Mobil Isabella tiba di depan rumah yang terletak di pinggiran kota. Isabella mematikan mesin mobilnya, sejenak memperhatikan rumah sederhana yang halamannya dipenuhi pepohonan rindang. Meski rumah tersebut terkesan asri, namun jauh dari kemewahan.
“Kau tinggal di sini?” tanya Isabella nyaris tak percaya. Ia merasa putra keluarga terpandang seperti Nathaniel seharusnya bisa tinggal di rumah yang jauh lebih bagus.
Isabella menoleh pada Nathaniel yang tampak kesulitan membuka sabuk pengamannya yang macet. “Sabuk pengaman mobilku kadang sulit dibuka,” ujar Isabella sambil tertawa kecil. “Aku bisa membantu jika kau mau.”
Nathaniel dengan keras kepala menolak, “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”
Isabella memerhatikan dengan senyum saat Nathaniel terus berusaha membuka sabuk pengaman yang tak kunjung terlepas. Tanpa meminta izin, Isabella akhirnya memutuskan untuk membantu Nathaniel. Tangan Isabella dengan lembut meny
Isabella dan Julian langsung menyembunyikan tawa mereka, berusaha keras untuk menjaga kesan serius di hadapan Nathaniel. Mereka berdua beralih membicarakan topik lain dengan nada yang lebih tenang, seolah-olah insiden tadi tidak terjadi.“Rumah ini nyaman sekali, Paman. Aku suka melihat banyak pohon di halaman,” ucap Isabella sambil. Julian dengan cepat menanggapinya. “Tentu saja, aku sendiri yang merawat tanaman-tamanan itu.”Nathaniel melanjutkan langkahnya dengan kesal, tanpa menoleh kembali ke arah Isabella dan Julian. Dalam hatinya, ia merasa frustrasi dengan situasi yang terjadi, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkan emosinya. Dengan hati yang masih terasa berat, Nathaniel akhirnya tiba di kamarnya dan menutup pintu dengan agak keras.Isabella dan Julian kembali tertawa saat teringat insiden Nathaniel menabrak meja. Isabella bergumam dengan senyum di bibirnya, “Dia lucu sekali.” Komentarnya itu memancing senyum lebih
“Sebelumnya kau belum pernah melihat vas bunga?” tanya Isabella tanpa melepas ekspresi jahil di wajahnya. Nathaniel berdecak kesal. “Maksudku, kenapa kau memberiku vas bunga?”Dengan senyum cerahnya, Isabella menyodorkan setangkai bunga mawar merah pada Nathaniel. “Untukmu.”Nathaniel mengerutkan kening dengan wajah yang terkesan sedikit marah. “Apa-apaan ini? Kau pikir aku seorang gadis?” keluhnya.Isabella hanya tersenyum tenang. “Bukan hanya seorang gadis yang layak menerima bunga, Nate. Seseorang yang dicintai juga layak menerimanya,” katanya dengan lembut.Sebelum Nathaniel bisa menjawab, seisi ruangan tiba-tiba riuh dengan sorakan editor-editor lain yang menyaksikan interaksi mereka. Mereka memberi tepuk tangan dan sorak-sorai spontan atas momen manis yang terjadi di antara Nathaniel dan Isabella.Isabella menoleh ke arah para editor yang ribut tersebut, sambil melambaikan tangannya
Nathaniel tidak bisa menyembunyikan keberatannya. “Tapi, Pak, saya tidak yakin saya dapat menangani naskah Dark Aurora dengan baik. Tolong biarkan saya menyelesaikan pekerjaan saya sebelumnya.”Andreas menggeleng tegas. “Saya tidak mau tahu, Nate. Ini adalah keputusan akhir. Dark Aurora adalah proyek besar dan kesempatan ini tidak boleh dilewatkan.”Nathaniel terdiam, merasa tertekan dengan keputusan yang harus dihadapinya.Isabella yang sejak tadi hanya diam, diam-diam tersenyum melihat Nathaniel tersudutkan oleh keputusan Andreas. Ketika Nathaniel tanpa sengaja meliriknya, dia menangkap senyuman itu. Nathaniel melotot padanya dengan tatapan tajam yang langsung disambut dengan ekspresi serius dari Isabella.Nathaniel merasa tidak nyaman dengan tatapan Isabella yang berubah begitu cepat, tetapi dia juga merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam senyum diamnya. Ia merenung sejenak, mencoba mengerti apa yang ada di balik ekspresi Isa
Nathaniel bangkit dari kasurnya dan melangkah menuju rak buku. Di sana, dia melihat tumpukan novel yang ia print sendiri. Naskah-naskah lama Isabella Rossi yang ia dapatkan dari komunitas literasi di kampus. Dulu saat masih kuliah, Nathaniel dan Isabella tergabung dalam satu komunitas yang sama— tiap minggunya, tiap anggota diharuskan mengirimkan tulisan mereka untuk kemudian dibahas bersama. Saat itulah Nathaniel pertama kali membaca tulisan Isabella—tulisan pertama yang ia sukai, tulisan yang membuatnya menyukai dunia literasi hingga kini, tulisan yang membuat Nathaniel merasa sangat menyukai dan mengagumi seseorang untuk pertama kali.Dia meraih salah satu dari tumpukan itu, membukanya dengan lembut, dan mulai membacanya dengan penuh perhatian. Setiap halaman membawanya ke masa lalu, mengingatkan Nathaniel pada kenangan-kenangan indah dan emosi yang terdalam.Nathaniel tampak termenung saat membaca kembali naskah-naskah lama itu, seperti terhipn
