Isabella duduk di kursi tunggu penerbit besar di pusat kota London. Wajahnya penuh ketegangan saat menunggu giliran untuk bertemu dengan kepala editor. Setelah beberapa saat menunggu dalam kegelisahan, akhirnya tiba giliran Isabella bertemu dengan kepala editor.
Isabella memasuki ruangan itu dengan langkah berhati-hati. Viktor Schneider— kepala editor berkepala plontos dengan raut wajah yang tajam, sudah menunggu di belakang meja besarnya.
“Isabella Rossi, bukan?” tanya kepala editor tanpa menyapa lebih dulu, suaranya terdengar ketus.
“Ya, saya Isabella Rossi. Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda,” jawab Isabella, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
Sorot mata kepala editor terlihat sangat tajam saat menatap Isabella. “Anda sangat berani, Rossi, mengajukan naskah ini pada kami.”
Isabella tersentak. “Maaf, apa yang salah dengan naskah saya?”
Kepala editor dengan tegas menatapnya, “Anda berani plagiat karya orang lain. Ini sama sekali tidak dapat diterima di dunia sastra.”
Isabella terdiam, tak percaya dengan tuduhan tersebut. “Plagiat? Saya tidak pernah melakukan itu. Saya menulis setiap kata dengan hati-hati.”
Kepala editor tersebut membuka lemari kecil yang ada di sudut ruangannya, kemudian meraih sebuah novel dari sana. Kepala editor lalu melemparkan novel itu tepat di depan Isabella.
“Novel ini sudah hampir terbit di penerbitan kami, dan ini bukan karya Anda. Ini adalah karya Elise Dubois.”
Isabella terdiam, tidak percaya. Elise Dubois, sahabatnya yang selalu menjadi first reader setia setiap novel yang ditulisnya, kini justru mengakui tulisan Isabella sebagai tulisannya. “Pak, ini kesalahan. Elise Dubois adalah teman saya, yang selama ini selalu jadi first reader saya.”
“Lantas?” tanya Viktor Schneider.
“Sudah pasti dia yang mencuri naskah saya!” tegas Isabella tidak terima.
“Tidak masuk akal— jika naskah itu memang ditulis oleh anda, harusnya anda yang lebih dulu mengajukan naskah pada penerbit kami,” Viktor Schneider tersenyum mencibir.
“Saya butuh waktu lebih lama untuk melakukan beberapa revisi, saya harus memastikan dulu jika novel yang saya tulis sudah sempurna,” Isabella berusaha memberi penjelasan.
“Saya lebih menghargai karya yang orisinil, ketimbang naskah yang sempurna,” tegas Victor.
“Tapi itu juga naskah saya sendiri, Pak. Saya bersumpah, saya tidak pernah melakukan plagiat,” Isabela berusaha membela diri.
“Sudahlah, jangan buang-buang waktu saya lagi. Masih banyak yang harus saya urus. Intinya, saya sangat tidak suka dengan tindakan plagiasi. Sebaiknya anda tidak melakukan hal itu lagi, daripada nama anda akan diblacklist di masa depan nanti.”
Isabella tersentak kaget, masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Isabella bahkan tak mampu berkata-kata, ia masih dikuasai oleh keterkejutannya. Saat itu Nathaniel Alexander— salah satu editor di penerbitan tersebut muncul di pintu ruang kepala editor. Dia mengetuk pintu beberapa kali, membuat Isabella dan Victor menoleh ke arahnya.
“Maaf, mengganggu. Tapi saya merasa harus menyampaikan beberapa hal pada anda, Pak,” ucap Nathaniel.
“Ya, apa yang ingin kau sampaikan, Alexander?” tanya Victor.
Nathaniel pun masuk ke dalam ruangan. Isabella mengenali sosok tampan namun bertubuh mungil— yang bahkan lebih pendek darinya itu. Nathaniel merupakan salah satu teman kuliahnya dulu, yang sering mengikuti komunitas sastra bersamanya.
“Saya tidak percaya jika Isabella Rossi melakukan plagiat, Pak. Saya kenal gaya penulisannya sejak dulu, dan dia tidak akan plagiat.”
Kepala editor mengerucutkan bibirnya. “Kau hanya editor junior di sini, Alexander. Kau tidak tahu apa-apa. Ini sudah jelas kasus plagiat.”
Isabella tak terima dengan tuduhan tersebut, akhirnya berbicara. “Panggil Elise Dubois ke sini. Saya ingin mendengar penjelasannya.”
Segera setelah permintaan itu dilontarkan, pintu kantor terbuka lagi, dan Elise Dubois memasuki dan sempat melihat ke arah Isabella. Espresinya terlihat agak kaget saat tatapannya bertemu dengan Isabella.
“Kebetulan sekali kau juga datang ke sini, Elise. Aku baru akan memanggilmu,” ucap Victor.
Isabella memandang Elise dengan mata yang penuh kekecewaan dan kemarahan.
“Mengapa kamu melakukan ini, Elise?” Isabella membuka suara, mencoba menahan emosinya.
Elise melirik Isabella, namun tidak berkata apa-apa.
“Sampaikan yang sebenarnya, Elise. Apakah ini benar karyamu?” ucap Isabella tegas.
Elise mengangguk dengan ragu. “Iya, ini karyaku.”
Isabella benar-benar tidak bisa mengendalikan amarahnya dan berteriak, “Bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku? Pada sahabatmu sendiri?”
“Justru aku yang ingin bertanya padamu— kenapa kau tega menuduhku plagiat? Aku sahabatmu sendiri. Kenapa kau begitu jahat padaku?” tanya Elise. Isabella tertawa sarkas, dia baru tahu jika sahabatnya itu sangat pandai memutar balikkan fakta.
“Selama ini kau berpura-pura baik di depanku, ternyata kau menyembunyikan niat busukmu?” Isabella menggeleng tak habis pikir. “Kau bukan hanya mencuri naskahku, tapi juga kepercayaan dan persahabatan kita.”
Elise terdiam sejenak mendengarkan makian Isabella, sebelum membalas ucapan tersebut. “Apa kau begitu putus asa karena naskahmu selalu ditolak penerbit, Isabella? Atau kau begitu iri karena justru aku yang lebih dulu berhasil menerbitkan buku?”
Isabella yang tak mampu menahan amarahnya akhirnya melayangkan tamparan di wajah Elise. PLAK! Tamparan tersebut seketika menciptakan keheningan di ruangan itu. Nathaniel dan Victor terperangah melihat itu.
Terlebih saat Elise segera membalas tamparan tersebut di wajah Isabella. Kedua orang yang dulunya menjalin persahabatan yang erat, kini justru terlibat perkelahian fisik yang cukup sengit. Isabella dan Elise saling melayangkan pukulan, jambakan dan tendangan yang membuat Nathaniel dan Victor panik. Nathaniel berusaha melerai, namun justru menjadi korban kebrutalan dua wanita tersebut.
Hingga akhirnya dengan susah payah, Nathaniel menempatkan dirinya di antara dua wanita yang masih terus baku hantam tersebut. “Sudahlah, kalian berdua! Ini tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya dengan suara bergetar.
Sementara itu, Victor yang sebelumnya diam memperhatikan pertarungan tersebut, akhirnya bersuara. “Alexander, bawa Isabella pergi dari sini. Saya tidak ingin melihatnya lagi di kantor ini.”
Nathaniel dengan hati berat, mengarahkan Isabella keluar dari ruangan itu, menyisakan Elise yang tersenyum penuh kemenangan di baliknya.
Nathaniel terus menarik Isabella keluar dari ruangan Victor, berusaha meredakan kemarahannya yang semakin memuncak. Isabella masih penuh emosi, mencoba menarik tangannya kembali.
“Lepaskan aku, Nate! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” ucap Isabella dengan suara yang bergetar oleh kemarahan.
Mereka berdua berhenti di koridor yang sepi, dan Isabella melepaskan tangannya dari cengkeraman Nathaniel. Wajahnya memerah, dan matanya menyala seperti bara api. “Aku tidak bisa percaya kau ikut-ikutan menyuruhku keluar dari ruangan kepala editor seperti ini. Aku merasa sangat dipermalukan.”
Nathaniel mencoba tetap tenang. “Ini bukan waktu yang tepat untuk membuat keributan di kantor. Itu hanya akan membuatmu semakin terlihat bersalah.”
“Apa kau tak lihat, Nate? Elise mencuri karyaku, dan aku seperti penjahat diusir dari kantor ini!” tegas Isabella.
Nathaniel menjelaskan dengan sabar, “Aku tahu kau tidak bersalah, tetapi membuat masalah di sini tidak akan membantumu menyelesaikan masalah. Kau harus mencari sesuatu untuk membuktikan kebenaranmu.”
Isabella memandang Nathaniel dengan tatapan tajam. Nathaniel berusaha membujuk Isabella. “Kau tidak bisa melawan mereka dengan emosi, Isabella. Kau perlu bukti yang kuat. Aku bisa membantumu.”
Isabella yang masih dikuasai oleh emosi menolak tawaran itu. “Tidak, aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak butuh bantuan dari orang sepertimu.”
Nathaniel merasa kesal dengan sikap Isabella. “Aku hanya ingin membantu, Isabella. Kita harus bekerja sama untuk menyelesaikan ini.”
Isabella meremehkan Nathaniel, “Apa yang bisa kau bantu? Pembelaanmu tadi saja tidak berguna. Pria pendek sepertimu memang tidak punya wibawa.”
Kata-kata Isabella menusuk hati Nathaniel. Meski ia sudah terbiasa dengan ejekan tentang posturnya, tapi komentar Isabella tetap membuatnya tersinggung. “Aku hanya ingin membantu, tapi jika kau merasa tidak perlu, baiklah.”
Nathaniel melangkah pergi, meninggalkan Isabella yang hanya terdiam di koridor yang sepi. Isabella menghela napas, kemudian tubuhnya merosot dan terduduk di lantai kantor yang dingin. Isabella termenung masih diliputi kegelisahan dan kemarahan, namun tiba-tiba hp-nya berdering.
Dia mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat nama “Ibu” muncul di layar. Isabella segera menjawab panggilan itu.
“Halo, Ibu,” sapa Isabella dengan suara gemetar.
Suara Emilia di seberang telepon terdengar khawatir. “Isabella, kita punya masalah. Pemilik rumah tempat kita tinggal datang dan mengatakan bahwa kita harus pindah hari ini juga.”
Isabella terdiam sejenak, tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Pindah hari ini? Kenapa? Bukankah sebelumnya pemilik rumah memberi kita waktu seminggu lagi untuk membayar uang sewa?”
Emilia menjelaskan dengan suara serak, “Pemilik rumah mengatakan jika dia mengalami masalah keuangan, dan memutuskan untuk menjual rumah ini. Dia meminta kita segera menyerahkan kunci dan meninggalkan rumah ini segera.”
Isabella merasa dunianya runtuh. Di saat dia sedang menghadapi krisis profesional, sekarang dia juga dihadapkan pada krisis pribadi. “Tapi ini tidak mungkin, Ibu. Kita tidak punya tujuan.”
Isabella merasa dirinya tenggelam dalam keputusasaan, mencerna berbagai masalah yang menimpanya. Dia merasa seperti kehidupannya hancur menjadi serpihan. Tidak ada tempat yang aman, baik di dunia sastra maupun dalam kehidupan pribadinya.
Isabella berjalan menuju rumah dengan langkah gontai, matanya memerhatikan sekelilingnya— melihat barang-barang yang biasanya tersusun rapi di dalam rumah, kini sudah tergeletak berantakan di halaman.Emilia duduk di ambang pintu dengan tatapan kosong dan pipi yang basah oleh air mata. Isabella membeku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa mereka tidak memiliki tempat berlindung lagi.“Ibu, apa kita memang harus pindah hari ini juga?” tanya Isabella, langkah-langkahnya mendekati ibunya yang tampak seperti raga tanpa nyawa.Emilia hanya bisa menangis, mencoba menjawab dengan kata-kata yang tersedak oleh tangisannya. “Kau lihat sendiri, mereka bahkan sudah mengeluarkan barang-barang kita.”Isabella mencoba menenangkan ibunya, meski saat ini dirinya sendiri juga kebingungan. “Ibu, tenanglah. Kita akan menyelesaikan ini. Kita akan mencari tempat tinggal.”Isabella kemudian meraih ponselnya, memutuskan untuk menghubungi Henrik Mueller—pacarnya. Berharap pria bisa
Isabella masih dikuasai oleh amarah, tanpa ampun menampar wajah Elise lagi. Tamparan itu begitu keras, membuat Elise tersungkur di lantai. Henrik makin bingung dengan situasi ini, ia segera menghampiri Elise dan berdiri di depannya. Ia menatap Isabella dengan tegas, menghadangnya yang hendak memukul Elise lagi. “Isabella, sudah cukup. Ini tidak akan menyelesaikan apa pun.”“Kau juga brengsek, Henrik. Berani sekali kalian berdua mempermainkanku,” umpat Isabella.Henrik mencoba menenangkan Isabella dengan memegangi lengannya. “Isabella, aku tahu aku bersalah. Aku juga terlibat dalam semua ini.”Isabella melepaskan diri dari cengkraman Henrik, “Jika kau memang suka pada Elise sejak dulu, harusnya kau berpacaran dengannya. Jangan melibatkan diriku dalam kebohongan kalian.”Henrik mengerti bahwa situasinya semakin rumit, mencoba menarik Isabella ke tempat yang lebih tenang. “Kita perlu bicara berdua.”Isabella meskipun masih penuh amarah, akhirnya mengikuti Henrik ke tempat lain. Meninggal
Isabella tiba di rumah sakit dan bergegas berlari menuju ruang emergency. Ketika pintu terbuka, ia melihat ibunya terbaring di tempat tidur dengan selang infus yang tersambung di tangannya.“Ibu!” Panggil Isabella dengan suara cemas, ia melihat Emilia sudah siuman meski masih terlihat sangat lemah. Seorang dokter berada di samping brankar, sedang memantau kondisi Emilia.Isabella panik dan buru-buru mendekati ibunya, “Ibu, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa sampai pingsan?” Belum sempat Emilia menjawab, Isabella lebih dulu menoleh pada dokter laki-laki yang baru saja memeriksa ibunya. “Apa yang terjadi pada ibu saya?”Dokter itu tersenyum ramah, “Jangan khawatir, ibumu hanya terlalu lelah dan stres. Dia hanya butuh istirahat.”Isabella merasa lega mendengar jawaban dari dokter, meski hatinya tetap gelisah. Pasti masalah kehilangan rumah sewa membuat ibunya merasa tertekan. Isabella mencoba menenangkan Emilia, “Ibu, apa benar kau memang terlalu stres memikirkan masalah rumah sewa?”Emil
Lima tahun telah berlalu, dan Isabella berhasil bangkit dari keterpurukan. Dengan gigih dan tekad yang kuat, ia menjadi penulis terkenal dengan nama pena 'Dark Aurora'. Karya-karyanya bukan hanya sukses, tetapi juga selalu merajai tangga penjualan, menjadi best seller setiap kali diluncurkan. Bahkan, beberapa novelnya telah diangkat menjadi film yang sukses di pasaran. Keberhasilan Isabella membuatnya menjadi pusat perhatian industri penerbitan. Kini, Isabella tidak pernah lagi mengajukan naskahnya ke penerbit. Sebaliknya, penerbit-penerbit besar yang selalu mengejar-ngejar Isabella agar bisa menerbitkan karyanya. Tawaran kontrak dan kerjasama dengan penerbit-penerbit ternama selalu menghampirinya. Isabella telah membuktikan bahwa meski pernah terpuruk dan dihantui masalah, keberhasilan adalah hasil dari ketekunan dan tekad yang kuat. Kini, namanya bersinar di dunia tulis-menulis, dan setiap karyanya dinanti-nantikan oleh para pembaca setianya. Isabella dan penerbitnya, bersama-sama
Ruangan itu dipenuhi ketegangan ketika Elena duduk di hadapan Gabriel dan Camilia, ayah dan ibunya. Suasana hening memenuhi ruangan sebelum Elena dengan berat hati menyampaikan niatnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian berdua.”Gabriel dan Camilia saling bertukar pandang, merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah. Elena memandang kedua orangtuanya, memasang ekspresi serius.“Aku ingin pergi ke Jepang,” ucap Elena. Gabriel dan Camilia seolah tersentak mendengar pengakuan tersebut. Wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan.“Ke Jepang? Kenapa, Elena?” tanya Gabriel.“Aku ingin menemui Matsumoto, mantan kekasihku. Ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengannya.”Camilia dengan tegas menggelengkan kepalanya, “Jadi kau masih terus memikirkan pria itu? Kau sudah tahu betapa buruknya dia.”Gabriel menghela nafas panjang, kesal dengan keputusan putrinya. “Elena, dia pria berengsek yang telah menyakitimu. Mengapa kau masih ingin bertemu dengannya?”Kedua mata E
Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julia
Nathaniel yang sebenarnya merasa pusing akibat demamnya, jadi tidak begitu fokus dengan rapat kali ini. Pandangannya sayu, dan fokusnya terpecah antara suara-suara yang berbicara di ruangan itu.Andreas yang peka terhadap bawahannya, memperhatikan Nathaniel dengan wajah cemas. “Nate,” panggil Andreas, Nathaniel sontak menoleh pada atasannya. “Ya, Pak?”“Kau terlihat tidak sehat.”Nathaniel mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat dipaksakan. “Saya baik-baik saja, Pak.”Andreas tetap cemas. “Kau yakin? Kau terlihat pucat?”Nathaniel mengangguk dan berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam situasi genting seperti ini, Nathaniel lebih mencemaskan kondisi penerbit daripada kesehatannya sendiri.Bersamaan dengan itu, Clara Jansen memasuki ruang rapat dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang, seolah memberi kode bahwa ia membawa kabar buruk. Dia duduk di samping Nathaniel, meliriknya sejenak sebelum memberikan laporan pada Andreas. “Saya minta maaf, Pak,” ucap Clara dengan nada l
“Aku bisa merasakan suhu tubuhmu sangat panas.” Isabella berniat menyentuh kening Nathaniel, tapi pria itu segera menepis tangan Isabella. “Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”“Baiklah, baiklah!” Isabella memutuskan untuk tidak berdebat. “Kalau begitu masuklah dulu, kita butuh waktu lebih banyak untuk bicara,” lanjutnya.“Apa yang ingin kau bicarakan? Jika itu soal masalah pribadi, sebaiknya aku pergi.” Nathaniel segera balik badan dan berjalan pergi. Isabella berusaha mengejar langkah cepat Nathaniel. “Nate, tunggu sebentar!”Nathaniel tidak menghiraukannya, tetap melangkah cepat. Isabella terus berusaha menyusul, mencoba menyalip agar bisa berada di depannya dan membuat langkah pemuda itu terhenti.“Selama ini kau sengaja menghindariku??” desis Isabella setelah berhasil menghadang Nathaniel.“Kau terlalu percaya diri. Kau pikir kau siapa, sampai aku repot-rep