Ting, tong!
Suara bel dari pintu luar membuat Ayesha yang selesai melaksanakan salat subuh mengernyit heran. Gadis itu lekas melipat mukenah dan sajadahnya yang lalu diletakkannya di atas kasur. Ayesha segera cepat-cepat berjalan menuju pintu, padahal bel berbunyi telah terdengar dua kali.
Krakk!
Pintu telah terbuka lebar. Namun Ayesha tak menemukan apa pun setelah membuka pintu. Ayesha semakin bingung, lalu siapa orang yang sengaja menekan bel ruangan apartemennya? Sesekali Ayesha menoleh ke sekitar, dan mencoba mencari siapa yang baru saja mengerjainya di pagi-pagi itu.
Slapp!
Kaki Ayesha tak sengaja menyentuh sebuah kotak yang cukup besarâyang terletak di bawah pintu. Mengetahui itu, Ayesha langsung mengambil kotak yang mirip sebuah kado, kotak tersebut telah terbungkus rapi dengan kertas kado lengkap bersama pita merah. Seakan menambah kesan manis saat memandang kotak yang kini Ayesha pegang.
Perlahan Ayesha kembali menutup pintu dan berjalan menuju kamarnya. Setelahnya ia meletakkan kotak yang cukup besar itu ke atas kasur. Sembari pandangannya tak terhenti menelisik heran menatap kotak tersebut.
Kira-kira siapa yang naruh kotak ini ke depan pintu, ya? Apa jangan-jangan yang sengaja mencet bel pintu tadi ... dia sengaja ingin meletakkan kotak ini di depan pintu. Ini cuma dugaanku saja sih, terus kalau orangnya sengaja ingin kasi kado, entah untuk siapa kado ini, kenapa harus naruh di depan doang, sih? Kenapa nggak langsung kasi ke orang yang dituju? Ke aku, atau ke Thalia gitu.
Ah, tau, deh! Mending dibuka aja kotak ini. Eh tapi ...
Ayesha tak sengaja menemukan sebuah kartu ucapan yang terselip di bagian pita kotak tersebut. Pelan-pelan Ayesha mengambil kartu ucapan itu dan mulai membacanya.
For Ayesha,
Hai, semoga kamu suka dengan kado ini. Kado ini dariku, suamimu.
Ttd: Hazmi.
"What?" Ayesha justru terkejut setelah membaca isi kartu ucapan yang dipegangnya.
"Jadi, ini dari si cowok gila itu? Ngapain sih, kirim kado segala? Aku nggak lagi ulang tahun sekarang. Norak banget, kasi kado pagi-pagi pas subuh. Niat banget ke apartemen. Eh, tapi ..."
Ayesha mendadak mengingat sesuatu. Lekas ia meletakkan jauh-jauh kotak itu dari kasurnya. Kali ini Ayesha keluar dari pintu kamar sembari memegang kado pemberian Hazmi. Sayangnya saat Ayesha berniat membuang kado itu ke tempat sampah di ruang tengah, Thalia langsung mencegahnya.
"Kak, kadonya kok mau dibuang?"
Ayesha langsung menengok ke asal suara. Ia pun mengurungkan membuang kado itu ketika Thalia memanggilnya.
"Oh, nggak berniat terima kado, Dek. Apalagi dari Hazmi."
"Oh, dari Hazmi. Pantas Kakak mau buang kadonya. Sayang kali Kak, Kadonya dibuang. Mending disimpan aja."
"Loh, ngapain disimpan? Nggak guna kali, Dek."
Ayesha menyinggahkan duduknya di sofa dan meletakkan kado pemberian Hazmi itu ke atas meja. Sayangnya Ayesha tak berniat membuka isi kado tersebut, cukup mengetahui siapa pemberi kado itu, ia tak berselera mengetahui isi kado tersebut.
Dan Kali ini Thalia mendaratkan duduknya di sisi Ayesha. "Ya nggak apa-apa, Kak. Siapa tahu isinya penting. Kak Ayesha nggak berniat ngecek isi kadonya?"
Ayesha menggeleng, "Nggak mau!"
"Ya udah, ditaruh aja di sini. Sampai Kak Ayesha berniat buka isi kadonya. Ya?"
"Lagian aku heran sama tuh cowok. Dia tahu darimana nomor ponselku? Bahkan dia tahu juga alamat apartemen ini. Darimana coba? Aneh, kan!"
"Jawabannya simple, kok. Pasti Kak Hazmi jawabnya, karena dia suami Kak Ayesha, haha ...." Thalia menggelakkan tawanya. Ia tak tahan menggoda Ayesha. Rasanya melihat Ayesha kesal seperti itu, sangat jarang Thalia temui.
