Elena dan Isabella masih duduk bersisian di ruang tunggu rumah sakit, dibayangi oleh keheningan yang menggelayuti ruangan itu. Elena menunduk menatap lantai keramik rumah sakit dengan tatapan kosong, sementara Isabella duduk di sampingnya dengan ekspresi bingung.
“Lima belas tahun ini, aku jarang bisa bertemu dengan Nate. Dia selalu menghindariku,” ucap Elena dengan suara lirih, memecah keheningan.Isabella terdiam, ia tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Isabella bisa merasakan kesedihan Elena, tapi ia juga memahami luka dan kekecewaan yang dirasakan Nathaniel.“Jika kau memang dekat dengan Nate, kemungkinan besar kau sudah tahu hubunganku dengan Nate,” tebak Elena yang dijawab dengan anggukan oleh Isabella.“Aku mengetahuinya secara tidak sengaja,” jawab Isabella. Masih terbayang jelas dalam ingatan Isabella, saat ia dan Nathaniel tanpa sengaja bertemu dengan Harry— seorang wartawan dari salah satu media infotaiment, wartawan yang membeIsabella berjalan melintasi lorong rumah sakit dengan hati yang lega, bibirnya menyungging senyum membayangkan Nathaniel dan Elena mungkin saja bisa berbaikan dalam waktu dekat. Meski terlihat dingin dan jutek di luar, namun Isabella tahu jika Nathaniel memiliki hati yang lembut seperti gula kapas— dan ia yakin jika pemuda itu akan segera memaafkan Elena jika perempuan itu menunjukkan ketulusannya.Jika Nathaniel dan Elena memang berhasil berbaikan, itu berarti Isabella akan jadi orang yang paling berjasa, dan sudah pasti akan menguntungkan posisinya, karena secara tidak langsung ia sudah menjadi dekat dengan calon ibu mertuanya. Isabella tersenyum geli saat membayangkan memiliki ibu mertua yang semuda dan secantik Elena, membayangkan hal itu saja cukup membuat Isabella merasa insecure.Saat melangkah menuju ke lobby rumah sakit, tanpa sengaja Isabella melihat seorang wanita yang sedang menangis di depan meja administrasi. Dia memutuskan untuk mendekati
Untuk beberapa saat, suasana di ruangan rawat tersebut terasa hening. Isabella dan Elise terjebak dalam kecanggungan yang menggantung di udara. Baik Elise dan Isabella tak tahu lagi harus membahas hal apa untuk mencairkan suasana.Keheningan itu terputus ketika terdengar suara rengekan putra Elise. Isabella langsung menoleh pada balita berambut pirang yang baru saja terbangun tidurnya sambil menangis, seolah masih merasa tidak nyaman dengan keadaannya.“Mommy...” gumam Oliver di antara isakannya.Elise segera mendekat pada putranya, mengusap puncak kepalanya lalu mengecupnya. “Mommy di sini, Sayang. Kau merasa tidak nyaman?” tanya Elise dengan suara lembut.“Kepalaku pusing,” jawab Oliver setengah menangis.Elise mengusap usap kepalanya dengan lembut. “Pergilah, pusing. Jangan ganggu anak mommy.”Isabella melihat bagaimana Elise memperlakukan putranya dengan penuh kasih sayang. Meskipun dia ada
Nathaniel tidak menjawab dengan kata-kata. Namun ekspresinya penuh dengan ketulusan, seolah menjadi jawaban yang lebih kuat daripada kata-kata.Airmata mulai mengalir dari mata Elena, namun kali ini bukan lagi karena kesedihan, melainkan karena haru yang menyelip di dalamnya.“Terima kasih, Nate. Terima kasih, sayang...,” bisik Elena sambil memeluk Nathaniel dengan erat, air mata masih mengalir di pipinya.Nathaniel merasa hangat di dalam pelukan Elena, meskipun kecanggungan masih menyelimuti suasana di antara mereka. “Asal kau tahu, tak ada yang lebih membahagiakan daripada momen ini, Nate,” tambah Elena.Elena kemudian mengecup pipi Nathaniel penuh kasih, sebelum kembali merengkuhnya erat seolah tak ingin melepaskannya. Namun, kehangatan momen itu terganggu oleh komentar Nathaniel. “Sudah cukup, Bibi,” tegurnya. Ia hanya khawatir jika ada seseorang yang sengaja mengabadikan momen tersebut dan menyebarkan itu di media
Isabella dan Nathaniel sudah berada di mobil, Isabella menyetir mobil sementara Nathaniel duduk di sampingnya. “Kau pasti tidak menyangka jika Oliver itu anak Elise Dubois dan Henrik,” tebak Isabella. Nathaniel hanya mengangguk kecil. “Tapi aku lebih tidak menyangka kau bersedia membantu Elise— jika aku yang berada di posisimu, sudah pasti aku tidak akan peduli pada perempuan itu,” gumam Nathaniel, ada nada kesal yang terselip pada suaranya meski samar. Isabella tersenyum, ia bisa mengerti kenapa Nathaniel bisa sekesal itu. Lima tahun lalu, secara tidak langsung Nathaniel juga dipecat dari pekerjaannya karena hal busuk yang dilakukan Elise. “Aku memang sangat marah dengan apa yang dilakukan Elise di masa lalu, tapi di sisi lain aku bersyukur,” jawab Isabella. “Bersyukur?” tanya Nathaniel, alisnya terangkat. “Ya, tentu saja. Jika Elise tidak mengajukan naskahku, tidak mungkin kau membelaku mati-matian saat itu. Bisa dibilang apa yang dilakukan
Isabella merasa tidak nyaman dengan suasana tegang yang entah bagaimana bisa tercipta secara tiba-tiba. Sebelumnya Emilia tidak pernah bersikap dingin seperti ini, ia tak tahu kenapa kali ini ibunya datang dengan kemarahan yang tidak ia ketahui alasannya. Isabella menyadari bahwa Emilia menatap Nathaniel dengan dingin dan segera mencoba mencairkan situasi.“Ibu, kenapa kau menatap Nate seperti itu? Kau membuatnya tidak nyaman,” tegur Isabella dengan suara berbisik.Emilia menoleh pada Isabella, “Kau terlalu sibuk memikirkan perasaan pacarmu? Hingga kau tidak peduli dengan apa yang menimpa ayahmu?” sindir Emilia.Isabella kaget mendengar ucapan Emilia. Dia sempat menoleh pada Nathaniel, merasa segan pada pemuda itu. Isabella sebelumnya mengundang Nathaniel untuk makan malam bersama, tapi justru disambut dengan situasi yang tidak mengenakan seperti ini. Ia berharap segera mengatasi situasi ini.“Ibu, apa yang sebenarnya kau bic
Emilia memasuki kamarnya dengan langkah berat, merasa lelah setelah percakapan dengan Isabella. Duduk di tepi tempat tidur, wajahnya masih terlihat gelisah. Dia menghela napas panjang, pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Emilia kemudian meraih ponselnya, lalu mengetik sesuatu di sana. [Henrik, terima kasih sudah mengabari bibi atas apa yang terjadi pada ayah Isabella. Menurutmu, apa sebaiknya Isabella memang harus membantu Ayahnya agar segera dibebaskan? Apa kau tahu jika ayahnya sudah melakukan kekerasan pada Bella?] Pesannya segera terkirim pada nomor Henrik, dan tak lama kemudian ponselnya berbunyi, menandakan adanya pesan balasan: [Tentu saja, Bibi. Secepatnya harus membantu Paman Hugo keluar, bukankah kau tidak ingin nama baik Isabella hancur? Aku memang tahu jika Paman Hugo sempat memukuli Isabella, tapi orang-orang tidak akan peduli soal itu karena mereka tidak benar-benar tahu apa yang terjadi] Emilia terdiam, merenungi balasan dari
Isabella dan Emilia duduk dalam keheningan di ruang tengah, keduanya seakan terjebak dalam kesunyian. Isabella menatap Emilia, merasa bingung karena sikap ibunya sangat tak biasa hari ini.“Ibu,” suara Isabella akhirnya memecah kesunyian. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kau sangat aneh hari ini, aku seperti tidak mengenalimu.”Emilia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Maafkan ibu, Bella,” ucapnya dengan nada menyesal. “Ibu tidak berniat menghancurkan kebahagiaanmu, tapi ibu melakukan ini demi dirimu.”Isabella terdiam sejenak, mencerna kata-kata ibunya. “Apa maksudmu demi aku, Ibu? Jika kau memang mendukungku, harusnya kau menghargai pilihanku,” ada getar yang terselip dalam suara Isabella.Emilia menatap Isabella dengan pandangan penuh penyesalan. “Kenapa kau harus memilih Nathaniel? Bukankah dia bukan pria baik-baik?”Isabella merasa jengkel dengan pertanyaan ibunya.
Pengakuan Nathaniel sontak membuat Julian geleng kepala. “Kau ini, selalu sembarangan! Berapa kali aku harus mengingatkanmu agar makan dengan benar? Lambungmu itu rentan, beginilah akibatnya kalau kau tidak makan teratur,” omel Julian dengan nada yang keras.Nathaniel yang awalnya hanya merasa sakit perut, kini juga merasa kepalanya jadi pusing mendengar omelan tersebut. “Iya, maafkan aku, Paman.”“Sudah seperti ini baru kau menyesal, kan?” sindir Julian dengan nada kecewa.“Iya, maaf. Tapi bisakah kau berhenti mengomel? Aku sakit, rasanya aku makin sakit mendengarmu marah-marah.” Nathaniel kesal. Jika hal ini terjadi 15 tahun lalu, pasti Nathaniel sudah menangis kencang hingga mengganggu para tetangganya. Kadang Nathaniel menyesal karena tumbuh dewasa dan tidak bisa melampiaskan emosi sesuai keinginannya.“Cepat bangun, aku akan mengantarmu ke rumah sakit,” ucap Julian. Nathaniel yang kesal mala