“Pertemuan dengan ayah, membuat ibuku merasa cukup tertekan. Bahkan tak jarang ibuku mengalami mimpi buruk, dia takut jika ayahku datang untuk mengganggu kami lagi. Hingga akhirnya ibu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman nenek— Lavenham. Aku membelikan ibu rumah di sana, agar dia bisa hidup tenang tanpa gangguan ayah,” jelas Isabella yang membuat Nathaniel terenyuh, tidak menyangka jika perempuan itu juga mengalami kehidupan yang berat.
“Kau sudah mengalami hidup yang sulit, Isabella,” ucap Nathaniel dengan penuh empati. “Tapi kau bisa menjalaninya, kau kuat sekali,” puji Nathaniel tulus.
“Yah, aku harus kuat demi ibuku. Ibu adalah segalanya bagiku. Aku tidak akan membiarkan ayahku merusak hidupnya lagi,” ucap Isabella. Nathaniel mengangguk, merasa tersentuh dengan kedekatan Isabella dengan ibunya. Entah kenapa hal itu membuat Nathaniel sedikit merasa iri, selama ini dia tidak dekat— atau tidak akan pe
Isabella duduk tegak di depan laptopnya, matanya terfokus pada layar yang penuh dengan kata-kata yang terpampang. Jarinya bergerak dengan lincah di atas keyboard, mengetikkan kata-kata yang membentuk sinopsis baru untuk calon novel barunya. Meskipun dia sudah menjadi penulis terkenal dengan beberapa penerbit besar, namun bisa dibilang jika Isabella justru paling bersemangat saat bekerjasama dengan BelleVue Books— tentu saja karena Nathaniel yang menjadi editornya. Nathaniel yang menjadi alasan tunggal bagi Isabella untuk segera menyelesaikan sinopsis hari ini juga, karena ia sudah tidak sabar ingin mendiskusikan ide ceritanya dengan gebetannya itu.Semangatnya berkobar-kobar karena dia tahu bahwa di BelleVue Books, dia akan memiliki kesempatan untuk lebih dekat dengan Nathaniel. Setiap kali dia mengetik, bayangan wajah Nathaniel dan kemungkinan mendiskusikan ide-ide kreatif bersamanya membuatnya semakin termotivasi.Namun, di tengah keseriusannya, suara hp-
Isabella merasa lega saat ia mengetik kata terakhir dari bab terakhir novelnya 'The Labyrinth of Lies'. Saat itu matahari telah meredup, menggantikan cahayanya dengan kegelapan malam, Isabella merasa kelelahan mulai menyusup ke seluruh tubuhnya. Otot-ototnya terasa kaku dan tegang akibat berjam-jam menatap layar laptop.Segera setelah menyelesaikan bab tersebut, Isabella menggeliat untuk meregangkan tubuhnya yang lelah. Dia memperhatikan ruangan yang mulai memudar dalam cahaya senja yang redup. Namun, sorot matanya seketika terpaku pada sosok Eleanor yang ternyata sudah meringkuk di atas bean bag, terlelap dalam tidurnya yang nyenyak.Isabella merasa kesal melihat Eleanor yang tampak begitu nyaman tidur di sana, sementara dirinya sendiri berjuang keras menyelesaikan naskahnya. Hatinya dipenuhi oleh kekecewaan karena tak mendapat dukungan dari rekan kerjanya yang seharusnya membantu.Dengan langkah mantap, Isabella mendekati Eleanor, lalu menariknya deng
“Dulu aku sempat mengira jika Isabella adalah penulis yang sombong, terlebih aku pernah diusir dari rumahnya. Tapi ternyata Isabella sangat baik. Dia bahkan bersedia untuk membuat postingan yang menandai penerbit kita, yang tentunya membuat kita dikenal oleh banyak orang,” seru Clara antusias.“Apa yang aku lakukan adalah saran dari Nathaniel.” Tiba-tiba terdengar suara Isabella merayap masuk ke ruangan.Semua menoleh ke arah pintu, terkejut melihat Isabella yang tiba-tiba muncul di ruangan. Isabella melangkah masuk ke ruangan dengan senyum cerah di wajahnya, Andreas dan yang lain— kecuali Nathaniel segera menyambut kedatangan Isabella dengan hangat. Senyum Isabella berubah saat pandangannya jatuh pada Nathaniel yang masih duduk termenung di kursi kerjanya dengan wajah datar. Isabella mencoba menenangkan dirinya saat melihat reaksi dingin Nathaniel.Isabella melangkah mendekati Nathaniel. “Maaf, aku terlambat,” ucapnya I
