Isabella masih dikuasai oleh amarah, tanpa ampun menampar wajah Elise lagi. Tamparan itu begitu keras, membuat Elise tersungkur di lantai. Henrik makin bingung dengan situasi ini, ia segera menghampiri Elise dan berdiri di depannya. Ia menatap Isabella dengan tegas, menghadangnya yang hendak memukul Elise lagi. “Isabella, sudah cukup. Ini tidak akan menyelesaikan apa pun.”
“Kau juga brengsek, Henrik. Berani sekali kalian berdua mempermainkanku,” umpat Isabella.
Henrik mencoba menenangkan Isabella dengan memegangi lengannya. “Isabella, aku tahu aku bersalah. Aku juga terlibat dalam semua ini.”
Isabella melepaskan diri dari cengkraman Henrik, “Jika kau memang suka pada Elise sejak dulu, harusnya kau berpacaran dengannya. Jangan melibatkan diriku dalam kebohongan kalian.”
Henrik mengerti bahwa situasinya semakin rumit, mencoba menarik Isabella ke tempat yang lebih tenang. “Kita perlu bicara berdua.”
Isabella meskipun masih penuh amarah, akhirnya mengikuti Henrik ke tempat lain. Meninggalkan Elise yang terkulai di lantai dengan wajah merah bekas tamparan, namun tersenyum penuh kemenangan.
Henrik menuntun Isabella menuju ruang makan yang agak jauh dari kamar. Isabella masih penuh dengan kemarahan, memandang tajam ke arah Henrik. Tanpa ragu, ia menampar wajah Henrik dengan keras. Henrik menerima tamparan itu dengan ikhlas, ekspresinya mencerminkan penyesalan. “Aku tahu aku salah, Isabella. Aku minta maaf.”
Isabella memandangnya dengan mata penuh kemarahan. “Maaf? Apakah masalah ini akan selesai dengan maafmu?”
Henrik bisa mengerti kekecewaan yang dirasakan Isabella. “Aku tahu maaf tidak akan mengubah apa pun. Tapi, tolong, jangan perpanjang masalah ini lagi.”
Isabella menyahut, “Jangan perpanjang masalah, kau bilang? Kalian berdua menyembunyikan hubungan ini selama berapa lama? Jika saja kalian terbuka lebih awal, kita tidak akan sampai ke titik ini.”
Henrik mencoba menjelaskan, “Aku tidak tega mengatakannya padamu, Isabella. Aku takut kehilanganmu.”
Isabella tertawa pahit, “Kau pikir dengan menyembunyikan hal ini, kau tidak akan kehilangan aku? Henrik, kau sudah menghancurkan segalanya.”
Henrik mencoba mendekati Isabella, “Isabella, aku tahu tak ada kata maaf yang bisa memperbaiki segalanya. Tapi aku benar-benar menyesal. Aku tak ingin kehilanganmu sebagai teman.”
Isabella menatapnya dengan intens, “Jadi, kau ingin tetap menjadi temanku setelah semua ini?”
Henrik mengangguk, “Aku tahu itu sulit, tapi aku berharap kita bisa melewati ini. Kita bisa belajar dari kesalahan dan memulai ulang.”
Isabella menghela napas panjang. Hatinya masih terasa hancur, tapi dia tahu memperpanjang dendam tidak akan membawa kebaikan. “Baiklah, kita bisa selesai di sini. Tapi jangan pernah harap aku bisa memaafkan pengkhianatan ini.”
Henrik mengangguk, “Aku mengerti. Terima kasih, Isabella, meskipun aku tahu terima kasih tidak akan mengubah apa pun.”
Isabella tanpa berkata-kata, meraih gelas minuman yang berada di meja makan yang ada di dekatnya. Dengan gerakan tegas, dia mengguyurkan isinya ke wajah Henrik. Air dingin meluncur dari gelas dan menciptakan jejak basah di wajah pria itu. Henrik kaget, tetapi dia hanya bisa menerima tindakan itu tanpa perlawanan.
Isabella melihatnya dengan ekspresi dingin. “Aku tidak kehilangan teman dan kekasih, Henrik. Tuhan hanya membersihkan sampah dalam hidupku.”
Henrik mencoba menghapus air dari wajahnya, tetapi tatapannya tetap terpaku pada Isabella. “Isabella, aku tahu aku melakukan kesalahan besar. Aku menyesal.”
Isabella hanya tertawa pahit. “Maafmu tidak akan mengubah apa pun. Aku tahu sekarang siapa kalian sebenarnya.”
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari Henrik, Isabella pergi dari ruangan itu dengan langkah yang mantap. Airmata mengalir di wajahnya.
Isabella meninggalkan rumah Henrik dengan langkah yang berat. Hatinya hancur setelah semua yang telah terjadi. Ketika dia keluar dari gerbang, dia melihat barang-barang mereka sudah diturunkan dari mobil pengangkut. Pemandangan itu semakin menambah rasa sakit di dalam hatinya.
Dengan langkah-langkah gemetar, Isabella mendekati Emilia yang sedang memeriksa beberapa kotak barang di trotoar. Ia berusaha menahan emosinya, tidak ingin membuat ibunya khawatir.
“Ibu, sepertinya kita tidak bisa menitipkan barang-barang di sini,” ucap Isabella dengan suara yang bergetar.
Emilia, yang sebelumnya sibuk mengatur barang, mengangkat wajahnya yang penuh kekhawatiran. “Tidak bisa? Lalu kita harus kemana, Bella?”
Isabella mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. “Aku akan mencari rumah sewa yang murah, Ibu.”
Emilia merasa ada yang tidak beres. “Bella, apa yang terjadi? Matamu terlihat sembab. Ada apa?”
Isabella mengusap pelan pipinya yang basah. “Tidak apa-apa, Ibu. Hanya sedikit lelah.”
Petugas pengangkut barang yang telah selesai menurunkan barang-barang mereka akhirnya mendekat pada Isabella. “Maaf, Nona. Tugas kami untuk mengantarkan barang sudah selesai. Bisakah anda membayar saya sekarang?”
Isabella membuka tasnya, mencari dompetnya untuk membayar, namun ia terkejut karena tidak menemukan dompet di dalam tasnya. “Kemana dompetku?” desisnya kebingungan. Di tengah kepanikannya saat mengaduk isi tasnya, tiba-tiba ponsel Isabella berdering. Ada panggilan masuk dari nomor kantor penerbitan. Awalnya Isabella berniat mengabaikan panggilan tersebut karena masih fokus mencari dompetnya, namun dering ponselnya terus berbunyi.
Isabella akhirnya menjawab telepon, dan suara resepsionis dari seberang memberikan kabar yang tak terduga. “Maaf, Isabella, dompetmu terjatuh di kantor. Kami menemukannya di ruang tunggu.”
Isabella merasa lega mengetahui keberadaan dompetnya, namun dia juga merasa malu pada petugas yang menunggu pembayaran.
“Maaf, saya harus ke kantor sebentar untuk mengambil dompet. Saya akan segera kembali,” ucap Isabella sambil memberikan penjelasan pada petugas yang mulai tampak agak kesal.
“Saya minta maaf sekali, ini karena kelalaian saya, tapi bisakah kau menaikkan barang-barang saya ke dalam mobil?” tanya Isabella.
“Barangnya harus dibawa kemana lagi, Nona?” tanya petugas pengangkut meski dengan wajah kesal. Isabella bingung, jelas dia tidak memiliki tujuan. Namun Isabella berusaha menjaga ketenangan di tengah kekacauan ini, “Bawa saja ke taman kota dulu. Nanti saya menyusul setelah mengambil dompet saya yang tertinggal di kantor penerbitan.”
Emilia dan petugas pengangkut barang tampak agak bingung, tetapi mereka mengikuti instruksi Isabella. Sementara barang-barang mereka kembali dimuat ke dalam mobil, Isabella bergegas pergi menuju kantor penerbitan setelah menyetop mobil taksi yang melintas.
