Untuk beberapa saat, suasana di ruangan rawat tersebut terasa hening. Isabella dan Elise terjebak dalam kecanggungan yang menggantung di udara. Baik Elise dan Isabella tak tahu lagi harus membahas hal apa untuk mencairkan suasana.
Keheningan itu terputus ketika terdengar suara rengekan putra Elise. Isabella langsung menoleh pada balita berambut pirang yang baru saja terbangun tidurnya sambil menangis, seolah masih merasa tidak nyaman dengan keadaannya.
“Mommy...” gumam Oliver di antara isakannya.
Elise segera mendekat pada putranya, mengusap puncak kepalanya lalu mengecupnya. “Mommy di sini, Sayang. Kau merasa tidak nyaman?” tanya Elise dengan suara lembut.
“Kepalaku pusing,” jawab Oliver setengah menangis.
Elise mengusap usap kepalanya dengan lembut. “Pergilah, pusing. Jangan ganggu anak mommy.”
Isabella melihat bagaimana Elise memperlakukan putranya dengan penuh kasih sayang. Meskipun dia ada
Nathaniel tidak menjawab dengan kata-kata. Namun ekspresinya penuh dengan ketulusan, seolah menjadi jawaban yang lebih kuat daripada kata-kata.Airmata mulai mengalir dari mata Elena, namun kali ini bukan lagi karena kesedihan, melainkan karena haru yang menyelip di dalamnya.“Terima kasih, Nate. Terima kasih, sayang...,” bisik Elena sambil memeluk Nathaniel dengan erat, air mata masih mengalir di pipinya.Nathaniel merasa hangat di dalam pelukan Elena, meskipun kecanggungan masih menyelimuti suasana di antara mereka. “Asal kau tahu, tak ada yang lebih membahagiakan daripada momen ini, Nate,” tambah Elena.Elena kemudian mengecup pipi Nathaniel penuh kasih, sebelum kembali merengkuhnya erat seolah tak ingin melepaskannya. Namun, kehangatan momen itu terganggu oleh komentar Nathaniel. “Sudah cukup, Bibi,” tegurnya. Ia hanya khawatir jika ada seseorang yang sengaja mengabadikan momen tersebut dan menyebarkan itu di media
Isabella dan Nathaniel sudah berada di mobil, Isabella menyetir mobil sementara Nathaniel duduk di sampingnya. “Kau pasti tidak menyangka jika Oliver itu anak Elise Dubois dan Henrik,” tebak Isabella. Nathaniel hanya mengangguk kecil. “Tapi aku lebih tidak menyangka kau bersedia membantu Elise— jika aku yang berada di posisimu, sudah pasti aku tidak akan peduli pada perempuan itu,” gumam Nathaniel, ada nada kesal yang terselip pada suaranya meski samar. Isabella tersenyum, ia bisa mengerti kenapa Nathaniel bisa sekesal itu. Lima tahun lalu, secara tidak langsung Nathaniel juga dipecat dari pekerjaannya karena hal busuk yang dilakukan Elise. “Aku memang sangat marah dengan apa yang dilakukan Elise di masa lalu, tapi di sisi lain aku bersyukur,” jawab Isabella. “Bersyukur?” tanya Nathaniel, alisnya terangkat. “Ya, tentu saja. Jika Elise tidak mengajukan naskahku, tidak mungkin kau membelaku mati-matian saat itu. Bisa dibilang apa yang dilakukan
Isabella merasa tidak nyaman dengan suasana tegang yang entah bagaimana bisa tercipta secara tiba-tiba. Sebelumnya Emilia tidak pernah bersikap dingin seperti ini, ia tak tahu kenapa kali ini ibunya datang dengan kemarahan yang tidak ia ketahui alasannya. Isabella menyadari bahwa Emilia menatap Nathaniel dengan dingin dan segera mencoba mencairkan situasi.“Ibu, kenapa kau menatap Nate seperti itu? Kau membuatnya tidak nyaman,” tegur Isabella dengan suara berbisik.Emilia menoleh pada Isabella, “Kau terlalu sibuk memikirkan perasaan pacarmu? Hingga kau tidak peduli dengan apa yang menimpa ayahmu?” sindir Emilia.Isabella kaget mendengar ucapan Emilia. Dia sempat menoleh pada Nathaniel, merasa segan pada pemuda itu. Isabella sebelumnya mengundang Nathaniel untuk makan malam bersama, tapi justru disambut dengan situasi yang tidak mengenakan seperti ini. Ia berharap segera mengatasi situasi ini.“Ibu, apa yang sebenarnya kau bic
