Isabella masih dalam posisi duduk di lantai dengan tubuh gemetaran, mencoba untuk menghubungi Nathaniel. Dia mencari kontrak Nathaniel dan segera menekan tombol call. Tak lama kemudian, panggilan tersambung, “Nate! Tolong aku—” serunya, namun sebelum dia bisa melanjutkan, ponselnya tiba-tiba dirampas oleh Hugo.
“Apa kau pikir aku akan membiarkanmu mencari bantuan?” ujar Hugo sambil menatap Isabella dengan sinis. Dia kemudian melemparkan ponsel Isabella dengan kasar, menghasilkan suara hantaman keras saat ponsel itu membentur dinding. Isabella merasa takut dan putus asa saat menyadari jika kini ia terjebak dalam situasi yang semakin mencekam.
“Isabella, apa yang terjadi?” Tanya Nathaniel panik saat mendengar suara teriakan Isabella diikuti benturan keras. Jantungnya berdegup kencang, terlebih saat tidak ada jawaban lagi dari Isabella. Nathaniel merasa kepanikan merayapi setiap serat tubuhnya, merasa yakin bahwa sesuatu
Dengan hati-hati, Isabella melepaskan genggamannya dari tangan Nathaniel, mencoba tidak membangunkannya. Ia diam-diam menatap wajah Nathaniel, membiarkan dirinya terpesona oleh tampan yang terlihat sangat lembut ketika ia tertidur.Bayangan kejadian semalam masih menghantui pikirannya, namun entah kenapa Isabella sama sekali tidak merasa takut lagi selama ada Nathaniel di sampingnya.Isabella bangkit dari sofa, menjaga agar tidak mengganggu tidur Nathaniel. Dia duduk di sampingnya, menatap pria yang begitu berarti baginya. Isabella merenung sejenak, menyesali bahwa peristiwa semalam membuat Nathaniel harus tidur dengan posisi seperti ini.Nathaniel akhirnya terbangun dari tidurnya yang lelap. Ia segera melihat Isabella yang sudah bangun, bahkan memerhatikan wajahnya dari jarak dekat. “Kenapa tidak membangunkanku?” protes Nathaniel.“Seperti yang pernah dibilang paman Julian, tidak akan ada orang yang tega membangunkan tidurmu yang sepert
“Kau masih saja pemalu,” ucap Julian, membuat Nathaniel gelagapan. “Paman, tidak seperti itu. Semalam terjadi sesuatu yang buruk pada Isabella, aku hanya menolongnya, tidak lebih.” “Astaga, apa yang terjadi pada Isabella?” Julian merasa cemas. “Panjang ceritanya, Paman. Aku akan menceritakannya saat pulang nanti,” ucap Nathaniel. “Baiklah, kau harus menceritakan semuanya padaku nanti. Aku masih akan marah, tapi yang penting kau dan Isabella baik-baik saja,” ucap Julian. Nathaniel hanya bisa mengangguk meskipun tahu bahwa Julian tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Paman,” kata Nathaniel sebelum menutup panggilan. Isabella selesai memasak sarapan. Dengan hati gembira, dia meletakkan dua piring omelet di atas meja makan, lalu berteriak memanggil Nathaniel. “Nate, sarapannya sudah siap!” Nathaniel yang baru menyimpan ponselnya, menoleh pada Isabella lalu bergegas menuju ruang makan. Dia langsung duduk di kursi yang tersedia, dan Isabella dengan senyum lebar mendorong piring omelet
Nathaniel mengabaikan ledekan Isbalela, lalu membuka penutup obat krim yang akan ia gunakan untuk mengobati Isabella. “Mendekatlah,” ucap Nathaniel setelah mengeluarkan sedikit krim pada ujung jari telunjuknya.Isabella tanpa ragu langsung mendekatkan wajahnya pada Nathaniel, begitu dekat hingga seperti orang yang hendak mencium.Nathaniel menahan muka Isabella dengan sebelah tangannya, “Jangan sedekat ini, bodoh. Jika kau masih saja mengerjaiku, lebih baik obati lukamu sendiri.”Isabella tersentak kaget, “Tidak! Tidak! Oke, maafkan aku. Aku ingin kau saja yang mengobatiku.”Akhirnya, Isabella sedikit menjauhkan wajahnya dari Nathaniel, memperhatikan ekspresi wajahnya yang serius. Nathaniel mulai mengoles obat krim di wajah Isabella, mencoba menyelesaikan tugasnya dengan serius meskipun masih merasakan kekesalan dalam hatinya.Nathaniel terus mengobati luka memar di wajah Isabella dengan hati-hati. Saat obat krim
Henrik menatap Hugo dengan dingin. “Apa maumu?” tanyanya tanpa ekspresi.“Beri aku uang! Sebelumnya kau menjanjikan hal itu,” desak Hugo dengan nada memaksa.“Aku tidak akan memberimu apa pun. Kau juga tidak berhasil membuatku jadi pahlawan bagi Isabella,” tegas Henrik, tanpa sedikit pun merasa bersalah.Hugo merasa semakin kesal. “Aku sudah melakukan apa yang kau suruh! Aku sudah jadi ayah bajingan yang mengancam putriku sendiri!” bentaknya dengan nada marah.“Bukankah sejak dulu kau memang bajingan?” sindir Henrik dengan nada mengejek, sebelum akhirnya meninggalkan Hugo.“Brengsek kau, Henrik! Awas saja, jika kau butuh bantuanku lagi, aku tidak akan sudi membantumu!” teriak Hugo dengan nada penuh amarah, namun Henrik berniat tidak memedulikan teriakan kesal itu. Namun setelah beberapa langkah meninggalkan Hugo, Henrik mulai berubah pikiran. Pria muda itu menghampiri Hugo samb
Nathaniel makin bingung harus bersikap bagaimana, hingga akhirnya memutuskan untuk mengalihkan perhatian. “Lebih baik kita berangkat ke kantor sekarang.”Nathaniel berjalan lebih dulu ke depan, dan Isabella segera mengejar langkahnya. "Tunggu aku, Nate. Kenapa kau terburu-buru sekali?"Julian hanya bisa menatap kepergian mereka sambil menggeleng-geleng kepala.Beberapa saat kemudian Nathaniel dan Isabella duduk di ruangan mereka, fokus membahas proyek novel Isabella. Mulai hari ini, Isabella dan Nathaniel memang menempati ruangan khusus yang hanya ditempati oleh mereka saja— hingga mereka bisa bekerja lebih fokus tanpa suara riuh Felix dan yang lain. Setelah menulis beberapa poin outline yang baru ia buat, Isabella menunjukkannya pada Nathaniel. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada Nathaniel.Nathaniel membacanya dengan seksama sebelum memberikan masukan. “Isabella, menurutku opening ini sangat menarik
“Aku tidak ingat memiliki kenangan manis itu denganmu, yang aku ingat hanya pengkhianatanmu,” Isabella mengatakan itu tanpa menatap Henrik, seolah ia muak hanya dengan menatap wajah pria yang pernah menjadi kekasihnya itu.“Aku akan menebusnya dengan cara apa pun asal kau memberiku kesempatan,” Henrik memandang Isabella dengan penuh kesungguhan. Isabella mengabaikan ucapan itu, ia terlalu lelah untuk berdebat dengan tema yang sama seperti sebelum-sebelumnya.Melihat kediaman Isabella, Henrik mulai melancarkan aksinya memberikan perhatian-perhatian yang mungkin dibutuhkan oleh Isabella.“Kau sepertinya sedang banyak pikiran? Apa kau sedang ada masalah?” tanya Henrik dengan ramah. “Kau bisa menceritakannya padaku, Bella. Aku pasti akan membantumu.”“Siapa kau hingga aku harus menceritakan masalahku padamu?” sindir Isabella dengan nada dingin.Henrik tetap tenang dan berkata, “Setidakny
Felix hendak duduk di bangku terdekat, namun Isabella segera menunjuk ke dalam cafe. “Bagaimana jika kita duduk di dalam saja? Ku rasa di sana lebih sejuk,” usulnya. Luciana dan Clara dengan cepat setuju dengan saran Isabella. Isabella merasa lega ketika semua orang setuju dengan sarannya. Sejatinya, ia hanya tidak ingin terus menjadi pusat perhatian Henrik. Keberadaannya di sana membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Setelah masuk ke dalam cafe dan duduk di salah satu sudut, Isabella mulai mengedarkan pandangannya, mencari sosok Nathaniel. Beberapa saat mencari, akhirnya Isabella melihat Nathaniel yang sedang berbicara pada salah seorang pelayan. Tak lama kemudian, Nathaniel seolah selesai memesan dan meninggalkan pelayan tersebut. Isabella mengangkat tangannya agar Nathaniel tahu di mana mereka duduk. Nathaniel melihat Isabella dan berjalan menghampiri mereka, lalu duduk bergabung di meja mereka. “Aku tadi hanya memesan beef wrap untuk kalian, apa kalian tidak keberatan?” tanya
Tak lama setelah Nathaniel menolak panggilan itu, nyatanya beberapa saat kemudian ponselnya kembali berdering. Nathaniel terdiam, dadanya berdenyut cepat menyadari jika kemungkinan besar seseorang yang menghubunginya adalah Elena. Isabella yang masih berdiri di hadapan Nathaniel melihat kegelisahan di wajah pemuda itu.“Kenapa kau tidak mengangkatnya? Siapa tahu penting,” saran Isabella pada akhirnya. Meski pemuda itu sempat menolak panggilan itu, entah kenapa Isabella merasa jika sebenarnya Nathaniel sangat ingin menjawabnya.“Tidak penting,” sahut Nathaniel cepat, namun suaranya tidak yakin.Setelah ponselnya berhenti berdering, Nathaniel memutuskan pergi meninggalkan Isabella. Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, ponselnya berdering lagi. Ini membuatnya berhenti, ekspresinya terlihat ragu, seolah ingin mengangkat panggilan itu.“Angkatlah, Nate. Aku tahu kau ingin melakukannya,” ucap Isabella, membaca kebimban