“Isabella, aku bisa melakukannya sendiri,” kata Nathaniel dengan nada agak kaku.
“Aku tahu kau pasti bisa melakukannya sendiri, tapi aku bisa melakukannya lebih baik darimu,” tegas Isabella. Dengan tangannya yang lembut, ia terus merapikan dasi Nathaniel, memperbaikinya dengan cermat. Nathaniel meskipun enggan, akhirnya pasrah pada bantuannya.
Julian yang masih menyaksikan adegan itu, tersenyum lebar. “Kalian seperti suami istri yang saling menyayangi,” ujarnya, mencoba menghangatkan suasana.
Isabella tersenyum manis mendengarnya, “Apakah begitu menurutmu, Paman?”
Namun Nathaniel segera menolak, “Tidak mungkin.”
Nathaniel meraih tas kerjanya yang ada di kursi, kemudian buru-buru pamit pada Julian. “Aku berangkat, Paman.”
Julian tak ingin Nathaniel pergi dengan perut kosong, menegur lagi, “Kau harus makan sesuatu dulu, Nate. Jangan sampai lambungmu bermasalah lagi.&
Isabella yang masih berdiri di samping Nathaniel dengan senyum nakal di bibirnya, tiba-tiba bertanya, “Ada kursi untukku?” dia melihat sekeliling ruangan, mencari kursi yang bisa dia tempati. Ekspresinya penuh dengan kepolosan yang membuatnya terlihat seperti gadis kecil yang mencari tempat duduk di sekolah baru.Nathaniel menatap Isabella dengan wajah lelah. “Tidak ada. Kau tahu sendiri jika kantor BelleVue Books sangat miskin? Kami hanya punya kursi untuk karyawan,” ucapnya.Isabella tanpa rasa malu, membalas dengan candaan, “Kalau begitu, boleh aku duduk di pangkuanmu?”Kata-kata Isabella membuat Nathaniel tersedak ludahnya sendiri. Ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi kaku, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Ruangan tiba-tiba riuh oleh sorakan rekan-rekan Nathaniel yang mendengar ucapan Isabella. Beberapa dari mereka tertawa terbahak-bahak, sedangkan yang lain hanya menunjukkan ekspres
Nathaniel melihat bunga-bunga itu dengan ekspresi agak bosan, “Berhenti membawakanku bunga.”Isabella menangkap getaran kesal dalam kata-kata Nathaniel, “Kenapa? Kau mau dibawakan yang lain? Baiklah, sebutkan saja apa yang kau inginkan?”Sorakan kembali terdengar dari rekan-rekan Nathaniel, membuat suasana di ruangan semakin riuh. Nathaniel menoleh pada teman-temannya dengan ekspresi marah, yang membuat mereka seketika diam.Nathaniel lalu menoleh pada Isabella dengan muka kesal. “Bisa berhenti membuatku kesal?”Isabella menggeleng sambil terus memegang tangkai bunga dengan penuh semangat. “Kenapa semua hal membuatmu kesal? Padahal aku melakukan ini agar kau senang.” Dia bahkan berlutut seperti seorang pangeran sambil menyodorkan bunga-bunga itu.Rekan-rekan Nathaniel menahan tawa, dan Nathaniel pun merasa terjebak dalam situasi yang memalukan. “Seandainya kau bukan perempuan, aku tidak akan seg
Pelayan wanita datang mengantarkan makanan di meja Nathaniel dan Isabella. “Terima kasih,” ucap Nathaniel sopan pada pelayan wanita tersebut.“Sama-sama,” kata pelayan sebelum pergi dengan senyuman ramahnya. Isabella memerhatikan Nathaniel yang ramah pada orang lain.“Kenapa kau ramah begitu? Tapi padaku kau jutek sekali,” tanya Isabella.“Kau pikir kenapa?” balas Nathaniel sambil memotong steaknya dengan hati-hati.“Kenapa?” tanya Isabella, ingin mendapatkan jawaban pasti.“Karena aku tidak bisa ramah pada perempuan menyebalkan seperti dirimu,” jawab Nathaniel dengan jujur sambil tetap fokus pada hidangannya.“Ku kutuk kau jatuh cinta padaku,” ucap Isabella, mencoba menggoda Nathaniel.“Mimpi saja kau,” balas Nathaniel sambil mengunyah makanannya dengan cepat— karena sebelumnya tidak sarapan, kali ini Nathaniel merasa lapar sekali. I
Isabella tersenyum tipis, tetapi masih terlihat sedikit cemas. “Aku akan langsung ke kantor BelleVue Books setelah menyelesaikan urusan dengan Evergreen Publishing,” tambahnya.Nathaniel mengangguk, menenangkan Isabella, “Baiklah, aku menunggumu.”Isabella merasa lega mendengar jawaban Nathaniel yang tidak sedingin biasanya. Isabella berharap jika permintaan maaf tulus darinya benar-benar membuat pria itu luluh, dan memaafkannya.“Terima kasih, Nate. Aku pergi dulu,” ucapnya dengan senyum tulus sebelum meninggalkan Nathaniel dalam keheningan ruangan.Setelah kepergian Isabella, Nathaniel terdiam, membiarkan pikirannya melayang pada ingatan-ingatan yang baru saja terbentuk selama percakapan dengan Isabella. Setiap kata yang diucapkannya masih tergantung di udara. Hingga sebuah suara memecah keheningan, “Nathaniel Alexander?” panggil seseorang.Nathaniel menoleh perlahan, melihat sosok Henrik Mueller ya
