"Assalamualaikum, Yusuf, maaf, kedatangan kami telat," ucap Erlan. Ia menjabat telapak tangan Yusuf sejenak. Mereka berdua tampak tersenyum semringah.
"Waalaikumsalam. Ah, tidak apa-apa, Lan. Ya sudah, ayo duduk dulu." Begitu Yusuf mempersilakan keluarga Erlan menempati kursi yang telah tersedia.
Akhirnya Ayesha dan Thalia pun ikut menyinggahkan duduknya bersama Ayah mereka. Sayangnya Ayesha merasa tak nyaman. Berada di antara mereka rasanya sangat mengasingkan. Ayesha pun tak mengenal detail siapa Yusuf, pasti dia Ayahnya Hazmi, pikir Ayesha. Dan di samping Hazmi itu pasti saudaranya. Hanya berpikir seperti itu Ayesha menebak siapa mereka.
Dan yang Ayesha herankan, mengapa Ayah mengenali keluarga Hazmi? Astaga ... jangan bilang ..., Ayesha merasa tak tenang memikirkan hal yang sangat sulit ia duga.
Pelan-pelan ia mengatur degupannya, sembari menyimak pembicaraan antara Ayahnya bersama Yusuf teman Ayahnya itu. Mereka tampak asyik saling mengobrol. Senyuman mereka tampak menghangatkan suasana. Seperti teman lama yang tanpa Ayesha mengetahuinya. Karena sebelumnya pun Ayahnya tak pernah bercerita memiliki teman akrab seperti Ayahnya Hazmi.
"Oh ya, Ayesha, Thalia, Om Yusuf ini adalah teman baik Ayah. Teman sejak dulu, sewaktu Ayah masih kecil. Om Yusuf punya dua putra, yang pertama Rafli, dan yang kedua ini Hazmi." Akhirnya Erlan menjelaskan siapa mereka.
Kedua mata Ayesha menatap keberadaan Hazmi dan Rafli yang saling tersenyum ke arahnya. Entah mengapa detakan yang Ayesha rasakan makin berirama. Dengan tenang ia menunggu kalimat yang akan sang Ayah lontarkan lagi. Sementara Thalia, ia tetap diam dengan tenang menunggu pembicaraan dua keluarga ini.
Diam-diam pun Thalia melirik Ayesha, ia menangkap Ayesha yang penuh gelisah. Thalia mengerutkan dahinya heran, ada apa dengan Kakak perempuannya itu? Tiba-tiba saja Thalia mengingat penjelasan pengakuan Hazmi padanya. Tentang perkara bahwa Ayesha telah menikah.
Apa Kak Ayesha khawatir, kalau memang Ayah mau menjelaskan bahwa Kak Hazmi suami sah Kak Ayesha? Jangan-jangan maksud Ayah membawaku dan Kak Ayesha ke sini, karena masalah ini, gumam kata hati Thalia. Ia menatap cemas saat melirik raut wajah Ayesha.
"Ayesha, Om ngerti kamu pasti lupa dengan keluarga Om. Padahal dulu kamu sempat tahu Om dan Hazmi, sewaktu kalian masih satu sekolah bersama ..."
Ayesha terperangah mendengar perkataan Yusuf yang menyatakan; ia pernah satu sekolah yang sama bersama putranya. Sejak kapan? Pikiran Ayesha mulai bertanya.
Apa karena ia terlalu menikmati kesehariannya, ia jadi melupakan tentang mereka. Hingga otak Ayesha telah menghapus semua memori tentang Hazmi. Tapi mengapa sekarang Ayesha tak merasa mengenali Hazmi dan tak mengingat apa-apa tentang laki-laki itu.
"Dulu kalian sempat satu sekolah di SMP yang sama. Sayangnya waktu itu kalian nggak saling dekat. Hazmi pun masih nggak berani ngedeketin kamu. Haha ... lucu saja kalau diingat lagi, waktu itu Om mendesaknya agar segera melamarmu. Sebelum putra Om terlalu jatuh cinta padamu, Ay.
"Sejak usia Hazmi masuk ke lima belas tahun, Om secara resmi menikahkannya bersama kamu. Tapi sayangnya, pernikahan kalian itu yakni nikah gantung. Usia kalian masih sangat muda untuk menikah, dan setelah menikah, kalian masih menjadi tanggung jawab orangtua masing-masing."
"M-menikah? Tapi, kok, aku nggak tahu apa-apa tentang pernikahanku? Kalau memang kawin gantung, kenapa Ayah nggak ngomong terus terang padaku? Dan jadi, selama ini Ayah menyembunyikan pernikahan Ayesha, maksudnya gitu?" Ayesha sontak melontarkan beberapa pertanyaan. Ia sama sekali belum mempercayai kenyataan bahwa ia memiliki suami. Bahkan sejak usia remajanya.
"Maaf, Sayang? Ayah sengaja menyembunyikan ini denganmu. Karena sebelumnya kami sudah sepakat untuk tidak mengatakan hal sebenarnya padamu. Ayah takut kamu kaget, dan kamu akan menolak pernikahan ini. Bukan berarti Ayah nggak sayang denganmu, justru Ayah sangat menyayangi putri Ayah. Makanya Ayah nggak mau putri Ayah kejebak dalam hal yang dilarang agama.
"Meski kamu belum menyukai Hazmi, tapi Hazmi sudah menyukaimu sejak dulu. Ayah nggak mau putri Ayah salah arah, makanya hanya dengan cara menikahkanmu bersama Hazmi, Ayah jadi tenang. Dengan begitu, kalian sudah sah, saling menaruh hati pun tak masalah, karena kalian berdua sudah menikah," imbuh Erlan yang menjelaskan perihal pernikahan pada Ayesha.
Dada Ayesha terasa sesak. Rasanya ia bagai bermimpi. Sulit ia percaya mendengar ungkapan mereka. Terutama pernyataan Ayahnya sendiri. Ayesha pikir selama ini tak menikah. Pantas saja Ayesha merasa tenang-tenang saja, ketika Ayahnya tak selalu mendesaknya menikah. Padahal usia Ayesha sudah menginjak dua puluh empat tahun.
Ayesha pikir Hazmi bohong. Laki-laki itu sudah gila karena mengakui ia sebagai istri. Namun kenyataannya perkataan Hazmi benar. Pantas saja sejak kemarin Hazmi tak pernah absen mengejar Ayesha selama di Bali. Meski pada akhirnya Ayesha bersikap jutek pada laki-laki itu.
"Ay, Ayah sengaja menyuruhmu traveling ke Bali. Karena Ayah pikir, kamu harus mengetahui siapa suamimu sebenarnya. Kamu sudah menikah, Nak. Bahkan pernikahan kalian sah secara agama. Usia kalian sudah sangat matang, dengan begitu kalian bisa mengurus surat-surat pernikahan di KUA secepatnya."
Ayesha masih terdiam. Ia masih belum bisa menghentikan denyut irama jantungnya yang berdesir cepat. Ternyata perihal ini yang membuat Ayesha deg-degkan sedari tadi. Ayesha bingung harus ngomong apa. Bahkan ia belum terima kenyataan bahwa ia telah menikah bersama Hazmi. Laki-laki itu sangat menyebalkan baginya. Sayangnya Ayesha telanjur membenci keberadaan Hazmi.
Acara makan malam saat ini sangat membuat Ayesha tak selera. Buktinya ia masih menyisakan banyak sisa makanan dan malah hanya menandaskan jus stroberi kesukaannya. Usai menyelesaikan makan bersama, mereka masih berada di kawasan restoran tepi pantai. Tapi kali ini, Ayesha meminta izin untuk duduk di tepi pantai seorang diri. Ia berniat ingin menenangkan hatinya.
Skenario yang sudah lama ia tak ketahui akhirnya terungkap. Ingin rasanya membenci hari ini, mengapa semesta sengaja membuat hari ini sangat tak menyenangkan baginya. Namun Ayesha tak mungkin membenci Ayah, beliau ada benarnya juga. Kalau saja Ayah tak lekas menikahkannya, Ayah pasti lebih khawatir. Karena pergaulan zaman anak sekarang sudah sangat berbeda. Merasakan jatuh hati pun juga bisa menimbulkan zina hati.
Tapi, apa mungkin Hazmi bisa menjadi suami yang baik? Ayesha bertanya ke dalam pikirannya. Sejenak ia memejamkan kelopak matanya untuk menikmati suara angin yang begitu menyatu bersama deburan ombak.
"Merem juga terlihat cantik, ya? Aku sangat bersyukur, punya istri kayak kamu, Ay."
Ayesha spontan membuka kedua matanya. Ia melirik ke asal suara yang kini berada di sisinya. Di sana terdapat Hazmi yang sedang duduk tersenyum menatap Ayesha. Kelakuan Hazmi yang Ayesha tahu hanya itu. Selain laki-laki yang mengaku sebagai suami Ayesha itu bisa gombal, ia juga suka menatapnya.
Ayesha tak mau berkata. Ia mengalihkan pandangan mengamati suasana malam di tepi pantai. Ia sedang tak berminat beradu mulut bersama Hazmi.
"Lagi sariawan, Ay? Sampai kehabisan kata-kata? Biasanya kamu paling kesal ngelihat aku di dekatmu. Kangen tahu sama omelanmu." Hazmi tersenyum sembari bertahan menatap Ayesha.
"Bisa diam, nggak? Aku lagi nggak mau ngomel-ngomel."
"Nggak mau ngomel karena karena grogi ada aku? Atau nggak mau ngomel karena takut dosa, pas tahu aku suami sah kamu?"
"Haz ..." Ayesha menautkan alisnya menatap kesal pada Hazmi. Bisa-bisanya ia menggoda Ayesha disaat kondisi perasaan Ayesha belum stabil karena acara makan malam.
"Iya, iya ... maaf, Ayangku ..." Hazmi sengaja memanjakan suaranya. Ia berniat membuat Ayesha tak kesal lagi.
"Hazmi ... geli aku dengarnya! Bisa berkata yang lain nggak, sih? Nggak manggil panggil sayang-sayangan gitu," gumam Ayesha. Kelakuan Hazmi belum meredakan emosi Ayesha. Bahkan laki-laki itu sengaja membuat Ayesha tambah bete'.
"Iya, terus? Panggil apa, dong? Kita kan sudah sah suami istri, Ay?"
"Panggil biasanya aja. Ayesha. Udah," protes Ayesha. Ia tak menerima Hazmi menyebutkan kata itu. Bukan Ayesha tak suka, Ayesha masih merasa tak nyaman karena hari ini.
"Iya, deh. Panggil Ayesha juga bisa jadi Ayang, kok. Nih, buktinya, aku panggil Ay. Bisa jadi sayang artinya."
"Terserah."
Ampun ... kenapa jadi deg-degkan gini di dekat Hazmi? Padahal kemarin biasa aja. Kamu kenapa sih, Ayesha? Please ... jangan suka Hazmi sekarang, dong. Aku masih butuh waktu, Ayesha membatin. Ia berusaha mengontrol degupannya itu dengan menghela napas sebentar. Kedua matanya tak lagi menghiraukan keberadaan Hazmi yang masih tak bosan bertahan menatapnya.
Bersambung 🌞
"Ya udah, Suf, nanti saya akan sampaikan pada Ayesha. Baik, wassalamualaikum," ujar Erlan yang baru saja memutuskan panggilan teleponnya. Telepon dari Yusuf, besannya. Ayesha yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di pagi itu, ia menghampiri Erlan yang sedang duduk menonton televisi di ruang tengah. Sementara Thalia sedang sibuk menyiapkan sereal untuk sarapan paginya bersama Ayah dan Kakaknya. "Ayah, dari Om Yusuf?" Ayesha bersuara saat menjatuhkan posisinya di sisi Erlan. Sebelumnya ia sedikit mendengarkan perbincangan Erlan lewat telepon. Pantas saja Ayesha heran melihat Erlan setelah keluar dari kamar. Ayesha tak sengaja menguping pembicaraan Ayahnya di ruang tengah. "Iya. Dari mertuamu, Ay. Oh ya, tadi Om Yusuf bilang, kalau Hazmi akan mengajakmu jalan-jalan ke Kebun Raya Bali. Nanti Ayah sama Thalia nyusul kalian. Tapi belakangan. Setelah kamu berangkat sama Hazmi."Aye
Masih dengan suasana Kebun Raya Bali. Rupanya Hazmi terpaksa jalan-jalan seorang diri tanpa ada Ayesha membersamainya. Dengan berat hati pula Hazmi melepas Ayesha pergi tanpa ia tahu dimana istrinya kini. Dan saat ini laki-laki itu hanya berkutat memotret dengan sebuah kamera digital miliknya. Hobi Hazmi yakni memotret. Ia juga penyuka traveling. Bahkan tak hanya pulau Bali yang berhasil dijelajahinya, namun beberapa pulau di Indonesia pun sudah ia kunjungi seorang diri. Dan hingga ia memilih pulau dewata sebagai tempat persinggahannya kini. Hazmi bekerja sebagai fotografer di salah satu kantor media kota Denpasar. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai majalah lokal Bali hingga interlokal di pulau jawa. Ini adalah hobi Hazmi sejak lama, menemukan pekerjaan sesuai passion-nya adalah hal yang ia inginkan. Beruntungnya Ayesha tak sama sekali protes mengetahui pekerjaan Hazmi. Lelaki itu baru memberitahukan identitasnya
Krakk! Ayesha lekas mendaratkan duduknya di sofa apartemen. Ia mengembuskan napasnya pelan, namun sangat ia paksa. Pelupuk matanya masih menyimpan cairan bening yang tak bisa ia kuakkan. Perasaannya tak beraturan, tak nyaman. Ingatannya masih terngiang akan perkataan Hazmi. Bagaimana bila Hazmi membenciku? Bagaimana bila Hazmi tak mau memperjuangkan hatinya untukku kembali? Dan kenapa saat ini aku begitu takut kehilangan? Seakan hati ini tak membaik ketika Hazmi mengucapkan kalimat itu padaku. Ya Allah ... apa aku benar-benar jatuh cinta? Karena selama ini, aku tak pernah merasakan jatuh cinta dengan perasaan seperti ini, Ya Rabb ... apa yang kuharus lakukan? Ayesha terlihat khidmat merapal kalimat di balik hatinya. Rasanya sesakit ini mengetahui laki-laki yang pernah ia benci mengatakan yang mampu menohok hatinya. Dan ternyata Ayesha tak mampu mendefinisikan mengapa ia terlalu takut dan bimbang memikir
Tok, tok, tok! "Siapa?" Suara ketukan pintu tersebut sempat membuat Ayesha mengerutkan kening. Siapa orang yang beraninya datang bertamu di tengah malam begini? Dan tampaknya Thalia dan Ayah telah tertidur. Ayesha tak punya pilihan lain selain mencoba menemui sang tamu yang bertahan di depan pintu ruangan apartemennya. Tok, tok!"Assalamualaikum ..." Suara itu telah mengetuk pintu kesekian kali. Ia juga sempat mengucap salam sembari mengetuk pintu ruangan.Krakk!"Waalaikumsalam."Pintu terbuka sempurna. Saat ini Ayesha cukup tercengang menemukan keberadaan Hazmi yang kini berada tepat di depannya. Entah apa tujuan Hazmi datang ke apartemen di tengah malam. Pikiran Ayesha saja seakan bertanya-tanya."Kamu ...""Aku boleh nginap di sini, nggak?"Mendadak Ayesha kaget mendengar per
"Ay, Ayesha ...." Suara Hazmi tetap bersikukuh memanggil Ayesha. Jemarinya saja ia daratkan menyentuh wajah gadis yang terlelap itu.Sayangnya Ayesha hanya menggeliat tanpa menghiraukan panggilan lelaki tersebut. Tubuhnya pun sengaja berbalik arah seolah-olah menghindari sentuhan Hazmi yang memanggilnya.Hazmi menghela napas berat. Susah juga membangunkan Ayesha di jam segini. Apalagi jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Sayangnya bukan Hazmi namanya jika ia harus kehilangan akal. Dan kali ini ia mencoba mencari cara agar istri mungilnya itu terjaga dari tidurnya."Tidur aja udah cantik, Ay. Tapi sayang, tidurmu aja nggak ngalah-ngalahin sang putri tidur," pekik Hazmi. Ia bertahan menatap wajah Ayesha dari sisi sangat dekat. Lelaki itu tak kehilangan cara lain membangunkan gadis cantik yang terlelap di depannya kini.Saat ini Hazmi merebahkan tubuhnya di sisi Ayesha. Dengan senyum semringah ia menatap
Kali ini Ayesha tiba di danau Beratan Bedugul. Gadis itu tak hanya berniat mencari accesories pesanan teman-teman Thalia, namun sayangnya ia pun enggan melewatkan jalan-jalan menjelajahi Bali. Ayesha jadi ingat ketika kali pertama ia berkunjung ke pulau Bali. Ia tampak senang jalan-jalan berkunjung ke beberapa tempat wisata. Dan terutama wisata bedugul. Meski sayangnya bagi Ayesha, ia belum puas berkeliling ke pulau dewata ini.Suasana pagi di danau itu sangat sejuk. Bahkan tiupan angin yang menusuk ke pori-pori kulit tak membuat Ayesha merasa kedinginan. Gadis itu masih berjalan sendiri tanpa menghiraukan keberadaan sang suami dan Thalia yang berada di belakangnya."Kak Ay! Jangan cepat-cepat dong, jalannya. Capek tahu! Nah, tuh, suami Kakak aja ditinggal sama Kak Ayesha. Nggak kasihan sama Kak Hazmi?" Thalia memanggil dari arah belakang, hingga ia berhasil membuat langkah Ayesha terhenti.Kini Ayesha memutar tub
Nyaris setengah jam Thalia sendiri menunggu di pinggir danau. Ia tak habis pikir dengan keberadaan sang kakak yang bertahan meninggalkannya. Thalia saja mendadak bosan harus berjalan mondar-mandir tanpa seorang teman. Gadis itu kini memilih duduk di salah satu bangku yang tersedia di sisi danau. Sembari menunggu kedatangan Ayesha dan Hazmi, Thalia cukup bersabar lantas mengamati banyaknya pengunjung yang berlalu lalang menikmati suasana wisata. Sesekali juga Thalia menilik arlojinya, jam menunjukkan pukul sebelas siang. "Lama banget mereka. Terus aku harus nunggu berapa menit lagi sendirian di sini? Astaga!" rutuk Ayesha. Ia mengentakkan kakinya seraya menghela napasnya berat. Netranya menangkap pemandangan hamparan danau yang begitu luas. Bahkan pemandangan tersebut cukup mampu mengindahkan Thalia untuk menatap lebih lama. Hanya ini yang bisa ia lakukan. Hingga kedua manusia yang ia tunggu muncul menemuinya kembali.
"Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan ..."Hazmi menyerah. Ia langsung menekan layar ponselnya untuk tak lagi menghubungi nomor ponsel Ayesha. Karena sudah berkali-kali lelaki itu mencoba menelepon Ayesha, dan sayangnya tak ada jawaban. Kenyataan pahitnya pun gadis kesayangannya tidak bisa dihubungi malam itu juga. Hazmi yang kini berada di kamarnya, ia sedang berpikir keras. Mencoba mencari cara; bagaimana Ayesha mau menerima penjelasannya. Karena semenjak kedatangan Carisa di acara dinner-nya bersama sang istri, Ayesha tiba-tiba pergi tanpa mau memedulikannya. Hazmi yakin, bahwa Ayesha sedang marah. "Ay ... kenapa nggak bisa dihubungi, sih? Aku lagi khawatir denganmu ..." Hazmi tak lagi menggunakan cara menelepon Ayesha. Kali ini ponselnya ia lemparkan begitu saja ke arah ranjang. Dengan mengusap wajah sejenak dengan dahinya yang mengeru