Lima tahun telah berlalu, dan Isabella berhasil bangkit dari keterpurukan. Dengan gigih dan tekad yang kuat, ia menjadi penulis terkenal dengan nama pena 'Dark Aurora'. Karya-karyanya bukan hanya sukses, tetapi juga selalu merajai tangga penjualan, menjadi best seller setiap kali diluncurkan. Bahkan, beberapa novelnya telah diangkat menjadi film yang sukses di pasaran.
Keberhasilan Isabella membuatnya menjadi pusat perhatian industri penerbitan. Kini, Isabella tidak pernah lagi mengajukan naskahnya ke penerbit. Sebaliknya, penerbit-penerbit besar yang selalu mengejar-ngejar Isabella agar bisa menerbitkan karyanya. Tawaran kontrak dan kerjasama dengan penerbit-penerbit ternama selalu menghampirinya.Isabella telah membuktikan bahwa meski pernah terpuruk dan dihantui masalah, keberhasilan adalah hasil dari ketekunan dan tekad yang kuat. Kini, namanya bersinar di dunia tulis-menulis, dan setiap karyanya dinanti-nantikan oleh para pembaca setianya.Isabella dan penerbitnya, bersama-sama dengan tim acara, menyusun rangkaian peluncuran buku yang meriah. Panggung dihias dengan elemen-elemen yang menggambarkan atmosfer misteri dari novel terbarunya, “Shadows of Destiny”. Lampu sorot yang lembut menyala, menciptakan suasana yang dramatis di dalam ruangan.Ketika Isabella melangkah ke panggung, tepuk tangan meriah menyambutnya. Senyumnya yang hangat dan tatapan mata penuh keyakinan menciptakan kedekatan langsung dengan para pembaca. Setelah memberikan sambutan singkat, Isabella mulai membacakan cuplikan dari novel barunya.“Shadows of Destiny” membawa para pembaca dalam petualangan yang tak terduga. Plot yang penuh intrik dan karakter yang kompleks seolah hidup di atas halaman-halaman buku. Setiap kalimat yang diucapkan Isabella membangun ketegangan, dan audiens tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak.Setelah membacakan cuplikan, Isabella menjawab pertanyaan dari penggemar yang telah disiapkan sebelumnya. Isabella dengan penuh antusias memberikan wawasan tentang proses kreatifnya, inspirasi di balik cerita, dan tantangan yang dihadapinya selama penulisan.Sesi tanda tangan buku menjadi momen puncak acara. Antrean panjang pembaca yang ingin mendapatkan tanda tangan langsung dari penulis terkenal ini mengisi ruangan. Isabella berbicara dan tersenyum kepada setiap penggemar dengan penuh perhatian. Mereka pun berbagi kesan dan apresiasi mereka terhadap karya-karya Isabella.Isabella melihat Viktor Schneider berdiri di antrean penggemar, dan ekspresi terkejut melintas di wajahnya. Namun dengan sikap profesional, Isabella menyambutnya dengan senyuman ramah.“Tuan Viktor Schneider?” tanya Isabella saat Victor akhirnya berdiri di depan mejanya. Victor tersenyum senang. “Senang kau masih mengingatku, Rossi.” Victor mengajukan buku , ‘Shadows of Destiny’ untuk ditandatangani. Isabella pun segera memberikan tanda tangan di sana.“Terima kasih, Rossi,” kata Viktor dengan senyuman. “Aku sangat menikmati karyamu yang luar biasa ini.”Isabella menangkap nada hormat di dalam kata-kata Viktor, dan itu memberinya kepuasan tersendiri.“Sangat senang mendengarnya, Tuan Viktor,” jawab Isabella dengan sopan. “Semoga kau menikmati perjalanan yang ada di dalamnya.”“Setelah acara peluncuran buku berakhir, apa kau ada waktu untuk bertemu denganku?” tanya Victor. Isabella terkejut dengan undangan tersebut, namun juga penasaran dengan niat pria berkepala plontos itu. Isabella akhirnya mengangguk.“Baiklah, kita bisa bertemu setelah acara ini selesai,” ujar Isabella akhirnya, memberikan kepastian. “Tapi aku ingin tahu, apa yang membuat anda tertarik untuk bertemu denganku?”Viktor tersenyum, “Aku rasa kita memiliki banyak hal untuk dibicarakan, terutama setelah melihat keberhasilan yang kau capai. Dan mungkin, ini juga saat yang tepat untuk aku meminta maaf.”Isabella merasa kagum dengan kejujuran Viktor, dan hatinya sedikit terharu mendengar permintaan maaf yang sepertinya lama dia tunggu.“Baiklah, tuan Vicrtor. Sampai ketemu nanti,” ucap Isabella, memutuskan untuk memberikan peluang kedua pada Viktor.Setelah acara peluncuran buku selesai, Isabella segera meluncur ke sebuah kafe tempat Victor Schneider menunggunya. Setibanya di kafe, Isabella segera duduk di depan pria tersebut. “Maaf membuat anda menunggu lama.”“Tidak masalah, Rossi. Justru aku sangat berterima kasih karena kau bersedia bertemu denganku.”Isabella melihat ke meja, melihat di sana sudah ada dua cangkir kopi yang masih utuh. Victor segera menjelaskan. “Aku sengaja memesankan untukmu, semoga kau menyukainya.”“Terima kasih Tuan Victor,” ucap Isabella sembari tersenyum, kemudian meminum kopi tersebut.“Kurasa aku tak perlu banyak basa-basi, sebenarnya aku mengajakmu bertemu karena aku ingin meminta maaf atas kejadian di masa lalu,” ucap Victor dengan nada penuh penyesalan. Isabella sangat lega karena akhirnya bisa mendengar kata-kata yang telah lama dinantikannya.“Aku sungguh menyesal, Rossi. Aku mengakui kesalahanku.” lanjut Victor.Ucapan penuh penyesalan itu membuat Isabella kembali teringat pada sosok yang telah mengkhianatinya di masa lalu. “Ngomong-ngomong, aku penasaran bagaimana kabar penulis itu? Maksudku, Elise Dubois?”Victor terdiam sesaat saat Isabella menanyakan tentang Elise, sebelum akhirnya dia menjelaskan. “Elise Dubois cukup mempermalukan aku dan juga penerbitan kami, Rossi. Kami memutuskan untuk memasukkan namanya dalam daftar black list, di masa depan dia tidak akan bisa menerbitkan karya di penerbit mana pun.”Isabella tersenyum kecut. “Dia memang bukan penulis.”“Aku sangat menyesal karena dulu sempat percaya padanya— aku harap kau bisa memaafkanku, Rossi,” ucap Victor.“Aku menerima permintaan maaf anda, Tuan Victor. Meski saat itu aku sangat marah, aku sadar jika anda tidak sepenuhnya bersalah,” jawab Isabella. “Tapi kurasa anda juga seharusnya meminta maaf pada Nathaniel.”Viktor menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab, “Aku tahu. Dan jika aku diberi kesempatan, aku akan meminta maaf padanya juga.”Isabella termenung, memikirkan keberadaan Nathaniel. Meskipun hidupnya telah sukses selama lima tahun terakhir, dia masih merasa beban di hatinya terkait dengan kepergian Nathaniel yang tidak jelas.Lamunan Isabella terputus ketika Viktor kembali bicara, “Rossi, aku berharap kita masih bisa bekerja sama di masa depan. Apa kau masih tertarik menulis di penerbitan kami?”“Terima kasih, Tuan Viktor, tapi aku tidak tertarik untuk menulis di sana,” ucap Isabella sambil mengemasi barangnya. “Sebenarnya aku masih ingin banyak berbincang dengan anda, tapi sayangnya aku masih banyak urusan. Aku permisi dulu.”Victor menghela napas kecewa, menelan kenyataan bahwa ia gagal membujuk Isabella menulis untuk penerbit tempatnya bekerja. Isabella segera bangkit, kemudian melangkah meninggalkan kafe.Isabella melangkah mantap menuju mobilnya, duduk di balik kemudi, dan melajukan mobilnya. Tatapannya kosong, menerawang ke masa lalu yang penuh kebingungan. Keheningan di dalam mobilnya hanya diisi oleh suara mesin dan kereta yang melintas di seberang jalan.Isabella menyetir dengan tatapan yang terlihat melayang, teringat pada sosok Nathaniel yang selalu misterius dan menarik hatinya. Setiap detik terasa berat, dan keinginannya untuk bertemu dengan pria itu semakin kuat.Selama lima tahun ini, Isabella tak pernah berhenti memikirkannya. Pertanyaan tentang keberadaan Nathaniel selalu menghantuinya, dan terkadang, di tengah kehidupan sukses yang dia raih, ia merasa ada sesuatu yang kurang tanpa kehadiran Nathaniel.Saat tengah menyetir, Isabella merasa seolah melihat bayangan Nathaniel berjalan di trotoar. Jantungnya berdetak kencang, memenuhi dadanya dengan perasaan campur aduk. Apakah yang baru saja terjadi hanyalah ilusi, ataukah Nathaniel benar-benar berada di sana?Isabella segera mengerem mobilnya dengan agak kasar, lalu segera turun, dan bergegas mencari Nathaniel di antara kerumunan pejalan kaki yang berlalu-lalang di trotoar. Keadaan di sekitarnya memperumit pencarian.Pandangannya melayang dari satu wajah ke wajah lain, mencari tanda-tanda yang familiar. Akhirnya, dia melihat seorang pria dengan punggung yang terlihat seperti Nathaniel. Pria mungil itu berjalan menjauh.Dengan hati yang berdebar, Isabella melangkah cepat, membelah kerumunan orang-orang yang sibuk di trotoar. “Permisi! Permisi!” serunya sambil berusaha mencapai Nathaniel. Detik demi detik, dia semakin mendekat.Akhirnya, Isabella berhasil menyusul sosok pria yang mengganggu pikirannya selama lima tahun terakhir ini. Dengan langkah pasti, dia menepuk pelan bahu pria tersebut, mencoba menarik perhatiannya.“Excuse me,” ucap Isabella dengan napas terengah-engah, “Nathaniel?”Pria tersebut menoleh saat Isabella menepuk bahunya, dan pandangan mereka bertemu. Namun, Isabella harus menelan kekecewaan saat menyadari jika pria di hadapannya ternyata bukan Nathaniel. Sementara itu, pria yang tak dikenal itu memandangnya dengan bingung.“Maaf, sepertinya aku salah orang,” ucap Isabella. Pria tersebut hanya mengangguk, masih bingung dengan situasi yang tak terduga ini. Isabella kemudian memberi senyuman pahit, “Sekali lagi aku minta maaf,” ucapnya lagi sebelum melangkah pergi menuju mobilnya.Ketika ia sudah duduk di balik kemudi, Isabella masih merasa hatinya dihimpit kekecewaan. Dalam hati Isabella bertanya-tanya, apakah masih ada kemungkinan untuk bertemu dengan Nathaniel lagi.Ruangan itu dipenuhi ketegangan ketika Elena duduk di hadapan Gabriel dan Camilia, ayah dan ibunya. Suasana hening memenuhi ruangan sebelum Elena dengan berat hati menyampaikan niatnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian berdua.”Gabriel dan Camilia saling bertukar pandang, merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah. Elena memandang kedua orangtuanya, memasang ekspresi serius.“Aku ingin pergi ke Jepang,” ucap Elena. Gabriel dan Camilia seolah tersentak mendengar pengakuan tersebut. Wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan.“Ke Jepang? Kenapa, Elena?” tanya Gabriel.“Aku ingin menemui Matsumoto, mantan kekasihku. Ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengannya.”Camilia dengan tegas menggelengkan kepalanya, “Jadi kau masih terus memikirkan pria itu? Kau sudah tahu betapa buruknya dia.”Gabriel menghela nafas panjang, kesal dengan keputusan putrinya. “Elena, dia pria berengsek yang telah menyakitimu. Mengapa kau masih ingin bertemu dengannya?”Kedua mata E
Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julia
Nathaniel yang sebenarnya merasa pusing akibat demamnya, jadi tidak begitu fokus dengan rapat kali ini. Pandangannya sayu, dan fokusnya terpecah antara suara-suara yang berbicara di ruangan itu.Andreas yang peka terhadap bawahannya, memperhatikan Nathaniel dengan wajah cemas. “Nate,” panggil Andreas, Nathaniel sontak menoleh pada atasannya. “Ya, Pak?”“Kau terlihat tidak sehat.”Nathaniel mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat dipaksakan. “Saya baik-baik saja, Pak.”Andreas tetap cemas. “Kau yakin? Kau terlihat pucat?”Nathaniel mengangguk dan berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam situasi genting seperti ini, Nathaniel lebih mencemaskan kondisi penerbit daripada kesehatannya sendiri.Bersamaan dengan itu, Clara Jansen memasuki ruang rapat dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang, seolah memberi kode bahwa ia membawa kabar buruk. Dia duduk di samping Nathaniel, meliriknya sejenak sebelum memberikan laporan pada Andreas. “Saya minta maaf, Pak,” ucap Clara dengan nada l
“Aku bisa merasakan suhu tubuhmu sangat panas.” Isabella berniat menyentuh kening Nathaniel, tapi pria itu segera menepis tangan Isabella. “Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”“Baiklah, baiklah!” Isabella memutuskan untuk tidak berdebat. “Kalau begitu masuklah dulu, kita butuh waktu lebih banyak untuk bicara,” lanjutnya.“Apa yang ingin kau bicarakan? Jika itu soal masalah pribadi, sebaiknya aku pergi.” Nathaniel segera balik badan dan berjalan pergi. Isabella berusaha mengejar langkah cepat Nathaniel. “Nate, tunggu sebentar!”Nathaniel tidak menghiraukannya, tetap melangkah cepat. Isabella terus berusaha menyusul, mencoba menyalip agar bisa berada di depannya dan membuat langkah pemuda itu terhenti.“Selama ini kau sengaja menghindariku??” desis Isabella setelah berhasil menghadang Nathaniel.“Kau terlalu percaya diri. Kau pikir kau siapa, sampai aku repot-rep
