Isabella duduk tegak di depan laptopnya, matanya terfokus pada layar yang penuh dengan kata-kata yang terpampang. Jarinya bergerak dengan lincah di atas keyboard, mengetikkan kata-kata yang membentuk sinopsis baru untuk calon novel barunya. Meskipun dia sudah menjadi penulis terkenal dengan beberapa penerbit besar, namun bisa dibilang jika Isabella justru paling bersemangat saat bekerjasama dengan BelleVue Books— tentu saja karena Nathaniel yang menjadi editornya. Nathaniel yang menjadi alasan tunggal bagi Isabella untuk segera menyelesaikan sinopsis hari ini juga, karena ia sudah tidak sabar ingin mendiskusikan ide ceritanya dengan gebetannya itu.
Semangatnya berkobar-kobar karena dia tahu bahwa di BelleVue Books, dia akan memiliki kesempatan untuk lebih dekat dengan Nathaniel. Setiap kali dia mengetik, bayangan wajah Nathaniel dan kemungkinan mendiskusikan ide-ide kreatif bersamanya membuatnya semakin termotivasi.
Namun, di tengah keseriusannya, suara hp-
Isabella merasa lega saat ia mengetik kata terakhir dari bab terakhir novelnya 'The Labyrinth of Lies'. Saat itu matahari telah meredup, menggantikan cahayanya dengan kegelapan malam, Isabella merasa kelelahan mulai menyusup ke seluruh tubuhnya. Otot-ototnya terasa kaku dan tegang akibat berjam-jam menatap layar laptop.Segera setelah menyelesaikan bab tersebut, Isabella menggeliat untuk meregangkan tubuhnya yang lelah. Dia memperhatikan ruangan yang mulai memudar dalam cahaya senja yang redup. Namun, sorot matanya seketika terpaku pada sosok Eleanor yang ternyata sudah meringkuk di atas bean bag, terlelap dalam tidurnya yang nyenyak.Isabella merasa kesal melihat Eleanor yang tampak begitu nyaman tidur di sana, sementara dirinya sendiri berjuang keras menyelesaikan naskahnya. Hatinya dipenuhi oleh kekecewaan karena tak mendapat dukungan dari rekan kerjanya yang seharusnya membantu.Dengan langkah mantap, Isabella mendekati Eleanor, lalu menariknya deng
“Dulu aku sempat mengira jika Isabella adalah penulis yang sombong, terlebih aku pernah diusir dari rumahnya. Tapi ternyata Isabella sangat baik. Dia bahkan bersedia untuk membuat postingan yang menandai penerbit kita, yang tentunya membuat kita dikenal oleh banyak orang,” seru Clara antusias.“Apa yang aku lakukan adalah saran dari Nathaniel.” Tiba-tiba terdengar suara Isabella merayap masuk ke ruangan.Semua menoleh ke arah pintu, terkejut melihat Isabella yang tiba-tiba muncul di ruangan. Isabella melangkah masuk ke ruangan dengan senyum cerah di wajahnya, Andreas dan yang lain— kecuali Nathaniel segera menyambut kedatangan Isabella dengan hangat. Senyum Isabella berubah saat pandangannya jatuh pada Nathaniel yang masih duduk termenung di kursi kerjanya dengan wajah datar. Isabella mencoba menenangkan dirinya saat melihat reaksi dingin Nathaniel.Isabella melangkah mendekati Nathaniel. “Maaf, aku terlambat,” ucapnya I
Setelah beberapa saat, mereka tiba di tempat karaoke yang telah dituju. Di dalam ruangan itu, Nathaniel duduk dengan tenang, memperhatikan dengan senyuman tipis. Yang lain tampak riuh bernyanyi dengan semangat. Felix dan Clara terlihat berduet dengan antusias, menghibur semua orang di sekitar. Luciana, Andreas, dan Isabella bergabung dengan keramaian, bertepuk tangan dan menyemangati penampilan Felix dan Clara.Tiba-tiba, seorang pelayan memasuki ruangan dengan membawa hidangan dan minuman. Mereka semua memperhatikan dengan senang saat pelayan itu menaruh makanan dan minuman di meja mereka. Felix dan Clara segera berhenti bernyanyi.Nathaniel menyindir dengan nada menggoda saat Felix dan Clara langsung berhenti bernyanyi hanya karena makanan tiba. “Makanan datang, kalian berdua sudah berhenti bernyanyi? Sepertinya kalian lupa tujuan sebenarnya datang kemari,” ujarnya sambil tersenyum.Felix dan Clara hanya cuek dengan sindiran Nathaniel. Mereka memba
