Suasana pagi di pantai Seminyak terlihat ramai seperti biasanya. Ayesha, Thalia, dan Hazmi baru saja tiba di lokasi pantai. Ayesha dan Thalia menumpang taxi, sedangkan Hazmi sengaja mengikuti jejak mereka berdua dengan sepeda motornya. Hingga tiba di lokasi pantai, Hazmi memarkirkan sepedanya sebentar. Kemudian ia mempercepat langkahnya mendekati Ayesha dan Thalia.
Dua gadis itu sedang berjalan melewati pintu masuk menuju pantai tanpa menghiraukan keberadaan Hazmi yang mengikuti dari belakang.
"Ay!" Begitu ketika Hazmi kembali memanggil gadis berkerudung itu. Sementara objek yang dipanggilnya mulai menghentikan langkah tepat di tepi pantai.
Melihat keberadaan Ayesha dan Thalia, Hazmi masih berlari menghampiri dua gadis itu. Hingga ia terhenti di depan Ayesha.
"Apa, sih? Nggak ada kerjaan ya, ngikutin aku mulu?" kata Ayesha yang sengaja melempar senyuman sinis.
Sebenarnya ia tak berselera melihat keberadaan laki-laki itu. Namun karena Thalia yang meminta agar Ayesha memperbolehkan Hazmi ikut serta, akhirnya Ayesha terpaksa menuruti tanpa bertanya apa maksud Thalia.
"Tugasku ya memang ngikutin kamu. Memangnya salah?"
"Haz, aku bukan anak kecil yang wajib kamu ikuti. Kalau memang hak suami istri harus begitu, ya ... gimana aku terima kenyataan, bahwa aku udah nikah sama kamu."
Hazmi tercenung sejenak, tak percaya rasanya setelah mendengar perkataan Ayesha. Apa ini pertanda Ayesha percaya padaku?
"Kamu percaya kan, kalau aku suamimu?"
"Nggak akan, dan nggak akan pernah. Udah deh, nggak usah ngikutin aku. Kamu memang nggak ada kerjaan, selain harus banget ngikutin aku?"
"Ada, Ay. Nggak mungkin aku nggak kerja, gimana aku jadi suami yang bertanggung jawab, kalau aku nganggur. Iya, kan?"
"Nah, mending kamu kerja aja. Jangan ikuti aku jalan-jalan. Pekerjaanmu jauh lebih penting daripada harus ikut aku ke sini."
"Justru pekerjaan mengikuti kamu jalan-jalan, adalah suatu hal yang jauh lebih penting dan penting banget daripada aku nggak ada di sini dan aku lebih memilih mengurus pekerjaanku."
"Kalau begitu, kamu bukan suami yang bertanggung jawab."
"Oh, nggak dong, aku masih bertanggung jawab. Karena sudah mau meluangkan waktu, untuk menjaga istriku yang bawel ini."
"Apaan sih! Lama-lama omonganmu rada ngawur. Ya udah, terserah kamu aja!" Ayesha benar-benar kesal mendengar Hazmi yang terus saja memberikan alasan. Laki-laki itu sangat tangguh mempertahankan usahanya. Ayesha saja kewalahan harus bagaimana lagi agar Hazmi tak lagi mengejarnya.
Sayangnya ketika langkah Ayesha bergegas menjauhi Hazmi dan Thalia yang masih bertahan berdiri, rupanya Hazmi makin teguh mengejar Ayesha.
"Ay! Mau kemana? Jangan kejauhan main-mainnya. Di sini aja, Ay ... bahaya, turis-turis di sini nggak seperti yang kamu kira," gumam Hazmi yang masih berjalan di belakang Ayesha. Berusaha menyamai langkah ketika Ayesha semakin jauh darinya.
Astaga! Kenapa satu makhluk ini tak mau jauh-jauh juga?
"Ayesha ...."
Semakin nama Ayesha disebut, gadis itu semakin mempercepat langkahnya menjauhi Hazmi. Ayesha sama sekali tak berniat menghentikan dirinya dan menggubris Hazmi. Sayangnya setelah Ayesha semakin berjalan jauh, Hazmi akhirnya tak lagi mengejar. Laki-laki itu hanya menatap Ayesha dari kejauhan.
Rasanya sangat sulit bagi Hazmi menaklukkan hati Ayesha. Gadis semacam Ayesha saja sangat egois mempertahankan kemauannya.Hazmi merasa bingung. Ia harus mencari cara lain agar Ayesha tak membencinya dan mau mempercayainya.
Kamu boleh lari sekarang, Ay. Tapi akan kupastikan, kamu tak akan lari kemana-mana lagi setelah kau mau percaya padaku. Lalu, aku harus melakukan cara apa lagi? Pikir Hazmi.
"Kak Hazmi," suara panggilan itu spontan membuat Hazmi menoleh.
Setelah menengok ke pemilik suara, Hazmi menghela lega karena melihat keberadaan Thalia. Gadis yang mirip Ayesha itu, adalah Adik kandung Ayesha. Jelas saja Hazmi merasa mengenalnya. Sayangnya, Hazmi lumayan lupa dengan Thalia. Karena sewaktu dulu saja, Thalia masih kecil dan belum sedewasa ini.
Hazmi tak berniat menjawab. Ia hanya menunggu perkataan Thalia selanjutnya. "Kak, boleh aku tanya sesuatu?" ujar Thalia yang membuka suara kembali.
"Boleh, apa?"
"Kalau memang Kak Hazmi suaminya Kak Ayesha, kenapa aku dan Kak Ayesha nggak tahu apa-apa tentang Kak Hazmi? Maaf, setahuku pernikahan itu harus saling mengetahui. Antar dua keluarga pun harus saling mengenal setelahnya. Tapi, kalau Kak Hazmi ..."
"Kamu ... Lia, bukan?"
"Thalia, Kak. Panggil Lia juga boleh, kok."
Kak Hazmi saja lumayan tahu namaku, dia bukan hanya tahu tentang Kak Ayesha. Jangan-jangan pengakuan Kak Hazmi benar, kalau dia udah nikahain Kak Ayesha. Tapi, aku nggak boleh gampang percaya. Bagaimanapun, aku harus cari tahu tentang Kak Hazmi, Ayesha membatin. Ia masih memerhatikan Hazmi yang bersiap mengungkap jawaban.
"Ok, panjang ceritanya, Thal. Aku dan Ayesha itu nikah gantung, waktu aku umur empat belas tahun, dan Ayesha umur dua belas tahun. Dan awal pernikahan kami, aku sengaja meminta pada Ayahku, jangan sampai Ayesha tahu tentang pernikahan ini. Karena kalau sampai Ayesha tahu, aku percaya bahwa Ayesha akan menolak."
"Terus, kalau gitu Kakak pemaksaan, dong? Pernikahan itu, dua pengantin harus saling bersedia, Kak. Nggak boleh atas kemauan sepihak."
"Nggak begitu maksudnya, Thalia. Ok, aku ceritakan, ya. Tapi aku mohon, kalau aku udah cerita, tolong bantu aku, buat agar Ayesha percaya bahwa aku memang suami sahnya."
Menatap Hazmi jadi tak tega bagi Thalia. Ia rasa Hazmi sangat sungguh-sungguh berkata jujur. Tanpa ragu Thalia mengangguk menerima permintaan Hazmi.
"Haz, Ayah mau ngomong sama kamu, penting."
Hazmi menatap heran saat Yusuf menemuinya di ruang keluarga. Saat ini suasana rumah terlihat sepi. Ibu Hazmi sedang tidak di rumah, sedangkan Rafli Kakaknya lagi kerja kelompok. Jadi di sore itu hanya tinggal Hazmi bersama Yusuf berdua.
"Apa, Ayah?"
"Ayah sudah ketemu beberapa kali dengan Pak Erlan, beliau adalah sahabat karib Ayah sejak kecil. Dan Ayah lihat, waktu kamu ketemu dengan teman Ayah itu yang membawa putrinya, kamu malah gugup. Ayah sering perhatiin tingkahmu, loh. Diam-diam juga kamu terus menatap Ayesha, apa kamu sedang kagum dengan putri Pak Erlan itu?"
"Loh, Ayah, kok, tahu Ayesha?"
Jelas saja Hazmi gugup. Tingkahnya selama ini harus ketahuan dengan Ayahnya sendiri. Padahal Hazmi berusaha bersikap biasa saja, ketika tak sengaja bertemu Ayesha bersama Pak Erlan. Hazmi juga mengakui bahwa ia menyukai Ayesha sejak gadis itu berada di sekolahnya. Namun mengapa Yusuf menyadari akan perasaan putranya? Lagi-lagi mendengar interogasi Ayahnya, Hazmi jadi deg-degkan sendiri.
"Ayah nggak mungkin nggak tahu tentang perasaan putra Ayah sendiri. Haz, Ayah nggak mau kamu salah jalan, Nak. Apalagi di umurmu yang masih belia, kamu malah naksir cewek."
"Memangnya, salah ya, Yah?"
"Nggak, nggak salah, kok. Ayah pun pernah bertingkah sepertimu sewaktu Ayah masih muda."
"Terus?"
"Cuma Ayah nggak mau, kamu memilih dengan cara pacaran setelah kamu naksir Ayesha. Meskipun Ayah belum tahu niatmu nanti. Anak muda zaman sekarang, siapa yang nggak kenal sama pacaran. Sayangnya gaya pacaran mereka banyak yang melenceng. Bahkan setahu Ayah, pacaran itu tidak diperbolehkan dalam agama kita."
"Iya, Hazmi paham, Yah. Hazmi janji, nggak akan pacaran meskipun Hazmi suka sama Ayesha."
"Nggak mungkin, Haz. Yang namanya zina itu, bukan hanya dari sisi pergaulan pacaran saja, namun dari sisi hati. Kalau kamu bertahan untuk tidak pacaran, apa kamu menjamin untuk bertahan tidak menyimpan rasa terlalu dalam pada Ayesha?"
Hazmi terdiam. Rasanya sangat sulit mengiyakan pertanyaan Ayah. Jaminan yang Yusuf sebutkan membuat hati Hazmi tertekan. Apakah ia menjamin untuk tidak terlalu meletakkan perasaannya pada Ayesha? Yang jelas, mengikhlaskan Ayesha saja ia merasa ragu.
"Nah, kamu saja bingung mau jawab apa. Ayah nggak mau, kamu salah menentukan arah. Ayah mau, kamu belajar dewasa, menentukan hal kebaikan yang pantas kamu pilih. Ayah sebagai orangtua, justru sangat menyayangimu, Haz. Kemarin Ayah sempat ngomong tentang ini dengan Erlan. Kami mengobrol, membicarakan tentang lamaran dan pernikahanmu bersama Ayesha."
Hazmi melongo mendengar pernyataan Yusuf. Ini tidak salah? Ayah menyatakan lamarannya untuk Ayesha. Masa iya aku menikahi Ayesha sekarang? Pikir Hazmi. Ia masih tak percaya dengan perkataan Ayahnya.
"Haz, Ayah sudah melamar Ayesha untukmu. InsyaAllah, pernikahan kalian akan terlaksana dalam sekitar tiga atau empat bulan lagi."
"Tapi, Yah, umur Hazmi ..."
"Iya, Ayah paham, Ayah cuma nggak mau, kamu terjebak ke masalah hati yang lebih besar. Zina itu bukan hanya tentang pacaran aja, tapi termasuk hati. Ayah juga nggak akan menjamin, kalau kamu mampu mengontrol hatimu pada Ayesha. Makanya Ayah pilih dengan cara ini, alhamdulillah, Pak Erlan setuju. Tapi sayangnya, beliau masih belum bilang sama Ayesha."
"Tapi, lamaran Hazmi diterima?"
"Iya, nanti kalian akan menikah sah secara agama. Ini namanya pernikahan gantung, jadi pernikahan kalian belum terdaftar di KUA. Ayah masih punya tanggung jawab besar untukmu, dan kamu masih belum punya tanggung jawab penuh untuk Ayesha, sampai nanti setelah kamu cukup umur, kamu baru bisa mendaftarkan pernikahanmu di KUA.
"Dan Ayesha masih tanggung jawab Pak Erlan, kamu jangan khawatir. Meskipun begitu, kalian sudah menjadi suami istri. Dengan begitu juga, kamu bebas meletakkan perasaan lebih untuk Ayesha. Dan kamu nggak perlu takut untuk jatuh ke dalam hal yang dilarang Agama Islam, karena perkara hatimu sudah terjaga baik untuk Ayesha."
"Ayah, Hazmi bisa terima tentang keputusan Ayah. Tapi, Hazmi mohon, Ayesha jangan sampai tahu tentang pernikahan ini. Hazmi janji akan menjaga rahasia, sampai nanti Hazmi akan bilang jujur padanya, bahwa Hazmi dan Ayesha sudah menikah. Nggak apa-apa, kan, Yah?"
"Bisa, Ayah bisa terima permintaanmu. Karena ini masih nikah gantung, maka kamu boleh menentukan hal itu. Tapi ingat, Ayah mau, kamu mengurus tentang rahasia ini yang kamu buat sendiri, dan bagaimana caranya kamu membuat Ayesha percaya padamu nanti, itu menjadi urusanmu, Hazmi."
"InsyaAllah, Yah."
Bersambung 🌞
Pandangan Ayesha menangkap Thalia yang sedang mengobrol akrab bersama Hazmi. Ayesha semakin geram mengamati keberadaan mereka. Yang awalnya ia sengaja memberi jarak jauh agar Hazmi tak lagi mendekatinya, kini malah Thalia adiknya yang sedang bersama laki-laki itu. Ya ampun ... mereka ngapain, sih!? Gerutu Ayesha kesal. Rasanya sorotan matanya begitu membenci menatap Hazmi yang sengaja mendekati adiknya. Lalu Ayesha lekas mempercepat langkahnya menghampiri mereka. Tap! Langkah Ayesha terhenti di sisi Thalia. Gadis itu semakin geram menatap Hazmi. Dan pandangan Hazmi pun sontak mengetahui keberadaan Ayesha yang kini di depannya. "Ay ...""Thal, pulang, yuk? Kakak bete' di sini," gumam Ayesha lantas sengaja memotong panggilan Hazmi yang ingin menyebut namanya. Thalia mengangguk pasrah. Akhirnya ia menuruti kemauan kakak perempuannya itu. Sedangkan Ayesha sengaja menarik l
Hazmi meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Ia menikmati senja di balkon kamar sembari membaca novel karangan Ayesha. Sedari dulu Hazmi tak pernah menyukai membaca buku. Sekalipun melihat buku saja ia merasa jengah. Namun karena buku yang dipegangnya adalah novel karangan Ayesha, Hazmi mau membacanya. Bahkan ini adalah pertama kalinya ia mau membaca novel. Senyuman Hazmi tersungging sempurna. Ia baru membaca sampai bab ke enam. Novel karangan Ayesha yang Hazmi baca ialah bergenre teenlit. Hazmi sudah mengetahui bahwa Ayesha adalah seorang penulis. Dan hobi Ayesha saja Hazmi sangat hapal, meskipun ia tak pernah dekat dengan gadis itu sebelumnya. "Haz." Hazmi spontan menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Ia meletakkan buku yang digenggamnya ke atas meja. Mengetahui siapa pemilik suara itu, membuat Hazmi mau beranjak dari singgahannya. "Kak Rafli? Kok, kapan ke sininya?" Hazmi berkata bing
"Assalamualaikum, Yusuf, maaf, kedatangan kami telat," ucap Erlan. Ia menjabat telapak tangan Yusuf sejenak. Mereka berdua tampak tersenyum semringah."Waalaikumsalam. Ah, tidak apa-apa, Lan. Ya sudah, ayo duduk dulu." Begitu Yusuf mempersilakan keluarga Erlan menempati kursi yang telah tersedia. Akhirnya Ayesha dan Thalia pun ikut menyinggahkan duduknya bersama Ayah mereka. Sayangnya Ayesha merasa tak nyaman. Berada di antara mereka rasanya sangat mengasingkan. Ayesha pun tak mengenal detail siapa Yusuf, pasti dia Ayahnya Hazmi, pikir Ayesha. Dan di samping Hazmi itu pasti saudaranya. Hanya berpikir seperti itu Ayesha menebak siapa mereka. Dan yang Ayesha herankan, mengapa Ayah mengenali keluarga Hazmi? Astaga ... jangan bilang ..., Ayesha merasa tak tenang memikirkan hal yang sangat sulit ia duga. Pelan-pelan ia mengatur degupannya, sembari menyimak pembicaraan antara Ayahnya bersama
"Ya udah, Suf, nanti saya akan sampaikan pada Ayesha. Baik, wassalamualaikum," ujar Erlan yang baru saja memutuskan panggilan teleponnya. Telepon dari Yusuf, besannya. Ayesha yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di pagi itu, ia menghampiri Erlan yang sedang duduk menonton televisi di ruang tengah. Sementara Thalia sedang sibuk menyiapkan sereal untuk sarapan paginya bersama Ayah dan Kakaknya. "Ayah, dari Om Yusuf?" Ayesha bersuara saat menjatuhkan posisinya di sisi Erlan. Sebelumnya ia sedikit mendengarkan perbincangan Erlan lewat telepon. Pantas saja Ayesha heran melihat Erlan setelah keluar dari kamar. Ayesha tak sengaja menguping pembicaraan Ayahnya di ruang tengah. "Iya. Dari mertuamu, Ay. Oh ya, tadi Om Yusuf bilang, kalau Hazmi akan mengajakmu jalan-jalan ke Kebun Raya Bali. Nanti Ayah sama Thalia nyusul kalian. Tapi belakangan. Setelah kamu berangkat sama Hazmi."Aye
Masih dengan suasana Kebun Raya Bali. Rupanya Hazmi terpaksa jalan-jalan seorang diri tanpa ada Ayesha membersamainya. Dengan berat hati pula Hazmi melepas Ayesha pergi tanpa ia tahu dimana istrinya kini. Dan saat ini laki-laki itu hanya berkutat memotret dengan sebuah kamera digital miliknya. Hobi Hazmi yakni memotret. Ia juga penyuka traveling. Bahkan tak hanya pulau Bali yang berhasil dijelajahinya, namun beberapa pulau di Indonesia pun sudah ia kunjungi seorang diri. Dan hingga ia memilih pulau dewata sebagai tempat persinggahannya kini. Hazmi bekerja sebagai fotografer di salah satu kantor media kota Denpasar. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai majalah lokal Bali hingga interlokal di pulau jawa. Ini adalah hobi Hazmi sejak lama, menemukan pekerjaan sesuai passion-nya adalah hal yang ia inginkan. Beruntungnya Ayesha tak sama sekali protes mengetahui pekerjaan Hazmi. Lelaki itu baru memberitahukan identitasnya
Krakk! Ayesha lekas mendaratkan duduknya di sofa apartemen. Ia mengembuskan napasnya pelan, namun sangat ia paksa. Pelupuk matanya masih menyimpan cairan bening yang tak bisa ia kuakkan. Perasaannya tak beraturan, tak nyaman. Ingatannya masih terngiang akan perkataan Hazmi. Bagaimana bila Hazmi membenciku? Bagaimana bila Hazmi tak mau memperjuangkan hatinya untukku kembali? Dan kenapa saat ini aku begitu takut kehilangan? Seakan hati ini tak membaik ketika Hazmi mengucapkan kalimat itu padaku. Ya Allah ... apa aku benar-benar jatuh cinta? Karena selama ini, aku tak pernah merasakan jatuh cinta dengan perasaan seperti ini, Ya Rabb ... apa yang kuharus lakukan? Ayesha terlihat khidmat merapal kalimat di balik hatinya. Rasanya sesakit ini mengetahui laki-laki yang pernah ia benci mengatakan yang mampu menohok hatinya. Dan ternyata Ayesha tak mampu mendefinisikan mengapa ia terlalu takut dan bimbang memikir