Beberapa saat kemudian, taksi yang ditumpangi Isabella tiba di depan kantor. Ia meminta sopir untuk menunggu sebentar, kemudian dengan langkah tergesa-gesa, Isabella masuk ke dalam kantor penerbitan. Perasaannya masih campur aduk, terguncang dengan peristiwa di rumah Henrik.
Nathaniel sudah menunggu di dalam kantor. Begitu melihat Isabella, ia mendekat dan segera mengembalikan dompet yang terjatuh tadi. “Ini dompetmu, Isabella. Aku menemukannya di lantai ruang tunggu.”
Isabella menerima dompetnya dengan pandangan yang masih kabur. Ketika membukanya untuk memastikan isinya, ia terkejut melihat sejumlah uang yang seharusnya tidak ada di dalamnya. Matanya membulat, “Ini bukan uangku. Ada apa ini, Nate?”
Nathaniel tersenyum dan menjawab, “Aku mendengar percakapanmu di telepon tadi. Aku tahu situasimu, Isabella. Gunakan uang ini untuk membayar sewa rumah.”
Isabella merasa terhina, padahal sebenarnya ia hanya ingin menjaga privasinya. “Bagaimana kau bisa tahu masalah pribadiku, Nate? Ini tidak pantas!”
Nathaniel mencoba menjelaskan, “Maaf, Isabella. Aku tidak bermaksud ikut campur, tapi aku mendengar secara tidak sengaja. Aku hanya ingin membantu.”
Isabella yang masih terguncang dan stres oleh kejadian sebelumnya, merasa semakin terpuruk. “Aku tidak butuh bantuanmu, Nate. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri.”
Nathaniel mencoba meyakinkan, “Isabella, aku hanya ingin membantu. Aku tahu situasimu sulit sekarang.”
Isabella menatap Nathaniel dengan tatapan tajam, “Kau lahir dengan segalanya, keluargamu terkenal dan kaya raya. Tapi itu bukan berarti kau berhak ikut campur masalahku. Aku tidak butuh belas kasihan dari seseorang sepertimu, yang hidupnya selalu terjaga oleh kemewahan.”
Nathaniel tersinggung oleh komentar Isabella. “Kau tahu apa? Aku mencoba membantu, tapi niat baikku selalu kau salahartikan. Aku tidak pernah berpikir bahwa kehidupanku akan jadi alasan bagimu untuk merendahkan diriku.”
Isabella memotongnya dengan nada tegas, “Sudah kubilang, aku tidak butuh bantuanmu!”
Nathaniel terlihat sangat marah hingga wajahnya memerah. Isabella tidak peduli, dia hanya tidak ingin diremehkan oleh siapa pun.
Ponsel Isabella berdering dengan keras, menyadarkannya dari pergulatan emosinya dengan Nathaniel. Ia menjawab dengan cepat, dan suara petugas pengangkut barang terdengar di seberang sana.
“Nona!” ucap petugas dengan nada khawatir. “Ibu Anda pingsan, sekarang kami dalam perjalanan ke rumah sakit.”
Isabella kaget dan seketika perasaannya makin kacau. “Apa? Bagaimana bisa?”
Petugas memberikan penjelasan singkat bahwa Emilia tiba-tiba pingsan ketika mereka sedang menunggu di taman kota. Mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Isabella merasa dunianya kembali runtuh. Di tengah kebingungan, dia menatap Nathaniel dan menahan gengsinya. “Aku akan memakai uangmu, tapi aku ingin kau tahu, ini hanya pinjaman. Aku akan mengembalikannya secepatnya.”
Nathaniel yang sudah marah sebelumnya, menjawab dengan sinis, “Aku tidak peduli. Aku hanya berharap kita tidak pernah bertemu lagi. Jika kita sampai bertemu lagi, kau akan menyesal telah menyusahkan hidupku.”
Nathaniel pergi setelah mengatakan itu, menyisakan tanda tanya di kepala Isabella. “Menyusahkan? Apa maksudnya? Bukankah dia sendiri yang menawarkan pinjaman?”
Isabella tak punya waktu untuk memikirkan ucapan Nathaniel lebih lanjut, dia harus buru-buru ke rumah sakit.
