Pelayan wanita datang mengantarkan makanan di meja Nathaniel dan Isabella. “Terima kasih,” ucap Nathaniel sopan pada pelayan wanita tersebut.
“Sama-sama,” kata pelayan sebelum pergi dengan senyuman ramahnya. Isabella memerhatikan Nathaniel yang ramah pada orang lain.
“Kenapa kau ramah begitu? Tapi padaku kau jutek sekali,” tanya Isabella.
“Kau pikir kenapa?” balas Nathaniel sambil memotong steaknya dengan hati-hati.
“Kenapa?” tanya Isabella, ingin mendapatkan jawaban pasti.
“Karena aku tidak bisa ramah pada perempuan menyebalkan seperti dirimu,” jawab Nathaniel dengan jujur sambil tetap fokus pada hidangannya.
“Ku kutuk kau jatuh cinta padaku,” ucap Isabella, mencoba menggoda Nathaniel.
“Mimpi saja kau,” balas Nathaniel sambil mengunyah makanannya dengan cepat— karena sebelumnya tidak sarapan, kali ini Nathaniel merasa lapar sekali. I
Isabella tersenyum tipis, tetapi masih terlihat sedikit cemas. “Aku akan langsung ke kantor BelleVue Books setelah menyelesaikan urusan dengan Evergreen Publishing,” tambahnya.Nathaniel mengangguk, menenangkan Isabella, “Baiklah, aku menunggumu.”Isabella merasa lega mendengar jawaban Nathaniel yang tidak sedingin biasanya. Isabella berharap jika permintaan maaf tulus darinya benar-benar membuat pria itu luluh, dan memaafkannya.“Terima kasih, Nate. Aku pergi dulu,” ucapnya dengan senyum tulus sebelum meninggalkan Nathaniel dalam keheningan ruangan.Setelah kepergian Isabella, Nathaniel terdiam, membiarkan pikirannya melayang pada ingatan-ingatan yang baru saja terbentuk selama percakapan dengan Isabella. Setiap kata yang diucapkannya masih tergantung di udara. Hingga sebuah suara memecah keheningan, “Nathaniel Alexander?” panggil seseorang.Nathaniel menoleh perlahan, melihat sosok Henrik Mueller ya
Nathaniel yang kini sudah merebahkan tubuhnya di atas sofa berbicara pada teman-temannya. “Kalian sibuklah dulu, aku akan tidur sebentar.” Matanya perlahan-lahan terpejam, dan napasnya menjadi lebih tenang.“Baik, tidurlah Yang Mulia,” sindir Luciana. Namun tak ada sahutan dari Nathaniel, membuat Luciana menoleh ke arah sofa yang ditempati oleh Nathaniel. Pemuda itu sudah mendapatkan posisi nyaman untuk tidur.“Sindiranku tidak terdengar, ya?” tanya Luciana sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya mengedit naskah.Beberapa saat kemudian, napas Nathaniel menjadi lebih dalam dan teratur. Dia benar-benar tertidur lelap di sofa, dan mengabaikan semua kegiatan di sekitarnya.Tiba-tiba, pintu kantor terbuka dan Isabella kembali. Matanya langsung tertuju pada Nathaniel yang tertidur di sofa. Dia terkejut melihat pemandangan itu, tapi cepat menyadari bahwa dia tidak boleh mengganggu.“Isabella, darimana saja...&rd
Andreas menatap Nathaniel dengan serius. “Bukankah tadi kau bilang tidak bisa berkonsentrasi karena mendengar keributan Felix dan yang lain?”“Ya— tapi bukan berarti saya ingin pindah ruangan, Pak,” jawab Nathaniel bingung. Andreas manggut-manggut, lalu menoleh pada Felix, Luciana dan Clara. “Baiklah, kalau begitu kalian bertiga saja yang pindah ke ruangan lain. Karena ruangan ini akan digunakan oleh Nathaniel dan Isabella saja.”“Bukan begitu, Pak!!” Nathaniel merasa putus asa karena Andreas tidak memahami situasinya. “Saya hanya tidak ingin berduaan saja dengan Isabella,” jelas Nathaniel pada akhirnya.Isabelle melirik Nathaniel dengan ekspresi tersinggung. “Bisa-bisanya kau mengatakan hal itu saat aku masih ada di sini, Nate? Kau sungguh menyinggung perasaanku,” ucap Isabella.Nathaniel kaget saat tiba-tiba saja Isabella bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan ruang
Isabella melepaskan nafasnya dengan berat. “Aku serius, Nate. Aku tidak mungkin menyukai pria pengkhianat seperti Henrik, dia hanya masa lalu bagiku,” jelasnya, mencoba meyakinkan Nathaniel tentang perasaannya.Nathaniel tetap diam, tetapi pandangannya tetap tajam saat menatap Isabella. “Kau tidak perlu menjelaskan itu padaku, Isabella. Lagipula aku tidak peduli dengan kehidupan pribadimu,” ucapnya dengan dingin sebelum berbalik pergi, meninggalkan Isabella sendirian dengan pikirannya.Isabella mengejar Nathaniel dengan langkah cepat. “Tunggu dulu, Nate. Kenapa kau bilang jika Henrik merasa aku masih mencintainya?” tanyanya penasaran.Nathaniel menjelaskan sambil terus berjalan, “Tadi aku sempat bertemu dengannya di café.”“Di café? Kenapa aku tidak tahu?” Isabella bingung.“Aku bertemu dengannya saat kau baru saja pergi,” jelas Nathaniel dengan singkat.Is
Isabella masih dalam posisi duduk di lantai dengan tubuh gemetaran, mencoba untuk menghubungi Nathaniel. Dia mencari kontrak Nathaniel dan segera menekan tombol call. Tak lama kemudian, panggilan tersambung, “Nate! Tolong aku—” serunya, namun sebelum dia bisa melanjutkan, ponselnya tiba-tiba dirampas oleh Hugo.“Apa kau pikir aku akan membiarkanmu mencari bantuan?” ujar Hugo sambil menatap Isabella dengan sinis. Dia kemudian melemparkan ponsel Isabella dengan kasar, menghasilkan suara hantaman keras saat ponsel itu membentur dinding. Isabella merasa takut dan putus asa saat menyadari jika kini ia terjebak dalam situasi yang semakin mencekam.“Isabella, apa yang terjadi?” Tanya Nathaniel panik saat mendengar suara teriakan Isabella diikuti benturan keras. Jantungnya berdegup kencang, terlebih saat tidak ada jawaban lagi dari Isabella. Nathaniel merasa kepanikan merayapi setiap serat tubuhnya, merasa yakin bahwa sesuatu
Dengan hati-hati, Isabella melepaskan genggamannya dari tangan Nathaniel, mencoba tidak membangunkannya. Ia diam-diam menatap wajah Nathaniel, membiarkan dirinya terpesona oleh tampan yang terlihat sangat lembut ketika ia tertidur.Bayangan kejadian semalam masih menghantui pikirannya, namun entah kenapa Isabella sama sekali tidak merasa takut lagi selama ada Nathaniel di sampingnya.Isabella bangkit dari sofa, menjaga agar tidak mengganggu tidur Nathaniel. Dia duduk di sampingnya, menatap pria yang begitu berarti baginya. Isabella merenung sejenak, menyesali bahwa peristiwa semalam membuat Nathaniel harus tidur dengan posisi seperti ini.Nathaniel akhirnya terbangun dari tidurnya yang lelap. Ia segera melihat Isabella yang sudah bangun, bahkan memerhatikan wajahnya dari jarak dekat. “Kenapa tidak membangunkanku?” protes Nathaniel.“Seperti yang pernah dibilang paman Julian, tidak akan ada orang yang tega membangunkan tidurmu yang sepert
“Kau masih saja pemalu,” ucap Julian, membuat Nathaniel gelagapan. “Paman, tidak seperti itu. Semalam terjadi sesuatu yang buruk pada Isabella, aku hanya menolongnya, tidak lebih.” “Astaga, apa yang terjadi pada Isabella?” Julian merasa cemas. “Panjang ceritanya, Paman. Aku akan menceritakannya saat pulang nanti,” ucap Nathaniel. “Baiklah, kau harus menceritakan semuanya padaku nanti. Aku masih akan marah, tapi yang penting kau dan Isabella baik-baik saja,” ucap Julian. Nathaniel hanya bisa mengangguk meskipun tahu bahwa Julian tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Paman,” kata Nathaniel sebelum menutup panggilan. Isabella selesai memasak sarapan. Dengan hati gembira, dia meletakkan dua piring omelet di atas meja makan, lalu berteriak memanggil Nathaniel. “Nate, sarapannya sudah siap!” Nathaniel yang baru menyimpan ponselnya, menoleh pada Isabella lalu bergegas menuju ruang makan. Dia langsung duduk di kursi yang tersedia, dan Isabella dengan senyum lebar mendorong piring omelet
Nathaniel mengabaikan ledekan Isbalela, lalu membuka penutup obat krim yang akan ia gunakan untuk mengobati Isabella. “Mendekatlah,” ucap Nathaniel setelah mengeluarkan sedikit krim pada ujung jari telunjuknya.Isabella tanpa ragu langsung mendekatkan wajahnya pada Nathaniel, begitu dekat hingga seperti orang yang hendak mencium.Nathaniel menahan muka Isabella dengan sebelah tangannya, “Jangan sedekat ini, bodoh. Jika kau masih saja mengerjaiku, lebih baik obati lukamu sendiri.”Isabella tersentak kaget, “Tidak! Tidak! Oke, maafkan aku. Aku ingin kau saja yang mengobatiku.”Akhirnya, Isabella sedikit menjauhkan wajahnya dari Nathaniel, memperhatikan ekspresi wajahnya yang serius. Nathaniel mulai mengoles obat krim di wajah Isabella, mencoba menyelesaikan tugasnya dengan serius meskipun masih merasakan kekesalan dalam hatinya.Nathaniel terus mengobati luka memar di wajah Isabella dengan hati-hati. Saat obat krim