Kencana POV
Suara teko panas yang tengah mendidih begitu ricuh cukup untuk membangunkan kawanan kucing milik tetangga di luar rumah. "Apa yang mau kamu buat di pagi buta Ken?,"tanya seorang gadis pirang yang memunculkan wajah dengan garis halus bekas bantal menjalar.
"Bisakah kau cuci dulu wajahmu dan sikat gigi dulu?,"
Tidak. Kalimat itu tidak terlontar dari bibir ku. Hanya tertahan memenuhi kerongkongan saja. "Ken?,"ulang Nacita. "Bubur,"ucapku tanpa berusaha menambahkan kata yang ku rasa sudah cukup panjang. "Ouh. Bagi ya Ken. Aku malas lagi memasak masakan apapun sekarang,"ucap Nacita.
"Hmn,"
"Nah gitu dong. Oiya Ken, Elina tadi malam chat aku. Karena katanya kamu nggak bisa dihubungi sama sekali. Elina mau tanya tugas Pak Hanif. Kamu sudah kerjakan?,"tanya Nacita. "Sudah,"ucapku memindahkan air panas ke mangkuk. "Haruskah kamu bertanya Nacita? Dia itu Batari Kencana Had
"Cukup,"ucapku tak ingin mendengar nama itu terdengar bercampur dengan nama ku. "Ouh maaf Ken lupa. Kapan coba aku punya otak secerdas kamu Ken? Entah apa yang mau ku tulis di tugas akhir,"ucap Nacita sangat doyan berkeluh kesah saat kedua matanya mulai terbuka. "Makanya ikut dengan ku bunuh diri,"ucapku menyajikan bubur ayam ke atas meja makan.
"Astagfirullah. Mati kalau belum waktu nya terasa sakitnya Ken. Lagian aku juga nggak sampai niat begitu juga. Aku belum nikah Ken,"ucap Nacita tak pernah bosan membawa serta kisah romansanya kapan pun perbincangan di mulai. Padahal saat kehidupan romansa dibawa ke jenjang lebih serius banyak hal yang perlu di urus.
Dan tentu saja aku tidak akan mencapai masa itu. Setelah melihat bagaimana hancurnya kehidupan pernikahan Ibu dan pria itu. Apa perlu ku mimpi kan sebuah cerita bahagia dalam kehidupan pernikahan? Sama saja dengan membodohi diri. Daripada mati dengan perlahan seperti itu akan jauh lebih baik jika aku mati dengan cepat saja.
"Ken,"ucap Nacita mengembalikan fokus pikiran yang mulai mengambang. "Tuh kan malah melamun,"cebik Nacita sebal. "Maaf ulang,"ucapku. "Itu nah aku tanya. Kamu sudah dapat dosen belum buat bimbingan tugas akhir?,"tanya Nacita. "Apa aku harus melibatkan banyak orang sebelum kematian?,"tanyaku.
"Haduh kematian lagi. Kencana cukup kita bahas kematiannya ya. Kamu harus bersyukur diberi nafas. Meskipun tidak berguna paling tidak kamu harus bisa menjadi versi terbaik dan membuat Ibu mu di atas sana yang melihat bangga dengan putrinya,"ucap Nacita. "Terbaik untuk kembali di khianati pria brengsek sepertinya juga?,"tanyaku.
"Bukan Ken. Coba kamu sedikit membuka diri. Sedikit saja. Pasti kamu bisa melihat banyak hal selain kematian yang lebih menarik dan tidak semua laki-laki seperti dalam mindset mu. Seperti Ilham contohnya,"ucap Nacita kembali menyebutkan kisah romansanya. "Hmn,"ucapku enggan berkutat dengan bahasan yang sangat tidak masuk akal.
Nacita begitu mencintai pacarnya saat ini. Karena keduanya masih di mabuk asmara. Tapi ketika tahun berjalan pasti mulai ada konflik dan disana lah sifat menjijikkan seorang pria akan terungkap. Pria yang biasanya akan mengucapkan kalimat manis bak gulali. Maka akan menjadi ucapan pedas.
Belum lagi dengan bumbu tangan tanpa sungkan terangkat ke udara. Aku sudah lebih dahulu mengenal banyak jenis pria. Apalagi seperti Ilham yang sangat jelas pria itu tak lebih dari pria dengan seribu janji manis. Tapi mana mungkin aku mengatakan pada Nacita. Gadis itu tengah di mabuk asmara. Sekalipun setan mengatakan A asal bersama kekasihnya, pasti akan dilakukannya.
Sia-sia jika memberitahu sekarang. Tunggu saja saat nanti keduanya putus, baru bisa memberi dukungan. Hidup kok hanya untuk berpijak pada perasaan. Buktinya 20 tahun tanpa cinta, nafas ku tidak terputus. Apalagi seumur hidup jika aku memilih jalan itu. "Nanti waktu kelulusan, Ilham yang bawa buket sambil melamar ku Ken,"ucap Nacita.
Melamar di depan publik? Sungguh bisa ku pastikan jika aku bertemu dengan pria itu akan memukulnya kencang. Bisanya dia memberi angan semanis itu pada gadis polos seperti Nacita. Jangankan melamar, pria yang berani mendekatinya saja seharusnya sudah di pukul habis oleh semua ajudan Ayahnya.
Sepertinya pria itu perlu di musnahkan saja. Keberadaannya sama seperti ku di dunia sebagai parasit. Selalu saja menyusupkan kalimat manis yang tidak mungkin. Karena pada akhirnya pria dengan karakter baik dan pilihan Ayahnya saja yang pantas bersama dengan Nacita. Tapi apa daya? Otaknya sudah terlalu dipenuhi dengan romansa.
Sepertinya aku juga perlu menabung tissu mulai dari sekarang. Sebelumnya pria yang biasa saja menghabiskan persediaan tissu di kost. Apalagi untuk korban pria brengsek seperti Ilham. "Ken?,"ucap Nacita menyentuh tangan ku ringan. "Kamu melamun terus kenapa? Harusnya aku yang tanya nih kamu kenapa bisa diam-diam begitu?
Oiya sampai lupa. Ken ada temen kelas kita yang mau kenalan sama kamu loh. Dia baik kok dan pasti kamu sudah sangat kenal,"ucap Nacita bersemangat. "Tidak perlu,"ucapku sembari berlalu mencuci mangkuk. Muak dengan pembahasan yang selalu membawa pria di dalam kehidupan ku. Apa dia bisa menjamin tidak akan pernah menjadikan ku seperti Ibu ku?
Akh tidak. Pasti dengan segala janji manisnya mampu meluluhkan hati Ayahnya Nacita dan berakhir menikahi ku. Kekerasan dalam rumah tangga dan akhirnya aku akan mati setelah menderita sakit keras karena selalu dapat perlakuan sangat kasar dari pria brengsek itu. Alur yang sangat monoton tapi terdengar nyata.
-^-
Riuh beberapa makhluk berlalu lalang kesana kemari seolah tengah ada hal yang menarik. "Kencana tumben sendirian?,"tanya Elina bergabung dengan ku di teras kelas. "Nacita pergi,"ucapku membuatnya mengangguk paham tanpa harus boros kata seperti Nacita.
"Kamu sudah dapat gimana rancangan pabrik yang mau kamu buat belum?,"tanya Elina. "Sudah,"ucapku menatap beberapa orang malah tampak berkerumun menatap ke gedung dan lantai yang sama dengan tempat ku berdiri. "Ada apa?,"tanyaku bingung. "Nah pertanyaan bagus. Karena itu juga aku masih tinggal di teras.
Hari ini asisten dosen baru masih muda, ganteng lagi. Jadi ya lumayan kalo aku minta jadi pembimbing ku. Sekalian cuci mata setiap bimbingan biar semangat,"ucap Elina. Yang benar saja cuci mata, menambah semangat bimbingan? Dulu sebelum menikah ku lihat wajah pria brengsek yang menikahi Ibu ku tidak ada saingan nya.
Tapi wajah yang mumpuni itu juga yang akhirnya menghancurkan. "Duluan,"ucapku berlalu pergi. "Eh kemana Ken? Bentar lagi datang bapaknya,"ucap Elina berusaha menghentikan ku. Dia saja memanggil bapak. Ck lagi-lagi bayangan pria itu lagi tergambar setiap kali ada yang menyebut kata bapak. Lagian kalo masih muda kenapa dipanggil bapak?
"Ken mau ikut aku sama Ilham jalan kah?,"teriak Nacita yang sudah naik di atas motor. "Tidak perlu,"ucapku berlalu pergi. "Yang kok kamu masih mau sih sama temen nggak waras kayak gitu?,"ucapan sinis Ilham terdengar begitu ringan tak menghalangi langkah ku. Bukan sekali jika ada yang mengatakan tidak waras dan memang begitulah adanya.
I'm crazy.
Semilir angin yang meniup pelan anak rambut ku membuat terik matahari tidak begitu menyengat. "Permisi. Saya boleh bertanya dimana jurusan Teknik Kimia,"sepasang sepatu hitam mengkilap menghentikan langkah ku tepat di depan gerbang. "Lurus nanti ada petunjuk jalan,"ucapku mengambil langkah ke kanan berlalu pergi.
"Mbak sebentar. Saya boleh tanya ke mana arahnya?,"tanyanya kembali menghalangi langkah ku. BEM semakin buruk saja kinerjanya. Lagipun sudah tua kenapa masih susah ingat jalan? "Anda bisa lihat tulisan di sana sendiri kan?,"tanyaku kesal menatapnya tajam. "Maaf jika saya mengganggu hari Anda. Tapi saya hanya bertanya saja. Apa saya salah,"tanyanya kian membuatku muak.
Tanpa peduli pertanyaannya, ku langkahkan kaki keluar dari universitas tempat otakku di paksa berpikir. Masih ada aja modus seperti itu. Jika memang dia niat bertanya seharusnya bertanya pada satpam yang berjaga. Dari wajah nya sepertinya dia yang dikatakan Elina, asisten dosen baru. Dia menjadi asisten dosen?
Baru masuk saja sudah tersesat. Apa yang meyakinkan dari ajarannya? Ck otak jernih ku jadi tercemar hanya karena asisten dosen menyebalkan. Laju kendaraan yang melintas di dua jalur seolah memanggil ku ke sana. Akh tidak tidak. Aku sudah banyak dibantu keluarga Nacita untuk bisa sampai di langkah saat ini.
Mereka masih mau menjadikan anak yang seharusnya sudah mengemis di bawah lampu merah sebagai putri mereka. Paling tidak aku harus lulus dulu sebelum benar-benar mati. Memang tidak ada yang mengharapkan ku. Tapi pantang membuat orang lain yang sudah banyak berjasa kecewa. "Ken mau ikut nggak,"sebuah motor berhenti tepat di depan mata ku.
"Tidak,"ucapku tetap melanjutkan langkah yang terjeda. "Daripada siang siang jalan kaki. Nanti skincare mu luntur loh,"ajak Revan ku abaikan. Skin care? Benda apa itu? Aku saja bahkan tidak pernah mengusap wajahku dengan apapun. Kecuali saat lebaran dan Bundanya Nacita memoleskan bedak di permukaan wajahku.
"Ken aku mau ke perpustakaan. Sekalian mau tanya tentang tugas akhir itu gimana,"ucap Revan tak ku pedulikan. Nanti kalau lelah pasti dia akan pergi dengan sendirinya juga. Jadi tidak perlu sungkan menolak ajakan para jenis yang tak punya akal itu. "Nak Kencana Bunda mu datang tadi,"ucap Bu Kost menampilkan wajahnya sumringah di depan pintu.
"Terimakasih Bu,"ucapku bergegas. Sebutan Ayah Bunda itu hanya sebuah kata tanpa makna. Aku hanya menumpang berlindung bersama mereka saja. Tidak mungkin aku mengabaikan nya. "Kencana sayang. Baru pulang ya? Ayah sama Bunda tadi rencananya nanti malam. Tapi takut kalian lagi belajar atau ada kelas malam,"ucap Natasya.
"Terimakasih sudah datang Bun. Maaf Nacita nya masih keluar,"ucapku tanpa berusaha menutupi apapun. "Loh anak itu masih sama pacar nggak jelasnya itu kah?,"tanya Natasya mengajakku duduk bersamanya. "Masih terjebak romansa masa muda,"ucapku. "Aduh Bunda nanti yang dimarahin Ayah kalo gitu Nak. Nacita itu sudah dibilangin jangan pacaran.
Kamu belum bisa memilih laki-laki mana yang baik yang buruk. Kalau laki-laki nya berani datang ke rumah izin mau pacaran sama Ayah Bunda kenapa nggak? Dua kali Ayah itu dapat informasi pacarnya tapi ya begitu Nak. Nacita sama Ayahnya sama-sama keras kepala,"ucap Natasya mencurahkan pikirannya.