Isabella tiba di rumah sakit dan bergegas berlari menuju ruang emergency. Ketika pintu terbuka, ia melihat ibunya terbaring di tempat tidur dengan selang infus yang tersambung di tangannya.“Ibu!” Panggil Isabella dengan suara cemas, ia melihat Emilia sudah siuman meski masih terlihat sangat lemah. Seorang dokter berada di samping brankar, sedang memantau kondisi Emilia.Isabella panik dan buru-buru mendekati ibunya, “Ibu, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa sampai pingsan?” Belum sempat Emilia menjawab, Isabella lebih dulu menoleh pada dokter laki-laki yang baru saja memeriksa ibunya. “Apa yang terjadi pada ibu saya?”Dokter itu tersenyum ramah, “Jangan khawatir, ibumu hanya terlalu lelah dan stres. Dia hanya butuh istirahat.”Isabella merasa lega mendengar jawaban dari dokter, meski hatinya tetap gelisah. Pasti masalah kehilangan rumah sewa membuat ibunya merasa tertekan. Isabella mencoba menenangkan Emilia, “Ibu, apa benar kau memang terlalu stres memikirkan masalah rumah sewa?”Emil
Lima tahun telah berlalu, dan Isabella berhasil bangkit dari keterpurukan. Dengan gigih dan tekad yang kuat, ia menjadi penulis terkenal dengan nama pena 'Dark Aurora'. Karya-karyanya bukan hanya sukses, tetapi juga selalu merajai tangga penjualan, menjadi best seller setiap kali diluncurkan. Bahkan, beberapa novelnya telah diangkat menjadi film yang sukses di pasaran. Keberhasilan Isabella membuatnya menjadi pusat perhatian industri penerbitan. Kini, Isabella tidak pernah lagi mengajukan naskahnya ke penerbit. Sebaliknya, penerbit-penerbit besar yang selalu mengejar-ngejar Isabella agar bisa menerbitkan karyanya. Tawaran kontrak dan kerjasama dengan penerbit-penerbit ternama selalu menghampirinya. Isabella telah membuktikan bahwa meski pernah terpuruk dan dihantui masalah, keberhasilan adalah hasil dari ketekunan dan tekad yang kuat. Kini, namanya bersinar di dunia tulis-menulis, dan setiap karyanya dinanti-nantikan oleh para pembaca setianya. Isabella dan penerbitnya, bersama-sama
Ruangan itu dipenuhi ketegangan ketika Elena duduk di hadapan Gabriel dan Camilia, ayah dan ibunya. Suasana hening memenuhi ruangan sebelum Elena dengan berat hati menyampaikan niatnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian berdua.”Gabriel dan Camilia saling bertukar pandang, merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah. Elena memandang kedua orangtuanya, memasang ekspresi serius.“Aku ingin pergi ke Jepang,” ucap Elena. Gabriel dan Camilia seolah tersentak mendengar pengakuan tersebut. Wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan.“Ke Jepang? Kenapa, Elena?” tanya Gabriel.“Aku ingin menemui Matsumoto, mantan kekasihku. Ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengannya.”Camilia dengan tegas menggelengkan kepalanya, “Jadi kau masih terus memikirkan pria itu? Kau sudah tahu betapa buruknya dia.”Gabriel menghela nafas panjang, kesal dengan keputusan putrinya. “Elena, dia pria berengsek yang telah menyakitimu. Mengapa kau masih ingin bertemu dengannya?”Kedua mata E
Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julia
