Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.
Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat.
“Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”
Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”
Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.
“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”
“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Isabella duduk di kursi tunggu penerbit besar di pusat kota London. Wajahnya penuh ketegangan saat menunggu giliran untuk bertemu dengan kepala editor. Setelah beberapa saat menunggu dalam kegelisahan, akhirnya tiba giliran Isabella bertemu dengan kepala editor.Isabella memasuki ruangan itu dengan langkah berhati-hati. Viktor Schneider— kepala editor berkepala plontos dengan raut wajah yang tajam, sudah menunggu di belakang meja besarnya.“Isabella Rossi, bukan?” tanya kepala editor tanpa menyapa lebih dulu, suaranya terdengar ketus.“Ya, saya Isabella Rossi. Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda,” jawab Isabella, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.Sorot mata kepala editor terlihat sangat tajam saat menatap Isabella. “Anda sangat berani, Rossi, mengajukan naskah ini pada kami.”Isabella tersentak. “Maaf, apa yang salah dengan naskah saya?”Kepala editor dengan tegas menatapnya, “Anda berani plagiat karya orang lain. Ini sama sekali tidak dapat diterima di dunia sastra.”Isab
Isabella berjalan menuju rumah dengan langkah gontai, matanya memerhatikan sekelilingnya— melihat barang-barang yang biasanya tersusun rapi di dalam rumah, kini sudah tergeletak berantakan di halaman.Emilia duduk di ambang pintu dengan tatapan kosong dan pipi yang basah oleh air mata. Isabella membeku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa mereka tidak memiliki tempat berlindung lagi.“Ibu, apa kita memang harus pindah hari ini juga?” tanya Isabella, langkah-langkahnya mendekati ibunya yang tampak seperti raga tanpa nyawa.Emilia hanya bisa menangis, mencoba menjawab dengan kata-kata yang tersedak oleh tangisannya. “Kau lihat sendiri, mereka bahkan sudah mengeluarkan barang-barang kita.”Isabella mencoba menenangkan ibunya, meski saat ini dirinya sendiri juga kebingungan. “Ibu, tenanglah. Kita akan menyelesaikan ini. Kita akan mencari tempat tinggal.”Isabella kemudian meraih ponselnya, memutuskan untuk menghubungi Henrik Mueller—pacarnya. Berharap pria bisa
Isabella masih dikuasai oleh amarah, tanpa ampun menampar wajah Elise lagi. Tamparan itu begitu keras, membuat Elise tersungkur di lantai. Henrik makin bingung dengan situasi ini, ia segera menghampiri Elise dan berdiri di depannya. Ia menatap Isabella dengan tegas, menghadangnya yang hendak memukul Elise lagi. “Isabella, sudah cukup. Ini tidak akan menyelesaikan apa pun.”“Kau juga brengsek, Henrik. Berani sekali kalian berdua mempermainkanku,” umpat Isabella.Henrik mencoba menenangkan Isabella dengan memegangi lengannya. “Isabella, aku tahu aku bersalah. Aku juga terlibat dalam semua ini.”Isabella melepaskan diri dari cengkraman Henrik, “Jika kau memang suka pada Elise sejak dulu, harusnya kau berpacaran dengannya. Jangan melibatkan diriku dalam kebohongan kalian.”Henrik mengerti bahwa situasinya semakin rumit, mencoba menarik Isabella ke tempat yang lebih tenang. “Kita perlu bicara berdua.”Isabella meskipun masih penuh amarah, akhirnya mengikuti Henrik ke tempat lain. Meninggal