Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.
Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”
Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”
Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”
Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julian yang dulu merupakan sopir keluarga Alexander tidak menyelamatkannya, mungkin Nathaniel sudah tewas karena melompat dari jembatan.
“Kau masih demam, sebaiknya kau tidur lagi. Hari ini tidak perlu pergi bekerja,” saran Julian. Namun Nathaniel justru turun dari ranjang, “Hari ini ada rapat penting, aku tidak bisa melewatkan itu.”
***
Dalam keheningan rumahnya yang sepi, Isabella tenggelam dalam kata-kata yang terpampang di layar laptop. Novelnya menjadi dunianya, mengikatnya dalam alur cerita yang semakin menggigit. Setelah tinggal sendirian— karena Emilia memilih tinggal di kampung halaman mereka di Lavenham, Isabella mulai terbiasa dengan suasana rumah yang sepi. Mungkin hal itu bukan hal yang buruk, karena keheningan di rumahnya membuat Isabella bisa lebih fokus saat mengerjakan naskah.
Namun, keheningan itu tiba-tiba terganggu oleh suara bel pintu. Isabella menghela napas, merasa terganggu dari konsentrasinya yang sedang mencapai puncak. Dia melirik jam di dinding, bertanya-tanya siapa yang datang pada waktu seperti ini.
Suara bel pintu tak henti-hentinya berbunyi. Isabella menutup laptopnya dengan kesal. Dia berdiri, melangkah menuju pintu dengan tatapan datar. Mungkin ini hanya seorang editor yang menawarinya kerjasama seperti yang belakangan ini sering terjadi.
“Ya, ada apa?” Isabella membuka pintu dengan wajah yang kurang ramah. Di depannya ada seorang wanita muda berdiri tersenyum pada Isabella.
“Maaf, aku ingin bertemu dengan penulis Dark Aurora, apa benar kau Dark Aurora?” tanya wanita itu, senyumnya tak luntur meski menyadari wajah Isabella terlihat cemberut.
“Ya, benar. Aku Dark Aurora. Ada apa?” sahut Isabella.
“Perkenalkan, aku Clara Jansen dari penerbit BelleVue Books,” Clara memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Isabella. Meski malas, Isabella tetap menyambut uluran tangan tersebut.
“Jadi, apa yang membuat kau datang ke sini?” tanya Isabella tanpa mempersilakan Clara untuk masuk.
“Aku ingin menawarkan kerjasama dengan penerbit kami. Bagaimana menurutmu, Aurora?”
Isabella menatap Clara dengan skeptis. “Kau bisa memanggilku Isabella. Tapi maaf, aku tidak memiliki rencana untuk menerbitkan bukuku di penerbit tempat kau bekerja. Aku tidak tertarik.”
Clara tetap bersikeras dengan senyum ramahnya, “Aku paham kalau kau mungkin sudah memiliki rencana. Namun, izinkan aku memberikan penawaran kami. Kami yakin bisa memberikan kontrak yang menguntungkan bagimu. BelleVue Books akan membawa karyamu ke level yang lebih tinggi.”
Isabella mendengarkan dengan wajah datar. Tapi dengan tegas, Isabella menjawab, “Aku tidak ingin bekerjasama dengan BelleVue Books. Terima kasih.”
Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Isabella langsung menutup pintu. Clara yang masih berdiri di ambang pintu segera menahannya agar tidak tertutup sepenuhnya. Dia bisa merasakan keengganan Isabella dan berusaha memanfaatkannya untuk terus membujuk.
“Aku mohon, Isabella. Kami benar-benar ingin bekerjasama denganmu. Bukan hanya sekadar bisnis, tapi kami melihat potensi besar dalam karya-karyamu,” ucap Clara memohon.
Isabella melirik Clara, mencoba membaca apakah ini hanyalah strategi pemasaran atau apakah Clara benar-benar mempercayai kata-katanya sendiri. Dengan wajah datar, Isabella menjawab, “Aku menghargai tawaranmu, tapi saat ini aku sedang fokus menyelesaikan proyek dengan penerbit lain. Jadi, aku tidak bisa berkomitmen pada apapun yang bersifat jangka panjang.”
Clara tidak menyerah begitu saja. Dia mencoba memperkuat tawarannya, “Bos kami bersedia memberikan royalty yang lebih besar dari yang biasanya diberikan kepada penulis. Ini peluang besar bagimu.”
Isabella tersenyum tipis, menyadari bahwa Clara mencoba menggodanya dengan janji keuntungan finansial yang lebih besar. Namun, dia tetap pada pendiriannya, “Aku menghargai penawaran itu, tapi saat ini aku tidak bisa terlibat dalam proyek jangka panjang.”
“Isabella, kami benar-benar dalam kesulitan. Seandainya kau mau membantu, mungkin kita bisa saling menguntungkan. Penerbitan ini sudah seperti keluarga bagiku, dan aku tidak ingin melihatnya bangkrut,” ucap Clara dengan nada serius.
Isabella mendengarkan, namun tak bergeming. Dia sadar akan kondisi penerbitan itu, tetapi ini bukan tanggung jawabnya.
“Aku paham bahwa situasimu sulit, Clara. Tapi aku tidak bisa mengorbankan kreativitas dan integritasku hanya demi menyelamatkan suatu perusahaan. Kua harus mencari solusi yang tidak melibatkan aku,” jawab Isabella tegas.
Clara menghela napas berat. “Tapi, Isabella, kita bisa menciptakan karya luar biasa bersama-sama. Ini bisa menjadi tonggak baru bagi keduanya.”
Isabella tersenyum tipis, tidak terpengaruh oleh tawaran yang menggiurkan. “Tidak, Clara. Aku sudah membuat keputusan, dan aku ingin fokus pada proyekku yang sedang berjalan.”
Tak dapat berkata-kata lagi, Clara mengangguk dengan penuh penyesalan. “Baiklah, Isabella. Terima kasih atas waktunya. Jika kau berubah pikiran, kami selalu terbuka untuk bekerjasama.”
Isabella menutup pintu dengan mantap, menandakan akhir dari percakapan itu. Dia merasakan beban pikiran yang melepas seiring pintu tertutup.
***
Ruang pertemuan di BelleVue Books terasa tegang saat Nathaniel, bersama dengan beberapa editor lainnya, duduk dalam sebuah rapat darurat. Andreas Kovac, sang pimpinan penerbit, duduk di ujung meja, wajahnya tampak serius dan penuh kekhawatiran.
“Terima kasih sudah hadir, semua,” ucap Andreas, suaranya penuh keputusasaan. “Saya yakin kalian sudah tahu kondisi penerbitan kita saat ini. Semuanya makin terpuruk.”
Nathaniel dan rekan-rekannya saling bertatapan, tak ada yang berani bicara. Mereka merasakan getaran negatif yang menyelimuti ruangan.
“Saya tidak akan menyembunyikan kenyataan dari kalian,” lanjut Andreas, “Jika kita terus seperti ini, BelleVue Books tidak akan bertahan lama lagi. Kita akan tutup.”
Nathaniel menelan ludah, merasakan rasa kecewa melanda. Dia telah bekerja keras untuk penerbitan ini, dan berita ini seperti pukulan telak.
Felix Becker, salah satu editor di BelleVue Book mencoba membangkitkan semangat seisi ruang. “Tapi, Pak, kita kan sedang berusaha menarik penulis terkenal untuk bergabung dengan kita. Mereka bisa membawa pencerahan baru untuk penerbitan kita.”
Andreas merenung sejenak, kemudian melanjutkan, “Apakah ada kemungkinan penulis besar bersedia menerbitkan karyanya di penerbit kecil seperti BelleVue Books?” Suasana rapat semakin lesu, semua merasakan keberatannya.
Nathaniel yang sebenarnya merasa pusing akibat demamnya, jadi tidak begitu fokus dengan rapat kali ini. Pandangannya sayu, dan fokusnya terpecah antara suara-suara yang berbicara di ruangan itu.Andreas yang peka terhadap bawahannya, memperhatikan Nathaniel dengan wajah cemas. “Nate,” panggil Andreas, Nathaniel sontak menoleh pada atasannya. “Ya, Pak?”“Kau terlihat tidak sehat.”Nathaniel mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat dipaksakan. “Saya baik-baik saja, Pak.”Andreas tetap cemas. “Kau yakin? Kau terlihat pucat?”Nathaniel mengangguk dan berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam situasi genting seperti ini, Nathaniel lebih mencemaskan kondisi penerbit daripada kesehatannya sendiri.Bersamaan dengan itu, Clara Jansen memasuki ruang rapat dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang, seolah memberi kode bahwa ia membawa kabar buruk. Dia duduk di samping Nathaniel, meliriknya sejenak sebelum memberikan laporan pada Andreas. “Saya minta maaf, Pak,” ucap Clara dengan nada l
“Aku bisa merasakan suhu tubuhmu sangat panas.” Isabella berniat menyentuh kening Nathaniel, tapi pria itu segera menepis tangan Isabella. “Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”“Baiklah, baiklah!” Isabella memutuskan untuk tidak berdebat. “Kalau begitu masuklah dulu, kita butuh waktu lebih banyak untuk bicara,” lanjutnya.“Apa yang ingin kau bicarakan? Jika itu soal masalah pribadi, sebaiknya aku pergi.” Nathaniel segera balik badan dan berjalan pergi. Isabella berusaha mengejar langkah cepat Nathaniel. “Nate, tunggu sebentar!”Nathaniel tidak menghiraukannya, tetap melangkah cepat. Isabella terus berusaha menyusul, mencoba menyalip agar bisa berada di depannya dan membuat langkah pemuda itu terhenti.“Selama ini kau sengaja menghindariku??” desis Isabella setelah berhasil menghadang Nathaniel.“Kau terlalu percaya diri. Kau pikir kau siapa, sampai aku repot-rep
“Pak, di sini ada banyak editor— kau bisa minta salah satu dari mereka untuk membantu Isabella. Jangan saya,” tegas Nathaniel keras kepala. Andreas kesal dengan sikap Nathaniel. “Nate, kau menantangku?” Isabella tidak ingin keadaan menjadi semakin rumit. Isabella yang takut jika Nathaniel sampai kehilangan pekerjaannya sekali lagi, buru-buru mencairkan suasana. “Mungkin kita bisa membahas masalah kerjasama nanti saja. Nate, ayo temani aku makan siang dulu. Aku lapar sekali.” Nathaniel tetap dengan sikap tegasnya, menolak, “Tidak, terima kasih.” Isabella tampak kecewa, tetapi Andreas yang tidak ingin batal kerjasama dengan Isabella segera menarik Nathaniel, memaksanya menuruti kemauan Isabella. “Nate, ini perintah! Cepat kau makan siang terlebih dalu bersama Isabella.” Nathaniel menatap Andreas dengan wajah lelah. “Pak—” “Aku tidak ingin mendengar apa pun, cepat temani Isabella makan siang.” Andreas mendorong Nathaniel mendekat pada Isabella. Isabella tersenyum penuh kemenangan, l
Dalam ruang emergency yang dingin, Isabella duduk menunggui Nathaniel yang terbaring di tempat tidur putih. Ia terus memerhatikan wajah Nathaniel yang terlihat sangat pucat. Saat itu, kilas balik pertanyaan-pertanyaan kasar dari Harry di kafe tadi melintas dalam pikiran Isabella. Terlepas dari benar atau tidak pertanyaan tersebut, Isabella tersadar betapa sulitnya hidup dalam sorotan media dan bagaimana terlahir dari keluarga selebriti bukanlah hal yang mudah. Dalam keheningan ruang emergency, Isabella merasakan dadanya makin berat. Dia menyadari bahwa Nathaniel pasti pernah merasakan sakit hati mendalam terhadap ucapannya yang berkomentar seenaknya tentang keluarganya. Isabella merasa menanggung beban kesalahan di balik keadaan Nathaniel yang terbaring lemah di hadapannya. Isabella mencoba mengatasi perasaannya yang rumit dengan meremas tangan Nathaniel dengan lembut. Tatapannya penuh penyesalan,”Maafkan aku, Nate. Aku tak menyadari seberapa dalam luka yang mungkin
Mobil Isabella tiba di depan rumah yang terletak di pinggiran kota. Isabella mematikan mesin mobilnya, sejenak memperhatikan rumah sederhana yang halamannya dipenuhi pepohonan rindang. Meski rumah tersebut terkesan asri, namun jauh dari kemewahan.“Kau tinggal di sini?” tanya Isabella nyaris tak percaya. Ia merasa putra keluarga terpandang seperti Nathaniel seharusnya bisa tinggal di rumah yang jauh lebih bagus.Isabella menoleh pada Nathaniel yang tampak kesulitan membuka sabuk pengamannya yang macet. “Sabuk pengaman mobilku kadang sulit dibuka,” ujar Isabella sambil tertawa kecil. “Aku bisa membantu jika kau mau.”Nathaniel dengan keras kepala menolak, “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Isabella memerhatikan dengan senyum saat Nathaniel terus berusaha membuka sabuk pengaman yang tak kunjung terlepas. Tanpa meminta izin, Isabella akhirnya memutuskan untuk membantu Nathaniel. Tangan Isabella dengan lembut meny
Isabella dan Julian langsung menyembunyikan tawa mereka, berusaha keras untuk menjaga kesan serius di hadapan Nathaniel. Mereka berdua beralih membicarakan topik lain dengan nada yang lebih tenang, seolah-olah insiden tadi tidak terjadi.“Rumah ini nyaman sekali, Paman. Aku suka melihat banyak pohon di halaman,” ucap Isabella sambil. Julian dengan cepat menanggapinya. “Tentu saja, aku sendiri yang merawat tanaman-tamanan itu.”Nathaniel melanjutkan langkahnya dengan kesal, tanpa menoleh kembali ke arah Isabella dan Julian. Dalam hatinya, ia merasa frustrasi dengan situasi yang terjadi, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkan emosinya. Dengan hati yang masih terasa berat, Nathaniel akhirnya tiba di kamarnya dan menutup pintu dengan agak keras.Isabella dan Julian kembali tertawa saat teringat insiden Nathaniel menabrak meja. Isabella bergumam dengan senyum di bibirnya, “Dia lucu sekali.” Komentarnya itu memancing senyum lebih
“Sebelumnya kau belum pernah melihat vas bunga?” tanya Isabella tanpa melepas ekspresi jahil di wajahnya. Nathaniel berdecak kesal. “Maksudku, kenapa kau memberiku vas bunga?”Dengan senyum cerahnya, Isabella menyodorkan setangkai bunga mawar merah pada Nathaniel. “Untukmu.”Nathaniel mengerutkan kening dengan wajah yang terkesan sedikit marah. “Apa-apaan ini? Kau pikir aku seorang gadis?” keluhnya.Isabella hanya tersenyum tenang. “Bukan hanya seorang gadis yang layak menerima bunga, Nate. Seseorang yang dicintai juga layak menerimanya,” katanya dengan lembut.Sebelum Nathaniel bisa menjawab, seisi ruangan tiba-tiba riuh dengan sorakan editor-editor lain yang menyaksikan interaksi mereka. Mereka memberi tepuk tangan dan sorak-sorai spontan atas momen manis yang terjadi di antara Nathaniel dan Isabella.Isabella menoleh ke arah para editor yang ribut tersebut, sambil melambaikan tangannya
Nathaniel tidak bisa menyembunyikan keberatannya. “Tapi, Pak, saya tidak yakin saya dapat menangani naskah Dark Aurora dengan baik. Tolong biarkan saya menyelesaikan pekerjaan saya sebelumnya.”Andreas menggeleng tegas. “Saya tidak mau tahu, Nate. Ini adalah keputusan akhir. Dark Aurora adalah proyek besar dan kesempatan ini tidak boleh dilewatkan.”Nathaniel terdiam, merasa tertekan dengan keputusan yang harus dihadapinya.Isabella yang sejak tadi hanya diam, diam-diam tersenyum melihat Nathaniel tersudutkan oleh keputusan Andreas. Ketika Nathaniel tanpa sengaja meliriknya, dia menangkap senyuman itu. Nathaniel melotot padanya dengan tatapan tajam yang langsung disambut dengan ekspresi serius dari Isabella.Nathaniel merasa tidak nyaman dengan tatapan Isabella yang berubah begitu cepat, tetapi dia juga merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam senyum diamnya. Ia merenung sejenak, mencoba mengerti apa yang ada di balik ekspresi Isa