Pandangan Ayesha menangkap Thalia yang sedang mengobrol akrab bersama Hazmi. Ayesha semakin geram mengamati keberadaan mereka. Yang awalnya ia sengaja memberi jarak jauh agar Hazmi tak lagi mendekatinya, kini malah Thalia adiknya yang sedang bersama laki-laki itu.
Ya ampun ... mereka ngapain, sih!? Gerutu Ayesha kesal. Rasanya sorotan matanya begitu membenci menatap Hazmi yang sengaja mendekati adiknya. Lalu Ayesha lekas mempercepat langkahnya menghampiri mereka.
Tap! Langkah Ayesha terhenti di sisi Thalia. Gadis itu semakin geram menatap Hazmi. Dan pandangan Hazmi pun sontak mengetahui keberadaan Ayesha yang kini di depannya.
"Ay ..."
"Thal, pulang, yuk? Kakak bete' di sini," gumam Ayesha lantas sengaja memotong panggilan Hazmi yang ingin menyebut namanya.
Thalia mengangguk pasrah. Akhirnya ia menuruti kemauan kakak perempuannya itu. Sedangkan Ayesha sengaja menarik lengan adik perempuannya itu dengan paksa. Meskipun Thalia seolah-olah memberika kode pada Hazmi, untungnya Ayesha mengabaikan.
"Hati-hati, Ay!" teriak Hazmi dengan penglihatan penuh gelisah. Hatinya masih gusar, rasanya ia ingin cepat-cepat menyelesaikan masalahnya.
Sayangnya Ayesha keras kepala. Perempuan itu sangat sulit untuk diajak bicara baik-baik. Ayesha telanjur membencinya. Dan ini semua karena kesalahan Hazmi sendiri yang memulainya. Hazmi sangat berharap, Ayesha bisa mempercayainya.
Karena selama dua belas tahun ia harus menahan perasaannya. Diam-diam tanpa Ayesha pernah mengetahui perasaannya. Tanpa Ayesha mau mengingatnya kembali. Sangat lama bagi Hazmi saat menahan dirinya untuk tidak mendekati Ayesha bertahun-tahun, meski mereka pasangan suami istri.
Sabar, Haz ... pelan-pelan, insyaAllah lama-lama Ayesha bisa luluh juga, gumam kata hatinya. Hazmi menghela napasnya sejenak. Rasanya ia belum mau beranjak pergi dari lokasi pantai. Deburan ombak air laut itu nyaris mampu membuatnya merasa tenang.
Sementara setelah tiba di apartemen, Ayesha sengaja menyuruh Thalia untuk tidak lekas beranjak dari ruang tamu. Ia berniat menginterogasi Thalia tentang Hazmi. Thalia yang memandang sorot mata kakaknya, ia merasa ngeri sendiri. Tatapan Ayesha saja seakan-akan sudah siap menyidangnya.
"Dek, kamu tahu kan, siapa Hazmi itu? Ngapain sih mau dideketin sama cowok itu? Bahaya, Dek ..."
"Nggak ada yang bahaya, Kak. Kak Hazmi orangnya baik, kok. Justru yang ngedeketin Kak Hazmi itu aku duluan, bukan Kak Hazminya."
Ayesha jelas melongo heran. Ia merasa tak percaya saat Thalia mengatakan itu. "Beneran? Buat apa?"
"Buat cari tahu kebenaran, Kak. Kalau Kakak nggak mau ngomong baik-baik dengan Kak Hazmi, biar aku aja yang ngomong sama dia. Biar aku yang tanya-tanya tentang hubungan kalian. Mengapa Kak Hazmi tiba-tiba menganggap bahwa Kak Ayesha istrinya."
"Oh, begini ya Thalia sayang, nggak perlu kamu cari tahu tentang ini. Karena ini bukan urusanmu, dan bukan menjadi urusan Kakak juga. Karena aku pikir, Hazmi itu memang rada gila. Sekarang gini deh, mana ada orang normal yang mau ngaku-ngaku orang lain itu suaminya, istrinya, ya gitu deh pokoknya. Aku nggak akan pernah percaya."
"Ok, terserah Kak Ayesha mau ngomong apa. Tapi yang jelas, aku sudah punya alasan tentang Kak Hazmi yang menjelaskan perihal pernikahan kalian. Dan penjelasan Kak Hazmi nggak ada yang salah, kok ..."
"Darimana kamu tahu, kalau Hazmi nggak bohong?"
"Dari tatapan matanya. Aku bisa ngebedain, mana sorotan mata yang bohong dan mana sorotan mata yang jujur."
Ayesha merasa kalah. Ia pikir adiknya tak mau semakin dipojokkan olehnya. Apalagi melihat pandangan Thalia yang seakan-akan ingin memberikan kebenaran pada Ayesha. Sayangnya Ayesha tak akan mudah percaya.
Hazmi ngomong apaan sih?! Sampai niat banget pengaruhi Thalia, Ayesha membatin. Ia berkacak pinggang sambil melengoskan pandangannya dari Thalia. Ayesha benar-benar kesal dengan tingkah adiknya.
"Kak, percaya dong, Kak. Percaya sama aku. Kak Hazmi itu benar suami Kak Ayesha. Kalian sudah menikah sekitar dua belas tahun yang lalu. Kak Hazmi yang cerita tentang pernikahan kalian."
Bibir Ayesha tersenyum sinis. Ia merasa perkataan Thalia benar-benar melantur. "Dua belas tahun yang lalu, Kakak masih sekolah SMP. Dan Kakak nggak tahu apa-apa tentang pernikahan. Lagian nggak mungkin Ayah sengaja menikahkan putrinya sendiri diumur yang sangat belia. Itu sama sekali nggak masuk akal."
"Ok, kali ini aku harus berterus terang. Boleh Kakak mau percaya, atau nggak sama sekali. Kak Ayesha sama Kak Hazmi itu, nikah gantung dulunya. Jadi sangat pantas kalau Kak Ayesha nggak akan tahu siapa Kak Hazmi. Karena setelah pernikahan, kalian masih menjadi tanggung jawab orangtua masing-masing sampai kalian cukup umur untuk mampu saling bertanggungjawab."
Ayesha terdiam. Ia belum berniat menjawab perkataan adiknya. Benar-benar tak bisa Ayesha percaya secara masuk akal. Masa iya orangtuanya sengaja menjodohkannya dengan laki-laki semacam Hazmi. Meskipun menurut Ayesha, Hazmi memang tampan, kulitnya saja putih bersih melebihi dirinya. Bahkan perempuan mana yang bisa tahan dengan senyuman dan tatapannya? Bahkan Ayesha sendiri nyaris terhipnotis sejak pertama bertemu dengannya.
Sayangnya ketika laki-laki itu memberikan pengakuan yang tak masuk akal bagi Ayesha, sudah tentu Ayesha kesal dan bahkan membencinya. Perasaan yang awalnya mengagumi sosok Hazmi, akhirnya terhempas karena tingkah laki-laki itu sendiri. Ayesha saja ingin bersumpah, ia tak akan pernah menyukai laki-laki itu lagi.
"Kak, Kakak masih dengar perkataanku?" Thalia kembali bertanya. Ia melambaikan telapak tangannya ke wajah Ayesha.
"Eh, dengar, kok. Dengar banget, kamu bilang Kakak nikah gantung sama dia. Dan Kakak nggak akan gampang percaya gitu aja. Nikah gantung loh, Thal. Memangnya masih zaman pernikahan dini seperti itu? Harus dinikahkan gantung segala? Nggak masuk akal bagi Kakak," elak Ayesha. Ia masih memperkukuh pendiriannya untuk tidak gampang mempercayai pengakuan Hazmi.
"Ya ampun, Kak ..."
Ting, tong!
Obrolan mereka akhirnya terhenti. Mereka mendengar suara bel dari luar pintu. Ayesha dan Thalia saling berpandangan satu sama lain. Kemudian Ayesha lekas berinisiatif membuka pintu ruangan apartemen.