Nathaniel yang sebenarnya merasa pusing akibat demamnya, jadi tidak begitu fokus dengan rapat kali ini. Pandangannya sayu, dan fokusnya terpecah antara suara-suara yang berbicara di ruangan itu.Andreas yang peka terhadap bawahannya, memperhatikan Nathaniel dengan wajah cemas. “Nate,” panggil Andreas, Nathaniel sontak menoleh pada atasannya. “Ya, Pak?”“Kau terlihat tidak sehat.”Nathaniel mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat dipaksakan. “Saya baik-baik saja, Pak.”Andreas tetap cemas. “Kau yakin? Kau terlihat pucat?”Nathaniel mengangguk dan berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam situasi genting seperti ini, Nathaniel lebih mencemaskan kondisi penerbit daripada kesehatannya sendiri.Bersamaan dengan itu, Clara Jansen memasuki ruang rapat dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang, seolah memberi kode bahwa ia membawa kabar buruk. Dia duduk di samping Nathaniel, meliriknya sejenak sebelum memberikan laporan pada Andreas. “Saya minta maaf, Pak,” ucap Clara dengan nada l
“Aku bisa merasakan suhu tubuhmu sangat panas.” Isabella berniat menyentuh kening Nathaniel, tapi pria itu segera menepis tangan Isabella. “Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”“Baiklah, baiklah!” Isabella memutuskan untuk tidak berdebat. “Kalau begitu masuklah dulu, kita butuh waktu lebih banyak untuk bicara,” lanjutnya.“Apa yang ingin kau bicarakan? Jika itu soal masalah pribadi, sebaiknya aku pergi.” Nathaniel segera balik badan dan berjalan pergi. Isabella berusaha mengejar langkah cepat Nathaniel. “Nate, tunggu sebentar!”Nathaniel tidak menghiraukannya, tetap melangkah cepat. Isabella terus berusaha menyusul, mencoba menyalip agar bisa berada di depannya dan membuat langkah pemuda itu terhenti.“Selama ini kau sengaja menghindariku??” desis Isabella setelah berhasil menghadang Nathaniel.“Kau terlalu percaya diri. Kau pikir kau siapa, sampai aku repot-rep
“Pak, di sini ada banyak editor— kau bisa minta salah satu dari mereka untuk membantu Isabella. Jangan saya,” tegas Nathaniel keras kepala. Andreas kesal dengan sikap Nathaniel. “Nate, kau menantangku?” Isabella tidak ingin keadaan menjadi semakin rumit. Isabella yang takut jika Nathaniel sampai kehilangan pekerjaannya sekali lagi, buru-buru mencairkan suasana. “Mungkin kita bisa membahas masalah kerjasama nanti saja. Nate, ayo temani aku makan siang dulu. Aku lapar sekali.” Nathaniel tetap dengan sikap tegasnya, menolak, “Tidak, terima kasih.” Isabella tampak kecewa, tetapi Andreas yang tidak ingin batal kerjasama dengan Isabella segera menarik Nathaniel, memaksanya menuruti kemauan Isabella. “Nate, ini perintah! Cepat kau makan siang terlebih dalu bersama Isabella.” Nathaniel menatap Andreas dengan wajah lelah. “Pak—” “Aku tidak ingin mendengar apa pun, cepat temani Isabella makan siang.” Andreas mendorong Nathaniel mendekat pada Isabella. Isabella tersenyum penuh kemenangan, l
Dalam ruang emergency yang dingin, Isabella duduk menunggui Nathaniel yang terbaring di tempat tidur putih. Ia terus memerhatikan wajah Nathaniel yang terlihat sangat pucat. Saat itu, kilas balik pertanyaan-pertanyaan kasar dari Harry di kafe tadi melintas dalam pikiran Isabella. Terlepas dari benar atau tidak pertanyaan tersebut, Isabella tersadar betapa sulitnya hidup dalam sorotan media dan bagaimana terlahir dari keluarga selebriti bukanlah hal yang mudah. Dalam keheningan ruang emergency, Isabella merasakan dadanya makin berat. Dia menyadari bahwa Nathaniel pasti pernah merasakan sakit hati mendalam terhadap ucapannya yang berkomentar seenaknya tentang keluarganya. Isabella merasa menanggung beban kesalahan di balik keadaan Nathaniel yang terbaring lemah di hadapannya. Isabella mencoba mengatasi perasaannya yang rumit dengan meremas tangan Nathaniel dengan lembut. Tatapannya penuh penyesalan,”Maafkan aku, Nate. Aku tak menyadari seberapa dalam luka yang mungkin
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela