Ruangan itu dipenuhi ketegangan ketika Elena duduk di hadapan Gabriel dan Camilia, ayah dan ibunya. Suasana hening memenuhi ruangan sebelum Elena dengan berat hati menyampaikan niatnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian berdua.”
Gabriel dan Camilia saling bertukar pandang, merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah. Elena memandang kedua orangtuanya, memasang ekspresi serius.
“Aku ingin pergi ke Jepang,” ucap Elena. Gabriel dan Camilia seolah tersentak mendengar pengakuan tersebut. Wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan.
“Ke Jepang? Kenapa, Elena?” tanya Gabriel.
“Aku ingin menemui Matsumoto, mantan kekasihku. Ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengannya.”
Camilia dengan tegas menggelengkan kepalanya, “Jadi kau masih terus memikirkan pria itu? Kau sudah tahu betapa buruknya dia.”
Gabriel menghela nafas panjang, kesal dengan keputusan putrinya. “Elena, dia pria berengsek yang telah menyakitimu. Mengapa kau masih ingin bertemu dengannya?”
Kedua mata Elena berkaca-kaca. “Kalian tidak akan pernah mengerti. Bagaimanapun juga, Matsumoto adalah ayah kandung Nathaniel.”
Gabriel dan Camilia terdiam. Sejenak, atmosfer ruangan menjadi semakin tegang. Camilia akhirnya memecah keheningan. “Kami tidak akan membiarkanmu mempertemukan Nate dengan pria berengsek itu. Kau hanya akan menyakitinya,” ucap Camilia.
Airmata Elena kali ini benar-benar mengalir. “Ibu, aku mohon… Kita tidak bisa selamanya menyembunyikan ini dari Nate— kenyataan bahwa Nate adalah putraku dan Matsumoto.”
Gabriel tidak dapat menahan diri dan tertawa sarkas. “Kau selalu menyebut Matsumoto ayah kandung Nathaniel. Kau mengatakan itu, seolah pria itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Pria itu mungkin sudah lupa jika putranya sudah remaja.”
Ketika mereka berada di tengah-tengah keheningan penuh ketegangan, langkah Nathaniel terdengar begitu gontai. Dengan ekspresi datar, ia memasuki ruangan. Elena, Gabriel, dan Camilia terkejut menyadari bahwa Nathaniel sudah ada di sana dan mendengar semua pembicaraan mereka.
“Apa maksudnya ini?” tanya Nathaniel dengan suara bergetar, dia lalu menoleh pada Elena. “Elena— kau… bukan kakakku? Tapi ibuku?” Nathaniel masih sulit mempercayai ini.
Selama ini yang Nathaniel tahu, dia merupakan putra bungsu keluarga Alexander. Ayahnya— Gabriel Alexander, seorang aktor senior yang masih aktif di dunia hiburan. Dan ibunya adalah Camilia Leclair, seorang penyanyi papan atas. Dua bakat hiburan yang juga langsung menurun pada anak sulung mereka Elena Alexander, yang saat ini tengah naik daun berkat film layar lebarnya yang sukses di pasaran.
Tapi pembicaraan antara keluarganya barusan membuat Nathaniel seolah mengorek misteri yang selama ini dipendam begitu rapat. “Kenapa diam? Kenapa tidak ada yang menjawab pertanyaanku?” tanya Nathaniel, sambil menatap Gabriel, Elena dan Camilia bergantian, menunggu orang-orang di rumah ini menjawab pertanyaannya.
Wajah Gabriel dan Camilia pucat, menyadari bahwa rahasia panjang kelam masa lalu mereka akhirnya terkuak di hadapan Nathaniel. Tatapan mata Nathaniel yang berkaca-kaca membuat Gabriel dan Camilia tercekat.
Elena terdiam sejenak sebelum mencoba menjelaskan, “Nate, aku—”
Nathaniel dengan tegas memotong, “Siapa Matsumoto yang kau sebut ayah kandungku itu?”
Camilia yang mencoba untuk bersuara, “Nate, kau adalah putraku. Jangan dengarkan perkataan Elena.”
Nathaniel hanya menatap Elena dengan penuh kekecewaan, “Aku bertanya padamu, Elena? Apakah benar aku adikmu? Atau justru putramu?”
Elena terdiam, air mata menggenang di wajahnya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kebenaran yang teramat pahit ini kepada Nathaniel. Gabriel dan Camilia juga terlihat terpaku, tak tahu apa yang harus dikatakan.
“Aku ingin tahu kebenarannya!” tegas Nathaniel.
Gabriel, Camilia, dan Elena terdiam tanpa mampu memberikan jawaban yang memadai atas pertanyaan Nathaniel. Wajah Nathaniel penuh dengan kekecewaan.
Nathaniel kembali bicara, suaranya gemetar, “Sebenarnya— aku memang pernah membaca berita di media yang membahas soal rumor tentang Elena yang hamil saat dia masih duduk di bangku sekolah menengah. Tapi aku tak pernah percaya itu— aku menganggapnya rumor belaka. Tapi ternyata… itu benar?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Elena menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak mampu menahan tangisnya. Camilia mencoba untuk bersikap tegar, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan.
Nathaniel melanjutkan, suaranya tajam dan penuh emosi, “Elena, benar kan? Kau memang bukan kakakku, melainkan ibuku? Sekian lama kau menyembunyikan fakta itu— karena takut jika skandal kehamilanmu membuat karirmu hancur?”
Gabriel masih berusaha menyangkal dengan tegas. “Itu tidak benar, Nate. Kau adalah anakku.”
Nathaniel menatap Gabriel dengan ekspresi kecewa dan marah. “Jadi kalian masih ingin menutupi semua ini? Kalian menganggapku apa? Aku benar-benar hanya menjadi beban di hidup kalian? Hanya hasil dari kesalahan yang tidak bisa kalian terima?”
Gabriel mencoba mendekati Nathaniel, “Nate, ini tidak sesederhana itu. Kami hanya ingin melakukan yang terbaik.”
Nathaniel tersenyum sinis, “Terbaik? Aku juga pernah membaca berita jika kau memaksa Elena untuk melakukan aborsi. Apakah itu 'yang terbaik' bagimu?”
Elena menangis sambil mencoba berkata, “Nate, maafkan aku. Aku tahu aku melakukan kesalahan, tetapi aku mencintaimu.”
Nathaniel yang sudah tak bisa menahan lagi kekecewaan dan amarah, langsung meninggalkan ruangan dengan langkah-langkah yang cepat. Gabriel dan Camilia hanya bisa menatap punggung Nathaniel yang menjauh, merasakan betapa hancurnya hubungan mereka saat ini.
Elena yang terus menangis, berusaha mengejar Nathaniel. “Nate, tunggu! Biarkan aku menjelaskan semuanya.”
Nathaniel terus melangkah tanpa merespons apa pun. Elena terisak, tak sanggup lagi menahan kesedihannya. “Nate, aku mohon…”
Nathaniel akhirnya berhenti di teras rumah, menatap keluar dengan tatapan menerawang. Dalam bisikannya, yang lebih terdengar seperti jeritan hati, ia berkata, “Kau tau Elena… dulu aku sering sekali menertawakan berita di media, yang mengatakan bahwa dulu kau sering minum obat-obatan penggugur kandungan, hingga kau dan bayimu hampir mati. Aku mengira berita itu omong kosong,” ucapan Nathaniel begitu lirih, seolah dia tidak memiliki energi untuk mengucapkannya. “Tapi aku tidak menyangka, jika bayi yang ingin kau bunuh adalah aku.”
Elena berdiri di belakangnya, menangis tersedu-sedu, “Nate, aku tidak pernah menginginkan hal itu terjadi. Aku tidak ingin kau tahu kebenaran itu dengan cara seperti ini.”
Nathaniel menoleh, tatapannya dingin dan penuh kekecewaan. “Jadi, diriku adalah konsekuensi dari kesalahan dan keputusanmu yang bodoh, bukan?”
Elena berlutut di depan Nathaniel, “Aku minta maaf, Nate. Aku tidak tahu cara menjelaskan semua ini padamu.”
Nathaniel mengangguk, “Kau benar. Kau tidak tahu bagaimana menjelaskannya, karena kau tidak tahu seberapa sakit rasanya menjadi anak yang tidak pernah diinginkan.”
Elena terisak, “Tapi aku mencintaimu, Nate. Aku mencintaimu sebagai anakku. Aku menyesal.”
Nathaniel menatap tanpa ekspresi, “Cinta dari seorang ibu? Maaf, tapi itu sudah terlambat. Aku tidak butuh cinta yang terlambat.”