Nathaniel mengemudi dengan lambat saat menyadari jika ia memasuki jalanan yang tenang di depan rumah Isabella. Rumah itu terlihat megah, berdiri dengan gagah di tengah halaman yang ditumbuhi beberapa tanaman hias. Nathaniel menghentikan mobilnya tepat di tengah halaman yang luas.Setelah mematikan mesin mobil, Nathaniel segera keluar dari mobil lalu melangkah menuju pintu depan rumah Isabella. Langkahnya terasa berat, sejak awal Nathaniel memang enggan berurusan dengan Isabella jika Andreas tidak memaksanya.Sesampainya di depan pintu, Nathaniel menarik napas dalam-dalam. Dia sudah hampir menekan bel ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, membuatnya terkejut.Isabella muncul di balik pintu dengan senyuman manis di wajahnya. Dia menyambut Nathaniel dengan sikap yang cukup formal, membuat Nathaniel semakin terkejut.“Selamat datang, Mr. Nathaniel. Kau terlihat tampan sekali malam ini,” sapa Isabella dengan ramah, lalu dia membungkuk l
Nathaniel melangkah tanpa memerhatikan sekelilingnya. Ketika ia hampir mencapai ruang tamu, kakinya tersandung undakan yang tidak disadari sebelumnya, membuatnya hampir terjatuh ke depan.Isabella yang menyaksikan kejadian itu dengan cepat bereaksi. Tanpa berpikir panjang, ia meraih pinggang Nathaniel, menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.Posisi mereka pun menjadi dekat, Isabella berdiri di belakang Nathaniel dengan tangannya melingkar di sekitar pinggangnya. Nathaniel merasakan sentuhan hangat tangan Isabella di pinggangnya. Nathaniel tercekat, merasa tubuhnya membeku sesaat. Ia tidak bisa menahan denyut berdebar di dadanya ketika Isabella dengan lembut meletakkan dagunya di pundak Nathaniel lalu berbisik, “Kenapa kau selalu ceroboh?”Kaget, Nathaniel mencoba mengatasi perasaan malunya. Dengan gerakan cepat, ia berusaha melepaskan diri dari pegangan Isabella, lalu berbalik menatapnya dengan kesal. “Harusnya kau tidak perlu melakukannya,&rdquo
Hugo terdiam sejenak, namun ekspresinya tidak berubah. Dia tampak tidak peduli dengan perasaan Isabella. Hugo menatap putrinya, lalu menegaskan, “Bagaimana pun, aku adalah ayahmu.”Isabella membalas tatapan itu penuh kebencian. “Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi dari orangtua sepertimu, yang egois dan brengsek!” suaranya gemetar, terisak oleh amarah yang terpendam selama bertahun-tahun.Wajah Hugo memerah, kemarahan memuncak saat ia mendengar kata-kata Isabella. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat tangannya, siap untuk menampar Isabella. Namun, sebelum tangan Hugo bisa menyentuh wajah Isabella, tiba-tiba Nathaniel menahannya.Hugo menoleh tajam pada Nathaniel, “Siapa kau?”“Nathaniel, saya teman Isabella.”Hugo mengerutkan keningnya, “Tidak ada tempat bagimu dalam masalah ini. Jadi, jangan ikut campur.”Namun sebelum Nathaniel bisa menjawab, Hugo mendadak menarik
“Pertemuan dengan ayah, membuat ibuku merasa cukup tertekan. Bahkan tak jarang ibuku mengalami mimpi buruk, dia takut jika ayahku datang untuk mengganggu kami lagi. Hingga akhirnya ibu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman nenek— Lavenham. Aku membelikan ibu rumah di sana, agar dia bisa hidup tenang tanpa gangguan ayah,” jelas Isabella yang membuat Nathaniel terenyuh, tidak menyangka jika perempuan itu juga mengalami kehidupan yang berat.“Kau sudah mengalami hidup yang sulit, Isabella,” ucap Nathaniel dengan penuh empati. “Tapi kau bisa menjalaninya, kau kuat sekali,” puji Nathaniel tulus.“Yah, aku harus kuat demi ibuku. Ibu adalah segalanya bagiku. Aku tidak akan membiarkan ayahku merusak hidupnya lagi,” ucap Isabella. Nathaniel mengangguk, merasa tersentuh dengan kedekatan Isabella dengan ibunya. Entah kenapa hal itu membuat Nathaniel sedikit merasa iri, selama ini dia tidak dekat— atau tidak akan pe