Krakk!
"Ayah?" sebut Ayesha ketika menatap kedatangan ayahnya yang kini berada di depan pintu apartemen.
Ayesha memandang heran, mengapa sang ayah tiba-tiba datang tanpa memberi kabar sebelumnya? Padahal ayah sudah janji akan memberi kabar sebelum berangkat ke Bali.
"Assalamualaikum putriku ... kemana Thalia?" kata Erlan, kedua matanya sengaja menilik suasana ruangan dan mencari keberadaan Thalia. Erlan pun langsung melesat masuk ke dalam ruangan dan memberikan koper miliknya pada Ayesha.
"W-waalaikumsalam," Ayesha menjawab terbata-bata.
"Ayah ...." panggil Thalia girang setelah mengetahui keberadaan sang ayah. Ia langsung memeluk tubuh Erlan dengan tersenyum senang. Akhirnya Erlan mengunjungi kedua putrinya di Bali.
"Thalia, Ayah kangen sama kamu, Nak."
"Sama Ayah. Thalia juga. Eh, Kak Ayesha nggak ngomong langsung kalau Ayah datang," Thalia bergumam sembari sengaja mencemberutkan garis bibirnya.
"Sorry, tadi agak kaget aja, Dek. Oh ya, Ayah kok tiba-tiba datang? Ayah nggak sempat kasi kabar, loh. Katanya janji, mau kasi kabar ke kita kalau Ayah mau berangkat ke Bali," protes Ayesha. Ia meletakkan koper besar yang dipegangnya itu di lantai ruang tamu. Sementara ia, Thalia, dan sang ayah kini bersinggah di sofa.
"Ayah datang ke sini bareng teman. Teman Ayah malah ngajaknya mendadak, Sayang. Jadi Ayah nggak sempat memberi kabar pada kalian. Oh ya, besok kalian ikut Ayah, ya? Ayah mau ngajak kalian dinner bareng teman karib Ayah. Kalian berdua harus ikut. Terutama kamu Ayesha, ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan padamu. Kita bicara besok aja waktu dinner."
Erlan menatap kedua putrinya satu persatu. Ia tersenyum mengamati dua putri kesayangannya yang telah dewasa. Sementara Ayesha, ia merasa ada keganjilan usai mendengar permintaan Ayah. Perasaan Ayesha mendadak gelisah. Tak seperti biasanya Ayah memintanya dan ingin mengatakan perihal penting untuknya.
Ketemu sama teman karibnya Ayah? Dinner bareng besok malam dengan mereka? Mereka siapa saja aku masih nggak paham. Dan di sana, Ayah mau ngobrolin perihal penting. Dan itu menyangkut denganku juga. Kok, tiba-tiba hatiku gusar gini, ya? Nggak, nggak, nggak boleh mikir yang macam-macam, Ay ..., pikir Ayesha. Ia masih bungkam dan tak berniat membalas perkataan Erlan. Namun mau tidak mau, Ayesha terpaksa menyetujui permintaan beliau.
Bersambung 🌞
Hazmi meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Ia menikmati senja di balkon kamar sembari membaca novel karangan Ayesha. Sedari dulu Hazmi tak pernah menyukai membaca buku. Sekalipun melihat buku saja ia merasa jengah. Namun karena buku yang dipegangnya adalah novel karangan Ayesha, Hazmi mau membacanya. Bahkan ini adalah pertama kalinya ia mau membaca novel. Senyuman Hazmi tersungging sempurna. Ia baru membaca sampai bab ke enam. Novel karangan Ayesha yang Hazmi baca ialah bergenre teenlit. Hazmi sudah mengetahui bahwa Ayesha adalah seorang penulis. Dan hobi Ayesha saja Hazmi sangat hapal, meskipun ia tak pernah dekat dengan gadis itu sebelumnya. "Haz." Hazmi spontan menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Ia meletakkan buku yang digenggamnya ke atas meja. Mengetahui siapa pemilik suara itu, membuat Hazmi mau beranjak dari singgahannya. "Kak Rafli? Kok, kapan ke sininya?" Hazmi berkata bing
"Assalamualaikum, Yusuf, maaf, kedatangan kami telat," ucap Erlan. Ia menjabat telapak tangan Yusuf sejenak. Mereka berdua tampak tersenyum semringah."Waalaikumsalam. Ah, tidak apa-apa, Lan. Ya sudah, ayo duduk dulu." Begitu Yusuf mempersilakan keluarga Erlan menempati kursi yang telah tersedia. Akhirnya Ayesha dan Thalia pun ikut menyinggahkan duduknya bersama Ayah mereka. Sayangnya Ayesha merasa tak nyaman. Berada di antara mereka rasanya sangat mengasingkan. Ayesha pun tak mengenal detail siapa Yusuf, pasti dia Ayahnya Hazmi, pikir Ayesha. Dan di samping Hazmi itu pasti saudaranya. Hanya berpikir seperti itu Ayesha menebak siapa mereka. Dan yang Ayesha herankan, mengapa Ayah mengenali keluarga Hazmi? Astaga ... jangan bilang ..., Ayesha merasa tak tenang memikirkan hal yang sangat sulit ia duga. Pelan-pelan ia mengatur degupannya, sembari menyimak pembicaraan antara Ayahnya bersama
"Ya udah, Suf, nanti saya akan sampaikan pada Ayesha. Baik, wassalamualaikum," ujar Erlan yang baru saja memutuskan panggilan teleponnya. Telepon dari Yusuf, besannya. Ayesha yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di pagi itu, ia menghampiri Erlan yang sedang duduk menonton televisi di ruang tengah. Sementara Thalia sedang sibuk menyiapkan sereal untuk sarapan paginya bersama Ayah dan Kakaknya. "Ayah, dari Om Yusuf?" Ayesha bersuara saat menjatuhkan posisinya di sisi Erlan. Sebelumnya ia sedikit mendengarkan perbincangan Erlan lewat telepon. Pantas saja Ayesha heran melihat Erlan setelah keluar dari kamar. Ayesha tak sengaja menguping pembicaraan Ayahnya di ruang tengah. "Iya. Dari mertuamu, Ay. Oh ya, tadi Om Yusuf bilang, kalau Hazmi akan mengajakmu jalan-jalan ke Kebun Raya Bali. Nanti Ayah sama Thalia nyusul kalian. Tapi belakangan. Setelah kamu berangkat sama Hazmi."Aye
Masih dengan suasana Kebun Raya Bali. Rupanya Hazmi terpaksa jalan-jalan seorang diri tanpa ada Ayesha membersamainya. Dengan berat hati pula Hazmi melepas Ayesha pergi tanpa ia tahu dimana istrinya kini. Dan saat ini laki-laki itu hanya berkutat memotret dengan sebuah kamera digital miliknya. Hobi Hazmi yakni memotret. Ia juga penyuka traveling. Bahkan tak hanya pulau Bali yang berhasil dijelajahinya, namun beberapa pulau di Indonesia pun sudah ia kunjungi seorang diri. Dan hingga ia memilih pulau dewata sebagai tempat persinggahannya kini. Hazmi bekerja sebagai fotografer di salah satu kantor media kota Denpasar. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai majalah lokal Bali hingga interlokal di pulau jawa. Ini adalah hobi Hazmi sejak lama, menemukan pekerjaan sesuai passion-nya adalah hal yang ia inginkan. Beruntungnya Ayesha tak sama sekali protes mengetahui pekerjaan Hazmi. Lelaki itu baru memberitahukan identitasnya
Krakk! Ayesha lekas mendaratkan duduknya di sofa apartemen. Ia mengembuskan napasnya pelan, namun sangat ia paksa. Pelupuk matanya masih menyimpan cairan bening yang tak bisa ia kuakkan. Perasaannya tak beraturan, tak nyaman. Ingatannya masih terngiang akan perkataan Hazmi. Bagaimana bila Hazmi membenciku? Bagaimana bila Hazmi tak mau memperjuangkan hatinya untukku kembali? Dan kenapa saat ini aku begitu takut kehilangan? Seakan hati ini tak membaik ketika Hazmi mengucapkan kalimat itu padaku. Ya Allah ... apa aku benar-benar jatuh cinta? Karena selama ini, aku tak pernah merasakan jatuh cinta dengan perasaan seperti ini, Ya Rabb ... apa yang kuharus lakukan? Ayesha terlihat khidmat merapal kalimat di balik hatinya. Rasanya sesakit ini mengetahui laki-laki yang pernah ia benci mengatakan yang mampu menohok hatinya. Dan ternyata Ayesha tak mampu mendefinisikan mengapa ia terlalu takut dan bimbang memikir
Tok, tok, tok! "Siapa?" Suara ketukan pintu tersebut sempat membuat Ayesha mengerutkan kening. Siapa orang yang beraninya datang bertamu di tengah malam begini? Dan tampaknya Thalia dan Ayah telah tertidur. Ayesha tak punya pilihan lain selain mencoba menemui sang tamu yang bertahan di depan pintu ruangan apartemennya. Tok, tok!"Assalamualaikum ..." Suara itu telah mengetuk pintu kesekian kali. Ia juga sempat mengucap salam sembari mengetuk pintu ruangan.Krakk!"Waalaikumsalam."Pintu terbuka sempurna. Saat ini Ayesha cukup tercengang menemukan keberadaan Hazmi yang kini berada tepat di depannya. Entah apa tujuan Hazmi datang ke apartemen di tengah malam. Pikiran Ayesha saja seakan bertanya-tanya."Kamu ...""Aku boleh nginap di sini, nggak?"Mendadak Ayesha kaget mendengar per
"Ay, Ayesha ...." Suara Hazmi tetap bersikukuh memanggil Ayesha. Jemarinya saja ia daratkan menyentuh wajah gadis yang terlelap itu.Sayangnya Ayesha hanya menggeliat tanpa menghiraukan panggilan lelaki tersebut. Tubuhnya pun sengaja berbalik arah seolah-olah menghindari sentuhan Hazmi yang memanggilnya.Hazmi menghela napas berat. Susah juga membangunkan Ayesha di jam segini. Apalagi jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Sayangnya bukan Hazmi namanya jika ia harus kehilangan akal. Dan kali ini ia mencoba mencari cara agar istri mungilnya itu terjaga dari tidurnya."Tidur aja udah cantik, Ay. Tapi sayang, tidurmu aja nggak ngalah-ngalahin sang putri tidur," pekik Hazmi. Ia bertahan menatap wajah Ayesha dari sisi sangat dekat. Lelaki itu tak kehilangan cara lain membangunkan gadis cantik yang terlelap di depannya kini.Saat ini Hazmi merebahkan tubuhnya di sisi Ayesha. Dengan senyum semringah ia menatap
Kali ini Ayesha tiba di danau Beratan Bedugul. Gadis itu tak hanya berniat mencari accesories pesanan teman-teman Thalia, namun sayangnya ia pun enggan melewatkan jalan-jalan menjelajahi Bali. Ayesha jadi ingat ketika kali pertama ia berkunjung ke pulau Bali. Ia tampak senang jalan-jalan berkunjung ke beberapa tempat wisata. Dan terutama wisata bedugul. Meski sayangnya bagi Ayesha, ia belum puas berkeliling ke pulau dewata ini.Suasana pagi di danau itu sangat sejuk. Bahkan tiupan angin yang menusuk ke pori-pori kulit tak membuat Ayesha merasa kedinginan. Gadis itu masih berjalan sendiri tanpa menghiraukan keberadaan sang suami dan Thalia yang berada di belakangnya."Kak Ay! Jangan cepat-cepat dong, jalannya. Capek tahu! Nah, tuh, suami Kakak aja ditinggal sama Kak Ayesha. Nggak kasihan sama Kak Hazmi?" Thalia memanggil dari arah belakang, hingga ia berhasil membuat langkah Ayesha terhenti.Kini Ayesha memutar tub