Dengan hati yang hancur, Nathaniel berjalan meninggalkan Elena yang masih terduduk di lantai, memandang punggung putranya yang semakin menjauh.
Nathaniel keluar dari rumahnya, melangkah di atas jalan setapak yang berliku. Dia terus berlari, menembus kegelapan malam, seolah-olah berusaha melarikan diri dari kenyataan kelam yang membuat hatinya hancur.
Dia merasakan napasnya memburu, dan kakinya berat seperti terikat oleh fakta yang kejam. Ketika Nathaniel mencapai taman yang sepi, dia terhenti, berlutut di atas rerumputan yang dingin. Tatapannya kosong, melihat ke langit malam yang penuh bintang. Keheningan taman hanya terganggu oleh isakan dan rintihan getir Nathaniel, yang mencoba menyembunyikan kelemahannya.
***
Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julia
Nathaniel yang sebenarnya merasa pusing akibat demamnya, jadi tidak begitu fokus dengan rapat kali ini. Pandangannya sayu, dan fokusnya terpecah antara suara-suara yang berbicara di ruangan itu.Andreas yang peka terhadap bawahannya, memperhatikan Nathaniel dengan wajah cemas. “Nate,” panggil Andreas, Nathaniel sontak menoleh pada atasannya. “Ya, Pak?”“Kau terlihat tidak sehat.”Nathaniel mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat dipaksakan. “Saya baik-baik saja, Pak.”Andreas tetap cemas. “Kau yakin? Kau terlihat pucat?”Nathaniel mengangguk dan berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam situasi genting seperti ini, Nathaniel lebih mencemaskan kondisi penerbit daripada kesehatannya sendiri.Bersamaan dengan itu, Clara Jansen memasuki ruang rapat dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang, seolah memberi kode bahwa ia membawa kabar buruk. Dia duduk di samping Nathaniel, meliriknya sejenak sebelum memberikan laporan pada Andreas. “Saya minta maaf, Pak,” ucap Clara dengan nada l
“Aku bisa merasakan suhu tubuhmu sangat panas.” Isabella berniat menyentuh kening Nathaniel, tapi pria itu segera menepis tangan Isabella. “Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”“Baiklah, baiklah!” Isabella memutuskan untuk tidak berdebat. “Kalau begitu masuklah dulu, kita butuh waktu lebih banyak untuk bicara,” lanjutnya.“Apa yang ingin kau bicarakan? Jika itu soal masalah pribadi, sebaiknya aku pergi.” Nathaniel segera balik badan dan berjalan pergi. Isabella berusaha mengejar langkah cepat Nathaniel. “Nate, tunggu sebentar!”Nathaniel tidak menghiraukannya, tetap melangkah cepat. Isabella terus berusaha menyusul, mencoba menyalip agar bisa berada di depannya dan membuat langkah pemuda itu terhenti.“Selama ini kau sengaja menghindariku??” desis Isabella setelah berhasil menghadang Nathaniel.“Kau terlalu percaya diri. Kau pikir kau siapa, sampai aku repot-rep
“Pak, di sini ada banyak editor— kau bisa minta salah satu dari mereka untuk membantu Isabella. Jangan saya,” tegas Nathaniel keras kepala. Andreas kesal dengan sikap Nathaniel. “Nate, kau menantangku?” Isabella tidak ingin keadaan menjadi semakin rumit. Isabella yang takut jika Nathaniel sampai kehilangan pekerjaannya sekali lagi, buru-buru mencairkan suasana. “Mungkin kita bisa membahas masalah kerjasama nanti saja. Nate, ayo temani aku makan siang dulu. Aku lapar sekali.” Nathaniel tetap dengan sikap tegasnya, menolak, “Tidak, terima kasih.” Isabella tampak kecewa, tetapi Andreas yang tidak ingin batal kerjasama dengan Isabella segera menarik Nathaniel, memaksanya menuruti kemauan Isabella. “Nate, ini perintah! Cepat kau makan siang terlebih dalu bersama Isabella.” Nathaniel menatap Andreas dengan wajah lelah. “Pak—” “Aku tidak ingin mendengar apa pun, cepat temani Isabella makan siang.” Andreas mendorong Nathaniel mendekat pada Isabella. Isabella tersenyum penuh kemenangan, l