Tok, tok, tok! "Siapa?" Suara ketukan pintu tersebut sempat membuat Ayesha mengerutkan kening. Siapa orang yang beraninya datang bertamu di tengah malam begini? Dan tampaknya Thalia dan Ayah telah tertidur. Ayesha tak punya pilihan lain selain mencoba menemui sang tamu yang bertahan di depan pintu ruangan apartemennya. Tok, tok!"Assalamualaikum ..." Suara itu telah mengetuk pintu kesekian kali. Ia juga sempat mengucap salam sembari mengetuk pintu ruangan.Krakk!"Waalaikumsalam."Pintu terbuka sempurna. Saat ini Ayesha cukup tercengang menemukan keberadaan Hazmi yang kini berada tepat di depannya. Entah apa tujuan Hazmi datang ke apartemen di tengah malam. Pikiran Ayesha saja seakan bertanya-tanya."Kamu ...""Aku boleh nginap di sini, nggak?"Mendadak Ayesha kaget mendengar per
"Ay, Ayesha ...." Suara Hazmi tetap bersikukuh memanggil Ayesha. Jemarinya saja ia daratkan menyentuh wajah gadis yang terlelap itu.Sayangnya Ayesha hanya menggeliat tanpa menghiraukan panggilan lelaki tersebut. Tubuhnya pun sengaja berbalik arah seolah-olah menghindari sentuhan Hazmi yang memanggilnya.Hazmi menghela napas berat. Susah juga membangunkan Ayesha di jam segini. Apalagi jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Sayangnya bukan Hazmi namanya jika ia harus kehilangan akal. Dan kali ini ia mencoba mencari cara agar istri mungilnya itu terjaga dari tidurnya."Tidur aja udah cantik, Ay. Tapi sayang, tidurmu aja nggak ngalah-ngalahin sang putri tidur," pekik Hazmi. Ia bertahan menatap wajah Ayesha dari sisi sangat dekat. Lelaki itu tak kehilangan cara lain membangunkan gadis cantik yang terlelap di depannya kini.Saat ini Hazmi merebahkan tubuhnya di sisi Ayesha. Dengan senyum semringah ia menatap
Tok .... Tok .... Tok ..., sudah kesekian kalinya Hazmi mengetuk pintu kamar mandi. Ia tampak cemas, bingung, bahkan pikirannya heran menunggu Ayesha yang belum juga ke luar dari kamar mandi.Terhitung nyaris setengah jam belum ada tanda-tanda Ayesha ke luar menemuinya. Bahkan suara Hazmi saja yang menyebut sang istri berkali-kali belum ada sahutan juga dari dalam.Kali ini Hazmi tak ingin terjadi apa-apa. Lalu jemarinya sengaja memutar gagang pintu. Dan sayangnya gagang tersebut terkunci dari dalam. Hazmi semakin khawatir. Ia kembali mengetuk pintu dengan menimbulkan nada keras."Ayesha .... Ay! Ayesha kamu benar nggak apa-apa di dalam? Kenapa kamu belum ke luar juga, Ay? Ayolah, ada apa, sayang?" Begitu sahutan Hazmi ketika memanggil sang istri.Sementara di ruang kamar mandi, terlihat Ayesha yang masih bergeming di balik cermin. Ia meletakkan testpack yang baru saja dikenakannya ke atas wa
Krakk!Hazmi baru saja masuk ke dalam kamar. Ia pun meletakkan rentengan kresek berisikan dua cup es krim ke atas nakas. Sambil lalu ia menyambut senyuman Ayesha dengan senyum tipsinya. Perlahan lelaki itu memposisikan dirinya duduk di sofa yang berada di ruangan kamarnya."Kak, kamu kenapa? Gak ikhlas aku nyuruh kamu beli es krim? Tahu gitu, aku sendiri tadi yang jalan," oceh Ayesha. Ia mengerutkan keningnya setelah melihat raut wajah Hazmi yang sangat melelahkan."Gak kok, Ay. Aku ikhlas banget malah. Kamu mah, bisanya nethink mulu sama suami." Hazmi menegakkan posisi tubuhnya sejenak."Nethink? Sejak kapan aku nethink? Aku cuma nebak, bedain itu nethink sama nebak doang," gerutu Ayesha tak terima. Ia berkacak pinggang sembari menyenderkan tubuhnya ke punggung ranjang.Loh, bukannya nething sama nebak itu sama? Si Ayesha kenapa jadi ngambekan gini, sih? Hazmi membatin.
Ke mana sih, si Bara? Jam segini masih belum datang juga, bilangnya aja kemarin nggak boleh telat, batin Thalia. Hari ini ia dan Bara telah mengadakan janji di depan ruang redaksi. Terhitung dua puluh menit ia menanti kedatangan Bara sambil menposisikan dirinya duduk di depan ruangan.Beruntung anak-anak redaksi banyak yang belum hadir ke ruangan. Dirinya saja bersyukur bila nanti bertemu Bara, tak ada anak redaksi yang akan melihatnya. Lebih tepatnya Thalia enggan mendengar komentar atau pun gosip apapun. Ia hanya ingin tugas wawancaranya selesai."Assalamulaikum," sapa suara seorang lelaki yang berdiri di hadapannya. Dengan jarak yang cukup mencelahkan, Bara menemui Thalia di siang itu.Menangkap Bara ke dalam pandangannya, Thalia pun langsung bangkit dan menyamai posisinya di depan lelaki itu. "Waalaikumsalam, Bar.""Maaf, aku telat?"Thalia mengangguk dengan cengirannya. "Nggak apa
Netra Carisa masih terarah fokus ke balik kaca mobil. Ia menangkap lalu lalang kendaraan ke dalam pandangannya yang nanar. Padahal sudah jelas ia menyingkap patah dan memuakkan emosi di hadapan laki-laki yang justru menyakitinya. Namun hati Carisa merasa masih tak nyaman. Ia seolah bimbang dan bertanya dalam pikiran. Bagaimana bisa ia melepas Tara yang telah datang melamar?"Car," panggil Rafli. Sedari tadi ia sedang fokus menyetir mobil. Sudah cukup ia terdiam selama beberapa menit dalam perjalanan bersama Carisa."Kamu benar nggak apa-apa, kan?" ungkap Rafli lagi.Sontak Carisa menolehkan wajahnya ke arah Rafli. Bola matanya masih tampak berkaca-kaca. Menunjukkan pertanda pada lelaki di sisinya bahwa ia belum sepenuhnya membaik. Namun Rafli ingin mendengar langsung dari Carisa.Bukannya menjawab, kini Carisa malan menguakkan air matanya. Ia membiarkan tangisnya pecah seketika. Seolah ia ingin mengeluarkan ra
Slapp!Revan menarik pintu kedai secara perlahan. Malam itu ia beranjak meninggalkan kedai setelah berbincang bersama Kayla selama kurang lebih sejam. Tampaknya Revan masih bertahan memerhatikan layar ponselnya. Ia saja memberikan alasan untuk Kayla agar dirinya lekas tak lagi mengobrol bersama perempuan itu.Revan memang terkesan memberi batas bagi dirinya bersama Kayla. Ia hanya tak mau membiarkan perempuan itu masuk ke dunianya secara keterlaluan, atau bahkan memberikan harapan lebih untuk gadis itu. Revan murni hanya menganggap Kayla sebagai teman kursusnya, teman biasa, dan tak akan lebih baginya.Lalu ....Klik! Telepon baru saja tersambung pada nomor yang Revan hubungi. Sesekali ia menarik napasnya perlahan, dan membuangnya sejenak. Saat ini dirinya benar-benar gugup. Sebab ini adalah kali pertama ia menghubungi seseorang yang dirindukannya."Halo?"
"Ish! Nyebelin banget nih anak!" Kesal Ayesha. Siang ini ia berada di club La Risa Kuta bersama sang suami. Menikmati makan siang dengan nuansa kedai club yang cukup menarik pandangan. Sebab club ini terletak di pinggir pantai.Seharusnya timing yang tepat ialah ketika di malam hari. Sayangnya Hazmi telanjur mengajaknya ke lokasi ini. Sembari menikmati keindahan pemandangan pantai dan isi club, Ayesha masih memainkan ponselnya dan menunggu kedatangan Hazmi.Lelaki kesayangannya itu sedang mengunjungi loket pelayanan untuk memesan pesanan. Sambil menunggu suami, sedari tadi Ayesha sengaja menelepon Thalia. Namun sayangnya saja ia tak mendapat respons baik dari adik perempuannya itu. Pantas saja kali ini Ayesha tampak menggerutu sebal.Ia tak habis pikir dengan kelakuan Thalia yang makin hari makin bucin akibat Revan. "Hei, Sayang ... nah, pesanan sudah datang ...," sambut Hazmi seca
Istanbul, Turki"For the assignment I have given you, please collect it in two more days via the link I have provided. Thank you," ucap wanita paruh baya tersebut. Semenjak dua jam yang lalu ia sedang mengajar untuk kelas bahasa Turki. Sampai akhirnya jam materi berlalu, para murid pun dipersilakan membubarkan diri dari ruangan.Termasuk Revan yang kini lantas menyampirkan ranselnya ke balik punggung. Ia menatap datar ketika teman lainnya sedang berebut keluar kelas. Sementara sang guru telah beranjak dari ruangan terlebih dahulu. Hingga beberapa detik terlewat, akhirnya Revan telah berjalan di halaman taman sekolah yang ia singgahi.Ini sudah terhitung dua minggu Revan berada di negeri Turki. Ia sedang mengambil sekolah kursus bahasa selama setahun sebelum benar-benar masuk ke perguruan tinggi. Revan sengaja mengambil kota Istanbul sebagai tempatnya melanjutkan pendidikan. Sebab, sudah sela
Tap!Rafli sengaja menjatuhkan duduknya ke sisi Yusuf. Pagi itu secara terpaksa Rafli mau menemui sang ayah di ruang keluarga. Rumah ellite yang bukan hanya sekadar sederhana itu hanya dihuni oleh tiga orang. Baik Yusuf, Iren yang sebagai bundanya, beserta Rafli.Namun Iren baru saja tiba di Bandung sejak resepsi putra bungsunya digelar di pulau Bali. Perempuan paruh baya itu juga memiliki kesibukan mengurus bisnis pakaian di Jakarta dan Bandung. Kedua bisnis yang harus diurus sendiri itu justru menyita waktu Iren.Faktanya ia juga seringkali bolak-balik Jakarta dan Bandung. Sementara Yusuf bekerja sebagai general manager di salah satu perusahaan Bandung. Keduanya memang sangat sibuk bila sama-sama mengurus pekerjaan. Sayangnya hari ini Rafli hanya bertemu sang ayah. Sedangkan Iren sedang mengurus pertemuan meeting di kantor.Yusuf sengaja menyuruh Bi Siti memanggil Rafli untuk menemuinya. Rupanya usa
"Pagi istrinya Hazmi ...," sapa Hazmi yang baru saja memasuki ruangan kamarnya kembali.Ia telah mengganti pakaiannya dengan kaos lengan panjang berwarna abu dengan paduan celana jeans. Pagi ini lelaki muda itu tampak rapi. Hazmi memasuki kamar dengan sengaja membawakan nampan berisi semangkuk muesli fruit dried lengkap bersama secangkir susu rasa stroberi.Kemudian ia meletakkan nampan yang dipegangnya ke sisi nakas dekat Ayesha berbaring. Perempuan kesayangannya itu sudah terlihat membuka kelopak matanya. Namun sayangnya Ayesha enggan beranjak dari tempat persinggahannya di atas ranjang. Ia masih bertahan dengan posisi tidurnya semula. Sembari menatap tingkah Hazmi dengan takjub."Makan, yuk, Ay? Aku udah makan setelah olahraga tadi, kok. Maaf, ya? Jadi nggak ngajak kamu makan berdua. Tapi, aku udah buatin makanan khusus buatmu." Jari Hazmi menunjukkan makanan dan minuman yang berada di atas nakas pada Ayesha.