"Ih, kamu, mah. Bisanya ngejek Kakak mulu."
"Ya habisnya Kakak juga kesal mulu gara-gara Hazmi. Ini udah hari kedua di Bali, Kak Ayesha masih saja kesal kayak gitu. Memangnya nggak capek?"
"Tau, ah!"
"Kak ...."
Ayesha langsung beranjak meninggalkan Thalia sendiri dan ia pun kembali masuk ke dalam kamarnya. Kini Ayesha sengaja mengunci pintu rapat-rapat agar tak ada seorang pun yang berniat masuk ke dalam kamarnya kecuali dirinya.
Cepat-cepat jemari Ayesha menekan layar touchscreen ponselnya setelah ia bersinggah di atas kasur. Setelah ia menekan salah satu kontak yang dimaksud, akhirnya sambungan telepon terhubung.
"Halo, assalamualaikum, Ayesha cantik?"
"Waalaikumsalam. Nggak usah pakai bilang Ayesha cantik-cantik segala. Aku nggak butuh digombalin kamu. Mending kamu jawab aja sekarang, ngapain kirim kado ke alamat apartemenku pagi-pagi?"
Begitu saat Ayesha sengaja menjawab perkataan Hazmi dengan ketus. Rupanya gadis itu sengaja menelepon Hazmi dan ingin meminta kepastian mengapa laki-laki itu mengirimkannya kado.
"Memangnya aku salah, Ay? Wajarlah, kalau aku kasi kamu kado. Apalagi kamu istriku, sangat wajar, Ay."
"Hazmi ... tahu darimana alamat apartemenku? Atau jangan-jangan, kamu sengaja ngikuti aku, ya?"
Ayesha masih tak terima mendengar ungkapan Hazmi yang lagi-lagi menganggapnya sebagai istri. Rasanya sangat malas ketika ia harus beradu mulut dengan laki-laki itu.
"Diterima, ya, Ay? Please ... tolong lihat kadonya. Semua jawaban tentang hubungan kita sudah ada di sana, Ay."
Ayesha justru mengangkat alisnya heran. Apa maksud Hazmi? Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa, udah gila, nih, anak!
"Nggak bakal aku buka kadonya. Males waktu tahu kamu pengirimnya."
Ayesha sengaja memutuskan sambungan telepon sepihak. Ia beralasan tak mau lagi mendengar suara Hazmi yang begitu kukuh memintanya. Ayesha kembali meletakkan ponselnya ke atas kasur. Karena sebentar lagi, ia berniat jalan-jalan ke pantai seminyak bersama Thalia.
đ˘đđ˘
Hazmi menepuk keningnya bingung. Pikirannya kembali membayangkan tentang gadis yang ia anggap sebagai istrinya. Sembari sorot matanya masih tertegun menatap suasana mentari terbit yang terlihat sangat jelas dari balkon rumah.
Mengingat rumah yang Hazmi singgahi itu, sangat berdekatan dengan pantai sanur. Nyaris setiap pagi atau pun menjelang sore, jika Hazmi masih berada di rumah, ia tak pernah ketinggalan menikmati keindahan senja yang biasa ia lihat di balkon rumah.
"Haz, sepertinya ini saatnya kamu harus jujur dengan Ayesha. Siapa kamu, dan apa status kalian. Jangan buat dia merasa nggak pernah menikah. Karena kamu tahu sendiri, kamu udah menikah dengannya," Yusuf Ayahnya, ia berkata pada putranya.
Sementara Hazmi yang telah menyelesaikan makan siangnya di meja makan, ia hanya menatap Ayahnya dengan pandangan jengah. Rasanya tak menyangka saja mengapa Yusuf memintanya agar segera jujur. Karena yang Yusuf tahu, Hazmi sudah menikahi Ayesha sejak usia Hazmi empat belas tahun.
Itu saat pertama kalinya Hazmi jatuh cinta dengan Ayesha. Hazmi masih sekolah, dan begitu pun juga Ayesha. Sayangnya mereka berada di satu sekolah yang sama sewaktu SMP. Hazmi menikahi Ayesha, karena ini juga permintaan orangtua Ayesha dan orangtuanya, yang ternyata kedua orangtua mereka adalah sahabat karib.
Ayesha sama sekali tak mengetahui kabar pernikahannya sama sekali. Karena memang Hazmi yang sengaja memintanya. Hazmi takut jika Ayesha syok mendengar bahwa ia akan menikah di usianya yang masih terbilang belia. Hingga Ayah Ayesha pun sengaja merahasiakan ini semua dari putrinya. Karena ketika pernikahan itu berlangsung, Ayesha sedang berada di Surabaya bersama Kakak sepupunya.
Ayesha adalah Adik kelas Hazmi sejak SMP. Usia mereka hanya terpaut dua tahun. Hazmi menyukai Ayesha, sejak kali pertama berjumpa. Bahkan Hazmi rasa, sangat mustahil bila Ayesha tak mengenalnya. Ayesha sempat bertemu Hazmi beberapa kali, meski Hazmi tak pernah berniat mendekati Ayesha selama ia berada di satu sekolah yang sama.
Ayesha memang gadis yang cuek, cukup tomboy, pipi chubby dan wajah cantiknya berhasil menghipnotis Hazmi untuk menyukainya. Sayangnya Ayesha tak pernah tahu keberadaan hatinya. Mungkin saja gadis itu hanya mengenal siapa dia, tanpa Ayesha tahu Hazmi menyukainya. Padahal seringkali Hazmi memerhatikan Ayesha dari kejauhan. Bahkan diam-diam Hazmi menjaga Ayesha, tanpa gadis itu mengetahui.
Namun saat ini, Hazmi sama sekali tak menyangka, bahwa Ayesha sudah melupakannya. Bahkan Ayesha tak mengenal siapa Hazmi.
"Ayah, kalau Ayesha nggak percaya gimana?"
"Berjuang dong, masa gitu aja kamu menyerah? Kalian memang hanya nikah gantung, tapi pernikahan kalian masih sah secara agama. Dan bagaimanapun, Ayesha tetap istrimu. Kamu jangan lengah, berjuang saja agar kamu bisa mendapatkan hatinya," kata Yusuf yang mencoba meyakinkan putranya.
"Iya, Haz. Masa kalah sama cewek, gitu aja malah susah menaklukkan satu cewek. Untung kamu udah nikah, sekarang cuma tinggal buat dia percaya sama kamu, kan?" Kali ini Rafli yang berperan sebagai Kakak laki-laki Hazmi ikut berkomentar. Memberikan pernyataan pada Adik bungsunya.
đ˘
Pagi ini Ayesha mengenakan pakaian kaos putih yang tertutup cardigan biru muda, rok panjang berwana krem, serta kerudung pashmina berwarna krem yang semakin menambah kesan manisnya. Ayesha menyinggahkan duduknya di sofa lobby sembari memainkan ponselnya.
"Assalamualaikum."
Suara itu spontan membuat Ayesha menoleh. Ayesha lekas beranjak ketika melihat sosok Hazmi yang kini berani menemuinya kembali.
"Waalaikumsalam," gumam Ayesha dengan nada cueknya. Ia sangat malas bila harus beradu mulut lagi dengan laki-laki itu.
"Pagi ini mau kemana, Ay? Perlu aku antar?"
Ayesha kembali tertegun mendengar ungkapan Hazmi yang memberikan tawaran. Dan untuk apa ia memberi tawaran jasa antar jemput padanya.
"Maksudnya?"
"Ya, aku ini suami kamu, maka sudah sewajibnya aku menemani istriku. Kemana pun yang kamu, aku anterin."
Lagi-lagi Ayesha merasa geram. Ia mencoba menghela napasnya pelan-pelan, berniat agar ia bisa sabar menghadapi Hazmi. Harus berkata apalagi, bahwa Ayesha bukan istri Hazmi. Mendengar pernyataan Hazmi yang tetap berpegang teguh, membuat Ayesha semakin bingung.
"Aku bisa jalan sendiri. Mendingan kamu pulang aja, nggak usah ganggu-ganggu aku lagi."
"Nggak bisa gitu, dong, Ay. Ini tanggung jawabku juga, sebagai suamimu."
"Aku nggak merasa punya suami!" Ayesha berkata tegas. Ia benar-benar kesal dengan sikap kukuh Hazmi. Mengapa ia tetap saja tak menyerah mengatakan bahwa ia suami Ayesha.
"Ok, kamu boleh jalan sendiri, tanpa ada aku. Tapi kali ini izinkan aku, untuk mengikuti kamu kemana aja, karena aku pun juga nggak mau, kamu kenapa-napa, Ay."
"Aku bukan anak kecil lagi."
"Bukan perkara kamu jadi anak kecil atau nggak. Ini perkara, tanggung jawabku menjagamu. Tolong, Ay ...."
"Tapâ"
"Kak Hazmi! Boleh, kok, kita mau ke pantai Seminyak. Kalau mau ikut, boleh aja." Suara Thalia berhasil membungkam perkataan Ayesha yang terpotong olehnya. Kali ini Ayesha benar-benar tak percaya mengapa Adiknya menyuruh agar Hazmi menemaninya jalan-jalan.
