Share

Bab 5

last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-30 19:41:45

Brugh

"APA KAU SUDAH GILA?? KAU MAU MATI HANYA KARENA TUGAS AKHIR? APA SEMUDAH ITU KAU TIDAK BISA??,"teriakan memenuhi rongga telinga ku begitu hantaman kerikil menyapu punggung ku. "IYA AKU GILA. KAU TIDAK PERNAH TAU APA YANG KU RASAKAN. ENYAHLAH,"hardikku kembali mendekati rel kereta api.

"Cukup. Kamu sepertinya hanya lelah. Mari berpikir jernih,"ucapnya mendekapku. "Enyah. Aku tak sudi berdekatan dengan para pria brengsek,"tukasku terus berusaha meronta dari dekapannya. "Kau apa tidak ada pikiran lain selain bunuh diri?,"tanyanya begitu kereta sudah berlalu menjauh dari pandangan. "Jangan pernah ikut campur apa yang ada dalam hidup ku,"ucapku mengenyahkan diri dari dekapannya.

"Kenapa tidak bisa? Aku dosen pembimbing mu yang bertanggung jawab apapun yang terjadi padamu. Apa kau tak berpikir bagaimana perasaan orangtuamu?,"tanya Alvin membuatku menatapnya lurus. "Kamu hanya akan jadi dosen pembimbing jika aku masih hidup,"ucapku terduduk sebal dengan orang sok tau di depanku yang tak hentinya memberi ceramah. "Dengar. Kamu mungkin sedang terguncang tapi mati bukan menyelesaikan masalah,"ucap Alvin.

"Dimana rumahmu? Mari ku antar,"ucap Alvin tak ku pedulikan. "Jangan ikut campur dan pergilah,"ucapku berlalu menyusuri rel kereta berpikir cara mudah lain. "Apa kamu benar-benar mau mati? Untuk apa kau berada di sana,"tanya Alvin kembali menyeretku menepi. "Jangan pernah sentuh diriku,"tukasku menatapnya tajam kembali menyusuri rel. "Oke baik. Tapi apa kau benar-benar tidak kasihan dengan orangtua mu?,"tanya Alvin banyak bicara.

"AKU TIDAK PUNYA ORANGTUA,"geramku menutup bibirnya yang tak berhenti berbicara. "Setidaknya jika kau memilih bunuh diri mereka akan sedih bukan,"ucap Alvin tak ku hiraukan. Mataku menatap sebuah jalanan yang sangat ramai bahkan tak jarang sering terjadi kecelakaan di sisi lain rel. "Jangan berpikir kesana. Mari pulang,"ucap Alvin menyeret ku. "Jangan pernah sentuh diriku,"ucapku mengenyahkan tangannya kembali berbalik arah.

Bugh

Sontak rasa sakit memenuhi seluruh leher belakang ku hingga tak lama kegelapan memenuhi pandangan. Dasar pria brengsek pandai memanfaatkan situasi.

-&-

Rasa sakit masih mendera belakang kepala ku, namun rasa terikat langsung hinggap begitu kedua mata terbuka. Ah pria brengsek dia pasti akan memanfaatkan diriku. Hanya bergelar dosen nyatanya semuanya brengsek. Karena dia seorang pria. "Kau sudah bangun? Bagaimana kondisimu sekarang?,"tanya Alvin membawa nampan berbagai jenis masakan.

"Apa maksudmu? Lepaskan,"ucapku dingin membuatnya malah terkekeh lepas. "Kau sepertinya belum makan. Tadi aku sudah meminta dokter kemari mengobatimu. Sepertinya lebih baik kamu makan dengan baik kemudian aku bisa mengantarmu pulang,"ucap Alvin begitu lembut tak bisa ku percaya. "Hanya gadis bodoh yang percaya ucapan tak masuk akal itu,"ucapku mencibir.