Setelah beberapa saat, mereka tiba di tempat karaoke yang telah dituju. Di dalam ruangan itu, Nathaniel duduk dengan tenang, memperhatikan dengan senyuman tipis. Yang lain tampak riuh bernyanyi dengan semangat. Felix dan Clara terlihat berduet dengan antusias, menghibur semua orang di sekitar. Luciana, Andreas, dan Isabella bergabung dengan keramaian, bertepuk tangan dan menyemangati penampilan Felix dan Clara.Tiba-tiba, seorang pelayan memasuki ruangan dengan membawa hidangan dan minuman. Mereka semua memperhatikan dengan senang saat pelayan itu menaruh makanan dan minuman di meja mereka. Felix dan Clara segera berhenti bernyanyi.Nathaniel menyindir dengan nada menggoda saat Felix dan Clara langsung berhenti bernyanyi hanya karena makanan tiba. “Makanan datang, kalian berdua sudah berhenti bernyanyi? Sepertinya kalian lupa tujuan sebenarnya datang kemari,” ujarnya sambil tersenyum.Felix dan Clara hanya cuek dengan sindiran Nathaniel. Mereka memba
Isabella yang sebelumnya tengah memegang mikrofon dan bernyanyi, dengan cepat melemparkan mikrofonnya dan bergegas mendekati Nathaniel. Tatapannya penuh kepanikan saat dia mencoba mencari tahu apa yang terjadi. “Kenapa dia?”Felix menjelaskan dengan wajah bingung. “Mabuk! Sepertinya dia tidak sengaja minum bir dari gelasku.”Nathaniel mulai menceracau, suaranya terdengar samar di tengah kebingungan yang melingkupi pikirannya. “Kepalaku pusing, aku juga lelah meski seharian ini tidak ada pekerjaan,” keluhnya, sambil menyentuh kepalanya yang terasa berat. “Kenapa kalian memaksaku ke tempat ini? Padahal aku ingin cepat tidur,” Nathaniel terus bicara tak jelas, lalu mengusap-usap kepalanya yang benjol akibat benturan meja. “Kok sakit?” tanyanya seolah bingung dari mana rasa sakit itu berasal.Semua yang berada di sekitar Nathaniel bingung dan merasa kasihan melihat kondisinya yang mabuk. Clara mencoba mende
Isabella menjelaskan situasinya, “Nate mabuk, paman Julian. Aku sudah mencoba membangunkannya, tapi dia tidak bangun-bangun.”Julian tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, “Mabuk? Bagaimana bisa? Nate tidak pernah minum,” katanya dengan nada yang tak percaya.Isabella menjelaskan dengan singkat hal yang terjadi di tempat karaoke hingga membuat Nathaniel sampai mabuk dan jadi tak berdaya seperti ini. Julian menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.“Tolong bantu aku membawanya masuk, Paman. Dia butuh istirahat.”Julian mengangguk lalu mendekati mobil. Ia menatap Nathaniel yang masih terlelap dengan penuh keprihatinan. “Nate? Ayo bangun,” ucapnya sambil mengguncang bahu pemuda itu dengan lembut, berusaha membangunkannya.Nathaniel menggeliat perlahan, wajahnya terlihat ngantuk ketika akhirnya berhasil membuka matanya. Dia menatap ke sekeliling dengan pandangan yang masih samar, mencoba memahami sit
Nathaniel kemudian mengatakan dengan nada pahit, “Jika saja dulu aku tidak terlahir prematur, mungkinkah aku bisa lebih tinggi?”Isabella menggeleng, menegaskan, “Aku tidak peduli dengan itu. Aku menyukaimu yang seperti ini.”Nathaniel masih menggeleng. “Tidak. Tidak ada yang menyukaiku. Bahkan ibuku dulu ingin membunuhku saat aku masih dalam kandungan.” Suaranya terdengar rapuh, mengungkapkan luka yang mendalam.Isabella terkejut mendengar pernyataan Nathaniel. Dia menatap kedua mata Nathaniel yang berkaca-kaca, dan hatinya seperti diremas melihat ekspresi pria itu.“Kau pasti salah paham, Nate,” ucap Isabella dengan lembut, “mana mungkin ada ibu yang ingin membunuh anaknya sendiri?”Nathaniel hanya menggeleng sedih. “Aku bukan anak Elena Alexander,” bisiknya, suaranya terputus-putus. “Aku hanya kesalahan yang diciptakan oleh perempuan itu saat masih duduk di sekolah men
Isabella merasa semakin lelah dengan perdebatan ini. “Kau tidak akan mendapatkan apa yang pernah kau sia-siakan, Henrik.”Ketika Isabella hendak berbalik dan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Henrik memeluknya dari belakang. Isabella merasa kesal dan tanpa berpikir panjang, dia menyikut perut Henrik dengan keras hingga pria itu melepaskan pelukannya.Isabella berbalik menghadap Henrik lagi, tatapan matanya penuh dengan kemarahan. Tanpa ragu dia menampar wajah pria itu dengan keras. “Jangan kurang ajar!” bentaknya dengan suara gemetar karena emosi yang meluap.Henrik tercekat, terdiam sejenak akibat kejutan dari tamparan itu.“Pergi dari sini!” tegas Isabella.Henrik tidak bergeming. Dia maju dan dengan tiba-tiba memeluk Isabella dengan erat. Isabella berusaha meronta dengan sekuat tenaga, tetapi pelukan Henrik begitu kuat sehingga dia kesulitan untuk melepaskan diri. “Lepaskan aku, Henrik!” teriaknya de
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela