Isabella duduk di kursi tunggu penerbit besar di pusat kota London. Wajahnya penuh ketegangan saat menunggu giliran untuk bertemu dengan kepala editor. Setelah beberapa saat menunggu dalam kegelisahan, akhirnya tiba giliran Isabella bertemu dengan kepala editor.Isabella memasuki ruangan itu dengan langkah berhati-hati. Viktor Schneider— kepala editor berkepala plontos dengan raut wajah yang tajam, sudah menunggu di belakang meja besarnya.“Isabella Rossi, bukan?” tanya kepala editor tanpa menyapa lebih dulu, suaranya terdengar ketus.“Ya, saya Isabella Rossi. Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda,” jawab Isabella, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.Sorot mata kepala editor terlihat sangat tajam saat menatap Isabella. “Anda sangat berani, Rossi, mengajukan naskah ini pada kami.”Isabella tersentak. “Maaf, apa yang salah dengan naskah saya?”Kepala editor dengan tegas menatapnya, “Anda berani plagiat karya orang lain. Ini sama sekali tidak dapat diterima di dunia sastra.”Isab
Isabella berjalan menuju rumah dengan langkah gontai, matanya memerhatikan sekelilingnya— melihat barang-barang yang biasanya tersusun rapi di dalam rumah, kini sudah tergeletak berantakan di halaman.Emilia duduk di ambang pintu dengan tatapan kosong dan pipi yang basah oleh air mata. Isabella membeku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa mereka tidak memiliki tempat berlindung lagi.“Ibu, apa kita memang harus pindah hari ini juga?” tanya Isabella, langkah-langkahnya mendekati ibunya yang tampak seperti raga tanpa nyawa.Emilia hanya bisa menangis, mencoba menjawab dengan kata-kata yang tersedak oleh tangisannya. “Kau lihat sendiri, mereka bahkan sudah mengeluarkan barang-barang kita.”Isabella mencoba menenangkan ibunya, meski saat ini dirinya sendiri juga kebingungan. “Ibu, tenanglah. Kita akan menyelesaikan ini. Kita akan mencari tempat tinggal.”Isabella kemudian meraih ponselnya, memutuskan untuk menghubungi Henrik Mueller—pacarnya. Berharap pria bisa
Isabella masih dikuasai oleh amarah, tanpa ampun menampar wajah Elise lagi. Tamparan itu begitu keras, membuat Elise tersungkur di lantai. Henrik makin bingung dengan situasi ini, ia segera menghampiri Elise dan berdiri di depannya. Ia menatap Isabella dengan tegas, menghadangnya yang hendak memukul Elise lagi. “Isabella, sudah cukup. Ini tidak akan menyelesaikan apa pun.”“Kau juga brengsek, Henrik. Berani sekali kalian berdua mempermainkanku,” umpat Isabella.Henrik mencoba menenangkan Isabella dengan memegangi lengannya. “Isabella, aku tahu aku bersalah. Aku juga terlibat dalam semua ini.”Isabella melepaskan diri dari cengkraman Henrik, “Jika kau memang suka pada Elise sejak dulu, harusnya kau berpacaran dengannya. Jangan melibatkan diriku dalam kebohongan kalian.”Henrik mengerti bahwa situasinya semakin rumit, mencoba menarik Isabella ke tempat yang lebih tenang. “Kita perlu bicara berdua.”Isabella meskipun masih penuh amarah, akhirnya mengikuti Henrik ke tempat lain. Meninggal
Isabella tiba di rumah sakit dan bergegas berlari menuju ruang emergency. Ketika pintu terbuka, ia melihat ibunya terbaring di tempat tidur dengan selang infus yang tersambung di tangannya.“Ibu!” Panggil Isabella dengan suara cemas, ia melihat Emilia sudah siuman meski masih terlihat sangat lemah. Seorang dokter berada di samping brankar, sedang memantau kondisi Emilia.Isabella panik dan buru-buru mendekati ibunya, “Ibu, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa sampai pingsan?” Belum sempat Emilia menjawab, Isabella lebih dulu menoleh pada dokter laki-laki yang baru saja memeriksa ibunya. “Apa yang terjadi pada ibu saya?”Dokter itu tersenyum ramah, “Jangan khawatir, ibumu hanya terlalu lelah dan stres. Dia hanya butuh istirahat.”Isabella merasa lega mendengar jawaban dari dokter, meski hatinya tetap gelisah. Pasti masalah kehilangan rumah sewa membuat ibunya merasa tertekan. Isabella mencoba menenangkan Emilia, “Ibu, apa benar kau memang terlalu stres memikirkan masalah rumah sewa?”Emil
Lima tahun telah berlalu, dan Isabella berhasil bangkit dari keterpurukan. Dengan gigih dan tekad yang kuat, ia menjadi penulis terkenal dengan nama pena 'Dark Aurora'. Karya-karyanya bukan hanya sukses, tetapi juga selalu merajai tangga penjualan, menjadi best seller setiap kali diluncurkan. Bahkan, beberapa novelnya telah diangkat menjadi film yang sukses di pasaran. Keberhasilan Isabella membuatnya menjadi pusat perhatian industri penerbitan. Kini, Isabella tidak pernah lagi mengajukan naskahnya ke penerbit. Sebaliknya, penerbit-penerbit besar yang selalu mengejar-ngejar Isabella agar bisa menerbitkan karyanya. Tawaran kontrak dan kerjasama dengan penerbit-penerbit ternama selalu menghampirinya. Isabella telah membuktikan bahwa meski pernah terpuruk dan dihantui masalah, keberhasilan adalah hasil dari ketekunan dan tekad yang kuat. Kini, namanya bersinar di dunia tulis-menulis, dan setiap karyanya dinanti-nantikan oleh para pembaca setianya. Isabella dan penerbitnya, bersama-sama
Ruangan itu dipenuhi ketegangan ketika Elena duduk di hadapan Gabriel dan Camilia, ayah dan ibunya. Suasana hening memenuhi ruangan sebelum Elena dengan berat hati menyampaikan niatnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian berdua.”Gabriel dan Camilia saling bertukar pandang, merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah. Elena memandang kedua orangtuanya, memasang ekspresi serius.“Aku ingin pergi ke Jepang,” ucap Elena. Gabriel dan Camilia seolah tersentak mendengar pengakuan tersebut. Wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan.“Ke Jepang? Kenapa, Elena?” tanya Gabriel.“Aku ingin menemui Matsumoto, mantan kekasihku. Ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengannya.”Camilia dengan tegas menggelengkan kepalanya, “Jadi kau masih terus memikirkan pria itu? Kau sudah tahu betapa buruknya dia.”Gabriel menghela nafas panjang, kesal dengan keputusan putrinya. “Elena, dia pria berengsek yang telah menyakitimu. Mengapa kau masih ingin bertemu dengannya?”Kedua mata E
Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julia
Nathaniel yang sebenarnya merasa pusing akibat demamnya, jadi tidak begitu fokus dengan rapat kali ini. Pandangannya sayu, dan fokusnya terpecah antara suara-suara yang berbicara di ruangan itu.Andreas yang peka terhadap bawahannya, memperhatikan Nathaniel dengan wajah cemas. “Nate,” panggil Andreas, Nathaniel sontak menoleh pada atasannya. “Ya, Pak?”“Kau terlihat tidak sehat.”Nathaniel mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat dipaksakan. “Saya baik-baik saja, Pak.”Andreas tetap cemas. “Kau yakin? Kau terlihat pucat?”Nathaniel mengangguk dan berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam situasi genting seperti ini, Nathaniel lebih mencemaskan kondisi penerbit daripada kesehatannya sendiri.Bersamaan dengan itu, Clara Jansen memasuki ruang rapat dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang, seolah memberi kode bahwa ia membawa kabar buruk. Dia duduk di samping Nathaniel, meliriknya sejenak sebelum memberikan laporan pada Andreas. “Saya minta maaf, Pak,” ucap Clara dengan nada l