Nathaniel yang kini sudah merebahkan tubuhnya di atas sofa berbicara pada teman-temannya. “Kalian sibuklah dulu, aku akan tidur sebentar.” Matanya perlahan-lahan terpejam, dan napasnya menjadi lebih tenang.“Baik, tidurlah Yang Mulia,” sindir Luciana. Namun tak ada sahutan dari Nathaniel, membuat Luciana menoleh ke arah sofa yang ditempati oleh Nathaniel. Pemuda itu sudah mendapatkan posisi nyaman untuk tidur.“Sindiranku tidak terdengar, ya?” tanya Luciana sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya mengedit naskah.Beberapa saat kemudian, napas Nathaniel menjadi lebih dalam dan teratur. Dia benar-benar tertidur lelap di sofa, dan mengabaikan semua kegiatan di sekitarnya.Tiba-tiba, pintu kantor terbuka dan Isabella kembali. Matanya langsung tertuju pada Nathaniel yang tertidur di sofa. Dia terkejut melihat pemandangan itu, tapi cepat menyadari bahwa dia tidak boleh mengganggu.“Isabella, darimana saja...&rd
Andreas menatap Nathaniel dengan serius. “Bukankah tadi kau bilang tidak bisa berkonsentrasi karena mendengar keributan Felix dan yang lain?”“Ya— tapi bukan berarti saya ingin pindah ruangan, Pak,” jawab Nathaniel bingung. Andreas manggut-manggut, lalu menoleh pada Felix, Luciana dan Clara. “Baiklah, kalau begitu kalian bertiga saja yang pindah ke ruangan lain. Karena ruangan ini akan digunakan oleh Nathaniel dan Isabella saja.”“Bukan begitu, Pak!!” Nathaniel merasa putus asa karena Andreas tidak memahami situasinya. “Saya hanya tidak ingin berduaan saja dengan Isabella,” jelas Nathaniel pada akhirnya.Isabelle melirik Nathaniel dengan ekspresi tersinggung. “Bisa-bisanya kau mengatakan hal itu saat aku masih ada di sini, Nate? Kau sungguh menyinggung perasaanku,” ucap Isabella.Nathaniel kaget saat tiba-tiba saja Isabella bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan ruang
Isabella melepaskan nafasnya dengan berat. “Aku serius, Nate. Aku tidak mungkin menyukai pria pengkhianat seperti Henrik, dia hanya masa lalu bagiku,” jelasnya, mencoba meyakinkan Nathaniel tentang perasaannya.Nathaniel tetap diam, tetapi pandangannya tetap tajam saat menatap Isabella. “Kau tidak perlu menjelaskan itu padaku, Isabella. Lagipula aku tidak peduli dengan kehidupan pribadimu,” ucapnya dengan dingin sebelum berbalik pergi, meninggalkan Isabella sendirian dengan pikirannya.Isabella mengejar Nathaniel dengan langkah cepat. “Tunggu dulu, Nate. Kenapa kau bilang jika Henrik merasa aku masih mencintainya?” tanyanya penasaran.Nathaniel menjelaskan sambil terus berjalan, “Tadi aku sempat bertemu dengannya di café.”“Di café? Kenapa aku tidak tahu?” Isabella bingung.“Aku bertemu dengannya saat kau baru saja pergi,” jelas Nathaniel dengan singkat.Is
Isabella masih dalam posisi duduk di lantai dengan tubuh gemetaran, mencoba untuk menghubungi Nathaniel. Dia mencari kontrak Nathaniel dan segera menekan tombol call. Tak lama kemudian, panggilan tersambung, “Nate! Tolong aku—” serunya, namun sebelum dia bisa melanjutkan, ponselnya tiba-tiba dirampas oleh Hugo.“Apa kau pikir aku akan membiarkanmu mencari bantuan?” ujar Hugo sambil menatap Isabella dengan sinis. Dia kemudian melemparkan ponsel Isabella dengan kasar, menghasilkan suara hantaman keras saat ponsel itu membentur dinding. Isabella merasa takut dan putus asa saat menyadari jika kini ia terjebak dalam situasi yang semakin mencekam.“Isabella, apa yang terjadi?” Tanya Nathaniel panik saat mendengar suara teriakan Isabella diikuti benturan keras. Jantungnya berdegup kencang, terlebih saat tidak ada jawaban lagi dari Isabella. Nathaniel merasa kepanikan merayapi setiap serat tubuhnya, merasa yakin bahwa sesuatu