Home / Romansa / Editor Dingin Bikin Bucin / Bab 7: BelleVue Books Publisher

Share

Bab 7: BelleVue Books Publisher

Author: Nikma
last update Last Updated: 2024-03-16 12:50:34

Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.

Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”

Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”

Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”

Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julian yang dulu merupakan sopir keluarga Alexander tidak menyelamatkannya, mungkin Nathaniel sudah tewas karena melompat dari jembatan.  

“Kau masih demam, sebaiknya kau tidur lagi. Hari ini tidak perlu pergi bekerja,” saran Julian. Namun Nathaniel justru turun dari ranjang, “Hari ini ada rapat penting, aku tidak bisa melewatkan itu.”

***

Dalam keheningan rumahnya yang sepi, Isabella tenggelam dalam kata-kata yang terpampang di layar laptop. Novelnya menjadi dunianya, mengikatnya dalam alur cerita yang semakin menggigit. Setelah tinggal sendirian— karena Emilia memilih tinggal di kampung halaman mereka di Lavenham, Isabella mulai terbiasa dengan suasana rumah yang sepi. Mungkin hal itu bukan hal yang buruk, karena keheningan di rumahnya membuat Isabella bisa lebih fokus saat mengerjakan naskah.

Namun, keheningan itu tiba-tiba terganggu oleh suara bel pintu. Isabella menghela napas, merasa terganggu dari konsentrasinya yang sedang mencapai puncak. Dia melirik jam di dinding, bertanya-tanya siapa yang datang pada waktu seperti ini.

Suara bel pintu tak henti-hentinya berbunyi. Isabella menutup laptopnya dengan kesal. Dia berdiri, melangkah menuju pintu dengan tatapan datar. Mungkin ini hanya seorang editor yang menawarinya kerjasama seperti yang belakangan ini sering terjadi.

“Ya, ada apa?” Isabella membuka pintu dengan wajah yang kurang ramah. Di depannya ada seorang wanita muda berdiri tersenyum pada Isabella.

“Maaf, aku ingin bertemu dengan penulis Dark Aurora, apa benar kau Dark Aurora?” tanya wanita itu, senyumnya tak luntur meski menyadari wajah Isabella terlihat cemberut.

“Ya, benar. Aku Dark Aurora. Ada apa?” sahut Isabella.

“Perkenalkan, aku Clara Jansen dari penerbit BelleVue Books,” Clara memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Isabella. Meski malas, Isabella tetap menyambut uluran tangan tersebut.

“Jadi, apa yang membuat kau datang ke sini?” tanya Isabella tanpa mempersilakan Clara untuk masuk.

“Aku ingin menawarkan kerjasama dengan penerbit kami. Bagaimana menurutmu, Aurora?”

Isabella menatap Clara dengan skeptis. “Kau bisa memanggilku Isabella. Tapi maaf, aku tidak memiliki rencana untuk menerbitkan bukuku di penerbit tempat kau bekerja. Aku tidak tertarik.”

Clara tetap bersikeras dengan senyum ramahnya, “Aku paham kalau kau mungkin sudah memiliki rencana. Namun, izinkan aku memberikan penawaran kami. Kami yakin bisa memberikan kontrak yang menguntungkan bagimu. BelleVue Books akan membawa karyamu ke level yang lebih tinggi.”

Isabella mendengarkan dengan wajah datar. Tapi dengan tegas, Isabella menjawab, “Aku tidak ingin bekerjasama dengan BelleVue Books. Terima kasih.”

Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Isabella langsung menutup pintu. Clara yang masih berdiri di ambang pintu segera menahannya agar tidak tertutup sepenuhnya. Dia bisa merasakan keengganan Isabella dan berusaha memanfaatkannya untuk terus membujuk.

“Aku mohon, Isabella. Kami benar-benar ingin bekerjasama denganmu. Bukan hanya sekadar bisnis, tapi kami melihat potensi besar dalam karya-karyamu,” ucap Clara memohon. 

Isabella melirik Clara, mencoba membaca apakah ini hanyalah strategi pemasaran atau apakah Clara benar-benar mempercayai kata-katanya sendiri. Dengan wajah datar, Isabella menjawab, “Aku menghargai tawaranmu, tapi saat ini aku sedang fokus menyelesaikan proyek dengan penerbit lain. Jadi, aku tidak bisa berkomitmen pada apapun yang bersifat jangka panjang.”

Clara tidak menyerah begitu saja. Dia mencoba memperkuat tawarannya, “Bos kami bersedia memberikan royalty yang lebih besar dari yang biasanya diberikan kepada penulis. Ini peluang besar bagimu.”

Isabella tersenyum tipis, menyadari bahwa Clara mencoba menggodanya dengan janji keuntungan finansial yang lebih besar. Namun, dia tetap pada pendiriannya, “Aku menghargai penawaran itu, tapi saat ini aku tidak bisa terlibat dalam proyek jangka panjang.”

“Isabella, kami benar-benar dalam kesulitan. Seandainya kau mau membantu, mungkin kita bisa saling menguntungkan. Penerbitan ini sudah seperti keluarga bagiku, dan aku tidak ingin melihatnya bangkrut,” ucap Clara dengan nada serius.

Isabella mendengarkan, namun tak bergeming. Dia sadar akan kondisi penerbitan itu, tetapi ini bukan tanggung jawabnya.

“Aku paham bahwa situasimu sulit, Clara. Tapi aku tidak bisa mengorbankan kreativitas dan integritasku hanya demi menyelamatkan suatu perusahaan. Kua harus mencari solusi yang tidak melibatkan aku,” jawab Isabella tegas.

Clara menghela napas berat. “Tapi, Isabella, kita bisa menciptakan karya luar biasa bersama-sama. Ini bisa menjadi tonggak baru bagi keduanya.”

Isabella tersenyum tipis, tidak terpengaruh oleh tawaran yang menggiurkan. “Tidak, Clara. Aku sudah membuat keputusan, dan aku ingin fokus pada proyekku yang sedang berjalan.”

Tak dapat berkata-kata lagi, Clara mengangguk dengan penuh penyesalan. “Baiklah, Isabella. Terima kasih atas waktunya. Jika kau berubah pikiran, kami selalu terbuka untuk bekerjasama.”

Isabella menutup pintu dengan mantap, menandakan akhir dari percakapan itu. Dia merasakan beban pikiran yang melepas seiring pintu tertutup.

***

Ruang pertemuan di BelleVue Books terasa tegang saat Nathaniel, bersama dengan beberapa editor lainnya, duduk dalam sebuah rapat darurat. Andreas Kovac, sang pimpinan penerbit, duduk di ujung meja, wajahnya tampak serius dan penuh kekhawatiran.

“Terima kasih sudah hadir, semua,” ucap Andreas, suaranya penuh keputusasaan. “Saya yakin kalian sudah tahu kondisi penerbitan kita saat ini. Semuanya makin terpuruk.”

Nathaniel dan rekan-rekannya saling bertatapan, tak ada yang berani bicara. Mereka merasakan getaran negatif yang menyelimuti ruangan.

“Saya tidak akan menyembunyikan kenyataan dari kalian,” lanjut Andreas, “Jika kita terus seperti ini, BelleVue Books tidak akan bertahan lama lagi. Kita akan tutup.”

Nathaniel menelan ludah, merasakan rasa kecewa melanda. Dia telah bekerja keras untuk penerbitan ini, dan berita ini seperti pukulan telak.

Felix Becker, salah satu editor di BelleVue Book mencoba membangkitkan semangat seisi ruang. “Tapi, Pak, kita kan sedang berusaha menarik penulis terkenal untuk bergabung dengan kita. Mereka bisa membawa pencerahan baru untuk penerbitan kita.”

Andreas merenung sejenak, kemudian melanjutkan, “Apakah ada kemungkinan penulis besar bersedia menerbitkan karyanya di penerbit kecil seperti BelleVue Books?” Suasana rapat semakin lesu, semua merasakan keberatannya.

Related chapters

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 8: Pertemuan

    Nathaniel yang sebenarnya merasa pusing akibat demamnya, jadi tidak begitu fokus dengan rapat kali ini. Pandangannya sayu, dan fokusnya terpecah antara suara-suara yang berbicara di ruangan itu.Andreas yang peka terhadap bawahannya, memperhatikan Nathaniel dengan wajah cemas. “Nate,” panggil Andreas, Nathaniel sontak menoleh pada atasannya. “Ya, Pak?”“Kau terlihat tidak sehat.”Nathaniel mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat dipaksakan. “Saya baik-baik saja, Pak.”Andreas tetap cemas. “Kau yakin? Kau terlihat pucat?”Nathaniel mengangguk dan berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam situasi genting seperti ini, Nathaniel lebih mencemaskan kondisi penerbit daripada kesehatannya sendiri.Bersamaan dengan itu, Clara Jansen memasuki ruang rapat dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang, seolah memberi kode bahwa ia membawa kabar buruk. Dia duduk di samping Nathaniel, meliriknya sejenak sebelum memberikan laporan pada Andreas. “Saya minta maaf, Pak,” ucap Clara dengan nada l

    Last Updated : 2024-03-17
  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 9: Menghindar

    “Aku bisa merasakan suhu tubuhmu sangat panas.” Isabella berniat menyentuh kening Nathaniel, tapi pria itu segera menepis tangan Isabella. “Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”“Baiklah, baiklah!” Isabella memutuskan untuk tidak berdebat. “Kalau begitu masuklah dulu, kita butuh waktu lebih banyak untuk bicara,” lanjutnya.“Apa yang ingin kau bicarakan? Jika itu soal masalah pribadi, sebaiknya aku pergi.” Nathaniel segera balik badan dan berjalan pergi. Isabella berusaha mengejar langkah cepat Nathaniel. “Nate, tunggu sebentar!”Nathaniel tidak menghiraukannya, tetap melangkah cepat. Isabella terus berusaha menyusul, mencoba menyalip agar bisa berada di depannya dan membuat langkah pemuda itu terhenti.“Selama ini kau sengaja menghindariku??” desis Isabella setelah berhasil menghadang Nathaniel.“Kau terlalu percaya diri. Kau pikir kau siapa, sampai aku repot-rep

    Last Updated : 2024-03-18
  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 10: Wartawan dan Rumor

    “Pak, di sini ada banyak editor— kau bisa minta salah satu dari mereka untuk membantu Isabella. Jangan saya,” tegas Nathaniel keras kepala. Andreas kesal dengan sikap Nathaniel. “Nate, kau menantangku?” Isabella tidak ingin keadaan menjadi semakin rumit. Isabella yang takut jika Nathaniel sampai kehilangan pekerjaannya sekali lagi, buru-buru mencairkan suasana. “Mungkin kita bisa membahas masalah kerjasama nanti saja. Nate, ayo temani aku makan siang dulu. Aku lapar sekali.” Nathaniel tetap dengan sikap tegasnya, menolak, “Tidak, terima kasih.” Isabella tampak kecewa, tetapi Andreas yang tidak ingin batal kerjasama dengan Isabella segera menarik Nathaniel, memaksanya menuruti kemauan Isabella. “Nate, ini perintah! Cepat kau makan siang terlebih dalu bersama Isabella.” Nathaniel menatap Andreas dengan wajah lelah. “Pak—” “Aku tidak ingin mendengar apa pun, cepat temani Isabella makan siang.” Andreas mendorong Nathaniel mendekat pada Isabella. Isabella tersenyum penuh kemenangan, l

    Last Updated : 2024-03-19
  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 11: Ruang Emergency

    Dalam ruang emergency yang dingin, Isabella duduk menunggui Nathaniel yang terbaring di tempat tidur putih. Ia terus memerhatikan wajah Nathaniel yang terlihat sangat pucat. Saat itu, kilas balik pertanyaan-pertanyaan kasar dari Harry di kafe tadi melintas dalam pikiran Isabella. Terlepas dari benar atau tidak pertanyaan tersebut, Isabella tersadar betapa sulitnya hidup dalam sorotan media dan bagaimana terlahir dari keluarga selebriti bukanlah hal yang mudah. Dalam keheningan ruang emergency, Isabella merasakan dadanya makin berat. Dia menyadari bahwa Nathaniel pasti pernah merasakan sakit hati mendalam terhadap ucapannya yang berkomentar seenaknya tentang keluarganya. Isabella merasa menanggung beban kesalahan di balik keadaan Nathaniel yang terbaring lemah di hadapannya. Isabella mencoba mengatasi perasaannya yang rumit dengan meremas tangan Nathaniel dengan lembut. Tatapannya penuh penyesalan,”Maafkan aku, Nate. Aku tak menyadari seberapa dalam luka yang mungkin

    Last Updated : 2024-03-20
  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 12: Rumah Nathaniel

    Mobil Isabella tiba di depan rumah yang terletak di pinggiran kota. Isabella mematikan mesin mobilnya, sejenak memperhatikan rumah sederhana yang halamannya dipenuhi pepohonan rindang. Meski rumah tersebut terkesan asri, namun jauh dari kemewahan.“Kau tinggal di sini?” tanya Isabella nyaris tak percaya. Ia merasa putra keluarga terpandang seperti Nathaniel seharusnya bisa tinggal di rumah yang jauh lebih bagus.Isabella menoleh pada Nathaniel yang tampak kesulitan membuka sabuk pengamannya yang macet. “Sabuk pengaman mobilku kadang sulit dibuka,” ujar Isabella sambil tertawa kecil. “Aku bisa membantu jika kau mau.”Nathaniel dengan keras kepala menolak, “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Isabella memerhatikan dengan senyum saat Nathaniel terus berusaha membuka sabuk pengaman yang tak kunjung terlepas. Tanpa meminta izin, Isabella akhirnya memutuskan untuk membantu Nathaniel. Tangan Isabella dengan lembut meny

    Last Updated : 2024-03-21
  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 13: Hadiah untuk Nate

    Isabella dan Julian langsung menyembunyikan tawa mereka, berusaha keras untuk menjaga kesan serius di hadapan Nathaniel. Mereka berdua beralih membicarakan topik lain dengan nada yang lebih tenang, seolah-olah insiden tadi tidak terjadi.“Rumah ini nyaman sekali, Paman. Aku suka melihat banyak pohon di halaman,” ucap Isabella sambil. Julian dengan cepat menanggapinya. “Tentu saja, aku sendiri yang merawat tanaman-tamanan itu.”Nathaniel melanjutkan langkahnya dengan kesal, tanpa menoleh kembali ke arah Isabella dan Julian. Dalam hatinya, ia merasa frustrasi dengan situasi yang terjadi, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkan emosinya. Dengan hati yang masih terasa berat, Nathaniel akhirnya tiba di kamarnya dan menutup pintu dengan agak keras.Isabella dan Julian kembali tertawa saat teringat insiden Nathaniel menabrak meja. Isabella bergumam dengan senyum di bibirnya, “Dia lucu sekali.” Komentarnya itu memancing senyum lebih

    Last Updated : 2024-03-22
  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 14: Mawar Ketulusan

    “Sebelumnya kau belum pernah melihat vas bunga?” tanya Isabella tanpa melepas ekspresi jahil di wajahnya. Nathaniel berdecak kesal. “Maksudku, kenapa kau memberiku vas bunga?”Dengan senyum cerahnya, Isabella menyodorkan setangkai bunga mawar merah pada Nathaniel. “Untukmu.”Nathaniel mengerutkan kening dengan wajah yang terkesan sedikit marah. “Apa-apaan ini? Kau pikir aku seorang gadis?” keluhnya.Isabella hanya tersenyum tenang. “Bukan hanya seorang gadis yang layak menerima bunga, Nate. Seseorang yang dicintai juga layak menerimanya,” katanya dengan lembut.Sebelum Nathaniel bisa menjawab, seisi ruangan tiba-tiba riuh dengan sorakan editor-editor lain yang menyaksikan interaksi mereka. Mereka memberi tepuk tangan dan sorak-sorai spontan atas momen manis yang terjadi di antara Nathaniel dan Isabella.Isabella menoleh ke arah para editor yang ribut tersebut, sambil melambaikan tangannya

    Last Updated : 2024-03-23
  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 15: Jadi Editor Isabella

    Nathaniel tidak bisa menyembunyikan keberatannya. “Tapi, Pak, saya tidak yakin saya dapat menangani naskah Dark Aurora dengan baik. Tolong biarkan saya menyelesaikan pekerjaan saya sebelumnya.”Andreas menggeleng tegas. “Saya tidak mau tahu, Nate. Ini adalah keputusan akhir. Dark Aurora adalah proyek besar dan kesempatan ini tidak boleh dilewatkan.”Nathaniel terdiam, merasa tertekan dengan keputusan yang harus dihadapinya.Isabella yang sejak tadi hanya diam, diam-diam tersenyum melihat Nathaniel tersudutkan oleh keputusan Andreas. Ketika Nathaniel tanpa sengaja meliriknya, dia menangkap senyuman itu. Nathaniel melotot padanya dengan tatapan tajam yang langsung disambut dengan ekspresi serius dari Isabella.Nathaniel merasa tidak nyaman dengan tatapan Isabella yang berubah begitu cepat, tetapi dia juga merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam senyum diamnya. Ia merenung sejenak, mencoba mengerti apa yang ada di balik ekspresi Isa

    Last Updated : 2024-03-24

Latest chapter

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 139. Ending

    Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan

  • Editor Dingin Bikin Bucin   138. Kerjasama Lagi

    Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 137. Kejutan

    Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 136. Meminta Maaf

    Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 135. Membersihkan Nama

    Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 134. Rindu Suaramu

    Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 133. Tidak Salah Menerima Bantuan

    Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 132. Konflik

    Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 131. Kerinduan Terobati

    Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela

DMCA.com Protection Status