Isabella yang sebelumnya tengah memegang mikrofon dan bernyanyi, dengan cepat melemparkan mikrofonnya dan bergegas mendekati Nathaniel. Tatapannya penuh kepanikan saat dia mencoba mencari tahu apa yang terjadi. “Kenapa dia?”Felix menjelaskan dengan wajah bingung. “Mabuk! Sepertinya dia tidak sengaja minum bir dari gelasku.”Nathaniel mulai menceracau, suaranya terdengar samar di tengah kebingungan yang melingkupi pikirannya. “Kepalaku pusing, aku juga lelah meski seharian ini tidak ada pekerjaan,” keluhnya, sambil menyentuh kepalanya yang terasa berat. “Kenapa kalian memaksaku ke tempat ini? Padahal aku ingin cepat tidur,” Nathaniel terus bicara tak jelas, lalu mengusap-usap kepalanya yang benjol akibat benturan meja. “Kok sakit?” tanyanya seolah bingung dari mana rasa sakit itu berasal.Semua yang berada di sekitar Nathaniel bingung dan merasa kasihan melihat kondisinya yang mabuk. Clara mencoba mende
Isabella menjelaskan situasinya, “Nate mabuk, paman Julian. Aku sudah mencoba membangunkannya, tapi dia tidak bangun-bangun.”Julian tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, “Mabuk? Bagaimana bisa? Nate tidak pernah minum,” katanya dengan nada yang tak percaya.Isabella menjelaskan dengan singkat hal yang terjadi di tempat karaoke hingga membuat Nathaniel sampai mabuk dan jadi tak berdaya seperti ini. Julian menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.“Tolong bantu aku membawanya masuk, Paman. Dia butuh istirahat.”Julian mengangguk lalu mendekati mobil. Ia menatap Nathaniel yang masih terlelap dengan penuh keprihatinan. “Nate? Ayo bangun,” ucapnya sambil mengguncang bahu pemuda itu dengan lembut, berusaha membangunkannya.Nathaniel menggeliat perlahan, wajahnya terlihat ngantuk ketika akhirnya berhasil membuka matanya. Dia menatap ke sekeliling dengan pandangan yang masih samar, mencoba memahami sit
Nathaniel kemudian mengatakan dengan nada pahit, “Jika saja dulu aku tidak terlahir prematur, mungkinkah aku bisa lebih tinggi?”Isabella menggeleng, menegaskan, “Aku tidak peduli dengan itu. Aku menyukaimu yang seperti ini.”Nathaniel masih menggeleng. “Tidak. Tidak ada yang menyukaiku. Bahkan ibuku dulu ingin membunuhku saat aku masih dalam kandungan.” Suaranya terdengar rapuh, mengungkapkan luka yang mendalam.Isabella terkejut mendengar pernyataan Nathaniel. Dia menatap kedua mata Nathaniel yang berkaca-kaca, dan hatinya seperti diremas melihat ekspresi pria itu.“Kau pasti salah paham, Nate,” ucap Isabella dengan lembut, “mana mungkin ada ibu yang ingin membunuh anaknya sendiri?”Nathaniel hanya menggeleng sedih. “Aku bukan anak Elena Alexander,” bisiknya, suaranya terputus-putus. “Aku hanya kesalahan yang diciptakan oleh perempuan itu saat masih duduk di sekolah men
Isabella merasa semakin lelah dengan perdebatan ini. “Kau tidak akan mendapatkan apa yang pernah kau sia-siakan, Henrik.”Ketika Isabella hendak berbalik dan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Henrik memeluknya dari belakang. Isabella merasa kesal dan tanpa berpikir panjang, dia menyikut perut Henrik dengan keras hingga pria itu melepaskan pelukannya.Isabella berbalik menghadap Henrik lagi, tatapan matanya penuh dengan kemarahan. Tanpa ragu dia menampar wajah pria itu dengan keras. “Jangan kurang ajar!” bentaknya dengan suara gemetar karena emosi yang meluap.Henrik tercekat, terdiam sejenak akibat kejutan dari tamparan itu.“Pergi dari sini!” tegas Isabella.Henrik tidak bergeming. Dia maju dan dengan tiba-tiba memeluk Isabella dengan erat. Isabella berusaha meronta dengan sekuat tenaga, tetapi pelukan Henrik begitu kuat sehingga dia kesulitan untuk melepaskan diri. “Lepaskan aku, Henrik!” teriaknya de
“Isabella, aku bisa melakukannya sendiri,” kata Nathaniel dengan nada agak kaku.“Aku tahu kau pasti bisa melakukannya sendiri, tapi aku bisa melakukannya lebih baik darimu,” tegas Isabella. Dengan tangannya yang lembut, ia terus merapikan dasi Nathaniel, memperbaikinya dengan cermat. Nathaniel meskipun enggan, akhirnya pasrah pada bantuannya.Julian yang masih menyaksikan adegan itu, tersenyum lebar. “Kalian seperti suami istri yang saling menyayangi,” ujarnya, mencoba menghangatkan suasana.Isabella tersenyum manis mendengarnya, “Apakah begitu menurutmu, Paman?”Namun Nathaniel segera menolak, “Tidak mungkin.”Nathaniel meraih tas kerjanya yang ada di kursi, kemudian buru-buru pamit pada Julian. “Aku berangkat, Paman.”Julian tak ingin Nathaniel pergi dengan perut kosong, menegur lagi, “Kau harus makan sesuatu dulu, Nate. Jangan sampai lambungmu bermasalah lagi.&