Harus banget bareng Hazmi? Thalia ... awas aja, ya, nanti!
Bersambung đ˘
Suasana pagi di pantai Seminyak terlihat ramai seperti biasanya. Ayesha, Thalia, dan Hazmi baru saja tiba di lokasi pantai. Ayesha dan Thalia menumpang taxi, sedangkan Hazmi sengaja mengikuti jejak mereka berdua dengan sepeda motornya. Hingga tiba di lokasi pantai, Hazmi memarkirkan sepedanya sebentar. Kemudian ia mempercepat langkahnya mendekati Ayesha dan Thalia. Dua gadis itu sedang berjalan melewati pintu masuk menuju pantai tanpa menghiraukan keberadaan Hazmi yang mengikuti dari belakang. "Ay!" Begitu ketika Hazmi kembali memanggil gadis berkerudung itu. Sementara objek yang dipanggilnya mulai menghentikan langkah tepat di tepi pantai.Melihat keberadaan Ayesha dan Thalia, Hazmi masih berlari menghampiri dua gadis itu. Hingga ia terhenti di depan Ayesha. "Apa, sih? Nggak ada kerjaan ya, ngikutin aku mulu?" kata Ayesha yang sengaja melempar senyuman sinis. Sebenarnya ia t
Pandangan Ayesha menangkap Thalia yang sedang mengobrol akrab bersama Hazmi. Ayesha semakin geram mengamati keberadaan mereka. Yang awalnya ia sengaja memberi jarak jauh agar Hazmi tak lagi mendekatinya, kini malah Thalia adiknya yang sedang bersama laki-laki itu. Ya ampun ... mereka ngapain, sih!? Gerutu Ayesha kesal. Rasanya sorotan matanya begitu membenci menatap Hazmi yang sengaja mendekati adiknya. Lalu Ayesha lekas mempercepat langkahnya menghampiri mereka. Tap! Langkah Ayesha terhenti di sisi Thalia. Gadis itu semakin geram menatap Hazmi. Dan pandangan Hazmi pun sontak mengetahui keberadaan Ayesha yang kini di depannya. "Ay ...""Thal, pulang, yuk? Kakak bete' di sini," gumam Ayesha lantas sengaja memotong panggilan Hazmi yang ingin menyebut namanya. Thalia mengangguk pasrah. Akhirnya ia menuruti kemauan kakak perempuannya itu. Sedangkan Ayesha sengaja menarik l
Hazmi meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Ia menikmati senja di balkon kamar sembari membaca novel karangan Ayesha. Sedari dulu Hazmi tak pernah menyukai membaca buku. Sekalipun melihat buku saja ia merasa jengah. Namun karena buku yang dipegangnya adalah novel karangan Ayesha, Hazmi mau membacanya. Bahkan ini adalah pertama kalinya ia mau membaca novel. Senyuman Hazmi tersungging sempurna. Ia baru membaca sampai bab ke enam. Novel karangan Ayesha yang Hazmi baca ialah bergenre teenlit. Hazmi sudah mengetahui bahwa Ayesha adalah seorang penulis. Dan hobi Ayesha saja Hazmi sangat hapal, meskipun ia tak pernah dekat dengan gadis itu sebelumnya. "Haz." Hazmi spontan menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Ia meletakkan buku yang digenggamnya ke atas meja. Mengetahui siapa pemilik suara itu, membuat Hazmi mau beranjak dari singgahannya. "Kak Rafli? Kok, kapan ke sininya?" Hazmi berkata bing
"Assalamualaikum, Yusuf, maaf, kedatangan kami telat," ucap Erlan. Ia menjabat telapak tangan Yusuf sejenak. Mereka berdua tampak tersenyum semringah."Waalaikumsalam. Ah, tidak apa-apa, Lan. Ya sudah, ayo duduk dulu." Begitu Yusuf mempersilakan keluarga Erlan menempati kursi yang telah tersedia. Akhirnya Ayesha dan Thalia pun ikut menyinggahkan duduknya bersama Ayah mereka. Sayangnya Ayesha merasa tak nyaman. Berada di antara mereka rasanya sangat mengasingkan. Ayesha pun tak mengenal detail siapa Yusuf, pasti dia Ayahnya Hazmi, pikir Ayesha. Dan di samping Hazmi itu pasti saudaranya. Hanya berpikir seperti itu Ayesha menebak siapa mereka. Dan yang Ayesha herankan, mengapa Ayah mengenali keluarga Hazmi? Astaga ... jangan bilang ..., Ayesha merasa tak tenang memikirkan hal yang sangat sulit ia duga. Pelan-pelan ia mengatur degupannya, sembari menyimak pembicaraan antara Ayahnya bersama
"Ya udah, Suf, nanti saya akan sampaikan pada Ayesha. Baik, wassalamualaikum," ujar Erlan yang baru saja memutuskan panggilan teleponnya. Telepon dari Yusuf, besannya. Ayesha yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di pagi itu, ia menghampiri Erlan yang sedang duduk menonton televisi di ruang tengah. Sementara Thalia sedang sibuk menyiapkan sereal untuk sarapan paginya bersama Ayah dan Kakaknya. "Ayah, dari Om Yusuf?" Ayesha bersuara saat menjatuhkan posisinya di sisi Erlan. Sebelumnya ia sedikit mendengarkan perbincangan Erlan lewat telepon. Pantas saja Ayesha heran melihat Erlan setelah keluar dari kamar. Ayesha tak sengaja menguping pembicaraan Ayahnya di ruang tengah. "Iya. Dari mertuamu, Ay. Oh ya, tadi Om Yusuf bilang, kalau Hazmi akan mengajakmu jalan-jalan ke Kebun Raya Bali. Nanti Ayah sama Thalia nyusul kalian. Tapi belakangan. Setelah kamu berangkat sama Hazmi."Aye
Masih dengan suasana Kebun Raya Bali. Rupanya Hazmi terpaksa jalan-jalan seorang diri tanpa ada Ayesha membersamainya. Dengan berat hati pula Hazmi melepas Ayesha pergi tanpa ia tahu dimana istrinya kini. Dan saat ini laki-laki itu hanya berkutat memotret dengan sebuah kamera digital miliknya. Hobi Hazmi yakni memotret. Ia juga penyuka traveling. Bahkan tak hanya pulau Bali yang berhasil dijelajahinya, namun beberapa pulau di Indonesia pun sudah ia kunjungi seorang diri. Dan hingga ia memilih pulau dewata sebagai tempat persinggahannya kini. Hazmi bekerja sebagai fotografer di salah satu kantor media kota Denpasar. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai majalah lokal Bali hingga interlokal di pulau jawa. Ini adalah hobi Hazmi sejak lama, menemukan pekerjaan sesuai passion-nya adalah hal yang ia inginkan. Beruntungnya Ayesha tak sama sekali protes mengetahui pekerjaan Hazmi. Lelaki itu baru memberitahukan identitasnya
Krakk! Ayesha lekas mendaratkan duduknya di sofa apartemen. Ia mengembuskan napasnya pelan, namun sangat ia paksa. Pelupuk matanya masih menyimpan cairan bening yang tak bisa ia kuakkan. Perasaannya tak beraturan, tak nyaman. Ingatannya masih terngiang akan perkataan Hazmi. Bagaimana bila Hazmi membenciku? Bagaimana bila Hazmi tak mau memperjuangkan hatinya untukku kembali? Dan kenapa saat ini aku begitu takut kehilangan? Seakan hati ini tak membaik ketika Hazmi mengucapkan kalimat itu padaku. Ya Allah ... apa aku benar-benar jatuh cinta? Karena selama ini, aku tak pernah merasakan jatuh cinta dengan perasaan seperti ini, Ya Rabb ... apa yang kuharus lakukan? Ayesha terlihat khidmat merapal kalimat di balik hatinya. Rasanya sesakit ini mengetahui laki-laki yang pernah ia benci mengatakan yang mampu menohok hatinya. Dan ternyata Ayesha tak mampu mendefinisikan mengapa ia terlalu takut dan bimbang memikir
Tok, tok, tok! "Siapa?" Suara ketukan pintu tersebut sempat membuat Ayesha mengerutkan kening. Siapa orang yang beraninya datang bertamu di tengah malam begini? Dan tampaknya Thalia dan Ayah telah tertidur. Ayesha tak punya pilihan lain selain mencoba menemui sang tamu yang bertahan di depan pintu ruangan apartemennya. Tok, tok!"Assalamualaikum ..." Suara itu telah mengetuk pintu kesekian kali. Ia juga sempat mengucap salam sembari mengetuk pintu ruangan.Krakk!"Waalaikumsalam."Pintu terbuka sempurna. Saat ini Ayesha cukup tercengang menemukan keberadaan Hazmi yang kini berada tepat di depannya. Entah apa tujuan Hazmi datang ke apartemen di tengah malam. Pikiran Ayesha saja seakan bertanya-tanya."Kamu ...""Aku boleh nginap di sini, nggak?"Mendadak Ayesha kaget mendengar per