"Oke baik Batari Kencana. Saya tau Anda sudah menyelesaikan hingga bab 2. Tapi fokusnya ini sudah sore dan tidak mungkin saya membiarkan seorang perempuan berada di rumah saya tanpa status,"ucap Alvin bersandar di tempatnya. "Cih. Lepaskan. Kau tak perlu repot-repot dengan ku,"ucapku. "Tidak begitu caranya. Entah setelah ini kamu akan melompat kemana lagi.

Aturannya kalau kau mau makan, setelah itu saya yang mengantarmu pulang,"ucap Alvin. "Bodoh pasti didalam makanan itu kau campurkan obat,"ucapku menatapnya sinis. "Kau terlalu negatif thinking. Mari berpikir positif untuk meringankan pikiran. Begitu bukan prosesnya,"ucap Alvin membuatku memutar bola mata malas. "Lepaskan,"ucapku. "Tidak sampai kau setuju ikut aturan saya.

Ini rumah saya jadi kau harus ikut,"ucap Alvin membuatku tak berhenti berdecih. "Pria seperti ini yang dikatakan baik kata Nacita. Cih,"gumamku lirih. "Oh. Kau ternyata teman dekat Nacita. Ah ya saya pernah dengar Nacita punya saudara dan saya yakin itu kamu. Baik masalah terpecahkan dan saya tau kemana harus mengantarmu. Tidak apa tidak mau makan, biar saya bungkus untukmu dan Nacita,"ucap Alvin.

"Ck brengsek,"ucapku berdecak. "Ya terserah jika bisa mengurangi pemikiran negatif mu silahkan maki diriku. Maaf aku harus memegangmu. Hanya dengan cara ini, kau tidak akan kabur lagi,"ucap Alvin menaikkan ku ke dalam mobil seperti karung beras. "Kamu harus menemui saya dengan segera jika ingin cepat selesai,"ucap Alvin membuatku memalingkan wajah menatap jendela luar.

"Brengsek. Kau pasti sudah mengambil keuntungan,"hardikku menyadari baju ku sudah berganti. "Hey hentikan pemikiran anehmu itu. Tadi sewaktu ada Dokter sekalian ku minta mengganti pakaianmu. Dokternya perempuan dan ini nomor nya,"ucap Alvin menaruh kartu nama di depan mataku. "Apa selain brengsek kau punya bahasa lain yang lebih enak di dengar?,"tanya Alvin tak ku hiraukan.

"Baiklah jika kau tidak ingin menjawab,"ucap Alvin membuat suasana kembali tenang. Hanya saja pikiran ku menjadi campur aduk karena pria itu. Belum lagi tidak bisa bergerak. Sungguh dia hanya menyusahkan diri saja dengan membantu ku. Dasar pria tidak waras.

-&-

"Maaf saya ingin mengantar putri Dewangga Arya Satyanegara,"ucap Alvin membuatku menoleh. Pria aneh ini untuk apa mengantar sampai rumah Ayah dan Bunda. "Nona Batari Kencana,"ucap Alvin tak bisa lagi berkata-kata. "Untuk apa kau antar diriku kemari?,"tanyaku begitu memasuki wilayah pemukiman khas dengan warna hijau.

"Kalau saya antar ke kost bisa saja nanti malam kau akan kembali ke rel itu. Jadi saya pikir mengantarmu ke sini akan lebih baik. Sepertinya kau enggan mendengar nasihat, jadi lebih baik saya diam saja,"ucap Alvin melepaskan tali yang mengikat tangan dan kaki ku. "Permisi saya ingin bertemu dengan Pak Dewangga,"ucap Alvin menarik tanganku. "Lepas,"ucapku cuek.

"Non Kencana? Pak Dewangga akan pulang sebentar lagi. Silahkan masuk,"ucap ajudan Ayah begitu ramah. "Pulang. Saya sudah sampai rumah,"usirku enggan menatapnya. "Tidak. Silahkan masuk nona Kencana,"ucap Alvin kian membuatku sebal. Pasti pria itu sebentar lagi akan membeberkan semua aksi ku. "Kencana dan wah ada tamu rupanya,"ucap Angga baru pulang masih lengkap mengenakan seragam lorengnya segera ku salami.

"Maaf bertamu disaat yang kurang tepat,"ucap Alvin begitu lumrahnya. "Ah tidak apa-apa. Mari masuk,"ucap Angga menyambut baik dirinya. Pasti pria ini akan mengadu panjang lebar tentang diriku. Enggan mendengar aksinya, diriku melangkah ke kamar meluapkan semua isi kepala yang sudah terlanjur hancur gara-gara pria aneh itu.

"Anda ini temannya Kencana sama Nacita,"

"Bukan Pak. Saya dosen pembimbingnya. Mungkin ini untuk tanda pengenal saya juga permintaan tanda tangan dari Kencana untuk menjadikan dosen pembimbingnya. Saya ingin membicarakan beberapa hal pada Anda,"

Apa sekarang semudah itu suara dari ruang tamu terdengar sampai kamar ku? "Ken kamu pulang sayang,"ucap Natasya tampak usai mengurai air mata membuat rasa heran menyeruak. Tangan lembutnya menggenggam tanganku pelan. "Nak. Apa Ayah dan Bunda memiliki salah denganmu? Apa kami menyakitimu?,"tanya Natasya membuatku menaikkan sebelah alisku. "Kenapa sampai harus mau bunuh diri Nak?

Apa kami menyakitimu begitu dalam sampai kamu pun tak sanggup menahannya Nak?,"tanya Natasya begitu tenang. Siapa yang sudah membeberkan pada Natasya? Jika sampai ke telinga Angga tidak masalah, tapi Natasya? "Bun. Semuanya salah paham. Ayah dan Bunda sudah membesarkan ku. Untuk itu rasa terimakasih tak terkira tak akan cukup untuk membalas.

Tidak Bun. Kalian tidak pernah menyakiti ku,"ucapku jujur sembari menatapnya lekat. "Lalu apa yang membuatmu begitu ingin mati Nak? Katakan Nak. Kamu begitu sayang pada Bunda kan,"ucap Natasya membuatku refleks melepas genggaman tangannya. Pikiran kalut tentang bayangan dan luka lama kembali menyeretku menuju lembah hitam sekali lagi.

"Tidak. Aku hanya takut. Iya aku hanya takut,"ucapku berlalu menatap dinding sembari memeluk diriku. "Kamu takut dengan apa Nak?,"tanya Natasya membuatku menggeleng. "Mereka. Aku tidak lagi diinginkan di dunia ini. Aku hanya sampah. Aku cacat,"ucapku bergetar merasakan ketakutan hebat hingga keringat dingin mengucur deras.

"Nak kamu anak sehat sayang. Siapa yang menyebutmu cacat?,"tanya Natasya berlumuran air mata menatapku penuh tanya sembari meyakinkan diriku baik-baik saja. "Pria brengsek dan wanita itu. Iya mereka. Aku cacat,"ucapku menggeleng enggan menatap lurus wajah Natasya. Ketakutan akan masa kecil yang tak diharapkan banyak pihak hanya membuatku kian tersiksa.

"Lihat Ken. Hanya ada Bunda sayang. Apa Bunda jahat denganmu?,"tanya Natasya menangkup wajahku menatapku lekat memberikan ruang hangat memenuhi relung benakku. "Aku tak

"Kamu anak sehat sayang. Kamu anak Bunda paling manis,"potong Natasya menyahuti gumaman bibirku yang terus bergetar merasakan ketakutan hebat. "Kencana anak Bunda paling manis,"ucap Natasya mendekapku sebelum ketakutan ku perlahan sirna bercampur dengan kegelapan yang kembali menyapa.

-&-

Author POV

"Kencana berniat bunuh diri lagi Bun,"ucap Angga mengusap bahu istrinya yang menatap lurus keluar jendela. "Pria dan wanita itu kembali lagi Yah. Mereka menemui Kencana setelah puluhan tahun berlalu,"ucap Natasya mengusap air mata yang menitik dari pelupuk matanya. "Mereka untuk apa kembali lagi,"ucap Angga mencengkeram bahu kursi geram.

"Tidak ada yang tau Yah. Nacita bilang dari semalam tidak ada hal yang aneh. Sampai pagi pun dirinya menyiapkan sarapan untuknya. Dirinya memang mengatakan mau ke makam sebelum ke kampus untuk konsultasi. Setelahnya dia baru kembali di hubungi temannya Nacita hampir bunuh diri di rel kereta api,"ucap Natasya terbata di akhir kata.

"Dari dosen pembimbingnya tadi, dirinya melihat Kencana tiba-tiba berlari mencurigakan apalagi dengan baju penuh dengan bekas tanah pemakaman. Sepertinya mereka berniat menemui Kencana di hari ulang tahun ibunya. Sayangnya mereka lupa telah menanam rasa begitu menyakitkan dan trauma begitu besar pada Kencana,"ucap Angga menghela nafas.

"Yah jangan sampai kita kehilangan Kencana,"ucap Natasya menatap suaminya penuh harap. "Cukup saudara Nacita dulu yang tak sanggup kita selamatkan. Jangan Kencana,"ucap Natasya memohon membuat Angga menarik istrinya dalam dekapannya. Ingatan buruk istrinya akan kehilangan putrinya saat masih dalam kandungan membuatnya trauma dengan kondisi setiap putrinya. Tak terkecuali Kencana.

"Tenanglah. Kita akan cari solusi terbaik dan melindungi Kencana. Sekarang kau minum dulu biar tenang. Biar ku pikirkan cara,"ucap Angga mengusap punggung istrinya menenangkan sementara dirinya beranjak membuka sedikit pintu Kencana. Disana gadis itu tengah terlelap usai di beri obat penenang oleh istrinya. Perlahan dirinya berjalan mendekati gadis itu sembari mengusap kepalanya sejenak.

"SIAPA,"jerit Kencana segera mencekal tangan Angga. "Ken ini Ayah Nak. Bagaimana tugas akhirmu? Kata dosen pembimbingmu kamu masih harus revisi,"ucap Angga tak ingin menanyakan apapun terkait hari ini. Dirinya paham gadis di depannya tengah terguncang habis-habisan. "Ayah. Kencana ngga bawa laptop Yah jadi belum bisa kerjakan,"ucap Kencana perlahan duduk.

"Tadi Om Arsen sudah bawakan semua perlengkapanmu pulang. Bundamu lagi kangen sama kamu,"ucap Angga membuat gadis itu menatap Angga sejenak. "Maaf Yah tadi Kencana han

"Bagaimana tugas akhirmu? Ayah penasaran seperti apa gambar desain anak teknik,"potong Angga segera sebelum Kencana kembali hilang kendali membuat gadis itu ikut teralihkan. "Masih belum Yah. Tapi segera ku selesaikan,"ucap Kencana segera beranjak menuju ruang tengah sembari mengambil laptopnya membuat rasa lega menyeruak.

Tatapan sendu Natasya melihat Kencana keluar segera di hapus Angga. "Ken kamu mau buat apa? Kata Ayah kamu mau buat desain pabrik kimia,"ucap Natasya begitu tenang dalam berakting. "Sebentar Bun. Kemarin sudah ku buat desain kasarnya. Tapi belum yang bentuk visionya,"ucap Kencana dengan giat menyelesaikan tugasnya. "Non memang mau buat pabrik apa?,"tanya Arsen sengaja ku minta mengalihkan pikiran Kencana.

'Sungguh tidak bersyukur pria itu,'pikir Angga menyaksikan tiga orang yang tengah sibuk di depan matanya. Bagaimana bisa seorang Ayah mengatakan anaknya bodoh dan cacat? Sedangkan lihatlah dirinya malah sudah membuat desain sementara putri kandungnya sendiri Nacita masih asyik berlibur dan aku tidak menyalahkan Nacita bermalasan. Karena memang seharusnya baru ide saja yang di ajukan.

Cacat yang seperti apa yang dia maksud. Terlambat bukan berarti cacat. Justru Kencana dengan matanya sendiri menyaksikan gadis itu membawa baki pada upacara bendera di Istana Negara. Bahkan tata bahasa yang dia gunakan dalam setiap perlombaan membuatku sadar dia gadis cerdas dan istimewa. Namun yang dia lakukan bukan mendukung malah memberinya cap tak masuk akal hingga membawa trauma besar.

Seperti saat pertama kali membawa Kencana ke rumah dinas saat masih di Malang. Gadis itu begitu takut dengan orang baru hingga berteriak. Cara bicaranya yang masih lambat dari usia pada umumnya juga sangat mudah jatuh membuat rasa cinta makin tumbuh dalam hati Natasya. Begitu uniknya gadis itu hingga membuat Natasya sangat menyayanginya hingga perlahan gadis itu pulang dengan membawa sebuah piala prestasi.

Kruk

"Nah waktunya makan berarti,"uca Angga membawa nampan berisi sayur dan lauk yang diberikan dosen pembimbingnya dalam jumlah banyak tadi. "Loh Ayah sama Bunda sudah makan?,"tanya Kencana menatapku. "Bunda sama Ayah tadi sudah. Sen makan dulu,"ucap Natasya. "Izin saya nanti saja Bu,"ucap Arsen. "Om Arsen. Bunda bilang suruh makan ya makan,"ucap Kencana mengambilkan Arsen makanan.

"Ayah sama Bunda buatkan minum dulu ya,"ucap Angga menarik Natasya berlalu. Mencegah wanita itu kembali menitikkan air mata. "Kencana tak lebih dari gadis kecil kita yang merindukan rumah saat begitu tenang Yah,"ucap Natasya tersenyum lega. "Begitulah putri kita. Besok sudah ku atur terkait tentangnya. Suatu saat dia akan menjadi gadis dewasa pada umumnya karena dirinya bukan karena keadaan yang memaksa,"ucap Angga menarik senyum penuh harap.

Bab terkait

  • Evanescent   Bab 6

    Dering nada ponsel yang kunjung berhenti mengganggu aktivitas Kencana. Tidak hanya sekali Alvin menghubunginya dalam sehari hanya untuk konsultasi. Sementara dirinya saja masih bersiap. "Siapa Ken?,"tanya Angga membuat Kencana mendongak sejenak. "Dosen pembimbing Kencana Yah,"ucap Kencana tenang."Oh yang kemarin itu. Kenapa ngga di angkat Nak?,"tanya Angga heran. Bagaimana bisa ada yang sesantai itu padahal yang menghubungi dosen pembimbing. "Tadi Kencana sudah balas baik saya segera menghadap. Tapi masih saja tetap begitu,"ucap Kencana terdengar merasa risih membuat Angga terkekeh pelan mengusap bahu putri sulung nya."Coba di angkat dulu. Barangkali dosennya cemas,"ucap Angga memberikan ponselnya membuat Kencana mau tidak mau menekan tombol hijau panggilan. "Selamat pagi Pak,"ucap Kencana menghela nafas berulang membuat Angga hanya menggeleng pelan. "Hah? Tidak perlu Pak. Saya bisa berangkat sendiri dan Anda tidak perlu kemari,"ucap Ken

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Evanescent   Bab 7

    "Entah apa yang akan diminta pria itu setelah ini,"gerutuku berjalan menuju perpustakaan. Tapi tunggu. Mengapa aku mudah teralih hanya karena pria aneh itu? "Kencana sudah telat berapa jam kamu Dek?,"tanya Alvin menaruh hard file bab 3 yang telah di print dan dikoreksi tentunya. "Maaf Pak saya tadi ada urusan dengan Bu Leni lupa melapor,"ucapku membolak balik kertas."Jangan diulang lagi lain kali. Sudah sore dan saya harus segera pulang sebelum macet. Ayo pulang,"ucap Alvin membuatku mendongak menatapnya heran. "Saya pulang bersama Nacita saja Pak,"ucapku berjalan lebih cepat meninggalkannya. "Tidak harus bunuh diri lagi Kencana. Revisi untuk belajar bukan untuk dibawa mati,"ucap Alvin menyeret tas punggung ku ke arah parkiran."Tapi Pak saya ngga mau bunuh diri. Saya mau ke kost,"ucapku sebal. "Saya tidak percaya. Masuklah Kencana sebelum banyak orang,"ucap Alvin membukakan pintu mobil membuatku merengut sejenak sembari menghempaskan tub

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-03
  • Evanescent   Bab 8

    Natasya menarik bibirnya tersenyum putri sulungnya mengetahui kehadirannya. "Di kampus, apa ada yang menyakitimu Nak?,"tanya Natasya mengusap kepalaku lembut. Memangnya kapan Bu Leni pernah berbicara dengan nada yang baik? "Dosen ngga pernah salah Bun. Jadi sebanyak apapun kesalahannya tetap dihitung ngga salah. Lagipula yang dikatakan Ibu dosen Kencana benar.Itu sudah fakta jadi Kencana tidak perlu lagi menutupinya dan itu bukan masalah yang besar,"ucapku menenangkan membuatnya tersenyum lega. Pasti wanita ini sudah begitu cemas memikirkan bagaimana kondisi terkini ku. Semakin tidak tega rasanya melihat matanya berlinang air mata jika harus melihat kenyataan rencana buruk yang ku rencanakan setelah wisuda.Akh tidak Kencana. Jangan goyah lagi. Cukup sekali membebankan orang lain untuk diriku. Aku tidak mau lagu menjadi beban untuk banyak orang di kemudian hari. Bunyi ponsel yang bergetar tanpa sengaja membuat Natasya melirik pesan Alvin

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-08
  • Evanescent   Bab 9

    "Ken,""Kencana,""Oy Kencana,""Kenapa Cit?,"tanyaku memutar bola mata malas. "Loh kok pulangnya ngga mood sayang. Tadi ada masalah di jalan?,"tanya Natasya menarikku duduk di ruang tamu. "Bunda tau,"ucap Nacita tergelak puas menertawai kebodohan ku. "Kenapa ini kok ada yang kurang sreg?,"tanya Angga mendekat."Ayah tau. Ternyata selama ini Nacita sama Kencana itu beda dosen pembimbing. Dosen pembimbingnya Nacita itu memang masih muda dan belum mulai bimbingan,"ucap Nacita tergelak puas. Ingatan ku masih jelas terngiang saat Kavindra menarik senyum lebar mengetahui selama ini diriku salah orang.Flashback On "Jadi bapak itu Pak Alvin, dosen pembimbingnya Kencana ya,"tanya Adhikara. "Saya bukan Pak Alvin. Pak Alvin asisten dosen yang masih muda. Saya Kav

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-15
  • Evanescent   Bab 10

    "Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-22
  • Evanescent   Bab 11

    "Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-23
  • Evanescent   Bab 12

    "Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-23
  • Evanescent   Bab 13

    Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-24

Bab terbaru

  • Evanescent   Bab 18

    Suasana lingkungan pagi ini tengah kondusif dengan beberapa pria melintas untuk menyapa Ayah. Sementara seorang pria berdiri membawa tas yang cukup ku kenal dengan baik. Seharusnya dia mengantarkan dengan jasa kirim layanan online. Tapi dia adalah Kavindra. Pria yang suka hidup repot dengan semua urusan. Hal kecil seperti itu akan semakin besar jika bertemu dengan dirinya. Membuat Ayah dan Bunda semakin berpikir tidak-tidak tentangnya. Dibandingkan dengan kekasih beberapa anak tetangga, dia yang paling sering berkunjung."Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculik mu pergi seminar. Belum lagi saat kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran.Selain suka repot, satu hal yang menyebalkan dari manusia termasuk pria itu depan ku adalah suka meminta maaf untuk kesalahan lawan bicara. Apa dia berusah