"Nanti saya coba bicara,"ucapku membuatnya tersenyum lebar sembari mengusap puncak kepala ku. "Kamu memang paling paham apa yang Bunda mau. Oiya sayang setelah lulus S1 kamu mau gimana Nak? Kerja atau lanjut S2?,"tanya Natasya. Mau mati bisakah?
"Saya mau bekerja saja. Sudah terlalu banyak merepotkan Bunda dari kecil,"ucapku. "Eh mana ada. Karena ada kamu, Nacita nggak pernah sendirian lagi mainnya. Kamu kuliah saja ya sayang. Kamu itu cerdas dan mau berkembang. Oiya kalo dari Nacita kami sudah lihat laki-laki yang dibawa pulang. Dari Kencana mana nih?,"tanya Natasya menyenggol lengan ku.
"Tidak ada,"ucapku. "Kalau kamu yang bilang Bunda percaya kok. Semalam ada anak buah Ayah ke rumah sayang. Dia sudah mapan dalam profesi dan orang tuanya Bunda kenal dengan baik. Nah Bunda pikir dengan melihat karakter kalian berdua. Memang lebih cocok ke kamu Nak,"ucap Natasya membuatku menghela nafas lelah.
Tidak apa biarkan saja rencana itu terbentuk tapi aku akan berjalan menuju kematian ku saat setelah hari kelulusan tanpa ada yang mendengar langkah ku menjauhi ruangan. Hidup selama 20 tahun cukup membuatku lelah dengan bayangan masa lalu yang buruk. Aku hanya ingin saat setelah semua usai menjadi kenangan yang akhirnya pudar oleh waktu.
Menjauh sejauh matahari melintas di langit hingga tak satupun bisa menarik ku kembali dekat. "Izin Bu,"ucap pria berbaju loreng. Sepertinya ajudan baru Ayah. "Ada apa toh Sen. Kamu kok kayak habis kejar maling aja,"ucap Natasya terkekeh. "Izin Bu. Nona Nacita dibawa kabur pacarnya. Saya sudah mengejar tapi mereka masuk jalan tikus,"ucap Arsen.
Dasar pasangan labil. Jika saja Nacita tidak terlebih dulu termakan bujukan dan ucapan manis laki-laki pasti dia bisa berpikir jernih. Dengan kabur seperti ini bukannya mendapat restu tapi mendapat masalah. "Ayah. Telfon Ayah sekarang Sen,"ucap Natasya lemas. Semua hal yang berhubungan dengan putri semata wayangnya tak pernah membuatnya duduk dengan tenang.
"Bun. Biar Kencana yang cari Nacita ya,"ucapku bergegas keluar tanpa peduli panas yang menerpa. Sekali saja kapan gadis itu akan dewasa. Jika terus terusan begitu bagaimana cara ku mati dengan tenang? Ck menyebalkan.
"Mau mati kok takut?,"Langkah tegas ku mendekati gadis pirang yang ragu untuk melompat di tepi dermaga. "Ken kamu ngapain ke sini?,"tanya Nacita tampak terkejut dengan kehadiran ku. "Mau mati?,"tanyaku berdiri menatap ombak yang menghempas kuat dermaga.Miris. Beberapa saat lalu mata ku di suguhkan romansa masa muda. Hanya dalam sekejap hanya wajah putus asa yang tersisa. "Kencana kamu ngga akan pernah tau. Ilham itu orang paling ku sayang dan ku percaya. Kamu ngga tau kan gimana peduli nya dia selama ini? Tiba-tiba dia berubah begitu aja,"ucap Nacita bercucuran air mata."Aku belum pernah mencoba bunuh diri di sini. Kemungkinan tengkorak mu bisa langsung retak. Tapi kalo kamu terjun secara vertikal, mungkin tulang mu lebih dulu patah terkena batu pemecah ombak. Kulit mu perlahan tergores batu karang. Darah yang tercecer dengan bagian tubuh terpencar ditambah air laut yang asin.Kemungkinan kamu mati sang
Lorong jurusan yang masih senggang sangat menggambarkan kesibukan di setiap ruang. "Ken kamu mau siapa yang jadi dosen pembimbing mu?,"tanya Nacita membolak balik buku yang sangat terpaksa di baca. "Entah,"ucapku membenarkan letak kacamata yang membingkai wajah tirus ku."Entah lagi. Gimana kalo tanya sama Kak Alvin aja?,"tawar Nacita membuat ku mendongak. "Siapa lagi Alvin? Bukan kamu sudah setuju bertemu Pramudhita semalam?,"tanyaku. "Heish ngga semuanya tentang pacar Ken. Alvin itu loh asisten dosen yang ganteng tuh,"ucap Nacita tampak berbinar."Dan berakhir aku meminta nomor nya,"ucapku hafal dengan semua kelakuan gadis di sebelah ku. "Eh ya kali. Mending sama tentara aja deh. Kalo asisten dosen jatuh cintanya tentang buku. Atau kamu aja kah sama Kak Alvin,"ucap Nacita kian meracau tak karuan. "Hentikan,"ucapku memasuki dosen tanpa peduli siapapun yang ada di dalamnya maka dia yang akan menjadi dosen pembimbing ku.La
"Ken kamu tau Pramudhita orangnya loyal banget tau. Masa dia bilang kan dulu dia pernah sekali punya pacar tapi habis itu mereka putus karena ceweknya selingkuh. Se loyal itu coba,"ucap Nacita begitu bersemangat bercerita."Apa perlu bertanya sampai sejauh itu?,"tanyaku mencuci beras untuk ku masak esok hari. "Hmn gimana ya jawabnya Ken. Kamu gimana sama Adhikara?,"tanya Nacita tampak begitu penasaran. "Apa susahnya tinggal mengatakan iya? Sudahlah Cit sepertinya malam ini aku akan tidur lebih cepat. Besok harus ke kampus,"ucapku usai menaruh beras ke rice cooker."Eh ngapain kamu ke kampus besok? Bukannya kita mau ke pantai?,"tanya Nacita. "Dosen pembimbing ku meminta menemui besok untuk bimbingan,"ucapku. "Hah cepatnya. Aku malah belum ada di respon,"ucap Nacita. "Entahlah,"ucapku sembari berlalu ke kamar. "Okelah,"ucap Nacita terdengar berlalu menuju kamarnya. Sementara itu sedari tadi ponsel ku tak henti menyala pertanda notifika
Brugh"APA KAU SUDAH GILA?? KAU MAU MATI HANYA KARENA TUGAS AKHIR? APA SEMUDAH ITU KAU TIDAK BISA??,"teriakan memenuhi rongga telinga ku begitu hantaman kerikil menyapu punggung ku. "IYA AKU GILA. KAU TIDAK PERNAH TAU APA YANG KU RASAKAN. ENYAHLAH,"hardikku kembali mendekati rel kereta api."Cukup. Kamu sepertinya hanya lelah. Mari berpikir jernih,"ucapnya mendekapku. "Enyah. Aku tak sudi berdekatan dengan para pria brengsek,"tukasku terus berusaha meronta dari dekapannya. "Kau apa tidak ada pikiran lain selain bunuh diri?,"tanyanya begitu kereta sudah berlalu menjauh dari pandangan. "Jangan pernah ikut campur apa yang ada dalam hidup ku,"ucapku mengenyahkan diri dari dekapannya."Kenapa tidak bisa? Aku dosen pembimbing mu yang bertanggung jawab apapun yang terjadi padamu. Apa kau tak berpikir bagaimana perasaan orangtuamu?,"tanya Alvin membuatku menatapnya lurus. "Kamu hanya akan jadi dosen pembimbing jika aku ma
Dering nada ponsel yang kunjung berhenti mengganggu aktivitas Kencana. Tidak hanya sekali Alvin menghubunginya dalam sehari hanya untuk konsultasi. Sementara dirinya saja masih bersiap. "Siapa Ken?,"tanya Angga membuat Kencana mendongak sejenak. "Dosen pembimbing Kencana Yah,"ucap Kencana tenang."Oh yang kemarin itu. Kenapa ngga di angkat Nak?,"tanya Angga heran. Bagaimana bisa ada yang sesantai itu padahal yang menghubungi dosen pembimbing. "Tadi Kencana sudah balas baik saya segera menghadap. Tapi masih saja tetap begitu,"ucap Kencana terdengar merasa risih membuat Angga terkekeh pelan mengusap bahu putri sulung nya."Coba di angkat dulu. Barangkali dosennya cemas,"ucap Angga memberikan ponselnya membuat Kencana mau tidak mau menekan tombol hijau panggilan. "Selamat pagi Pak,"ucap Kencana menghela nafas berulang membuat Angga hanya menggeleng pelan. "Hah? Tidak perlu Pak. Saya bisa berangkat sendiri dan Anda tidak perlu kemari,"ucap Ken
"Entah apa yang akan diminta pria itu setelah ini,"gerutuku berjalan menuju perpustakaan. Tapi tunggu. Mengapa aku mudah teralih hanya karena pria aneh itu? "Kencana sudah telat berapa jam kamu Dek?,"tanya Alvin menaruh hard file bab 3 yang telah di print dan dikoreksi tentunya. "Maaf Pak saya tadi ada urusan dengan Bu Leni lupa melapor,"ucapku membolak balik kertas."Jangan diulang lagi lain kali. Sudah sore dan saya harus segera pulang sebelum macet. Ayo pulang,"ucap Alvin membuatku mendongak menatapnya heran. "Saya pulang bersama Nacita saja Pak,"ucapku berjalan lebih cepat meninggalkannya. "Tidak harus bunuh diri lagi Kencana. Revisi untuk belajar bukan untuk dibawa mati,"ucap Alvin menyeret tas punggung ku ke arah parkiran."Tapi Pak saya ngga mau bunuh diri. Saya mau ke kost,"ucapku sebal. "Saya tidak percaya. Masuklah Kencana sebelum banyak orang,"ucap Alvin membukakan pintu mobil membuatku merengut sejenak sembari menghempaskan tub
Natasya menarik bibirnya tersenyum putri sulungnya mengetahui kehadirannya. "Di kampus, apa ada yang menyakitimu Nak?,"tanya Natasya mengusap kepalaku lembut. Memangnya kapan Bu Leni pernah berbicara dengan nada yang baik? "Dosen ngga pernah salah Bun. Jadi sebanyak apapun kesalahannya tetap dihitung ngga salah. Lagipula yang dikatakan Ibu dosen Kencana benar.Itu sudah fakta jadi Kencana tidak perlu lagi menutupinya dan itu bukan masalah yang besar,"ucapku menenangkan membuatnya tersenyum lega. Pasti wanita ini sudah begitu cemas memikirkan bagaimana kondisi terkini ku. Semakin tidak tega rasanya melihat matanya berlinang air mata jika harus melihat kenyataan rencana buruk yang ku rencanakan setelah wisuda.Akh tidak Kencana. Jangan goyah lagi. Cukup sekali membebankan orang lain untuk diriku. Aku tidak mau lagu menjadi beban untuk banyak orang di kemudian hari. Bunyi ponsel yang bergetar tanpa sengaja membuat Natasya melirik pesan Alvin
"Ken,""Kencana,""Oy Kencana,""Kenapa Cit?,"tanyaku memutar bola mata malas. "Loh kok pulangnya ngga mood sayang. Tadi ada masalah di jalan?,"tanya Natasya menarikku duduk di ruang tamu. "Bunda tau,"ucap Nacita tergelak puas menertawai kebodohan ku. "Kenapa ini kok ada yang kurang sreg?,"tanya Angga mendekat."Ayah tau. Ternyata selama ini Nacita sama Kencana itu beda dosen pembimbing. Dosen pembimbingnya Nacita itu memang masih muda dan belum mulai bimbingan,"ucap Nacita tergelak puas. Ingatan ku masih jelas terngiang saat Kavindra menarik senyum lebar mengetahui selama ini diriku salah orang.Flashback On "Jadi bapak itu Pak Alvin, dosen pembimbingnya Kencana ya,"tanya Adhikara. "Saya bukan Pak Alvin. Pak Alvin asisten dosen yang masih muda. Saya Kav
Suasana lingkungan pagi ini tengah kondusif dengan beberapa pria melintas untuk menyapa Ayah. Sementara seorang pria berdiri membawa tas yang cukup ku kenal dengan baik. Seharusnya dia mengantarkan dengan jasa kirim layanan online. Tapi dia adalah Kavindra. Pria yang suka hidup repot dengan semua urusan. Hal kecil seperti itu akan semakin besar jika bertemu dengan dirinya. Membuat Ayah dan Bunda semakin berpikir tidak-tidak tentangnya. Dibandingkan dengan kekasih beberapa anak tetangga, dia yang paling sering berkunjung."Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculik mu pergi seminar. Belum lagi saat kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran.Selain suka repot, satu hal yang menyebalkan dari manusia termasuk pria itu depan ku adalah suka meminta maaf untuk kesalahan lawan bicara. Apa dia berusah
