"Kak, cowok tadi itu yang namanya Hazmi?" Thalia melontar tanya. Mendadak Thalia ingin mengetahui siapa laki-laki yang baru saja menghampiri Kakaknya di depan toko accessories.
"Aduh, kenapa, sih, Thal? Kamu kepo soal dia?"
"Nggak apa-apa, Kak. Aku cuma mau memastikan aja, kalau memang cowok itu yang namanya Hazmi. Cowok gila yang ngaku-ngaku sebagai suami Kak Ayesha."
"Iya, dia itu Hazmi. Sumpah, aku kesal banget. Badmood ini makin menjadi-jadi, Thal. Nggak seharusnya dia nyamperin aku lagi. Apalagi nih, ternyata dia tahu akun instagram-ku. Dan yang lebih parahnya lagi, dia kirim DM yang isinya; Ayesha kamu dimana, aku kangen. Basi nggak sih?"
Ayesha masih saja menggerutu sebal. Ia menyinggahkan dirinya di sofa ruang tengah. Sedangkan Thalia hanya diam tak lagi membalas gerutuan Kakaknya. Ia hanya menggeleng-geleng heran ketika Ayesha masih tak berhenti marah-marah tak jelas. Sebelumnya Ayesha tak pernah sekesal ini, biasanya sekesal apapun, Ayesha akan memilih diam tanpa pernah semarah ini.
"Sabar, Kak ... mungkin aja bisa benar kalau si Hazmi itu suami Kakak, atau memang bukan."
Ayesha melongo kembali menyudutkan tatapan tajamnya pada Thalia. Bisa-bisanya Thalia memberikan pernyataan yang membuat hati Ayesha semakin tak terima.
"Kak, biasa aja kali natapnya. Ngeri tahu, Kak."
"Thalia sayang, bisa nggak, memberikan pernyataan itu nggak usah menyatakan hal yang jelasnya masih abal-abal. Contoh, waktu Hazmi menunjukkan tanda bukti cincin pernikahannya ke aku, ya aku nggak bakal gampang percaya gitu aja. Dan sekarang, kamu bilang kalau Hazmi itu beneran suamiku? Kalau memang itu benar terjadi, dianya nanti yang malah besar kepala."
"Kak, bahkan Kak Ayesha masih belum tahu kejelasan Hazmi. Coba deh, Kakak cari tahu langsung, kenapa cowok yang bernama Hazmi itu selalu mengakui bahwa Kakak istrinya. Jangan main ng-judge, atau pun Kakak marah-marah nggak jelas seperti ini. Aku ngelihat Kak Ayesha nggak seperti dulu lagi, yang biasanya Kak Ayesha selalu nggak pernah semarah ini."
Ayesha mendadak diam. Ia baru tersadar mendengar ungkapan Adiknya. Tak seharusnya dirinya terlalu menyulutkan emosi. Apalagi hingga ia marah-marah tak keruan saat Thalia mengajaknya mengobrol.
"Terus, Kakak harus gimana? Justru nih, gimana Kakak nggak kesal sama pengakuannya itu, Dek. Harus berapa kali sih, Kakak bilang, kalau Kakak belum pernah nikah. Kakak bingung, Dek."
"Kak ..."
Dreet ... Dreet ... Dreet ..., Thalia mengurungkan niat yang ingin menyelesaikan perkataannya. Mereka mendengar suara ponsel milik Ayesha yang bergetar. Cepat-cepat Ayesha merogoh ponselnya dan lekas menekan layar touchscreen untuk menerima panggilan. Sekilas Ayesha melihat nomor yang tak dikenal dan ia pun langsung menerima telepon tersebut.
"Halo?" Ayesha mulai membuka suara setelah menerima panggilan.
"Ay, kamu masih marah sama aku?"
"Ini siapa, ya? Maaf, aku nggak kenal sama nomornya."
"Aku Hazmi, Ay."
Glek! Ayesha tertegun setelah mendengar siapa seseorang yang meneleponnya. Darimana dia tahu nomorku?
"Thal!" Ayesha setengah berbisik memanggil Adiknya. Ia memberi tanda bahwa ia menerima panggilan dari Hazmi.
Cepat-cepat Thalia menyinggahkan duduknya di sisi Ayesha. Ia pun sengaja menguping obrolan Hazmi bersama Kakaknya itu.
"Tahu darimana nomorku?" Ayesha lagi-lagi berkata dengan nada ketusnya.
"Nggak perlu kamu tahu. Kamu tahu pun, pada akhirnya kamu nggak akan percaya. Ay, please ... aku minta maaf, maaf, karena aku sudah keterlaluan memaksamu."
"Sadar diri juga, ya? Begini ya, Hazmi, kamu bahkan tahu kalau aku nggak kenal sama kamu. Jadi tolong, jangan ganggu aku lagi."
"Nggak bisa, Ay! Bagaimanapun, aku harus berusaha agar kamu percaya, bahwa kita sudah menikah."
"Kalau mimpi itu jangan ketinggian, Hazmi. Aku nggak pernah menikah dengan siapapun, termasuk sama kamu."
"Ay, jadi kamu masih nggak percaya?"
"Nggak, dan nggak akan percaya."
"Kita udah nikah, Ay. Bahkan sudah menikah sekitar dua belas tahun yang lalu."
"Hah? Lucu banget ya, aku pengin banget ketawa. Umur segitu aku masih SMP. Jangan ngasal bilang kalau kamu nikahin aku yang masih bocah waktu itu. Aku nggak ingat apa-apa, dan aku nggak kenal kamu."
"Ok, kamu boleh nggak ingat aku. Tapi yang jelas, aku udah jatuh cinta sama kamu, sejak sebelum aku mengucap ijab kabul. Bahkan aku sendiri yang meminta pada Ayah untuk nggak bilang apapun, agar Beliau merahasiakan ini. Merahasiakan pernikahan kita, tanpa kamu tahu bahwa kita sudah menikah, Ay."
"Sebentar, omonganmu benar-benar ngawur. Mending dirukyah dulu deh, biar otakmu waras."
"Aku nggak gila, Ay. Aku berterus terang tentang ini."
"Terserah kamu, Mi. Udah deh, malas berdebat sama orang yang mengkhayalnya ketinggian kayak kamu. Bye!"
Ayesha memutuskan sambungan telepon Hazmi sepihak. Ia lagi-lagi makin bingung mengapa perkataan Hazmi tak bisa dijangkau pikirannya. Bahkan menurut Ayesha, Hazmi terlalu mengkhayal jika laki-laki itu sudah menikahinya. Buktinya saja Ayesha tak pernah memasang cincin pernikahan di jari manisnya. Cincin yang Hazmi pakai harusnya tersemat di jari manisnya jika memang Ayesha menikah dengan laki-laki itu.
Ini benar-benar konyol bagi Ayesha. Ayesha masih tak terima saat Hazmi menyebutnya sebagai istri sahnya.
"Kak, ngucapin salam dulu kali, jangan main mutusin sambungan telepon sepihak. Galak banget Kak Ayesha."
"Thal, kalau nggak gitu, Hazmi nggak akan berhenti berusaha menunjukkan tanda bukti bahwa dia sudah menikahi Kakak. Sejak kapan Kakak nikah dengannya? Bahkan Ayah sama Ibu nggak pernah ngomong tentang pernikahan ke Kakak."
"Begini aja, Kak. Kak Ayesha bisa tanyakan tentang Hazmi ke Ayah. Mungkin siapa tahu, Ayah tahu soal Hazmi, Kak. Kalau seandainya ungkapan Hazmi benar, Ayah pasti tahu tentang Hazmi. Kalau perkataan Hazmi salah, ya Ayah nggak bakal tahu apa-apa tentang Hazmi," Thalia memberikan argumen agar Ayesha lekas mencari tahu segala hal yang berhubungan dengan Hazmi.
"Nanti deh, kalau badmood Kakak sudah pulih, Kakak bakal tanya soal ini sama Ayah," jawab Ayesha, ia malah tak berselera mendengar pendapat Thalia. Padahal Thalia ada benarnya. Sayangnya Ayesha enggan menuruti perkataan Adiknya, ia mengira bahwa Hazmi memang bukan suaminya. Apapun perkataan Hazmi sama sekali tak ada yang benar menurut Ayesha.
Thalia ada benarnya juga, lebih baik aku tanya soal ini sama Ayah. Tapi masa sih? Aku nggak akan percaya bahwa Hazmi suamiku. Kalau pun iya, aku nggak akan mau sama dia. Tinggal berdua sama cowok gila kayak si Hazmi, astagfirullah ... bisa mimpi buruk mulu, Ay!
Ayesha menggelengkan kepalanya ketakutan. Ia ogah membayangkan jika seandainya ia benar-benar menikah dengan Hazmi. Bisa kacau, Ayesha tak akan betah tinggal bersama laki-laki itu.
"Kak, masih waras, kan?" Thalia tiba-tiba mengacaukan pikiran Ayesha yang masih melayang.
"Waras, lah, Dek."
"Alhamdulillah, syukur Thalia nggak punya Kakak yang nggak waras." Thalia berucap sembari cepat-cepat kabur dan memasuki pintu kamar meninggalkan Ayesha yang bersiap melemparkan bantal ke arahnya.
"Nyebelin banget, sih, jadi Adik!" Ayesha menggerutu sebal melihat tingkah Thalia yang berani menggodanya.
(Flashback)
"Ayah, Thalia, Ayesha rencananya mau liburan lagi minggu depan. Nah, tapi Ayesha bingung, menentukan pilihan tempatnya. Ada tiga lokasi yang pengin banget Ayesha tuju," ucap Ayesha setelah ia menuntaskan makan siang bersama di rumah.
Sementara Erlan dan Thalia hanya menyimak Ayesha. Mereka juga masih menunggu ungkapan Ayesha selanjutnya. "Terus, menurut kalian, aku pilih yang mana? Pertama Lombok, kedua Medan, dan ketiga Bali. Kemana enaknya?"
Erlan kali ini menatap putri sulungnya dengan saksama. "Ayesha ke Bali aja. Sebentar lagi umur Ayesha sudah genap dua puluh empat tahun, Ayah pengin banget ngerayain ulang tahunmu di Bali, Ay."
"Ide bagus, Yah. Ayah berarti ikut ke Bali sama Ayesha dan Thalia. Kita ngerayain ulang tahun Ayesha di sana."
"Ok, ok, Ayesha dan Thalia bisa berangkat duluan ke Bali. Nanti Ayah nyusul."
"Ya, Ayah ..." Thalia mengembuskan napas pasrah setelah mendengar jawaban Erlan.
"Santai aja, Dek, Ayah pasti nyusul kita, kok. Kita duluan ke berangkat ke Bali, ya?" ajakku yang begitu bersemangat menanggapi pendapat Ayah. Dan setelahnya Ayah tak lagi mengungkapkan apa-apa.
Dan saat ini, mengapa laki-laki yang bersapa Hazmi itu harus mengaku bahwa ia suami Ayesha?
Bersambung đ˘
Ting, tong! Suara bel dari pintu luar membuat Ayesha yang selesai melaksanakan salat subuh mengernyit heran. Gadis itu lekas melipat mukenah dan sajadahnya yang lalu diletakkannya di atas kasur. Ayesha segera cepat-cepat berjalan menuju pintu, padahal bel berbunyi telah terdengar dua kali. Krakk! Pintu telah terbuka lebar. Namun Ayesha tak menemukan apa pun setelah membuka pintu. Ayesha semakin bingung, lalu siapa orang yang sengaja menekan bel ruangan apartemennya? Sesekali Ayesha menoleh ke sekitar, dan mencoba mencari siapa yang baru saja mengerjainya di pagi-pagi itu. Slapp! Kaki Ayesha tak sengaja menyentuh sebuah kotak yang cukup besarâyang terletak di bawah pintu. Mengetahui itu, Ayesha langsung mengambil kotak yang mirip sebuah kado, kotak tersebut telah terbungkus rapi dengan kertas kado lengkap bersama pita merah. Seakan menambah kesan manis saat mema
Suasana pagi di pantai Seminyak terlihat ramai seperti biasanya. Ayesha, Thalia, dan Hazmi baru saja tiba di lokasi pantai. Ayesha dan Thalia menumpang taxi, sedangkan Hazmi sengaja mengikuti jejak mereka berdua dengan sepeda motornya. Hingga tiba di lokasi pantai, Hazmi memarkirkan sepedanya sebentar. Kemudian ia mempercepat langkahnya mendekati Ayesha dan Thalia. Dua gadis itu sedang berjalan melewati pintu masuk menuju pantai tanpa menghiraukan keberadaan Hazmi yang mengikuti dari belakang. "Ay!" Begitu ketika Hazmi kembali memanggil gadis berkerudung itu. Sementara objek yang dipanggilnya mulai menghentikan langkah tepat di tepi pantai.Melihat keberadaan Ayesha dan Thalia, Hazmi masih berlari menghampiri dua gadis itu. Hingga ia terhenti di depan Ayesha. "Apa, sih? Nggak ada kerjaan ya, ngikutin aku mulu?" kata Ayesha yang sengaja melempar senyuman sinis. Sebenarnya ia t
Pandangan Ayesha menangkap Thalia yang sedang mengobrol akrab bersama Hazmi. Ayesha semakin geram mengamati keberadaan mereka. Yang awalnya ia sengaja memberi jarak jauh agar Hazmi tak lagi mendekatinya, kini malah Thalia adiknya yang sedang bersama laki-laki itu. Ya ampun ... mereka ngapain, sih!? Gerutu Ayesha kesal. Rasanya sorotan matanya begitu membenci menatap Hazmi yang sengaja mendekati adiknya. Lalu Ayesha lekas mempercepat langkahnya menghampiri mereka. Tap! Langkah Ayesha terhenti di sisi Thalia. Gadis itu semakin geram menatap Hazmi. Dan pandangan Hazmi pun sontak mengetahui keberadaan Ayesha yang kini di depannya. "Ay ...""Thal, pulang, yuk? Kakak bete' di sini," gumam Ayesha lantas sengaja memotong panggilan Hazmi yang ingin menyebut namanya. Thalia mengangguk pasrah. Akhirnya ia menuruti kemauan kakak perempuannya itu. Sedangkan Ayesha sengaja menarik l
Hazmi meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Ia menikmati senja di balkon kamar sembari membaca novel karangan Ayesha. Sedari dulu Hazmi tak pernah menyukai membaca buku. Sekalipun melihat buku saja ia merasa jengah. Namun karena buku yang dipegangnya adalah novel karangan Ayesha, Hazmi mau membacanya. Bahkan ini adalah pertama kalinya ia mau membaca novel. Senyuman Hazmi tersungging sempurna. Ia baru membaca sampai bab ke enam. Novel karangan Ayesha yang Hazmi baca ialah bergenre teenlit. Hazmi sudah mengetahui bahwa Ayesha adalah seorang penulis. Dan hobi Ayesha saja Hazmi sangat hapal, meskipun ia tak pernah dekat dengan gadis itu sebelumnya. "Haz." Hazmi spontan menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Ia meletakkan buku yang digenggamnya ke atas meja. Mengetahui siapa pemilik suara itu, membuat Hazmi mau beranjak dari singgahannya. "Kak Rafli? Kok, kapan ke sininya?" Hazmi berkata bing
"Assalamualaikum, Yusuf, maaf, kedatangan kami telat," ucap Erlan. Ia menjabat telapak tangan Yusuf sejenak. Mereka berdua tampak tersenyum semringah."Waalaikumsalam. Ah, tidak apa-apa, Lan. Ya sudah, ayo duduk dulu." Begitu Yusuf mempersilakan keluarga Erlan menempati kursi yang telah tersedia. Akhirnya Ayesha dan Thalia pun ikut menyinggahkan duduknya bersama Ayah mereka. Sayangnya Ayesha merasa tak nyaman. Berada di antara mereka rasanya sangat mengasingkan. Ayesha pun tak mengenal detail siapa Yusuf, pasti dia Ayahnya Hazmi, pikir Ayesha. Dan di samping Hazmi itu pasti saudaranya. Hanya berpikir seperti itu Ayesha menebak siapa mereka. Dan yang Ayesha herankan, mengapa Ayah mengenali keluarga Hazmi? Astaga ... jangan bilang ..., Ayesha merasa tak tenang memikirkan hal yang sangat sulit ia duga. Pelan-pelan ia mengatur degupannya, sembari menyimak pembicaraan antara Ayahnya bersama
"Ya udah, Suf, nanti saya akan sampaikan pada Ayesha. Baik, wassalamualaikum," ujar Erlan yang baru saja memutuskan panggilan teleponnya. Telepon dari Yusuf, besannya. Ayesha yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di pagi itu, ia menghampiri Erlan yang sedang duduk menonton televisi di ruang tengah. Sementara Thalia sedang sibuk menyiapkan sereal untuk sarapan paginya bersama Ayah dan Kakaknya. "Ayah, dari Om Yusuf?" Ayesha bersuara saat menjatuhkan posisinya di sisi Erlan. Sebelumnya ia sedikit mendengarkan perbincangan Erlan lewat telepon. Pantas saja Ayesha heran melihat Erlan setelah keluar dari kamar. Ayesha tak sengaja menguping pembicaraan Ayahnya di ruang tengah. "Iya. Dari mertuamu, Ay. Oh ya, tadi Om Yusuf bilang, kalau Hazmi akan mengajakmu jalan-jalan ke Kebun Raya Bali. Nanti Ayah sama Thalia nyusul kalian. Tapi belakangan. Setelah kamu berangkat sama Hazmi."Aye
Masih dengan suasana Kebun Raya Bali. Rupanya Hazmi terpaksa jalan-jalan seorang diri tanpa ada Ayesha membersamainya. Dengan berat hati pula Hazmi melepas Ayesha pergi tanpa ia tahu dimana istrinya kini. Dan saat ini laki-laki itu hanya berkutat memotret dengan sebuah kamera digital miliknya. Hobi Hazmi yakni memotret. Ia juga penyuka traveling. Bahkan tak hanya pulau Bali yang berhasil dijelajahinya, namun beberapa pulau di Indonesia pun sudah ia kunjungi seorang diri. Dan hingga ia memilih pulau dewata sebagai tempat persinggahannya kini. Hazmi bekerja sebagai fotografer di salah satu kantor media kota Denpasar. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai majalah lokal Bali hingga interlokal di pulau jawa. Ini adalah hobi Hazmi sejak lama, menemukan pekerjaan sesuai passion-nya adalah hal yang ia inginkan. Beruntungnya Ayesha tak sama sekali protes mengetahui pekerjaan Hazmi. Lelaki itu baru memberitahukan identitasnya
Krakk! Ayesha lekas mendaratkan duduknya di sofa apartemen. Ia mengembuskan napasnya pelan, namun sangat ia paksa. Pelupuk matanya masih menyimpan cairan bening yang tak bisa ia kuakkan. Perasaannya tak beraturan, tak nyaman. Ingatannya masih terngiang akan perkataan Hazmi. Bagaimana bila Hazmi membenciku? Bagaimana bila Hazmi tak mau memperjuangkan hatinya untukku kembali? Dan kenapa saat ini aku begitu takut kehilangan? Seakan hati ini tak membaik ketika Hazmi mengucapkan kalimat itu padaku. Ya Allah ... apa aku benar-benar jatuh cinta? Karena selama ini, aku tak pernah merasakan jatuh cinta dengan perasaan seperti ini, Ya Rabb ... apa yang kuharus lakukan? Ayesha terlihat khidmat merapal kalimat di balik hatinya. Rasanya sesakit ini mengetahui laki-laki yang pernah ia benci mengatakan yang mampu menohok hatinya. Dan ternyata Ayesha tak mampu mendefinisikan mengapa ia terlalu takut dan bimbang memikir