Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”
Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.
“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”
Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.
Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Isabella duduk di kursi tunggu penerbit besar di pusat kota London. Wajahnya penuh ketegangan saat menunggu giliran untuk bertemu dengan kepala editor. Setelah beberapa saat menunggu dalam kegelisahan, akhirnya tiba giliran Isabella bertemu dengan kepala editor.Isabella memasuki ruangan itu dengan langkah berhati-hati. Viktor Schneider— kepala editor berkepala plontos dengan raut wajah yang tajam, sudah menunggu di belakang meja besarnya.“Isabella Rossi, bukan?” tanya kepala editor tanpa menyapa lebih dulu, suaranya terdengar ketus.“Ya, saya Isabella Rossi. Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda,” jawab Isabella, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.Sorot mata kepala editor terlihat sangat tajam saat menatap Isabella. “Anda sangat berani, Rossi, mengajukan naskah ini pada kami.”Isabella tersentak. “Maaf, apa yang salah dengan naskah saya?”Kepala editor dengan tegas menatapnya, “Anda berani plagiat karya orang lain. Ini sama sekali tidak dapat diterima di dunia sastra.”Isab
Isabella berjalan menuju rumah dengan langkah gontai, matanya memerhatikan sekelilingnya— melihat barang-barang yang biasanya tersusun rapi di dalam rumah, kini sudah tergeletak berantakan di halaman.Emilia duduk di ambang pintu dengan tatapan kosong dan pipi yang basah oleh air mata. Isabella membeku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa mereka tidak memiliki tempat berlindung lagi.“Ibu, apa kita memang harus pindah hari ini juga?” tanya Isabella, langkah-langkahnya mendekati ibunya yang tampak seperti raga tanpa nyawa.Emilia hanya bisa menangis, mencoba menjawab dengan kata-kata yang tersedak oleh tangisannya. “Kau lihat sendiri, mereka bahkan sudah mengeluarkan barang-barang kita.”Isabella mencoba menenangkan ibunya, meski saat ini dirinya sendiri juga kebingungan. “Ibu, tenanglah. Kita akan menyelesaikan ini. Kita akan mencari tempat tinggal.”Isabella kemudian meraih ponselnya, memutuskan untuk menghubungi Henrik Mueller—pacarnya. Berharap pria bisa
Isabella masih dikuasai oleh amarah, tanpa ampun menampar wajah Elise lagi. Tamparan itu begitu keras, membuat Elise tersungkur di lantai. Henrik makin bingung dengan situasi ini, ia segera menghampiri Elise dan berdiri di depannya. Ia menatap Isabella dengan tegas, menghadangnya yang hendak memukul Elise lagi. “Isabella, sudah cukup. Ini tidak akan menyelesaikan apa pun.”“Kau juga brengsek, Henrik. Berani sekali kalian berdua mempermainkanku,” umpat Isabella.Henrik mencoba menenangkan Isabella dengan memegangi lengannya. “Isabella, aku tahu aku bersalah. Aku juga terlibat dalam semua ini.”Isabella melepaskan diri dari cengkraman Henrik, “Jika kau memang suka pada Elise sejak dulu, harusnya kau berpacaran dengannya. Jangan melibatkan diriku dalam kebohongan kalian.”Henrik mengerti bahwa situasinya semakin rumit, mencoba menarik Isabella ke tempat yang lebih tenang. “Kita perlu bicara berdua.”Isabella meskipun masih penuh amarah, akhirnya mengikuti Henrik ke tempat lain. Meninggal
Isabella tiba di rumah sakit dan bergegas berlari menuju ruang emergency. Ketika pintu terbuka, ia melihat ibunya terbaring di tempat tidur dengan selang infus yang tersambung di tangannya.“Ibu!” Panggil Isabella dengan suara cemas, ia melihat Emilia sudah siuman meski masih terlihat sangat lemah. Seorang dokter berada di samping brankar, sedang memantau kondisi Emilia.Isabella panik dan buru-buru mendekati ibunya, “Ibu, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa sampai pingsan?” Belum sempat Emilia menjawab, Isabella lebih dulu menoleh pada dokter laki-laki yang baru saja memeriksa ibunya. “Apa yang terjadi pada ibu saya?”Dokter itu tersenyum ramah, “Jangan khawatir, ibumu hanya terlalu lelah dan stres. Dia hanya butuh istirahat.”Isabella merasa lega mendengar jawaban dari dokter, meski hatinya tetap gelisah. Pasti masalah kehilangan rumah sewa membuat ibunya merasa tertekan. Isabella mencoba menenangkan Emilia, “Ibu, apa benar kau memang terlalu stres memikirkan masalah rumah sewa?”Emil
Lima tahun telah berlalu, dan Isabella berhasil bangkit dari keterpurukan. Dengan gigih dan tekad yang kuat, ia menjadi penulis terkenal dengan nama pena 'Dark Aurora'. Karya-karyanya bukan hanya sukses, tetapi juga selalu merajai tangga penjualan, menjadi best seller setiap kali diluncurkan. Bahkan, beberapa novelnya telah diangkat menjadi film yang sukses di pasaran. Keberhasilan Isabella membuatnya menjadi pusat perhatian industri penerbitan. Kini, Isabella tidak pernah lagi mengajukan naskahnya ke penerbit. Sebaliknya, penerbit-penerbit besar yang selalu mengejar-ngejar Isabella agar bisa menerbitkan karyanya. Tawaran kontrak dan kerjasama dengan penerbit-penerbit ternama selalu menghampirinya. Isabella telah membuktikan bahwa meski pernah terpuruk dan dihantui masalah, keberhasilan adalah hasil dari ketekunan dan tekad yang kuat. Kini, namanya bersinar di dunia tulis-menulis, dan setiap karyanya dinanti-nantikan oleh para pembaca setianya. Isabella dan penerbitnya, bersama-sama
Ruangan itu dipenuhi ketegangan ketika Elena duduk di hadapan Gabriel dan Camilia, ayah dan ibunya. Suasana hening memenuhi ruangan sebelum Elena dengan berat hati menyampaikan niatnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian berdua.”Gabriel dan Camilia saling bertukar pandang, merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah. Elena memandang kedua orangtuanya, memasang ekspresi serius.“Aku ingin pergi ke Jepang,” ucap Elena. Gabriel dan Camilia seolah tersentak mendengar pengakuan tersebut. Wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan.“Ke Jepang? Kenapa, Elena?” tanya Gabriel.“Aku ingin menemui Matsumoto, mantan kekasihku. Ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengannya.”Camilia dengan tegas menggelengkan kepalanya, “Jadi kau masih terus memikirkan pria itu? Kau sudah tahu betapa buruknya dia.”Gabriel menghela nafas panjang, kesal dengan keputusan putrinya. “Elena, dia pria berengsek yang telah menyakitimu. Mengapa kau masih ingin bertemu dengannya?”Kedua mata E
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela