Nathaniel makin bingung harus bersikap bagaimana, hingga akhirnya memutuskan untuk mengalihkan perhatian. “Lebih baik kita berangkat ke kantor sekarang.”
Nathaniel berjalan lebih dulu ke depan, dan Isabella segera mengejar langkahnya. "Tunggu aku, Nate. Kenapa kau terburu-buru sekali?"
Julian hanya bisa menatap kepergian mereka sambil menggeleng-geleng kepala.
Beberapa saat kemudian Nathaniel dan Isabella duduk di ruangan mereka, fokus membahas proyek novel Isabella. Mulai hari ini, Isabella dan Nathaniel memang menempati ruangan khusus yang hanya ditempati oleh mereka saja— hingga mereka bisa bekerja lebih fokus tanpa suara riuh Felix dan yang lain. Setelah menulis beberapa poin outline yang baru ia buat, Isabella menunjukkannya pada Nathaniel. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada Nathaniel.
Nathaniel membacanya dengan seksama sebelum memberikan masukan. “Isabella, menurutku opening ini sangat menarik
“Aku tidak ingat memiliki kenangan manis itu denganmu, yang aku ingat hanya pengkhianatanmu,” Isabella mengatakan itu tanpa menatap Henrik, seolah ia muak hanya dengan menatap wajah pria yang pernah menjadi kekasihnya itu.“Aku akan menebusnya dengan cara apa pun asal kau memberiku kesempatan,” Henrik memandang Isabella dengan penuh kesungguhan. Isabella mengabaikan ucapan itu, ia terlalu lelah untuk berdebat dengan tema yang sama seperti sebelum-sebelumnya.Melihat kediaman Isabella, Henrik mulai melancarkan aksinya memberikan perhatian-perhatian yang mungkin dibutuhkan oleh Isabella.“Kau sepertinya sedang banyak pikiran? Apa kau sedang ada masalah?” tanya Henrik dengan ramah. “Kau bisa menceritakannya padaku, Bella. Aku pasti akan membantumu.”“Siapa kau hingga aku harus menceritakan masalahku padamu?” sindir Isabella dengan nada dingin.Henrik tetap tenang dan berkata, “Setidakny
Felix hendak duduk di bangku terdekat, namun Isabella segera menunjuk ke dalam cafe. “Bagaimana jika kita duduk di dalam saja? Ku rasa di sana lebih sejuk,” usulnya. Luciana dan Clara dengan cepat setuju dengan saran Isabella. Isabella merasa lega ketika semua orang setuju dengan sarannya. Sejatinya, ia hanya tidak ingin terus menjadi pusat perhatian Henrik. Keberadaannya di sana membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Setelah masuk ke dalam cafe dan duduk di salah satu sudut, Isabella mulai mengedarkan pandangannya, mencari sosok Nathaniel. Beberapa saat mencari, akhirnya Isabella melihat Nathaniel yang sedang berbicara pada salah seorang pelayan. Tak lama kemudian, Nathaniel seolah selesai memesan dan meninggalkan pelayan tersebut. Isabella mengangkat tangannya agar Nathaniel tahu di mana mereka duduk. Nathaniel melihat Isabella dan berjalan menghampiri mereka, lalu duduk bergabung di meja mereka. “Aku tadi hanya memesan beef wrap untuk kalian, apa kalian tidak keberatan?” tanya
Tak lama setelah Nathaniel menolak panggilan itu, nyatanya beberapa saat kemudian ponselnya kembali berdering. Nathaniel terdiam, dadanya berdenyut cepat menyadari jika kemungkinan besar seseorang yang menghubunginya adalah Elena. Isabella yang masih berdiri di hadapan Nathaniel melihat kegelisahan di wajah pemuda itu.“Kenapa kau tidak mengangkatnya? Siapa tahu penting,” saran Isabella pada akhirnya. Meski pemuda itu sempat menolak panggilan itu, entah kenapa Isabella merasa jika sebenarnya Nathaniel sangat ingin menjawabnya.“Tidak penting,” sahut Nathaniel cepat, namun suaranya tidak yakin.Setelah ponselnya berhenti berdering, Nathaniel memutuskan pergi meninggalkan Isabella. Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, ponselnya berdering lagi. Ini membuatnya berhenti, ekspresinya terlihat ragu, seolah ingin mengangkat panggilan itu.“Angkatlah, Nate. Aku tahu kau ingin melakukannya,” ucap Isabella, membaca kebimban
Mobil berhenti di depan parkiran rumah sakit. Nathaniel dan Isabella segera turun dari mobil. Nathaniel yang cemas dengan keadaan Camilia, melangkah terburu-buru menuju pintu masuk rumah sakit. Dalam kecepatannya, dia tidak menyadari seorang pengunjung rumah sakit yang berjalan di hadapannya. Tubuh mereka bertabrakan dengan keras, menyebabkan barang-barang pengunjung itu berserakan di lantai. Nathaniel kaget melihat itu.“Apa kau tidak memakai matamu saat berjalan? Kau membuat barang-barangku berantakan!” bentak pria paruh baya di hadapan Nathaniel dengan wajah murka.“Maafkan aku,” ucapnya dengan cepat, berusaha membantu mengumpulkan barang-barang yang berserakan di lantai.Pria di hadapannya masih mencurahkan kekesalan meski Nathaniel sudah minta maaf. “Kau adalah pria dewasa, kenapa kau tidak paham sopan santun saat berada di tempat umum?”Isabella yang menyaksikan kejadian itu, jadi kesal dengan sikap pengunjung rum
Elena keluar dari ruang rawat Camilia dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat basah oleh airmata. Berusaha untuk menenangkan diri, Elena bersandar di dinding lorong rumah sakit sembari mengusap jejak airmata di pipinya. Bahunya sedikit bergetar, dan airmatanya tak berhenti meleleh di wajahnya. Gabriel menyusul keluar dari ruang rawat, melihat Elena dengan wajah iba. Ia mendekati Elena, lalu menghebuskan napas berat. “Elena,” panggil Gabriel. Elena tak menanggapi panggilan itu, namun Gabriel cukup tahu jika Elena mendengarkannya. “Bukankah kau merindukan putramu? Kenapa kau malah keluar?” Elena terdiam sejenak, sibuk mengeringkan sisa airmata di wajahnya. Setelah memastikan wajahnya bersih dari airmata, Elena mengangkat pandangannya ke arah Gabriel, berusaha terlihat tegar di depan ayahnya. “Aku hanya tidak ingin merusak suasana,” jawab Elena. Gabriel mengusap lembut bahu Elena sebagai bentuk dukungan. “Sudah lima belas tahun, Elena. Hubunganmu dan Nate
Elena dan Isabella masih duduk bersisian di ruang tunggu rumah sakit, dibayangi oleh keheningan yang menggelayuti ruangan itu. Elena menunduk menatap lantai keramik rumah sakit dengan tatapan kosong, sementara Isabella duduk di sampingnya dengan ekspresi bingung. “Lima belas tahun ini, aku jarang bisa bertemu dengan Nate. Dia selalu menghindariku,” ucap Elena dengan suara lirih, memecah keheningan. Isabella terdiam, ia tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Isabella bisa merasakan kesedihan Elena, tapi ia juga memahami luka dan kekecewaan yang dirasakan Nathaniel. “Jika kau memang dekat dengan Nate, kemungkinan besar kau sudah tahu hubunganku dengan Nate,” tebak Elena yang dijawab dengan anggukan oleh Isabella. “Aku mengetahuinya secara tidak sengaja,” jawab Isabella. Masih terbayang jelas dalam ingatan Isabella, saat ia dan Nathaniel tanpa sengaja bertemu dengan Harry— seorang wartawan dari salah satu media infotaiment, wartawan yang membe
Isabella berjalan melintasi lorong rumah sakit dengan hati yang lega, bibirnya menyungging senyum membayangkan Nathaniel dan Elena mungkin saja bisa berbaikan dalam waktu dekat. Meski terlihat dingin dan jutek di luar, namun Isabella tahu jika Nathaniel memiliki hati yang lembut seperti gula kapas— dan ia yakin jika pemuda itu akan segera memaafkan Elena jika perempuan itu menunjukkan ketulusannya.Jika Nathaniel dan Elena memang berhasil berbaikan, itu berarti Isabella akan jadi orang yang paling berjasa, dan sudah pasti akan menguntungkan posisinya, karena secara tidak langsung ia sudah menjadi dekat dengan calon ibu mertuanya. Isabella tersenyum geli saat membayangkan memiliki ibu mertua yang semuda dan secantik Elena, membayangkan hal itu saja cukup membuat Isabella merasa insecure.Saat melangkah menuju ke lobby rumah sakit, tanpa sengaja Isabella melihat seorang wanita yang sedang menangis di depan meja administrasi. Dia memutuskan untuk mendekati
Untuk beberapa saat, suasana di ruangan rawat tersebut terasa hening. Isabella dan Elise terjebak dalam kecanggungan yang menggantung di udara. Baik Elise dan Isabella tak tahu lagi harus membahas hal apa untuk mencairkan suasana.Keheningan itu terputus ketika terdengar suara rengekan putra Elise. Isabella langsung menoleh pada balita berambut pirang yang baru saja terbangun tidurnya sambil menangis, seolah masih merasa tidak nyaman dengan keadaannya.“Mommy...” gumam Oliver di antara isakannya.Elise segera mendekat pada putranya, mengusap puncak kepalanya lalu mengecupnya. “Mommy di sini, Sayang. Kau merasa tidak nyaman?” tanya Elise dengan suara lembut.“Kepalaku pusing,” jawab Oliver setengah menangis.Elise mengusap usap kepalanya dengan lembut. “Pergilah, pusing. Jangan ganggu anak mommy.”Isabella melihat bagaimana Elise memperlakukan putranya dengan penuh kasih sayang. Meskipun dia ada