  • Evanescent   Bab 17

    "Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculikmu pergi seminar. Belum lagi malah kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran."Tidak perlu minta maaf Pak. Itu saya yang salah,"ucapku membuatnya terkekeh pelan."Dek,"panggil Adhikara."Saya pamit dulu,"ucap Kavindra berlalu membuatku berbalik menatap Adhikara.Pria itu seolah mengerti dengan maksud tatapan ku segera membuka mulut mengutarakan maksud kehadirannya."Obatnya belum diminum,"ucap Adhikara membuatku berjalan lemah memasuki rumah."Nanti saja. Ayah, dimana Bunda?,"tanyaku melihat Angga menyesap kopi menikmati hari libur."Bunda sama Nacita

  • Evanescent   Bab 16

    Dingin yang menusuk kulit membuatku mengeratkan jaket yang ku pakai menghalau dingin. Dengan kondisi luka berat seperti ini, sangat tidak menarik jika harus terkena angin."Biar hangat,"Sebuah cangkir tersodor dari Adhikara membuatku menarik senyum lebar. Sejak semalam dirinya tinggal di rumah sakit bersama Angga dan Natasya. Sebenarnya untuk apa juga tidak ku mengerti. "Kamu saja. Aku tidak haus,"ucapku sekedar formalitas. Adhikara bukan pria seperti Kavindra yang akan bertambah banyak bicara saat diriku diam.Akh ya kenapa harus dosen ku lagi sih? Untung saja Natasya memintanya pulang saja semalam. Jika tidak dia akan mengacau sepanjang malam dengan ocehan tidak masuk akalnya. "Astaga. Kencana kamu pulang dengan Nacita tidak apa-apa kan? Saya di panggil ke hanggar sekarang,"ucap Adhikara begitu panik. Seperti anggota Angga yang selalu bergegas setiap kali ada panggilan."Pergilah,"uca

  • Evanescent   Bab 15

    Author POV Memasuki dunia sekolah, drama dan babak baru kehidupan kembali bergulir. Nadira memasukkan ku ke sekolah berasrama atas permintaan Dimas. Pendidikan yang terbaik sekalipun jika anak memiliki masalah dirumahnya akan tetap membawa pengaruh. Meskipun hanya setahun tetap saja begitu terasa berat.Harus berkomunikasi dengan banyak orang dan kondisinya yang kadang menjadi lebih buruk. Karakter Kencana yang dingin membuat putri komandan batalyon dengan pembawaan ceria tertarik. Jika Kencana di jauhi temannya

  • Evanescent   Bab 14

    Author POV Byurr Byurr Dua riak gelombang di laguna membuktikan ada dua benda yang jatuh menimpanya. Kencana yang merasakan beberapa tulangnya terasa terkena dasar laguna berupa bagian hanya terdiam saja. Dirinya memejamkan mata menikmati sisa penyiksaan kehidupan dunia sebelum ajal menemuinya. Darah segar secara spontan langsung menguar membuat air menjadi merah.Kencana yang merentangkan tangan begitu tenang menyerahkan diri pada kematian terhenyak begitu merasakan tubuhnya di rengkuh. Sontak kedua matanya terbuka menatap seorang pria yang begitu payah dalam berenang berusaha menyelamatkan nya. Ck kalau dibiarkan dia akan mati. Melupakan keinginan untuk bunuh diri, Kencana menarik pria yang merengkuh nya menuju tepi.Kencana sudah berusaha menendang punggung Kavindra berharap pria itu bisa mengapung. Namun nyatanya dirinya dengan sengaja mem

  • Evanescent   Bab 13

    Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k

  • Evanescent   Bab 12

    "Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama

  • Evanescent   Bab 11

    "Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.

  • Evanescent   Bab 10

    "Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,

DMCA.com Protection Status