"Ini barang yang kemarin tertinggal di hotel Dek,"ucap Kavindra mengangsurkan tas berserta keperluan lain."Terima kasih Pak,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Maaf ya. Saya jadi seperti menculikmu pergi seminar. Belum lagi malah kembali dengan luka parah,"ucap Kavindra membuatku menaikkan sebelah alisku heran."Tidak perlu minta maaf Pak. Itu saya yang salah,"ucapku membuatnya terkekeh pelan."Dek,"panggil Adhikara."Saya pamit dulu,"ucap Kavindra berlalu membuatku berbalik menatap Adhikara.Pria itu seolah mengerti dengan maksud tatapan ku segera membuka mulut mengutarakan maksud kehadirannya."Obatnya belum diminum,"ucap Adhikara membuatku berjalan lemah memasuki rumah."Nanti saja. Ayah, dimana Bunda?,"tanyaku melihat Angga menyesap kopi menikmati hari libur."Bunda sama Nacita
Dingin yang menusuk kulit membuatku mengeratkan jaket yang ku pakai menghalau dingin. Dengan kondisi luka berat seperti ini, sangat tidak menarik jika harus terkena angin."Biar hangat,"Sebuah cangkir tersodor dari Adhikara membuatku menarik senyum lebar. Sejak semalam dirinya tinggal di rumah sakit bersama Angga dan Natasya. Sebenarnya untuk apa juga tidak ku mengerti. "Kamu saja. Aku tidak haus,"ucapku sekedar formalitas. Adhikara bukan pria seperti Kavindra yang akan bertambah banyak bicara saat diriku diam.Akh ya kenapa harus dosen ku lagi sih? Untung saja Natasya memintanya pulang saja semalam. Jika tidak dia akan mengacau sepanjang malam dengan ocehan tidak masuk akalnya. "Astaga. Kencana kamu pulang dengan Nacita tidak apa-apa kan? Saya di panggil ke hanggar sekarang,"ucap Adhikara begitu panik. Seperti anggota Angga yang selalu bergegas setiap kali ada panggilan."Pergilah,"uca
Author POV Memasuki dunia sekolah, drama dan babak baru kehidupan kembali bergulir. Nadira memasukkan ku ke sekolah berasrama atas permintaan Dimas. Pendidikan yang terbaik sekalipun jika anak memiliki masalah dirumahnya akan tetap membawa pengaruh. Meskipun hanya setahun tetap saja begitu terasa berat.Harus berkomunikasi dengan banyak orang dan kondisinya yang kadang menjadi lebih buruk. Karakter Kencana yang dingin membuat putri komandan batalyon dengan pembawaan ceria tertarik. Jika Kencana di jauhi temannya
Author POV Byurr Byurr Dua riak gelombang di laguna membuktikan ada dua benda yang jatuh menimpanya. Kencana yang merasakan beberapa tulangnya terasa terkena dasar laguna berupa bagian hanya terdiam saja. Dirinya memejamkan mata menikmati sisa penyiksaan kehidupan dunia sebelum ajal menemuinya. Darah segar secara spontan langsung menguar membuat air menjadi merah.Kencana yang merentangkan tangan begitu tenang menyerahkan diri pada kematian terhenyak begitu merasakan tubuhnya di rengkuh. Sontak kedua matanya terbuka menatap seorang pria yang begitu payah dalam berenang berusaha menyelamatkan nya. Ck kalau dibiarkan dia akan mati. Melupakan keinginan untuk bunuh diri, Kencana menarik pria yang merengkuh nya menuju tepi.Kencana sudah berusaha menendang punggung Kavindra berharap pria itu bisa mengapung. Namun nyatanya dirinya dengan sengaja mem
Kencana POVSuasana pagi yang tidak bisa menunjukkan semangat terpancar dari gerimis di area batalyon. "Kencana kamu ngga mau jalan sama Adhikara kah akhir pekan nanti?,"tanya Nacita menaruh tasnya di depan ku. "Adhikara?,"tanyaku menggeser beberapa pesan yang tertimbun dengan nama itu. "Kalian berencana kemana Cit?,"tanyaku menghela nafas bosan membaca sapaan formal disana."Ke Cafe seperti biasa,"ucap Nacita membuatku menghela nafas pelan. "Ehm sepertinya aku tidak dulu. Tugas akhir ku sebentar lagi usai dan lebih baik diselesaikan dulu,"ucapku. "Bener juga sih,"ucap Nacita ku angguki. "Sepertinya Pramudhita sangat cocok denganmu Cit,"ucapku. "Bisa saja kamu Ken,"ucap Nacita tersipu. Sepertinya gadis ini juga sudah terlanjur jatuh cinta."Kamu masih saja bersikap formal dengan Adhikara,"ucap Nacita. "Mau bagaimana lagi?,"tanyaku mengedikkan bahu acuh sembari bersandar di sofa. "Adhikara memang k
"Maafkan keterlambatan saya Pak,"ucap Kavindra menunduk dalam. "Tidak apa-apa Pak. Tadi Kencana juga sudah mengabari. Terimakasih banyak Pak,"ucap Angga menarik senyum lega sementara Kavindra begitu ketakutan sampai tangannya tremor. "Siap. Saya pamit Pak,"ucap Kavindra berlalu sementara Natasya segera menyambut ku penuh bahagia."Kencana baru pulang?,"tanya Nacita heran usai berkeliling kesatuan. "Selamat malam Pak,"sapa Nacita mencium punggung tangan Kavindra membuatku mengerutkan kening aneh. "Bun apa aku perlu melakukan seperti Nacita?,"tanyaku lirih membuat Natasya menarik senyum lebar. "Kenapa tidak?,"tanya Natasya membuatku segera berlalu mendekati Kavindra. "Pak,"ucapku menangkupkan kedua tangan seperti yang dilakukan Bapaknya tadi."Ken,"panggil Nacita mengerutkan keningnya tampak kebingungan. "Saya permisi dulu,"ucap Kavindra berlalu keluar. "Kamu berjabat tangan pakai kayak gitu sama Pak Kavindra. Sejak kapan? Bukannya kamu sama
"Akh panasnya wajahku,"ucapku menatap cermin yang menunjukkan wajah yang merona. "Itu bukan panas Kencana. Apa kamu memang sepolos itu?,"tanya Kavindra baru kembali usai menunaikan sholat Isya. Akibat insiden itu membuatku harus membereskan sedikit hal hingga tanpa terasa sudah masuk sholat Isya."Apa? Memang terasa panas. Apalagi kalau Anda disini. Sepertinya tertular dosa yang Anda buat,"ucapku menepuk pipiku. "Itu karena kamu malu dengan saya Kencana. Pakai jaket ini,"ucap Kavindra membuat rasa panas semakin menjalar. Akh sepertinya aku benar-benar malu padanya. Terlebih melihatnya ikut merona saat memberikan jaketnya."Kencana, Ibu saya menelfon. Saya angkat dulu ya baru pulang,"ucap Kavindra saat hendak melanjutkan perjalanan. "Ya silahkan,"ucapku. Sembari menunggu Kavindra menelfon, mataku melirik beberapa panggilan tak terjawab dari Angga dan Natasya."Tapi Bu Kavi dengan Kencana sekarang.
"Selamat pagi Pak. Wah mahasiswa bimbingan Pak Kavindra rajin sekali sudah datang sepagi ini,"sapa Alvin baru tiba. Tidak hanya sekali kalimat itu terdengar di telinga. Pasalnya saat ini aku bimbingan di dalam ruangan bersamanya. "Mahasiswa bimbingan saya hanya satu Dek. Jadi lebih fokus,"ucap Kavindra."Oalah mari Pak,"ucap Alvin berlalu. "Loh Kencana kenapa masih di meja saya. Meja Dek Alvin disana,"ucap Kavindra membuatku memutar bola mata malas. "Puasanya cuma dapat lapar sama haus saja,"ucapku. "Keimanan seseorang hanya Allah yang tau,"ucap Kavindra. "Tampak religius tapi hobi mencibir,"ucapku semakin menjadi hanya membuatnya tergelak ringan."Nah begitu Kencana. Masih pagi sudah mengejar cita-cita. Pak ini lembar yang perlu ditandatangani terkait rekapitulasi mahasiswa,"ucap Bu Leni mengantarkan satu bundelan kertas dokumen sebelum berlalu pergi. "Anda harus bersyukur bimbingan dengan saya Kencana. Tanda tangan saya sulit dicari loh,