi ada masalah di jalan?,"tanya Natasya menarikku duduk di ruang tamu. "Bunda tau,"ucap Nacita tergelak puas menertawai kebodohan ku. "Kenapa ini kok ada yang kurang sreg?,"tanya Angga mendekat."Ayah tau. Ternyata selama ini Nacita sama Kencana itu beda dosen pembimbing. Dosen pembimbingnya Nacita itu memang masih muda dan belum mulai bimbingan,"ucap Nacita tergelak puas. Ingatan ku masih jelas terngiang saat Kavindra menarik senyum lebar mengetahui selama ini diriku salah orang.Flashback On "Jadi bapak itu Pak Alvin, dosen pembimbingnya Kencana ya,"tanya Adhikara. "Saya bukan Pak Alvin. Pak Alvin asisten dosen yang masih muda. Saya Kav
"Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,
"Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.
"Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama
Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k
Author POV Byurr Byurr Dua riak gelombang di laguna membuktikan ada dua benda yang jatuh menimpanya. Kencana yang merasakan beberapa tulangnya terasa terkena dasar laguna berupa bagian hanya terdiam saja. Dirinya memejamkan mata menikmati sisa penyiksaan kehidupan dunia sebelum ajal menemuinya. Darah segar secara spontan langsung menguar membuat air menjadi merah.Kencana yang merentangkan tangan begitu tenang menyerahkan diri pada kematian terhenyak begitu merasakan tubuhnya di rengkuh. Sontak kedua matanya terbuka menatap seorang pria yang begitu payah dalam berenang berusaha menyelamatkan nya. Ck kalau dibiarkan dia akan mati. Melupakan keinginan untuk bunuh diri, Kencana menarik pria yang merengkuh nya menuju tepi.Kencana sudah berusaha menendang punggung Kavindra berharap pria itu bisa mengapung. Namun nyatanya dirinya dengan sengaja mem
Suasana lingkungan pagi ini tengah kondusif dengan beberapa pria melintas untuk menyapa Ayah. Sementara seorang pria berdiri membawa tas yang cukup ku kenal dengan baik. Seharusnya dia mengantarkan dengan jasa kirim layanan online. Tapi dia adalah Kavindra. Pria yang suka hidup repot dengan semua urusan. Hal kecil seperti itu akan semakin besar jika bertemu dengan dirinya. Membuat Ayah dan Bunda semakin berpikir tidak-tidak tentangnya. Dibandingkan dengan kekasih beberapa anak tetangga, dia yang paling sering berkunjung."Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculik mu pergi seminar. Belum lagi saat kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran.Selain suka repot, satu hal yang menyebalkan dari manusia termasuk pria itu depan ku adalah suka meminta maaf untuk kesalahan lawan bicara. Apa dia berusah
"Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculikmu pergi seminar. Belum lagi malah kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran."Tidak perlu minta maaf Pak. Itu saya yang salah,"ucapku membuatnya terkekeh pelan."Dek,"panggil Adhikara."Saya pamit dulu,"ucap Kavindra berlalu membuatku berbalik menatap Adhikara.Pria itu seolah mengerti dengan maksud tatapan ku segera membuka mulut mengutarakan maksud kehadirannya."Obatnya belum diminum,"ucap Adhikara membuatku berjalan lemah memasuki rumah."Nanti saja. Ayah, dimana Bunda?,"tanyaku melihat Angga menyesap kopi menikmati hari libur."Bunda sama Nacita
Dingin yang menusuk kulit membuatku mengeratkan jaket yang ku pakai menghalau dingin. Dengan kondisi luka berat seperti ini, sangat tidak menarik jika harus terkena angin."Biar hangat,"Sebuah cangkir tersodor dari Adhikara membuatku menarik senyum lebar. Sejak semalam dirinya tinggal di rumah sakit bersama Angga dan Natasya. Sebenarnya untuk apa juga tidak ku mengerti. "Kamu saja. Aku tidak haus,"ucapku sekedar formalitas. Adhikara bukan pria seperti Kavindra yang akan bertambah banyak bicara saat diriku diam.Akh ya kenapa harus dosen ku lagi sih? Untung saja Natasya memintanya pulang saja semalam. Jika tidak dia akan mengacau sepanjang malam dengan ocehan tidak masuk akalnya. "Astaga. Kencana kamu pulang dengan Nacita tidak apa-apa kan? Saya di panggil ke hanggar sekarang,"ucap Adhikara begitu panik. Seperti anggota Angga yang selalu bergegas setiap kali ada panggilan."Pergilah,"uca
Author POV Memasuki dunia sekolah, drama dan babak baru kehidupan kembali bergulir. Nadira memasukkan ku ke sekolah berasrama atas permintaan Dimas. Pendidikan yang terbaik sekalipun jika anak memiliki masalah dirumahnya akan tetap membawa pengaruh. Meskipun hanya setahun tetap saja begitu terasa berat.Harus berkomunikasi dengan banyak orang dan kondisinya yang kadang menjadi lebih buruk. Karakter Kencana yang dingin membuat putri komandan batalyon dengan pembawaan ceria tertarik. Jika Kencana di jauhi temannya
Author POV Byurr Byurr Dua riak gelombang di laguna membuktikan ada dua benda yang jatuh menimpanya. Kencana yang merasakan beberapa tulangnya terasa terkena dasar laguna berupa bagian hanya terdiam saja. Dirinya memejamkan mata menikmati sisa penyiksaan kehidupan dunia sebelum ajal menemuinya. Darah segar secara spontan langsung menguar membuat air menjadi merah.Kencana yang merentangkan tangan begitu tenang menyerahkan diri pada kematian terhenyak begitu merasakan tubuhnya di rengkuh. Sontak kedua matanya terbuka menatap seorang pria yang begitu payah dalam berenang berusaha menyelamatkan nya. Ck kalau dibiarkan dia akan mati. Melupakan keinginan untuk bunuh diri, Kencana menarik pria yang merengkuh nya menuju tepi.Kencana sudah berusaha menendang punggung Kavindra berharap pria itu bisa mengapung. Namun nyatanya dirinya dengan sengaja mem
Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k
"Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama
"Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.
"Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,