“Pak, di sini ada banyak editor— kau bisa minta salah satu dari mereka untuk membantu Isabella. Jangan saya,” tegas Nathaniel keras kepala. Andreas kesal dengan sikap Nathaniel. “Nate, kau menantangku?” Isabella tidak ingin keadaan menjadi semakin rumit. Isabella yang takut jika Nathaniel sampai kehilangan pekerjaannya sekali lagi, buru-buru mencairkan suasana. “Mungkin kita bisa membahas masalah kerjasama nanti saja. Nate, ayo temani aku makan siang dulu. Aku lapar sekali.” Nathaniel tetap dengan sikap tegasnya, menolak, “Tidak, terima kasih.” Isabella tampak kecewa, tetapi Andreas yang tidak ingin batal kerjasama dengan Isabella segera menarik Nathaniel, memaksanya menuruti kemauan Isabella. “Nate, ini perintah! Cepat kau makan siang terlebih dalu bersama Isabella.” Nathaniel menatap Andreas dengan wajah lelah. “Pak—” “Aku tidak ingin mendengar apa pun, cepat temani Isabella makan siang.” Andreas mendorong Nathaniel mendekat pada Isabella. Isabella tersenyum penuh kemenangan, l
Dalam ruang emergency yang dingin, Isabella duduk menunggui Nathaniel yang terbaring di tempat tidur putih. Ia terus memerhatikan wajah Nathaniel yang terlihat sangat pucat. Saat itu, kilas balik pertanyaan-pertanyaan kasar dari Harry di kafe tadi melintas dalam pikiran Isabella. Terlepas dari benar atau tidak pertanyaan tersebut, Isabella tersadar betapa sulitnya hidup dalam sorotan media dan bagaimana terlahir dari keluarga selebriti bukanlah hal yang mudah. Dalam keheningan ruang emergency, Isabella merasakan dadanya makin berat. Dia menyadari bahwa Nathaniel pasti pernah merasakan sakit hati mendalam terhadap ucapannya yang berkomentar seenaknya tentang keluarganya. Isabella merasa menanggung beban kesalahan di balik keadaan Nathaniel yang terbaring lemah di hadapannya. Isabella mencoba mengatasi perasaannya yang rumit dengan meremas tangan Nathaniel dengan lembut. Tatapannya penuh penyesalan,”Maafkan aku, Nate. Aku tak menyadari seberapa dalam luka yang mungkin
Mobil Isabella tiba di depan rumah yang terletak di pinggiran kota. Isabella mematikan mesin mobilnya, sejenak memperhatikan rumah sederhana yang halamannya dipenuhi pepohonan rindang. Meski rumah tersebut terkesan asri, namun jauh dari kemewahan.“Kau tinggal di sini?” tanya Isabella nyaris tak percaya. Ia merasa putra keluarga terpandang seperti Nathaniel seharusnya bisa tinggal di rumah yang jauh lebih bagus.Isabella menoleh pada Nathaniel yang tampak kesulitan membuka sabuk pengamannya yang macet. “Sabuk pengaman mobilku kadang sulit dibuka,” ujar Isabella sambil tertawa kecil. “Aku bisa membantu jika kau mau.”Nathaniel dengan keras kepala menolak, “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Isabella memerhatikan dengan senyum saat Nathaniel terus berusaha membuka sabuk pengaman yang tak kunjung terlepas. Tanpa meminta izin, Isabella akhirnya memutuskan untuk membantu Nathaniel. Tangan Isabella dengan lembut meny
Isabella dan Julian langsung menyembunyikan tawa mereka, berusaha keras untuk menjaga kesan serius di hadapan Nathaniel. Mereka berdua beralih membicarakan topik lain dengan nada yang lebih tenang, seolah-olah insiden tadi tidak terjadi.“Rumah ini nyaman sekali, Paman. Aku suka melihat banyak pohon di halaman,” ucap Isabella sambil. Julian dengan cepat menanggapinya. “Tentu saja, aku sendiri yang merawat tanaman-tamanan itu.”Nathaniel melanjutkan langkahnya dengan kesal, tanpa menoleh kembali ke arah Isabella dan Julian. Dalam hatinya, ia merasa frustrasi dengan situasi yang terjadi, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkan emosinya. Dengan hati yang masih terasa berat, Nathaniel akhirnya tiba di kamarnya dan menutup pintu dengan agak keras.Isabella dan Julian kembali tertawa saat teringat insiden Nathaniel menabrak meja. Isabella bergumam dengan senyum di bibirnya, “Dia lucu sekali.” Komentarnya itu memancing senyum lebih