Share

Bab 7: BelleVue Books Publisher

Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.

Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”

Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”

Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”

Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julian yang dulu merupakan sopir keluarga Alexander tidak menyelamatkannya, mungkin Nathaniel sudah tewas karena melompat dari jembatan.  

“Kau masih demam, sebaiknya kau tidur lagi. Hari ini tidak perlu pergi bekerja,” saran Julian. Namun Nathaniel justru turun dari ranjang, “Hari ini ada rapat penting, aku tidak bisa melewatkan itu.”

***

Dalam keheningan rumahnya yang sepi, Isabella tenggelam dalam kata-kata yang terpampang di layar laptop. Novelnya menjadi dunianya, mengikatnya dalam alur cerita yang semakin menggigit. Setelah tinggal sendirian— karena Emilia memilih tinggal di kampung halaman mereka di Lavenham, Isabella mulai terbiasa dengan suasana rumah yang sepi. Mungkin hal itu bukan hal yang buruk, karena keheningan di rumahnya membuat Isabella bisa lebih fokus saat mengerjakan naskah.

Namun, keheningan itu tiba-tiba terganggu oleh suara bel pintu. Isabella menghela napas, merasa terganggu dari konsentrasinya yang sedang mencapai puncak. Dia melirik jam di dinding, bertanya-tanya siapa yang datang pada waktu seperti ini.

Suara bel pintu tak henti-hentinya berbunyi. Isabella menutup laptopnya dengan kesal. Dia berdiri, melangkah menuju pintu dengan tatapan datar. Mungkin ini hanya seorang editor yang menawarinya kerjasama seperti yang belakangan ini sering terjadi.

“Ya, ada apa?” Isabella membuka pintu dengan wajah yang kurang ramah. Di depannya ada seorang wanita muda berdiri tersenyum pada Isabella.

“Maaf, aku ingin bertemu dengan penulis Dark Aurora, apa benar kau Dark Aurora?” tanya wanita itu, senyumnya tak luntur meski menyadari wajah Isabella terlihat cemberut.

“Ya, benar. Aku Dark Aurora. Ada apa?” sahut Isabella.

“Perkenalkan, aku Clara Jansen dari penerbit BelleVue Books,” Clara memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Isabella. Meski malas, Isabella tetap menyambut uluran tangan tersebut.

“Jadi, apa yang membuat kau datang ke sini?” tanya Isabella tanpa mempersilakan Clara untuk masuk.

“Aku ingin menawarkan kerjasama dengan penerbit kami. Bagaimana menurutmu, Aurora?”

Isabella menatap Clara dengan skeptis. “Kau bisa memanggilku Isabella. Tapi maaf, aku tidak memiliki rencana untuk menerbitkan bukuku di penerbit tempat kau bekerja. Aku tidak tertarik.”

Clara tetap bersikeras dengan senyum ramahnya, “Aku paham kalau kau mungkin sudah memiliki rencana. Namun, izinkan aku memberikan penawaran kami. Kami yakin bisa memberikan kontrak yang menguntungkan bagimu. BelleVue Books akan membawa karyamu ke level yang lebih tinggi.”

Isabella mendengarkan dengan wajah datar. Tapi dengan tegas, Isabella menjawab, “Aku tidak ingin bekerjasama dengan BelleVue Books. Terima kasih.”

Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Isabella langsung menutup pintu. Clara yang masih berdiri di ambang pintu segera menahannya agar tidak tertutup sepenuhnya. Dia bisa merasakan keengganan Isabella dan berusaha memanfaatkannya untuk terus membujuk.

“Aku mohon, Isabella. Kami benar-benar ingin bekerjasama denganmu. Bukan hanya sekadar bisnis, tapi kami melihat potensi besar dalam karya-karyamu,” ucap Clara memohon. 

Isabella melirik Clara, mencoba membaca apakah ini hanyalah strategi pemasaran atau apakah Clara benar-benar mempercayai kata-katanya sendiri. Dengan wajah datar, Isabella menjawab, “Aku menghargai tawaranmu, tapi saat ini aku sedang fokus menyelesaikan proyek dengan penerbit lain. Jadi, aku tidak bisa berkomitmen pada apapun yang bersifat jangka panjang.”

Clara tidak menyerah begitu saja. Dia mencoba memperkuat tawarannya, “Bos kami bersedia memberikan royalty yang lebih besar dari yang biasanya diberikan kepada penulis. Ini peluang besar bagimu.”

Isabella tersenyum tipis, menyadari bahwa Clara mencoba menggodanya dengan janji keuntungan finansial yang lebih besar. Namun, dia tetap pada pendiriannya, “Aku menghargai penawaran itu, tapi saat ini aku tidak bisa terlibat dalam proyek jangka panjang.”

“Isabella, kami benar-benar dalam kesulitan. Seandainya kau mau membantu, mungkin kita bisa saling menguntungkan. Penerbitan ini sudah seperti keluarga bagiku, dan aku tidak ingin melihatnya bangkrut,” ucap Clara dengan nada serius.

Isabella mendengarkan, namun tak bergeming. Dia sadar akan kondisi penerbitan itu, tetapi ini bukan tanggung jawabnya.

“Aku paham bahwa situasimu sulit, Clara. Tapi aku tidak bisa mengorbankan kreativitas dan integritasku hanya demi menyelamatkan suatu perusahaan. Kua harus mencari solusi yang tidak melibatkan aku,” jawab Isabella tegas.

Clara menghela napas berat. “Tapi, Isabella, kita bisa menciptakan karya luar biasa bersama-sama. Ini bisa menjadi tonggak baru bagi keduanya.”

Isabella tersenyum tipis, tidak terpengaruh oleh tawaran yang menggiurkan. “Tidak, Clara. Aku sudah membuat keputusan, dan aku ingin fokus pada proyekku yang sedang berjalan.”

Tak dapat berkata-kata lagi, Clara mengangguk dengan penuh penyesalan. “Baiklah, Isabella. Terima kasih atas waktunya. Jika kau berubah pikiran, kami selalu terbuka untuk bekerjasama.”

Isabella menutup pintu dengan mantap, menandakan akhir dari percakapan itu. Dia merasakan beban pikiran yang melepas seiring pintu tertutup.

***

Ruang pertemuan di BelleVue Books terasa tegang saat Nathaniel, bersama dengan beberapa editor lainnya, duduk dalam sebuah rapat darurat. Andreas Kovac, sang pimpinan penerbit, duduk di ujung meja, wajahnya tampak serius dan penuh kekhawatiran.

“Terima kasih sudah hadir, semua,” ucap Andreas, suaranya penuh keputusasaan. “Saya yakin kalian sudah tahu kondisi penerbitan kita saat ini. Semuanya makin terpuruk.”

Nathaniel dan rekan-rekannya saling bertatapan, tak ada yang berani bicara. Mereka merasakan getaran negatif yang menyelimuti ruangan.

“Saya tidak akan menyembunyikan kenyataan dari kalian,” lanjut Andreas, “Jika kita terus seperti ini, BelleVue Books tidak akan bertahan lama lagi. Kita akan tutup.”

Nathaniel menelan ludah, merasakan rasa kecewa melanda. Dia telah bekerja keras untuk penerbitan ini, dan berita ini seperti pukulan telak.

Felix Becker, salah satu editor di BelleVue Book mencoba membangkitkan semangat seisi ruang. “Tapi, Pak, kita kan sedang berusaha menarik penulis terkenal untuk bergabung dengan kita. Mereka bisa membawa pencerahan baru untuk penerbitan kita.”

Andreas merenung sejenak, kemudian melanjutkan, “Apakah ada kemungkinan penulis besar bersedia menerbitkan karyanya di penerbit kecil seperti BelleVue Books?” Suasana rapat semakin lesu, semua merasakan keberatannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status