Emilia memasuki kamarnya dengan langkah berat, merasa lelah setelah percakapan dengan Isabella. Duduk di tepi tempat tidur, wajahnya masih terlihat gelisah. Dia menghela napas panjang, pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Emilia kemudian meraih ponselnya, lalu mengetik sesuatu di sana. [Henrik, terima kasih sudah mengabari bibi atas apa yang terjadi pada ayah Isabella. Menurutmu, apa sebaiknya Isabella memang harus membantu Ayahnya agar segera dibebaskan? Apa kau tahu jika ayahnya sudah melakukan kekerasan pada Bella?] Pesannya segera terkirim pada nomor Henrik, dan tak lama kemudian ponselnya berbunyi, menandakan adanya pesan balasan: [Tentu saja, Bibi. Secepatnya harus membantu Paman Hugo keluar, bukankah kau tidak ingin nama baik Isabella hancur? Aku memang tahu jika Paman Hugo sempat memukuli Isabella, tapi orang-orang tidak akan peduli soal itu karena mereka tidak benar-benar tahu apa yang terjadi] Emilia terdiam, merenungi balasan dari
Isabella dan Emilia duduk dalam keheningan di ruang tengah, keduanya seakan terjebak dalam kesunyian. Isabella menatap Emilia, merasa bingung karena sikap ibunya sangat tak biasa hari ini.“Ibu,” suara Isabella akhirnya memecah kesunyian. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kau sangat aneh hari ini, aku seperti tidak mengenalimu.”Emilia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Maafkan ibu, Bella,” ucapnya dengan nada menyesal. “Ibu tidak berniat menghancurkan kebahagiaanmu, tapi ibu melakukan ini demi dirimu.”Isabella terdiam sejenak, mencerna kata-kata ibunya. “Apa maksudmu demi aku, Ibu? Jika kau memang mendukungku, harusnya kau menghargai pilihanku,” ada getar yang terselip dalam suara Isabella.Emilia menatap Isabella dengan pandangan penuh penyesalan. “Kenapa kau harus memilih Nathaniel? Bukankah dia bukan pria baik-baik?”Isabella merasa jengkel dengan pertanyaan ibunya.
Pengakuan Nathaniel sontak membuat Julian geleng kepala. “Kau ini, selalu sembarangan! Berapa kali aku harus mengingatkanmu agar makan dengan benar? Lambungmu itu rentan, beginilah akibatnya kalau kau tidak makan teratur,” omel Julian dengan nada yang keras.Nathaniel yang awalnya hanya merasa sakit perut, kini juga merasa kepalanya jadi pusing mendengar omelan tersebut. “Iya, maafkan aku, Paman.”“Sudah seperti ini baru kau menyesal, kan?” sindir Julian dengan nada kecewa.“Iya, maaf. Tapi bisakah kau berhenti mengomel? Aku sakit, rasanya aku makin sakit mendengarmu marah-marah.” Nathaniel kesal. Jika hal ini terjadi 15 tahun lalu, pasti Nathaniel sudah menangis kencang hingga mengganggu para tetangganya. Kadang Nathaniel menyesal karena tumbuh dewasa dan tidak bisa melampiaskan emosi sesuai keinginannya.“Cepat bangun, aku akan mengantarmu ke rumah sakit,” ucap Julian. Nathaniel yang kesal mala
Julian berdiri di samping ranjang putih di ruang emergency, tempat Nathaniel terbaring. Tatapan cemas melintas di matanya saat melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lemas dan menahan sakit sejak tadi.Dokter yang baru selesai memasang infus berbicara pada Julian, “Kami akan melakukan observasi, karena sepertinya Nathaniel mengalami radang lambung cukup parah.”“Apakah dia perlu rawat inap?” tanya Julian.“Tidak,” sahut Nathaniel. Julian langsung menoleh dengan tatapan kesal pada pemuda itu. “Aku tidak bertanya padamu.”Julian kembali menatap pada dokter di hadapannya— yang tengah tertawa kecil setelah melihat interaksi Julian dan Nathaniel.“Perlu atau tidaknya, akan kita putuskan setelah masa observasi,” jawab dokter tersebut, lalu menoleh pada Nathaniel. “Istirahatlah dulu sambil menunggu infusnya habis. Kami akan melakukan pengecekan ulang nanti,” lanjutnya
Emilia baru saja selesai memasak saat terdengar suara bel pintu. Ia segera melepas celemek di tubuhnya, lalu mengelap tangannya yang berlumuran tepung pada kain dapur dan berjalan menuju pintu.Setelah membuka pintu, Emilia terkejut melihat Henrik berdiri di depannya. “Bibi,” sapanya dengan senyum yang tipis.“Henrik, ada urusan apa kau datang ke sini?” tanya Emilia, suaranya sedikit dingin karena masih teringat akan kebohongan Henrik sebelumnya, yang membuat Emilia harus menyinggung Nathaniel.“Aku datang karena ingin bertemu dengan Isabella, dan juga kau, Bi,” jawab Henrik tanpa rasa bersalah, tatapannya tetap tenang saat dia menyampaikan maksud kedatangannya. Emilia hanya diam, tidak menanggapi ucapan basa-basi Henrik, juga tidak mempersilakan pria itu masuk ke dalam rumah.“Bibi, apa kau tidak memintaku masuk?” tanyanya Henrik yang melihat Emilia hanya diam dan menatapnya.“Tidak,” jaw
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela