Hazmi meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Ia menikmati senja di balkon kamar sembari membaca novel karangan Ayesha. Sedari dulu Hazmi tak pernah menyukai membaca buku. Sekalipun melihat buku saja ia merasa jengah. Namun karena buku yang dipegangnya adalah novel karangan Ayesha, Hazmi mau membacanya. Bahkan ini adalah pertama kalinya ia mau membaca novel.
Senyuman Hazmi tersungging sempurna. Ia baru membaca sampai bab ke enam. Novel karangan Ayesha yang Hazmi baca ialah bergenre teenlit. Hazmi sudah mengetahui bahwa Ayesha adalah seorang penulis. Dan hobi Ayesha saja Hazmi sangat hapal, meskipun ia tak pernah dekat dengan gadis itu sebelumnya.
"Haz."
Hazmi spontan menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Ia meletakkan buku yang digenggamnya ke atas meja. Mengetahui siapa pemilik suara itu, membuat Hazmi mau beranjak dari singgahannya.
"Kak Rafli? Kok, kapan ke sininya?" Hazmi berkata bingung. Ia tak menyangka menatap keberadaan Rafli.
Rafli ialah Kakak kandung Hazmi. Dan yang Hazmi ketahui, Rafli sedang bekerja di Surabaya. Dan kini ia melihat keberadaan Rafli tepat berada di depannya. Bagaimana bisa? Kantor bukannya masih masuk? Pikir Hazmi.
"Bisa dong, Kakak lagi ngajuin cuti. Ayah yang nyuruh, katanya mau ngadain acara makan malam penting sama keluarganya Ayesha di Bali."
"Hah? Ayah mau ngadain acara makan malam sama keluarganya Ayesha? Kok, Hazmi nggak tahu?"
"Memangnya Ayesha nggak ngomong apa-apa sama kamu?"
Hazmi berdecak. Bisa-bisanya Rafli bertanya. Padahal ia tak tahu saja, bahwa Hazmi belum mendapatkan kepercayaan Ayesha. Ternyata Ayesha sangat kerasa kepala, sangat susah meyakinkan gadis itu.
"Mulai ngedelek Adiknya ..."
"Loh, benar? Belum bisa naklukin hati Ayesha juga, Dek? Kok ..."
"Iya tahu, kalau Abangnya paling jago naklukin hati cewek. Sudah terbukti sih, Kak Rafli pacaran mulu dari dulu, tapi sekarang masih belum mau nikah."
"Sekarang kamu yang giliran meledek! Kakak bukannya nggak mau nikah. Tapi belum siap."
"Mau sampai kapan memangnya, Kak?"
"Ya terserah Kakak. Mau sampai kapan juga bukan urusanmu. Udah ah, Ayah sudah di ruang tamu tuh. Nungguin anak bungsunya yang udah nggak jomlo lagi. Eh, tapi lupa sih, meskipun nggak jomlo, sayangnya Ayesha masih belum mau sama kamu. Haha ..." Rafli melepaskan tawanya sarkartis. Hingga membuat Hazmi melihatnya makin gondok mendapat ejekan lagi dari sang Kakak.
Hazmi hanya diam. Percuma saja melawan Kakaknya, buang-buang tenaga saja baginya. Untung saja jadi Kakak! Pekik hati Hazmi.
"Ya udah, aku turun aja." Hazmi tak mau menghiraukan Rafli lagi. Ia memilih keluar kamar dan menuruni anak tangga hingga menuju ruang tamu rumah.
Setelah ia berada di ruang tamu yang cukup luas itu, Hazmi menemukan Yusuf sedang menonton televisi sendiri. Hazmi berjalan mendekati Ayahnya yang sedang duduk di sofa, ia pun menjatuhkan duduknya di samping Ayah setelah Yusuf mengetahui kedatangannya.
"Hei, jagoan Ayah sudah datang. Kamu baik-baik aja kan, selama di sini, Haz?" Yusuf memulai pembicaraan. Ia menatap lekat wajah putranya.
"Ayah sama Kak Rafli datang ke Bali, kok, nggak ngomong dulu sama Hazmi? Kan, tahu kalian bakal datang, Hazmi bisa jemput ke bandara."
"Nggak bisa, Haz. Ayah sama Rafli saja datangnya mendadak. Awalnya itu Ayah sudah janjian kok sama Ayahnya Ayesha. Dan baru kemarin kami berangkat ke Bali. Dan Ayahnya Ayesha sudah kembali ke apartemen. Oh ya, bagaimana perkembanganmu sama Ayesha?"
Mendadak Hazmi melongo mendengar pertanyaan sang Ayah. Mengapa Ayah bisa berkata seperti itu? Harusnya Hazmi tak heran lagi, karena Yusuf juga berhak tahu tentang hubungannya bersama Ayesha.
Andai saja ada perkembangan baik, Yah, Hazmi membatin pasrah.
"Beri Hazmi kesempatan lagi, Yah. Hazmi masih berusaha." Wajah Hazmi murung seketika usai menjawab pertanyaan Yusuf.
"Nggak ada kesempatan lagi, Haz. Kalian harus segera menyelesaikan masalahnya. Karena dari awal, yang memilih seperti ini hingga Ayesha tak tahu apa-apa, itu kamu, Haz. Besok malam Ayah sudah booking tempat untuk makan malam dengan keluarganya Ayesha. Kita jelaskan perkaramu dan Ayesha besok malam."
"Loh, Yah, t-tapi, Yah, bukannya ..."
"Haz, nggak ada penolakan. Ini permintaan Ayah. Ayesha harus tahu bahwa kamu suami sahnya." Yusuf mempertegas. Sementara Hazmi mau tidak mau tak bisa menolak permintaan Ayahnya. Ayah yang meminta, maka seharusnya Hazmi menerimanya.
Padahal sebelumnya Hazmi ingin memberikan penjelasan sendiri pada Ayesha. Sayangnya perempuan itu tak mau mendengarkan penjelasannya. Ay, kenapa susah banget percaya dengan pengakuanku? Hazmi membatin.
š
Keesokan malamnya, akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Di salah satu pantai terkenal di Bali. Yusuf sudah mem-booking restoran tepi pantai tersebut untuk acaranya. Kini Yusuf bersama kedua putranya sedang menunggu kedatangan keluarga Erlan. Jam sudah menunjukkan pukul enam malam. Suasana mentari tenggelam sudah terlihat jelas di ufuk barat.
"Senja sudah tiba, Yah. Ayesha sama keluarganya masih belum muncul. Biasanya Ayesha suka banget ngelihat senja. Tapi sekarang, kenapa malah telat, ya?" gerutu Hazmi, ia menilik arlojinya sejenak. Memastikan waktu senja sudah benar-benar terlewatkan.
"Sabar kali, Haz. Mau ketemu istri sendiri malah nggak sabaran begitu. Gimana kalau udah tinggal serumah?" Rafli menyahut sembari menenggak lemon tea pesanannya sebentar.
"Aku mah selalu sabar, Kak. Nungguin Ayesaha selama dua belas tahun aja sudah sabar banget, kok," Hazmi tak kalah menjawab.
"Sudah, sudah, kalian jangan berdebat mulu. Sebentar lagi Ayesha datang, Haz. Ayahnya barusan baru kirim pesan whatsapp ke Ayah. Katanya masih diperjalanan," Yusuf menimpali kedua putranya.
Sementara di dalam taxi, Ayesha, Thalia, dan Erlan sedang berada di perjalanan. Sesekali Ayesha mengecek ponselnya. Ia mendengus berat, waktu menikmati senja sudah terlewatkan. Apalagi tempat tujuan sang Ayah adalah restoran di tepi pantai. Pasti senja di sana terlihat sangat indah. Namun sayangnya Ayesha harus melewatkan waktunya menikmati moment mentari tenggelam.
Kenapa harus telat, sih?! Coba tadi waktu persiapannya nggak semolor ini, pasti aku nggak akan telat ngelihatin senja, Ayesha membatin.
Ia hanya sibuk memainkan ponselnya. Sekadar mengecek twitter, facebook, instagram, spotify, dan youtube. Namun yang ia herankan, mengapa di antara akun sosial media miliknya, ia harus menemukan keberadaan Hazmi yang tak menyerah mengirimkan pesan ke beberapa sosial medianya.
Namun sayangnya juga Ayesha harus mengabaikan pesan-pesan Hazmi. Ia tak berniat membalas satu pun pesan dari laki-laki itu. Ini sudah kesekian kalinya ia tak menggubris pesan Hazmi.
Nih anak, nggak ada jerahnya banget. Sudah aku cuekin juga, masih saja tetap ngejar. Mimpi sih, aku harus ketemu sama Hazmi? Mendingan aku nikah sama yang lain deh, daripada sama Hazmi. Astagfirullah ... Ay, sampai kapan pun aku nggak akan percaya sama pengakuan dia sebagai suamiku!
"Ayesha, Thalia, ayo keluar, kita sudah sampai di lokasi. Pasti teman Ayah dan kedua putranya sedang menunggu," sahut Erlan sembari keluar dari pintu taxi bersama kedua putrinya.
Erlan sempat membuat Ayesha membuyarkan lamunannya. Gadis itu bersama Adiknya hanya mengikuti Erlan berjalan menuju restoran. Sedangkan restoran yang akan mereka tuju sudah berada di depan mata. Mereka hanya memasuki pintu restoran yang berada di suasana terbuka.
Suasana yang nyaman berada di tepi pantai. Bayangkan saja ketika menikmati makan malam ditemani dengan desiran ombak yang mengesankan. Dan juga bersama moment senja yang sangat sayang dilewatkan. Namun kali ini Ayesha tak sama sekali menatap keberadaan suasana senja yang ingin ia lihat. Ayesha telat. Ayesha harus ketinggalan senja di sore ini.
Langkah Ayesha, Erlan, dan Thalia sudah semakin mendekat ke salah satu meja yang akan dituju. Seorang pelayan pun sempat menunjukkan dimana keberadaan meja yang Erlan cari. Tapi mengapa jantung Ayesha berdegup kencang tak seperti biasanya? Ayesha merasakan desiran darahnya mengalir sehingga mampu memompa irama jantungnya yang berdetak.
Ada apa ini? Kenapa aku jadi deg-degkan, ya? Padahal cuma acara makan malam biasa aja, gumam hati Ayesha. Ia mencoba mengatur napasnya sejenak dan berusaha meminimalisirkan degupan jantungnya. Sayangnya setelah langkahnya ikut terhenti bersama Erlan dan Thalia, Ayesha semakin tercengang ketika menatap pemandangannya kini.
Pemandangan yang membuat hatinya kembali bergejolak seperti kemarin. Dan sayangnya degupan jantungnya malah semakin terpompa, seolah-olah sedang berlari kencang. Ayesha sama sekali tak menyangka kedua matanya pun bertemu dengan kedua mata itu lagi. Rasanya ingin sekali Ayesha mengumpat. Namun mengapa ia merasa semakin deg-degkan?
"Haz-mi?" Ayesha spontan menyebut nama laki-laki itu.
Seseorang yang ia benci karena pengakuan yang sangat konyol bagi Ayesha. Sedangkan Hazmi, ia malah menyimpulkan garis senyumnya pada Ayesha. Ayesha tertegun menatap keberadaan mereka. Keberadaan keluarga Hazmi yang dimaksud Ayahnya. Tapi untuk kali ini, mengapa penampilan Hazmi sangat berbeda? Laki-laki itu tampak sangat berkesan dengan paduan pakaiannya.
Nyaris membuat Ayesha sejenak terpaku dengannya. Hazmi terlihat manis malam ini, sahut kata hati Ayesha.
Ampun ... Ay! Sadar ... sekarang, apa maksud Ayah mempertemukan kami? Apa yang ingin Ayah katakan? Ayesha menggeleng pelan. Tak terima mengetahui Erlan yang membawanya bertemu dengan laki-laki itu.
Ok, sepertinya permainan di antara mereka berdua akan dimulai. Lihat saja, Hazmi tampak santai tersenyum menatap Ayesha. Sementara Ayesha, ia sangat jengah menjauhkan kedua matanya dari tatapan laki-laki itu.
Bersambung š¢
"Assalamualaikum, Yusuf, maaf, kedatangan kami telat," ucap Erlan. Ia menjabat telapak tangan Yusuf sejenak. Mereka berdua tampak tersenyum semringah."Waalaikumsalam. Ah, tidak apa-apa, Lan. Ya sudah, ayo duduk dulu." Begitu Yusuf mempersilakan keluarga Erlan menempati kursi yang telah tersedia. Akhirnya Ayesha dan Thalia pun ikut menyinggahkan duduknya bersama Ayah mereka. Sayangnya Ayesha merasa tak nyaman. Berada di antara mereka rasanya sangat mengasingkan. Ayesha pun tak mengenal detail siapa Yusuf, pasti dia Ayahnya Hazmi, pikir Ayesha. Dan di samping Hazmi itu pasti saudaranya. Hanya berpikir seperti itu Ayesha menebak siapa mereka. Dan yang Ayesha herankan, mengapa Ayah mengenali keluarga Hazmi? Astaga ... jangan bilang ..., Ayesha merasa tak tenang memikirkan hal yang sangat sulit ia duga. Pelan-pelan ia mengatur degupannya, sembari menyimak pembicaraan antara Ayahnya bersama
"Ya udah, Suf, nanti saya akan sampaikan pada Ayesha. Baik, wassalamualaikum," ujar Erlan yang baru saja memutuskan panggilan teleponnya. Telepon dari Yusuf, besannya. Ayesha yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di pagi itu, ia menghampiri Erlan yang sedang duduk menonton televisi di ruang tengah. Sementara Thalia sedang sibuk menyiapkan sereal untuk sarapan paginya bersama Ayah dan Kakaknya. "Ayah, dari Om Yusuf?" Ayesha bersuara saat menjatuhkan posisinya di sisi Erlan. Sebelumnya ia sedikit mendengarkan perbincangan Erlan lewat telepon. Pantas saja Ayesha heran melihat Erlan setelah keluar dari kamar. Ayesha tak sengaja menguping pembicaraan Ayahnya di ruang tengah. "Iya. Dari mertuamu, Ay. Oh ya, tadi Om Yusuf bilang, kalau Hazmi akan mengajakmu jalan-jalan ke Kebun Raya Bali. Nanti Ayah sama Thalia nyusul kalian. Tapi belakangan. Setelah kamu berangkat sama Hazmi."Aye
Masih dengan suasana Kebun Raya Bali. Rupanya Hazmi terpaksa jalan-jalan seorang diri tanpa ada Ayesha membersamainya. Dengan berat hati pula Hazmi melepas Ayesha pergi tanpa ia tahu dimana istrinya kini. Dan saat ini laki-laki itu hanya berkutat memotret dengan sebuah kamera digital miliknya. Hobi Hazmi yakni memotret. Ia juga penyuka traveling. Bahkan tak hanya pulau Bali yang berhasil dijelajahinya, namun beberapa pulau di Indonesia pun sudah ia kunjungi seorang diri. Dan hingga ia memilih pulau dewata sebagai tempat persinggahannya kini. Hazmi bekerja sebagai fotografer di salah satu kantor media kota Denpasar. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai majalah lokal Bali hingga interlokal di pulau jawa. Ini adalah hobi Hazmi sejak lama, menemukan pekerjaan sesuai passion-nya adalah hal yang ia inginkan. Beruntungnya Ayesha tak sama sekali protes mengetahui pekerjaan Hazmi. Lelaki itu baru memberitahukan identitasnya
Krakk! Ayesha lekas mendaratkan duduknya di sofa apartemen. Ia mengembuskan napasnya pelan, namun sangat ia paksa. Pelupuk matanya masih menyimpan cairan bening yang tak bisa ia kuakkan. Perasaannya tak beraturan, tak nyaman. Ingatannya masih terngiang akan perkataan Hazmi. Bagaimana bila Hazmi membenciku? Bagaimana bila Hazmi tak mau memperjuangkan hatinya untukku kembali? Dan kenapa saat ini aku begitu takut kehilangan? Seakan hati ini tak membaik ketika Hazmi mengucapkan kalimat itu padaku. Ya Allah ... apa aku benar-benar jatuh cinta? Karena selama ini, aku tak pernah merasakan jatuh cinta dengan perasaan seperti ini, Ya Rabb ... apa yang kuharus lakukan? Ayesha terlihat khidmat merapal kalimat di balik hatinya. Rasanya sesakit ini mengetahui laki-laki yang pernah ia benci mengatakan yang mampu menohok hatinya. Dan ternyata Ayesha tak mampu mendefinisikan mengapa ia terlalu takut dan bimbang memikir
Tok, tok, tok! "Siapa?" Suara ketukan pintu tersebut sempat membuat Ayesha mengerutkan kening. Siapa orang yang beraninya datang bertamu di tengah malam begini? Dan tampaknya Thalia dan Ayah telah tertidur. Ayesha tak punya pilihan lain selain mencoba menemui sang tamu yang bertahan di depan pintu ruangan apartemennya. Tok, tok!"Assalamualaikum ..." Suara itu telah mengetuk pintu kesekian kali. Ia juga sempat mengucap salam sembari mengetuk pintu ruangan.Krakk!"Waalaikumsalam."Pintu terbuka sempurna. Saat ini Ayesha cukup tercengang menemukan keberadaan Hazmi yang kini berada tepat di depannya. Entah apa tujuan Hazmi datang ke apartemen di tengah malam. Pikiran Ayesha saja seakan bertanya-tanya."Kamu ...""Aku boleh nginap di sini, nggak?"Mendadak Ayesha kaget mendengar per
"Ay, Ayesha ...." Suara Hazmi tetap bersikukuh memanggil Ayesha. Jemarinya saja ia daratkan menyentuh wajah gadis yang terlelap itu.Sayangnya Ayesha hanya menggeliat tanpa menghiraukan panggilan lelaki tersebut. Tubuhnya pun sengaja berbalik arah seolah-olah menghindari sentuhan Hazmi yang memanggilnya.Hazmi menghela napas berat. Susah juga membangunkan Ayesha di jam segini. Apalagi jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Sayangnya bukan Hazmi namanya jika ia harus kehilangan akal. Dan kali ini ia mencoba mencari cara agar istri mungilnya itu terjaga dari tidurnya."Tidur aja udah cantik, Ay. Tapi sayang, tidurmu aja nggak ngalah-ngalahin sang putri tidur," pekik Hazmi. Ia bertahan menatap wajah Ayesha dari sisi sangat dekat. Lelaki itu tak kehilangan cara lain membangunkan gadis cantik yang terlelap di depannya kini.Saat ini Hazmi merebahkan tubuhnya di sisi Ayesha. Dengan senyum semringah ia menatap
Kali ini Ayesha tiba di danau Beratan Bedugul. Gadis itu tak hanya berniat mencari accesories pesanan teman-teman Thalia, namun sayangnya ia pun enggan melewatkan jalan-jalan menjelajahi Bali. Ayesha jadi ingat ketika kali pertama ia berkunjung ke pulau Bali. Ia tampak senang jalan-jalan berkunjung ke beberapa tempat wisata. Dan terutama wisata bedugul. Meski sayangnya bagi Ayesha, ia belum puas berkeliling ke pulau dewata ini.Suasana pagi di danau itu sangat sejuk. Bahkan tiupan angin yang menusuk ke pori-pori kulit tak membuat Ayesha merasa kedinginan. Gadis itu masih berjalan sendiri tanpa menghiraukan keberadaan sang suami dan Thalia yang berada di belakangnya."Kak Ay! Jangan cepat-cepat dong, jalannya. Capek tahu! Nah, tuh, suami Kakak aja ditinggal sama Kak Ayesha. Nggak kasihan sama Kak Hazmi?" Thalia memanggil dari arah belakang, hingga ia berhasil membuat langkah Ayesha terhenti.Kini Ayesha memutar tub
Nyaris setengah jam Thalia sendiri menunggu di pinggir danau. Ia tak habis pikir dengan keberadaan sang kakak yang bertahan meninggalkannya. Thalia saja mendadak bosan harus berjalan mondar-mandir tanpa seorang teman. Gadis itu kini memilih duduk di salah satu bangku yang tersedia di sisi danau. Sembari menunggu kedatangan Ayesha dan Hazmi, Thalia cukup bersabar lantas mengamati banyaknya pengunjung yang berlalu lalang menikmati suasana wisata. Sesekali juga Thalia menilik arlojinya, jam menunjukkan pukul sebelas siang. "Lama banget mereka. Terus aku harus nunggu berapa menit lagi sendirian di sini? Astaga!" rutuk Ayesha. Ia mengentakkan kakinya seraya menghela napasnya berat. Netranya menangkap pemandangan hamparan danau yang begitu luas. Bahkan pemandangan tersebut cukup mampu mengindahkan Thalia untuk menatap lebih lama. Hanya ini yang bisa ia lakukan. Hingga kedua manusia yang ia tunggu muncul menemuinya kembali.
Tok .... Tok .... Tok ..., sudah kesekian kalinya Hazmi mengetuk pintu kamar mandi. Ia tampak cemas, bingung, bahkan pikirannya heran menunggu Ayesha yang belum juga ke luar dari kamar mandi.Terhitung nyaris setengah jam belum ada tanda-tanda Ayesha ke luar menemuinya. Bahkan suara Hazmi saja yang menyebut sang istri berkali-kali belum ada sahutan juga dari dalam.Kali ini Hazmi tak ingin terjadi apa-apa. Lalu jemarinya sengaja memutar gagang pintu. Dan sayangnya gagang tersebut terkunci dari dalam. Hazmi semakin khawatir. Ia kembali mengetuk pintu dengan menimbulkan nada keras."Ayesha .... Ay! Ayesha kamu benar nggak apa-apa di dalam? Kenapa kamu belum ke luar juga, Ay? Ayolah, ada apa, sayang?" Begitu sahutan Hazmi ketika memanggil sang istri.Sementara di ruang kamar mandi, terlihat Ayesha yang masih bergeming di balik cermin. Ia meletakkan testpack yang baru saja dikenakannya ke atas wa
Krakk!Hazmi baru saja masuk ke dalam kamar. Ia pun meletakkan rentengan kresek berisikan dua cup es krim ke atas nakas. Sambil lalu ia menyambut senyuman Ayesha dengan senyum tipsinya. Perlahan lelaki itu memposisikan dirinya duduk di sofa yang berada di ruangan kamarnya."Kak, kamu kenapa? Gak ikhlas aku nyuruh kamu beli es krim? Tahu gitu, aku sendiri tadi yang jalan," oceh Ayesha. Ia mengerutkan keningnya setelah melihat raut wajah Hazmi yang sangat melelahkan."Gak kok, Ay. Aku ikhlas banget malah. Kamu mah, bisanya nethink mulu sama suami." Hazmi menegakkan posisi tubuhnya sejenak."Nethink? Sejak kapan aku nethink? Aku cuma nebak, bedain itu nethink sama nebak doang," gerutu Ayesha tak terima. Ia berkacak pinggang sembari menyenderkan tubuhnya ke punggung ranjang.Loh, bukannya nething sama nebak itu sama? Si Ayesha kenapa jadi ngambekan gini, sih? Hazmi membatin.
Ke mana sih, si Bara? Jam segini masih belum datang juga, bilangnya aja kemarin nggak boleh telat, batin Thalia. Hari ini ia dan Bara telah mengadakan janji di depan ruang redaksi. Terhitung dua puluh menit ia menanti kedatangan Bara sambil menposisikan dirinya duduk di depan ruangan.Beruntung anak-anak redaksi banyak yang belum hadir ke ruangan. Dirinya saja bersyukur bila nanti bertemu Bara, tak ada anak redaksi yang akan melihatnya. Lebih tepatnya Thalia enggan mendengar komentar atau pun gosip apapun. Ia hanya ingin tugas wawancaranya selesai."Assalamulaikum," sapa suara seorang lelaki yang berdiri di hadapannya. Dengan jarak yang cukup mencelahkan, Bara menemui Thalia di siang itu.Menangkap Bara ke dalam pandangannya, Thalia pun langsung bangkit dan menyamai posisinya di depan lelaki itu. "Waalaikumsalam, Bar.""Maaf, aku telat?"Thalia mengangguk dengan cengirannya. "Nggak apa
Netra Carisa masih terarah fokus ke balik kaca mobil. Ia menangkap lalu lalang kendaraan ke dalam pandangannya yang nanar. Padahal sudah jelas ia menyingkap patah dan memuakkan emosi di hadapan laki-laki yang justru menyakitinya. Namun hati Carisa merasa masih tak nyaman. Ia seolah bimbang dan bertanya dalam pikiran. Bagaimana bisa ia melepas Tara yang telah datang melamar?"Car," panggil Rafli. Sedari tadi ia sedang fokus menyetir mobil. Sudah cukup ia terdiam selama beberapa menit dalam perjalanan bersama Carisa."Kamu benar nggak apa-apa, kan?" ungkap Rafli lagi.Sontak Carisa menolehkan wajahnya ke arah Rafli. Bola matanya masih tampak berkaca-kaca. Menunjukkan pertanda pada lelaki di sisinya bahwa ia belum sepenuhnya membaik. Namun Rafli ingin mendengar langsung dari Carisa.Bukannya menjawab, kini Carisa malan menguakkan air matanya. Ia membiarkan tangisnya pecah seketika. Seolah ia ingin mengeluarkan ra
Slapp!Revan menarik pintu kedai secara perlahan. Malam itu ia beranjak meninggalkan kedai setelah berbincang bersama Kayla selama kurang lebih sejam. Tampaknya Revan masih bertahan memerhatikan layar ponselnya. Ia saja memberikan alasan untuk Kayla agar dirinya lekas tak lagi mengobrol bersama perempuan itu.Revan memang terkesan memberi batas bagi dirinya bersama Kayla. Ia hanya tak mau membiarkan perempuan itu masuk ke dunianya secara keterlaluan, atau bahkan memberikan harapan lebih untuk gadis itu. Revan murni hanya menganggap Kayla sebagai teman kursusnya, teman biasa, dan tak akan lebih baginya.Lalu ....Klik! Telepon baru saja tersambung pada nomor yang Revan hubungi. Sesekali ia menarik napasnya perlahan, dan membuangnya sejenak. Saat ini dirinya benar-benar gugup. Sebab ini adalah kali pertama ia menghubungi seseorang yang dirindukannya."Halo?"
"Ish! Nyebelin banget nih anak!" Kesal Ayesha. Siang ini ia berada di club La Risa Kuta bersama sang suami. Menikmati makan siang dengan nuansa kedai club yang cukup menarik pandangan. Sebab club ini terletak di pinggir pantai.Seharusnya timing yang tepat ialah ketika di malam hari. Sayangnya Hazmi telanjur mengajaknya ke lokasi ini. Sembari menikmati keindahan pemandangan pantai dan isi club, Ayesha masih memainkan ponselnya dan menunggu kedatangan Hazmi.Lelaki kesayangannya itu sedang mengunjungi loket pelayanan untuk memesan pesanan. Sambil menunggu suami, sedari tadi Ayesha sengaja menelepon Thalia. Namun sayangnya saja ia tak mendapat respons baik dari adik perempuannya itu. Pantas saja kali ini Ayesha tampak menggerutu sebal.Ia tak habis pikir dengan kelakuan Thalia yang makin hari makin bucin akibat Revan. "Hei, Sayang ... nah, pesanan sudah datang ...," sambut Hazmi seca
Istanbul, Turki"For the assignment I have given you, please collect it in two more days via the link I have provided. Thank you," ucap wanita paruh baya tersebut. Semenjak dua jam yang lalu ia sedang mengajar untuk kelas bahasa Turki. Sampai akhirnya jam materi berlalu, para murid pun dipersilakan membubarkan diri dari ruangan.Termasuk Revan yang kini lantas menyampirkan ranselnya ke balik punggung. Ia menatap datar ketika teman lainnya sedang berebut keluar kelas. Sementara sang guru telah beranjak dari ruangan terlebih dahulu. Hingga beberapa detik terlewat, akhirnya Revan telah berjalan di halaman taman sekolah yang ia singgahi.Ini sudah terhitung dua minggu Revan berada di negeri Turki. Ia sedang mengambil sekolah kursus bahasa selama setahun sebelum benar-benar masuk ke perguruan tinggi. Revan sengaja mengambil kota Istanbul sebagai tempatnya melanjutkan pendidikan. Sebab, sudah sela
Tap!Rafli sengaja menjatuhkan duduknya ke sisi Yusuf. Pagi itu secara terpaksa Rafli mau menemui sang ayah di ruang keluarga. Rumah ellite yang bukan hanya sekadar sederhana itu hanya dihuni oleh tiga orang. Baik Yusuf, Iren yang sebagai bundanya, beserta Rafli.Namun Iren baru saja tiba di Bandung sejak resepsi putra bungsunya digelar di pulau Bali. Perempuan paruh baya itu juga memiliki kesibukan mengurus bisnis pakaian di Jakarta dan Bandung. Kedua bisnis yang harus diurus sendiri itu justru menyita waktu Iren.Faktanya ia juga seringkali bolak-balik Jakarta dan Bandung. Sementara Yusuf bekerja sebagai general manager di salah satu perusahaan Bandung. Keduanya memang sangat sibuk bila sama-sama mengurus pekerjaan. Sayangnya hari ini Rafli hanya bertemu sang ayah. Sedangkan Iren sedang mengurus pertemuan meeting di kantor.Yusuf sengaja menyuruh Bi Siti memanggil Rafli untuk menemuinya. Rupanya usa
"Pagi istrinya Hazmi ...," sapa Hazmi yang baru saja memasuki ruangan kamarnya kembali.Ia telah mengganti pakaiannya dengan kaos lengan panjang berwarna abu dengan paduan celana jeans. Pagi ini lelaki muda itu tampak rapi. Hazmi memasuki kamar dengan sengaja membawakan nampan berisi semangkuk muesli fruit dried lengkap bersama secangkir susu rasa stroberi.Kemudian ia meletakkan nampan yang dipegangnya ke sisi nakas dekat Ayesha berbaring. Perempuan kesayangannya itu sudah terlihat membuka kelopak matanya. Namun sayangnya Ayesha enggan beranjak dari tempat persinggahannya di atas ranjang. Ia masih bertahan dengan posisi tidurnya semula. Sembari menatap tingkah Hazmi dengan takjub."Makan, yuk, Ay? Aku udah makan setelah olahraga tadi, kok. Maaf, ya? Jadi nggak ngajak kamu makan berdua. Tapi, aku udah buatin makanan khusus buatmu." Jari Hazmi menunjukkan makanan dan minuman yang berada di atas nakas pada Ayesha.