Dalam ruang emergency yang dingin, Isabella duduk menunggui Nathaniel yang terbaring di tempat tidur putih. Ia terus memerhatikan wajah Nathaniel yang terlihat sangat pucat. Saat itu, kilas balik pertanyaan-pertanyaan kasar dari Harry di kafe tadi melintas dalam pikiran Isabella. Terlepas dari benar atau tidak pertanyaan tersebut, Isabella tersadar betapa sulitnya hidup dalam sorotan media dan bagaimana terlahir dari keluarga selebriti bukanlah hal yang mudah. Dalam keheningan ruang emergency, Isabella merasakan dadanya makin berat. Dia menyadari bahwa Nathaniel pasti pernah merasakan sakit hati mendalam terhadap ucapannya yang berkomentar seenaknya tentang keluarganya. Isabella merasa menanggung beban kesalahan di balik keadaan Nathaniel yang terbaring lemah di hadapannya. Isabella mencoba mengatasi perasaannya yang rumit dengan meremas tangan Nathaniel dengan lembut. Tatapannya penuh penyesalan,”Maafkan aku, Nate. Aku tak menyadari seberapa dalam luka yang mungkin
Mobil Isabella tiba di depan rumah yang terletak di pinggiran kota. Isabella mematikan mesin mobilnya, sejenak memperhatikan rumah sederhana yang halamannya dipenuhi pepohonan rindang. Meski rumah tersebut terkesan asri, namun jauh dari kemewahan.“Kau tinggal di sini?” tanya Isabella nyaris tak percaya. Ia merasa putra keluarga terpandang seperti Nathaniel seharusnya bisa tinggal di rumah yang jauh lebih bagus.Isabella menoleh pada Nathaniel yang tampak kesulitan membuka sabuk pengamannya yang macet. “Sabuk pengaman mobilku kadang sulit dibuka,” ujar Isabella sambil tertawa kecil. “Aku bisa membantu jika kau mau.”Nathaniel dengan keras kepala menolak, “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Isabella memerhatikan dengan senyum saat Nathaniel terus berusaha membuka sabuk pengaman yang tak kunjung terlepas. Tanpa meminta izin, Isabella akhirnya memutuskan untuk membantu Nathaniel. Tangan Isabella dengan lembut meny
Isabella dan Julian langsung menyembunyikan tawa mereka, berusaha keras untuk menjaga kesan serius di hadapan Nathaniel. Mereka berdua beralih membicarakan topik lain dengan nada yang lebih tenang, seolah-olah insiden tadi tidak terjadi.“Rumah ini nyaman sekali, Paman. Aku suka melihat banyak pohon di halaman,” ucap Isabella sambil. Julian dengan cepat menanggapinya. “Tentu saja, aku sendiri yang merawat tanaman-tamanan itu.”Nathaniel melanjutkan langkahnya dengan kesal, tanpa menoleh kembali ke arah Isabella dan Julian. Dalam hatinya, ia merasa frustrasi dengan situasi yang terjadi, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkan emosinya. Dengan hati yang masih terasa berat, Nathaniel akhirnya tiba di kamarnya dan menutup pintu dengan agak keras.Isabella dan Julian kembali tertawa saat teringat insiden Nathaniel menabrak meja. Isabella bergumam dengan senyum di bibirnya, “Dia lucu sekali.” Komentarnya itu memancing senyum lebih
“Sebelumnya kau belum pernah melihat vas bunga?” tanya Isabella tanpa melepas ekspresi jahil di wajahnya. Nathaniel berdecak kesal. “Maksudku, kenapa kau memberiku vas bunga?”Dengan senyum cerahnya, Isabella menyodorkan setangkai bunga mawar merah pada Nathaniel. “Untukmu.”Nathaniel mengerutkan kening dengan wajah yang terkesan sedikit marah. “Apa-apaan ini? Kau pikir aku seorang gadis?” keluhnya.Isabella hanya tersenyum tenang. “Bukan hanya seorang gadis yang layak menerima bunga, Nate. Seseorang yang dicintai juga layak menerimanya,” katanya dengan lembut.Sebelum Nathaniel bisa menjawab, seisi ruangan tiba-tiba riuh dengan sorakan editor-editor lain yang menyaksikan interaksi mereka. Mereka memberi tepuk tangan dan sorak-sorai spontan atas momen manis yang terjadi di antara Nathaniel dan Isabella.Isabella menoleh ke arah para editor yang ribut tersebut, sambil melambaikan tangannya